(Tiga)
"Setegar apapun batu karang itu, setiap hari disapu oleh ombak pasti lama kelamaan akan rapuh juga."
Cuaca malam ini begitu dingin, tapi tidak untuk seorang Lelaki yang mengenakan piyama duduk diatas balkon kamarnya, sambil memandangi sebuah foto, sesekali menatap kelangit yang kebetulan malam itu tak ada bintang. Tapi walaupun begitu, dia tetap nyaman memandang keatas sana.
“Asyifa...”Lelaki itu menyebut nama seseorang. Sepertinya, nama yang disebutkan adalah seorang wanita yang bersama dirinya difoto itu, keduanya tampak berpelukan bahagia.
‘Tok...tok...tok...’ Suara pintu kamar yang diketuk mengharuskan Lelaki itu beranjak dari tempatnya membuka pintu kamarnya.
"Tuan, Badannya non Calista hangat. Dari tadi rewel terus... Bibi udah bujuk dia gak mau diam... Malah nangis terus sambil memanggil nama Bundanya tuan..." Kata seorang wanita, lebih tepatnya pembantunya.
"Apa Calista hangat?" Dengan cepat lelaki itu berlari kesebuah kamar yang terletak tak jauh dari kamarnya. Nampak seorang gadis kecil berusia 4 tahun diatas ranjang sedang menangis sesegukan sambil memegang sebuah bingkai foto.
Lelaki itu datang mendekat dan tidur disamping gadis kecil itu.
"Cali kangen Bunda yah?" Tanya Lelaki itu kepada gadis kecil itu sambil membelai rambut bergelombangnya.
Gadis kecil itu berbalik dan langsung memeluk lelaki itu. Dan tangisnya pecah, air matanya mengucur membasahi piyama Lelaki itu.
"Cali jangan nangis, kalau Cali nangis nanti bunda diatas sana jadi ikut sedih... Ayah tahu Cali kangen bunda... Ayah juga sama, tapi Cali gak boleh sedih terus... Bunda sudah tenang disana..." Lelaki yang adalah ayah gadis kecil itu membelai halus rambut gadis kecilnya.
"Ka...lau... begi..tu... Cali... ma...u ... ikut... Bun...da aj....a..." Gadis kecil itu masih sesegukan mengucapkan kalimat demi kalimat.
"Cali gak boleh berkata seperti itu..." Kalimat dengan intonasi yang tegas keluar mulut dari Lelaki itu. Membuat gadis kecilnya takut dan menenggelamkan kepalanya dibawah bantal dan menangis lebih keras. Sadar akan kesalahannya tadi yang berkata terlalu keras kepada anak kecil seperti Calista, Lelaki itu kembali membujuk gadis kecilnya.
"Cali, maafin ayah... Ayah gak maksud keras sama kamu sayang, cuma ayah gak mau kamu berkata seperti itu... Ayah gak mau kehilangan kamu juga..."
Calista membuka bantalnya yang menutupi kepalanya perlahan. Ayahnya kini dalam posisi duduk, Iapun tidur dipangkuan ayahnya. Diiringi sebuah nyanyian dari ayahnya itu.
Aku dan Kamu selalu bersama...
Habiskan malam walau tanpa bintang...
Aku dan Kamu saling berpelukan...
Membunuh malam hingga pagi menjelang...
Berdua...
Seperti itulah penggalan bait lagu yang dinyanyikan Lelaki itu sampai gadis kecilnya tertidur. Dia kenangan kita Syifa, Dia gadis kecil kita. Kalau saja Ayahku tidak bersikap keras pasti sekarang kita masih bersama. Lelaki itu tampak menitikan airmata. Tapi segera dihapusnya. Memori belakangnya memutar kisah masa lalunya, kehampaan, kebahagian, kesenangan, kegembiraan, kekecewaan, kesedihan, kehancuran melebur menjadi satu.
^ ^ ^
“Menurut anda apa arti kehidupan?”
“Kehidupan adalah sebuah kompetisi... Dan kita harus memenangkan kompetisi tersebut... Bagaimanapun caranya tanpa ada kata menyerah...”
