Kamis, 11 Oktober 2012

THIS MISTAKE (CERPEN)

This Mistake
It was a mistake and always be a mistake

PROLOG.
OIK memandang banyak manusia yang lalu lalang sambil menyeret koper, dia baru tiba setelah perjalanannya yang melelahkan dari Jakarta menuju Yogyakarta. Jadi di sinilah dia, bandara Adi Sucipto, dengan langkah agak ragu dia menyeret koper keluar dari terminal 4. Hatinya semakin dag-dig-dug tak karuan kala mendengar alerts Blackberry Messenger miliknya. Dengan ragu dia merogoh Blackberry-nya dari dalam sakunya dan segera membuka tanda bintang pada logo BBM itu.

Cakka: Sudah sampai?
Oik: Sudah barusan keluar dari terminal 4
Cakka: Oke sip (y), aku ke sana skrg
Oik: Hm, masih ngenalin aku kan?
Cakka: Masih dong… aku tidak akan ngelupain kamu kok, kamu sendiri jgn2 sudah lupa sama aku?
Oik: Mungkin :p hehehehe
Cakka: Tengok ke kiri…

Ketika Oik mendapat BBM terakhir dari Cakka itu, Oik segera memalingkan pandangannya ke arah kiri. Berdiri lelaki jangkung dengan pakaian rapi, dadanya yang bidang, matanya menatap ke arahnya dengan sayu namun masih menghangatkan seperti dulu, kulitnya putih dan senyum tersungging di bibirnya. Dari jarak seperti itu, Oik bisa mencium bau khasnya. Masih sama seperti dulu. Oik terbuai dengan indera penglihatan dan penciumannya, kembali lagi memuja lelaki itu.
Cakka berjalan mendekat ke arah Oik dan Oik pun jadi salah tingkah. Entah apa yang harus dikatakannya saat ini. Sekedar hai atau bagaimana kabarmu? Itu tidak mungkin.
“Cakka,” akhirnya nama itu saja yang meluncur dari mulut Oik.
“Oik, lama tak bertemu,” kata Cakka ketika tiba di depan Oik dan menatapnya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki, “kamu masih seperti dulu,”
“Kamu juga,” kata Oik.
“Hm, ayo kita tak boleh berlama-lama di sini, banyak yang harus kita kerjakan,” kata Cakka segera mengambil alih koper Oik, membawakannya dan segera menggandeng Oik hendak menuju mobilnya tapi…
Ya Tuhan…sentuhan ini… masih terasa nyaman seperti dulu…
“Tunggu! Lo nggak ngelupain gue kan?,” seseorang yang sedari tadi mengekor di belakang Oik bersuara karena merasa diabaikan.
Oik hampir mengutuki dirinya sendiri hampir melupakan orang yang ada di belakangnya itu. Gara-gara Cakka, semuanya buyar. Dia benar-benar melupakannya. Tatapan gadis berumur 17 tahun berubah nanar ke arah Oik. Kemudian senyum setengah tersungging di sudut kiri bibirnya.
“Ah, sori, Cakka kenalkan… namanya Larissa, panggil saja Acha, dia—,”
“Gue Acha, adiknya Oik,” kata Acha mengulurkan tangannya menyalami Cakka.

***

CAKKA menatap bintang di langit yang gemerlapan. Bunyi burung merdu menemaninya malam itu.
“Kenapa mesti kamu sih? Aku bingung sama Shilla, aku ini pacarnya dia, kenapa dia menyuruh kamu terus yang mewakilinya?,” Cakka mendesah kesal, “bukannya kamu juga sudah punya pacar? Apa pacarmu tak akan marah kamu diminta menemani pacar orang seperti ini? Mau-maunya juga kamu disuruh Shilla,” lanjut Cakka.
“Aku juga bingung sama dia, yah… aku memang punya pacar, tapi…dia sibuk, tak peduli denganku, soal kenapa aku mau disuruh menemanimu disini, itu hanya solidaritas sebagai sahabat,”
“Memangnya kamu tak bertanya padanya kenapa dia memintamu untuk kemari?,”
“Sudah, katanya dia sedang tak bisa kemari, kau tahu kan orang tuanya yang tidak suka melihat anaknya pacaran dulu?,”
“Ya…ya… I know,”
“Tapi kalau kamu tak mau aku di sini, aku akan pergi sekarang.” Gadis itu melangkahkan kakinya berdiri dari bangku. Namun, Cakka menahan tangannya dan membuat gadis itu berbalik.
“Oik, aku tak bermaksud begitu, ayo duduk, makasih  sudah mau datang kemari,”
Gadis yang bernama Oik itu kembali duduk. Suasana antara keduanya kembali sunyi-senyap. Dentuman jarum arloji Oik yang berbunyi menyatakan waktu terus berjalan dan entah sudah berapa lama mereka bergeming seperti itu.
“Terkadang aku kecewa sama Shilla, dia lebih mengutamakan karir modelnya daripada aku. Memang aku jadi lelaki tak boleh egois. Aku tak boleh hanya memikirkan kepentinganku, tapi Shilla juga tak boleh egois mementingkan kepentingannya. Memang aku tahu itu untuk masa depannya , tapi bukannya terlalu dini untuk memulai karir, kita ini masih SMA, bukan saatnya membebankan diri dengan karir, saatnya menikmati keindahan masa SMA,” Cakka menghela napasnya, “ini membuat aku berpikir kembali apakah dia benar-benar mencintaiku atau tidak,” kata Cakka.
“Shilla mencintaimu Cakka, sangat mencintaimu, aku tahu Shilla karena aku sahabatnya. Dia mengejar karir sesungguhnya bukan karena kepentingannya tapi karena panggilan hatinya. Aku rasa kita bernasib sama, kau tahu pacarku Obiet juga lebih sibuk dengan urusan OSIS-nya dibandingkan menemaniku sebagai pacarnya. Terkadang aku merasa sendiri dan kesepian tapi aku cukup mengerti bahwa dia mencintaiku, hanya saja dia memang sedang benar-benar sibuk,” Oik memegang pundak Cakka, “sabar saja, kau sudah mengambil keputusan untuk mencintai Shilla, berarti kau juga harus berani menerima konsekuensi apapun dari keputusanmu itu,”
Thanks ya Ik, saat-saat seperti ini kamu memang orang yang paling tepat untuk diajak curhat. Bolehkan aku menjadi sahabatmu mulai sekarang?,” tanya Cakka.
Oik tersenyum. “Tentu saja, kita sahabat sekarang,” kata Oik sambil mengulurkan jari kelingkingnya memateraikan tali persahabatan mereka.

***

“Oik, gimana kalau besok malam kita double date, kamu bawa Obiet, aku juga bakalan ajak Cakka, mumpung malam minggu dan aku tidak punya jadwal. Jadi kamu bisa jemput aku, kamu tahu kan orang tuaku tidak suka Cakka, jadi setidaknya kalau kamu yang jemput orang tuaku akan memberikan izin padaku,” kata Shilla saat mereka sedang berjalan keluar dari ballroom sebuah hotel tempat dilaksanakannya acara fashion show yang dibintangi oleh Shilla.
“Hm, kamu aja deh sama Cakka, nanti aku yang jemput tapi kalian saja yang pergi. Obiet kayaknya tidak bisa ikut, dia sibuk Shill. Aku tak mau mengganggu, apalagi belaangan ini OSIS lagi sibuk-sibuknya,”
“Duh Oik, seberapa penting sih OSIS-nya itu dibandingkan kamu?,” Shilla segera merogoh ponselnya dari dalam sakunya kemudian memencet qwerty ponselnya lalu meletakan ponsel itu di telinganya. “Kalau begitu biar aku saja yang hubungi Obiet,” lanjut Shilla.
“Tapi Shill—,”
“Hallo Obiet,” kata Shilla.
“Iya, ini siapa yah?,” suara bariton dari seberang terdengar.
“Ini Shilla Biet,”
“Oh Shilla, ada apa?,”
“Gini Biet, malam minggu besok, aku mau ajak kamu sama Oik double date gitu bareng aku dan Cakka, kamu bisa yah?,”
“Tapi Shill, aku ada proyek untuk proposal OSIS-ku, kamu nelpon gini disuru Oik yah? Boleh aku bicara dengannya?,”
“Nggak kok Biet, nggak sama sekali… Oik bahkan melarangku karena dia tahu kamu sibuk tapi aku yang ambil inisiatif sendiri, mau yah Biet… kamu kan pacarnya Oik tapi jarang jalan sama dia,”
“Aku nggak janji yah Shill, soalnya proposal ini harus selesai hari senin jadi aku dikejar deadline,”
“Ayolah Biet… masa kamu lebih cinta sama proposalmu itu dibandingkan pacarmu, kamu sayang Oik nggak sih?,”
“Sayanglah… kan kalau aku sayang bukan berarti harus intens ketemu, harus sering date atau apapun itu,”
“Tapi, dengan kamu kayak gini, kamu jadi kayak orang yang nggak sayang karena nggak melakukan tindakan apapun untuk Oik,”
“Hmm… oke, aku janji aku akan pergi… boleh aku bicara dengan Oik?,”
“Oke aku pegang janjimu,” kata Shilla sebelum menyerahkan ponselnya pada Oik. “Obiet mau bicara sama kamu,”
Dengan hati-hati Oik mengambil alih ponsel Shilla.
“Hallo, Biet… bukan aku yang—,”
“Sampai ketemu besok yah Ik, dandan yang cantik,”
“Eh… iya,”
“Ya sudah, hari ini kayaknya aku bakal kerja ekstra untuk menebus waktu besok, jadi maaf yah kalau malam ini aku nggak bakal nelpon kamu,”
“Iya nggak apa-apa Biet, aku ngerti kok,”
“Oke, sudah dulu yah, aku mau lanjut buat proposalnya,”
“Oke Biet, selamat bertugas,”
“Da…,”
“Da.”