“Apa yang anda lakukan setelah menyelesaikan pendidikan anda di SMA?”
“Tentu saja akan melanjutkan pendidikan seperti yang ayah mau... Keluar negeri mungkin... Karena saya yang akan menjadi pewaris tunggal perusahaan ayah...”
“Boleh definisikan tentang diri anda?”
“Saya adalah Saya... No one can change me... There's no way to holdin' me...! Segala sesuatu yang saya butuhkan harus terlaksana. Make it real and make it happen!”
“Okay. Last question. Apa tujuan utama dalam hidup anda… Cakrawala Nugraha?”
“Menang.”
‘Tit...’ TV dimatikan oleh seorang lelaki dengan wajah yang cukup dingin. Tak beberapa lama kemudian seorang Pria dewasa mendatangi Lelaki itu dan menepuk bahunya.
"Ayah suka dengan gaya kamu di TV tadi... Itu baru anak ayah... Gagah dan berwibawa, kamu menunjukan kepada seluruh Indonesia, kalau keluarga Nugraha bukan keluarga sembarangan..."
Lelaki itu melepaskan tangan Ayahnya yang menggenggam pundaknya.
"Terserah ayah!" Katanya Singkat lalu beranjak dari situ.
"Cakra... Cakra... Tunggu dulu... Kamu berani melawan ayah?" Teriak lelaki itu geram.
Tapi seakan tak mempedulikan lelaki yang dipanggil Cakra itu masuk kedalam kamarnya. Dan menutup pintu rapat-rapat. Diluar ayahnya tampak geram dengan kelakuan anaknya.
Dari kecil Cakra diasuh dan dibesarkan oleh ayahnya seorang diri. Karena perceraian kedua orang tuanya waktu Cakra masih belum genap setahun. Cakra sebenarnya mempunyai seorang kakak lelaki yang diasuh oleh ibunya. Dia tak pernah bertemu dengan kakaknya itu karena dari bayi dia sudah berpisah dengan kakaknya. Yang dia tahu satu, Kakaknya bernama Anugrah. Bagaimana rupa dan model Anugrah? Cakra tak tahu sama sekali!
Ayah mendidik dan membesarkan Cakra dengan cara seorang laki-laki, tanpa ada belaian kasih sayang dan tanpa ada pelukan hangat. Yang ada hanya didikan dengan ketegasan. Dan membuahkan seorang Cakra yang angkuh dan mengandalkan kekuatannya sendiri. Itu membuat dia tidak peduli terhadap orang lain dan hanya untuk dirinya sendiri.
Tapi belakangan ini, dia merasa jenuh dengan sikapnya sendiri yang terlalu sering diatur oleh peraturan yang konyol dari ayahnya. Sebenarnya bukan hanya itu, dia ingin merubah sikapnya karena seseorang.
Cakra melangkahkan kakinya menuju masterbednya. Lalu berbaring diatasnya sambil memasang sebuah iPod dan headset mendengarkan beberapa lagu yang mungkin bisa menenangkannya.
Ponsel Cakra bergetar. Segera dirogohnya ponsel dari dalam saku celananya, ternyata ada sebuah sms yang masuk. Melihat nama pengirimnya, Cakra tersenyum. Senyum yang beda dari sosok Cakra. Bukan senyum dingin, kali ini benar-benar hangat dan tulus.
Aku tunggu kamu ditempat kita pertama kali bertemu.
Sekarang :)
SMS itu benar-benar membuat Cakra bersemangat segera disambarnya jaket yang tergantung dibelakang pintu kamarnya. Dan dengan cepat-cepat keluar dari kamarnya. Diruang nonton, sudah tak ada ayahnya. Seperti yang dia duga, memang ayahnya hanya mementingkan ambisi tanpa mempedulikannya. Cepat-cepat dia berlari menuju garasi beberapa mobil berjejer disitu, dia segera mendekati Honda Insight Hybrid masuk kedalam, menyalakan mesin lalu keluar dari garasi itu dan menyusuri jalan ibukota menuju kesebuah gedung tua yang cukup menyeramkan. Cakra segera turun dari mobilnya dan naik kelantai paling atas. Disana berdiri seorang gadis berambut panjang dan bergelombang dengan tinggi semampai menatap kota metropolitan dari tempatnya berdiri.