***

Oik menatap cermin yang ada di depannya. Dia mematut dirinya di depan cermin. Sudah kesekian kalinya dia mengganti pakaiannya. Tapi, tak ada satupun yang membuat dia nyaman. Oik sedikit nervous untu acara malam ini. Secara, kalau mau diingat-ingat ini untuk pertama kalinya dia dan Obiet akan date di luar, yah walaupun bersama Cakka dan Shilla juga. Semenjak 6 bulan menjadi pacarnya Obiet, dia tidak pernah sama sekali mengajak Oik jalan di luar. Palingan hanya bertemu di sekolah, makan di kantin bareng, atau mengerjakan tugas bersama di rumah Oik. Begitu saja. Tak ada yang spesial selama 6 bulan dia menjadi pacar Obiet. Dia jarang melewati hal romantis bersama Obiet layaknya pasangan kekasih karena kesibukan Obiet sebagai ketua OSIS. Bahkan, waktu Obiet menyatakan perasaannya pada Oik. Hanya lewat telepon, saat mereka melakukan diskusi soal pelajaran. Tidak ada cara-cara romantis seperti waktu Shilla, sahabatnya menceritakan waktu Cakka menembaknya.
Kata Shilla waktu itu, Cakka mengajaknya ke sebuah café dan secara spontan menyanyi sambil bermain gitar. Kemudian mengundang Shilla ke atas panggung untuk ikut bernyanyi dengannya. Dan di akhir lagunya Cakka malah meminta Shilla menjadi pacarnya. Setiap cerita-cerita Shilla tentangnya dengan Cakka kadang membuatnya iri. Karena tidak bisa melewati hal seromantis itu bersama Obiet, pacarnya. Itu setahun lalu, sebelum Shilla memutuskan untuk terjun ke dunia modeling. Akhirnya, Shilla juga ikut sibuk dengan dunia barunya dan jadi jarang menceritakan keromantisannya dengan Cakka lagi pada Oik.
Oik dan Shilla sudah bersahabat semenjak SMP. Memutuskan untuk masuk ke SMA yang sama. Oik tahu sekali Shilla sudah suka dengan Cakka semenjak SMP. Tapi, baru bisa pacaran dengannya saat awal SMA. Shilla memang suka dengan dunia modeling dan dari dulu ingin berlenggak-lenggok di atas catwalk. Oik sebagai sahabatnya sangat mendukungnya. Dan saat Shilla bisa menggapainya. Dia terkadang melupakan yang lain, Cakka.
Jadi selama 3 bulan belakangan ini, terkadang Shilla meminta Oik menggantikannya menemani Cakka. Kalau Cakka mengajak Shilla ke luar, ataupun menemani Cakka ke acara-acara, makan dan lain sebagainya saat Shilla sedang dalam kesibukan, Oik yang menggantikannya. Awalnya Oik sangat menentang ide gila Shilla. Bagaimana mungkin Oik jalan dengan pacar sahabatnya sedangkan dia juga sudah punya pacar? Tapi Shilla membujuknya dan akhirnya Oik pun luluh. Awalnya, Cakka terlihat risih dan tidak terima saat tahu yang datang bukan Shilla melainkan Oik. Tapi, setelah malam mereka memutuskan untuk menjadi sahabat juga. Cakka jadi berbeda dengan malam-malam sebelumnya, dia tidak dingin lagi terhadap Oik.
Ponsel Oik berdering tanda ada SMS masuk. Oik segera mengambil ponselnya yang berada di atas meja rias lalu melihat SMS yang masuk.

From: Ashillaz mybest
Bebsayang. Cakka udh otw jemput kamu d I rumahmu.

To: Ashillaz mybest
Hah? Shill? Trus kamu? Kan aku udh blg nnt aku yg jmpt kamu.
Memang ortu kamu ga marah kalau aku dtgnya sama Cakka?

From: Ashillaz mybest
Kan klo km yg jmpt aku, rmh kamu jauh kita bkln lama di jalan.
Nah, rumah Cakka kan lbh dkt klo ke kamu dan rumah Obiet lebih dkt ke aku.
Jdi mnding Cakka jmpt aku trs Obiet brg aku.

To: Ashillaz mybest
Emg ortu kamu ga marah gitu klo kamu jln sama Obiet?

From: Ashillaz mybest
Ortuku yg mrh atau kamu yang cmburu? :p
Ga kok, kamu lupa aku juga anggota OSIS yah?
Aku kan klo sma Obiet bisa alasan utk OSIS.

To: Ashillaz mybest
Ah gak ah~ hahaha :p
Okd… aku mau ganti baju dulu.

From: Ashillaz mybest
Hah? Jadi kamu belum selesai juga?

To: Ashillaz mybest
Iya hehehe. Aku bingung nih mau pake baju apa >.<

From: Ashillaz mybest
Ciyeeeeehhh…

Oik segera meletakan kembali ponselnya. Dan memilih-milih pakaiannya kembali. Akhirnya dia memutuskan untuk mengenakan jeans dress yang dipadukan dengan butterfly belt berwarna hitam. Dia mengambil wedges blue denim-nya. Memakai beberapa aksesoris lalu mengikat rambutnya, serta mengenakan bedak dan lipgloss. Oik mengambil tas hermes berwarna hitamnya dan menyampirkan di pundaknya. Lalu segera membuka pintu kamarnya, saat bell rumahnya berbunyi.
“Iya bentar,” teriak Oik.
Dia bergegas menuju pintu rumahnya lalu membukanya. Berdiri Cakka di hadapannya. Lelaki itu mengenakan pakaian cassual. T-shirt yang dipadukan dengan sweatshirt v-neck dan black skinny jeans.
“Sudah siap?,” tanya Cakka.
Oik mengangguk sambil mengunci pintunya.
“Ayo,” ajak Oik.
Tapi Cakka malah menarik tangannya saat dia hendak berjalan dan membuat langkahnya terhenti, “tunggu,” kata Cakka.
Oik menoleh ke arah Cakka sambil mengernyitkan dahinya. Cakka menarik ikatan rambut Oik, membuat rambut Oik terurai. Dia segera mengatur rambut Oik ke arah depan, serta belahan poninya.
“Sekali-sekali kalau kamu urai rambutmu sepertinya lebih baik, kamu lebih terlihat cantik kalau seperti ini, jangan diikat lagi yah,” kata Cakka sambil menyerahkan ikat rambutnya ke tangan Oik.
Oik cuma mengangguk dan menunduk lalu berjalan. Cakka segera mendahuluinya untuk membukakan pintu mobilnya. Setelah Oik masuk ke dalam mobilnya, Cakka segera menuju sisi sebelah mobilnya dan mengambil alih kemudi.
Deg. Jantung Oik tiba-tiba berdetak. Baru pertama kalinya dia diperlakukan seperti itu oleh lelaki.