“Syifa....” Sapa Cakra sambil mendekat kearah gadis itu.
Gadis itu berbalik, Gadis yang cantik dengan senyum yang indah. Kulitnya putih, hidungnya mancung alisnya cukup tebal dan matanya yang berkilau.
“Datang juga...” Katanya ikut mendekat kearah Cakra.
“Pasti, apasih yang gak buat my princess...” Kata Cakra sambil mencubit hidung gadis yang bernama Syifa itu.
Syifa menarik Cakra agar duduk disebuah bangku yang tak jauh dari situ.
Dan sejenak hening, yang terdengar hanya hembusan nafas mereka.
Syifa tiba-tiba mendesah dan berkata
“Aku nonton wawancara kamu di TV...”
“Oh...” Tanggapan singkat dari Cakra.
“Kamu belum berubah yah... Masih tetap Cakra yang dingin dan angkuh...”
“Hanya untuk ayah...”
“Sampai kapan kamu akan seperti ini?”
“Aku gak tahu, aku pengen juga keluar dari kekangan ayah... Tapi kamu tahu kan... Aku gak mau dibilang durhaka, soalnya ayahku berjuang sendiri sampai aku sebesar ini...”
“Aku tahu kok... Tapi, aku juga berpikir tentang hubungan kita... Seandainya suatu saat ayah kamu tahu kalau kamu mempunyai hubungan khusus denganku... Aku tak tahu apa yang akan terjadi... Dengan keadaanmu yang tergantung dengan ayahmu...” Wajah Syifa berubah sedikit muram.
“Aku akan bicara sama ayah... Bagaimanapun dia harus setuju dengan hubungan kita...”
“Seandainya suatu saat kamu dihadapkan pada dua pilihan... Memilih aku atau ayahmu... Kamu akan pilih yang mana?”
Cakra terdiam dan tampak berpikir.
“Pasti kamu akan memilih ayahmu... Apalagi aku seorang anak dari....” Belum sempat Syifa melanjutkan kata-katanya jari telunjuk Cakra mendarat dibibir Syifa.
“Sssssttt... Jangan diteruskan... Aku pasti akan memilih kamu... Udah kita disini bukan untuk membicarakan masalah ini kan? Aku gak mau kehilangan kamu...” Kata Cakra kemudian menenggelamkan Syifa kedalam pelukannya. Syifa membalas pelukan hangat Cakra, diiringi yang angin berhembus sepoi-sepoi. Keduanya merasa nyaman dengan posisi seperti itu.
Asyifa Mutiara adalah anak dari ‘rival’ ayahnya Cakra, yang kini menjalin hubungan spesial sebagai sepasang kekasih. Hubungan mereka tak diketahui oleh kedua orang tua mereka. Kalaupun mereka memberitahu hubungan mereka pasti tak akan disetujui.
Pertemuan merekapun tak disengaja dan tak direncanakan, bahkan mereka tak saling tahu kalau ayah-ayah mereka merupakan ‘rival’. Waktu itu, Syifa yang suka dengan antropologi ingin mengamati bintang, seharian memutar Jakarta untuk mencari tempat yang cocok, tapi tak kunjung ditemukan. Sampai dia melewati sebuah gedung tua dan gedung tua itupun menjadi pilihannya. Syifa melihat bintang menggunakan sebuah teleskop yang baru dibelinya. Kedua orantuanya cukup sibuk dengan urusan bisnisnya, jadi Syifa bebas kemanapun dia mau sekalipun itu malam hari. Kala itu sudah jam 10 malam, tapi Syifa masih betah mengamati bintang-bintang diangkasa. Tiba-tiba seseorang datang mendekat kearah dirinya dan memegang pundaknya. Sontak Syifa kaget dan berbalik menemukan seorang lelaki yang berdiri dibelakangnya, Lelaki dengan pakaian casual, rambut hitam yang agak berantakan, badannya cukup tinggi, wajahnya sangat tampan, namun dari mata sayu milik lelaki tersebut tersimpan sejuta beban yang ditutupinya. Itu Cakra, hampir tiap malam Cakra sering datang ditempat itu untuk menyendiri. Hanya ditempat itu dia merasa benar-benar sendiri tanpa ada seorangpun yang mengganggunya. Tapi, malam ini berbeda ada Syifa disana. Awalnya Cakra heran, kenapa ada seorang gadis disitu malam hari dan tentu saja dia agak risih dengan adanya Syifa. Tapi, setelah adu argumen beberapa saat, ternyata mereka berdua mempunyai kecocokan. Sehingga, mereka berdua nyaman untuk ngobrol dan menghabiskan malam itu berdua diatap gedung tua. Dari situlah mereka menjadi akrab dan mulai tumbuh benih-benih cinta diantara mereka sampai akhirnya mereka menjalin hubungan khusus.