***

Cakka dan Oik telah tiba di restoran tempat mereka semua janjian. Sebelumnya, mereka telah memesan tempat. Cakka dan Oik melangkah menuju meja nomor 56 yang telah dipesan mereka. Ada 4 buah kursi saling berhadapan di situ. Cakka menarik kursi untuk Oik duduk. Setelah itu menuju ke kursi di hadapan Oik dan duduk di situ.
Terlihat Cakka sibuk memencet qwerty ponselnya. Kemudian meletakan ponselnya di telinganya sebelum bicara.
“Hallo,”
“Hallo,” suara gadis di seberang.
“Shill, aku dan Oik sudah tiba, kamu dan Obiet dimana?,”
“Bentar lagi Kka, aku dan Obiet masih di jalan, tapi bentar lagi nyampe kok, sabar ya sayang,”
“Oh oke, aku dan Oik tunggu di sini ya sayang,”
“Iya Cakka sayang,”
“Da, hati-hati di jalan,”
“Daaa,”
Cakka menyudahi percakapannya dengan Shilla dan memasukan kembali ponselnya ke dalam saku celananya.
“Ik, kok dari tadi diam?,”
Oik tersenyum, “Tidak… tak apa-apa,”
“Kamu dan Obiet sudah pacaran berapa lama?,”
“Enam bulan,”
Cakka mengangguk-angguk, “Oh… lumayan baru juga yah,”
“Iya,”
“Kamu kenapa sih Ik? Beda dari biasanya, santai aja, kan kita sahabat, kamu nervous yah?,”
“Eh… beda gimana?,”
“Ya beda aja… ada yang kamu ingin ceritakan? Ayolah tak usah malu, kan kita sahabat Ik,”
“Hmm… gimana yah? Itu… iya aku… gugup soalnya itu,”
“Soalnya apa?,” tanya Cakka mengernyit.
“Tapi kamu jangan ketawa yah, ini… untuk pertama kalinya aku… jalan sama Obiet… di luar,”
“Maksud kamu ini pertama kalinya kamu nge-date sama Obiet?,” Ekspresi Cakka tiba-tiba berubah.
Oik mengangguk. Cakka terlihat menahan tawanya. Oik mencubit tangan Cakka. “iiiihhhh udah dibilang jangan ketawa,”
“Aw… sakit, iya deh iya… tapi lucu saja, masa kalian belum pernah nge-date?,”
Oik berubah cemberut sambil melipat kedua tangannya di dadanya, “tak usah membahas hal itu,”
“Oke…oke… jangan ngambek yah, nanti cantiknya ilang,” kata Cakka sambil memegang dagu Oik dan mendongakkan kepalanya, “senyum ya,” kata Cakka.
Deg. Heartbeat kembali menghujamnya. Kenapa lagi? Apa yang terjadi dengannya? Dengan terpaksa Oik berusaha menaris garis lengkung di bibirnya.
“Nah begitu,” kata Cakka sambil melepaskan tangannya dari dagu Oik.
Tak beberapa lama kemudian, Obiet dan Shilla tiba. Shilla segera mengambil posisi kursi di samping Cakka. Sementara Obiet duduk di samping Oik.
“Maaf ya sayang lama, aku dan Obiet terjebak macet tadi,” kata Shilla yang langsung cipika-cipiki dengan Cakka.
Never mind,” kata Cakka.
Oik dan Obiet terlihat risih melihat pemandangan di hadapan mereka. Sepertinya Cakka dan Shilla sudah terbiasa seperti itu. Obiet jadi bingung mau mulai apa dengan Oik. Obiet menatap Oik yang sama sekali tidak menatapnya.
“Ik…,” panggil Obiet.
“Hm…,” Oik menoleh.
“Eh,… itu…hm… kamu cantik,” kata Obiet saking bingungnya mau mulai dari mana percakapannya dengan Oik.
“Makasih,”
Seorang waiter menghampiri mereka berempat. Mereka segera memesan makanan masing-masing. Sambil menunggu makanan mereka bercakap-cakap untuk mencairkan suasana. Obiet dan Oik yang awalnya kaku mulai terbawa suasana.

***

“Hallo,”
“Hallo ya Shilla,”
“Iya ma?,”
“Shill, kamu dimana sayang?,”
“Lagi di sekolah ma, sama teman-teman OSIS kan mau menyelesaikan proposal buat event terakhir kan ma,”
“Mama lagi on the way ke sekolah kamu, mama mau jemput kamu, kita harus berangkat sekarang sayang ke Solo, eyang kamu lagi koma dan dia minta semua anggota keluarga berkumpul,”
“Tapi ma—,”
“Nggak pake tapi-tapian, kamu nggak sayang sama eyang kamu? nanti mama yang ngomong sama pembina dan ketua OSIS kamu, Oke…”
Mamanya Shilla segera memutuskan sambungan telepon. Wajah Shilla berubah panik, cepat-cepat dia menyeruput minumannya hingga habis dan menyampirkan tasnya di bahunya.
“Pelan-pelan Shill nanti kamu tersedak, ada apa sih?” tanya Cakka.
“Gawat, mamaku lagi on the way ke sekolah mau jemput aku, katanya aku harus berangkat sekarang juga, eyang aku yang di Solo koma dan minta seluruh keluarga berkumpul,” kata Shilla.
“Trus?,”
“Maaf ya sayang, maaf ya Ik… aku harus pergi sekarang, Ik aku pinjam Obiet yah buat ngantar aku ke sekolah, soalnya kalau nggak dengan Obiet mamaku akan curiga,” kata Shilla sambil menatap Oik.
Oik menatap Obiet lalu menganggukan kepalanya. Shilla segera berdiri, Cakka juga ikut berdiri. Shilla memeluk Cakka.
“Berapa lama kamu di sana?,” tanya Cakka sambil mengelus kepala Shilla.
“Sampai eyang sembuh,”
Get well soon for your grand ma… will miss you,” kata Cakka mengecup ubun-ubun Shilla.
Shilla melepaskan pelukannya, “me too, ayo Biet, nggak boleh lama-lama kita harus sampai sebelum mama sampai,” kata Shilla.
“Ik, aku pergi dulu, kalau sempat aku balik lagi kemari,” kata Obiet  lalu mendaratkan kecupan di dahi Oik dan pergi bersama Shilla.
Cakka dan Oik menatap Shilla dan Obiet yang berjalan keluar restoran sebelum menghilang di balik pintu restoran.
“Yah, tinggal kita berdua lagi,”
“Iya nih, lagi-lagi dan lagi,” Oik menggeleng-geleng frustasi.
“Aku heran aja… jangan-jangan aku jodohnya sama kamu bukan sama Shilla, habis aku ketemunya sama kamu terus,”
“Heh?,” Oik mengernyit.
“Hahaha, becanda…becanda, yaudah lanjut yuk makan, kan kata Obiet dia bakalan balik kita tunggu sampai Obiet balik biar kalian date sendiri aja, aku pulang kalau Obiet sudah datang,”
“Kan dia bilangnya kalau,”
“Jangan hopeless begitu, dia pasti balik lagi,”
“Aku tidak yakin,”
“Masa kamu tak yakin dengan pacarmu sendiri,”
“Aku tahu dia Kka, makanya aku bilang begitu,”
“Sudah, kita tunggu dia, kalau dia tak datang, kita berdua saja yang jalan, filmnya mulai jam berapa?,” tanya Cakka.
“Jam tujuh tiga lima,”
Cakka dan Oik melanjutkan acara makan mereka sambil menunggu Obiet. Jam sudah menunjukan pukul 19.15 WIB tapi Obiet belum datang juga. Tak beberapa lama kemudian, SMS masuk di ponsel Oik.

From: My Boy
Syg, aku ga bisa balik. Tadi pas ke sekolah malah ketemu pembina OSIS.
Dia pengen liat sejauh mana aku ngerjain proposalnya.
Jdi, aku balik rmh ambil proposal trs ke sekolah lagi.
Maaf ya Ik, aku janji kpn2 akan nebus.
Slm buat Cakka. Jgn plg telat ya.