Belakangan mereka baru tahu, kalau ayah mereka saling kenal. Dan tak hanya itu, ternyata ayah mereka adalah rival. Entah bagaimana titik persoalannya, yang pasti kedua ayah mereka saling menjatuhkan, dan punya opini yang selalu berlawanan arah. Membuat hubungan Cakra dan Syifa jadi serba salah.
^ ^ ^
Rinai hujan mulai membasahi Cakra dan Syifa yang masih betah duduk diatas gedung tua, seakan tak peduli keduanya tak bergeming sedikitpun dengan posisi saling bergandengan tangan.
“Oh ya Syif, aku sudah menemukan jawaban tentang pertanyaan kamu yang tempo hari…”
“Trus kamu pilih mana bulan atau bintang?”
“Tentu saja bintang…”
Syifa tersenyum mendengar jawaban yang keluar dari mulut Cakra.
“Kenapa?”
“Karena kamu suka bintang…” Jawab Cakra tersenyum jahil.
Mendadak wajah Syifa menjadi cemberut mendengar jawaban dari Cakra. Bukan itu alasan yang diinginkannya.
“Bercanda…hehehe… Karena Bulan nampak besar dan dapat menerangi malam, tapi sesungguhnya bulan tak seperti itu. Dia hanya menerima pantulan cahaya dari matahari juga ia terlihat besar karena dia dekat dengan bumi. Sedangkan, bintang walaupun ia nampak kecil dan cahayanya tak seterang bulan, namun sesungguhnya dia sangat besar dan juga sangat indah karena mampu mengeluarkan cahaya sendiri. Dia nampak dekat tapi dia begitu jauh…” Jelas Cakra panjang lebar.
Kali ini Syifa dibuat tak bisa berkata-kata dengan jawaban Cakra, diluar dugaan Cakra bisa menjelaskan alasannya memilih bintang dengan sangat baik.
“Dan satu lagi, bintang itu melambangkan ayah yang nampak besar dan megah dengan kekuasaannya, namun sesungguhnya dia hanya manusia biasa yang punya kelemahan. Sedangkan, bintang itu melambangkan kamu, yang walaupun terlihat lemah namun sebenarnya kamu memiliki kelebihan yang tersimpan didalam diri kamu…” Lanjut Cakra.
Mendengar perkataan Cakra barusan, Syifa memeluk Cakra erat sedangkan Cakra hanya tersenyum kecil lalu membalas pelukan Syifa. Kehangatan menjalar ditubuh, wangi tubuh masing-masing membuat mereka makin betah berada diposisi seperti ini. Begitu lama.
“Udah, pulang yuk… hujan… nanti kamu sakit kalau lama-lama disini…” Ajak Cakra sembari melepaskan pelukannya tetapi dihalang oleh Syifa.
“Aku gak mau pergi dari sini… Aku takut kalau kita pergi dari sini kita gak akan ketemu lagi…”
“Huss… jangan berkata seperti itu… Kita pasti akan bertemu lagi… dan kita akan selalu bersama…”
“Janji yah…”
“Iya janji….”
^ ^ ^