“Kka, Obiet tidak jadi datang lagi,” kata Oik.
“Lho? Kenapa?,”
“Dia SMS, katanya ada pas dia balik ke sekolah ketemu pembina OSIS dan pengin lihat hasil kerjanya jadi dia di tahan di sana,”
“Oh ya sudah, sudah jam segini, kita harus segera ke XXI sebelum filmnya di mulai yuk,” kata Cakka sambil mengulurkan tangannya.
“Jadi, kita nonton berdua saja?,” Oik memastikan.
“Iya, tak apa kan?,”
Oik terdiam sejenak. Sebelum mengangguk dan menyambut tangan Cakka. Lalu mereka keluar dari restoran tersebut.

***

Cakka menghempaskan tubuhnya di atas kasurnya. Dia menutup matanya, flashback yang terjadi selama dia masuk SMA, sampai saat ini dia sudah berada di penghujung masa SMA berputar di kepalanya. Dia berpacaran dengan Shilla sejak awal masuk SMA. Awalnya begitu manis, dia dan Shilla layaknya kekasih yang tak terpisahkan. Dunia seakan milik mereka berdua. Tapi, semua berubah semenjak Shilla menjadi model. Intensitas mereka bertemu mulai berkurang. Shilla jadi sibuk dengan dunia modeling-nya. Dan sisa masa pacaran mereka bahkan sampai saat ini terasa hambar. Tak ada lagi hal-hal romantis seperti dulu yang mereka alami. Selalu saja ada halangan untuk mereka bertemu atau kencan berdua. Terkadang Cakka juga berpikir, mungkin Shilla memang bukan jodohnya dan sempat juga berpikir untuk mengakhiri semuanya. Dia sudah pernah mengatakan hal ini pada Oik, sahabatnya dan juga Shilla. Tapi, Oik meminta Cakka membatalkan niat itu. Dan meyakinkan Cakka kalau dia dan Shilla masih saling mencintai. Suatu saat dan entah kapan waktunya, mereka pasti akan kembali sama seperti dulu.
Bicara soal Oik, sudah hampir setahun dia dan Oik bersahabat. Oik adalah sosok gadis yang periang, sabar, enak diajak curhat dan juga kuat. Buktinya sebulan lalu saat Obiet memutuskan hubungannya dengan Oik. Dengan alasan, dia tidak ingin pacaran dulu, mau fokus soalnya sudah masuk kelas ujian. Oik terlihat tegar. Dia sama sekali tidak terlihat sedih. Bukan karena dia tidak mencintai Obiet. Cakka tahu, kalau Oik sebenarnya hancur. Tapi, dia menutupinya dengan hal-hal positif. Itu adalah cara move on yang dewasa menurut Cakka. Daripada dia melihat gadis-gadis lain yang suka galau di timeline twitter-nya saat diputusin pacar mereka. Makanya Cakka merasa sangat beruntung mendapat sahabat seperti Oik.

From: Oik
Masbro, try-out hari senin apa? jadwalku ilang x_x

To: Oik
Aku krmh kamu ya.

From: Oik
Ish, yg ditanya lain yg dijawab lain >.<

To: Oik
Iya, nnt kan aku bawa jadwal ke rumah kamu.

From: Oik
Knp sih pgn bgt ke rumah aku?

To: Oik
Kangen.

From: Oik
Hush! Nnt Shilla marah tau.

To: Oik
Kan kalau Shilla kangennya beda :p

From: Oik
Oh :p kirain hhehehe, mau dtg kapan?

To: Oik
Skrg.

From: Oik
Hah?

Cakka tidak membalas SMS Oik. Dia langsung menyimpan ponselnya di dalam sakunya. Kemudian, mengambil kunci motornya dan berlari menuju FU-nya yang terparkir di garasi. Dia segera memacu motornya menuju rumah Oik.
Tiba di rumah Oik, Cakka segera memarkir FU-nya dan mengetuk pintu rumah Oik. Terdengar deritan pintu sebelum akhirnya pintu itu terbuka. Berdiri Oik dengan rambut yang tergerai agak berantakan dan mengenakan baby doll bergambar teddy bear serta sendal boneka tweety berwarna kuning.
“Kenapa datang sekarang? Kan aku sudah bersiap-siap tidur,”
“Masih juga jam sepuluh, dan ini juga malam minggu,”
“Ngapel kek di rumahnya Shilla,”
“Yah lupa yah kamu kalau Shilla ada jadwal pemotretan sepanjang minggu berjalan ini,”
“Oh iya yah… hm, mana deh jadwalnya, aku mau bobo,” tagih Oik.
“Hm, ikut aku dulu,”
“Kemana?,”
“Jalan,”
“Tapi aku sudah pakai piyama kayak gini,”
“Ck, udaaaahh… ayoooo,” Cakka segera menarik Oik.
“Cakkaaaaaaaaa,”
“Sudah jangan bawel ikut aja,”
“Tapi tampangku memalukan kayak begini,” keluh Oik.
Cakka segera naik ke atas FU-nya. Oik menatap Cakka dengan tatapan paling mengenaskan sedunia.
“Ayo,” ajak Cakka.
Oik dengan hati-hati naik ke atas FU milik Cakka. Cakka segera mengambil kedua tangan Oik dan melingkarkan di pinggangnya. Sebelum akhirnya menyalakannya…
“Pegangan,” kata Cakka yang langsung memacu FU-nya diiringi teriakan Oik saking kagetnya karena Cakka langsung tancap gas.
Cakka dan Oik menyusuri jalan-jalan pintas ibukota dengan kecepatan di atas rata-rata. Membuat Oik memekik sepanjang perjalanannya. Terkadang kalau melewati orang-orang mereka menatap Oik dengan tatapan aneh karena memakai pakaian seperti itu. Mungkin, orang-orang sudah berpikiran aneh tentang mereka. Jangan-jangan mereka berpikir Cakka dan Oik adalah pasangan yang melarikan diri. Atau mungkin Cakka membawa anak orang kabur dari rumahnya dan diajak kawin lari. Oh gosh, Oik tak bisa membayangkan tatapan orang-orang yang ada di sekitarnya. It’s crazy.
“Cakkaaaaa… ini gilaaaaa,” teriak Oik.
“Apa?,” tanya Cakka sambil memalingkan perhatiannya dari jalan kepada Oik.
“Gilaaaa… Cakkaaa begini lebih gila lagi, lihat jalan Cakkaaaaa,” Oik memohon wajahnya tampak panik.
Cakka bukannya melihat jalan, tapi melepas tangan kirinya dari setir dan berbalik menatap Oik.
“Kamu yang lihat jalannya yah Ik, aku pengin lihat wajah kamu, kamu nanti yang arahin yah,” kata Cakka.
“Aaaaaa aku tak tahu Cakka… aaaa Cakka aduhhh aku takuuuut jangan begini dong… huaaa mama tolong,” teriak Oik.
Cakka malah tertawa. Dan masih dengan aktivitasnya memandangi Oik bukan jalan. Untung saja jalanan di sekitar situ sepi.
“Awaaaasssss,” teriak Oik sambil menutup kedua matanya dengan telapak tangannya.
Cakka segera membetulkan posisinya. Memandangi jalan lagi. Ternyata jalannya belok membuat Oik berteriak.
“Ck… Ik, tak usah seperti itu juga kali, aku sudah hafal jalanan di sini jadi tak usah panik begitu, tutup mata pun aku bisa,” kata Cakka.
“Huh! Aku yang mati ketakutan di sini,” kata Oik.
“Santai, kamu pegangannya yang kencang yah, kita masuk ke daerah yang biasa di pake buat balap liar nih,” kata Cakka.
“Trus? Kamu juga mau balap di sini?,”
“Pegangan,” kata Cakka kemudian bersiap menancap gas motornya. “Iyaaaaaaa,”
“Aaaaaaaaaaaaa,” teriak Oik.
Saat Cakka mulai memacu motornya bak seorang pembalap di sirkuit. Dia seperti tak menghiraukan Oik yang sudah hampir jantungan di belakang. Oik mengencangkan pegangannya pada Cakka dan menyandarkan dagunya pada pundak Cakka sebelum menutup matanya. Dia takut. Cakka benar-benar gila.

***

“Ik, udah dong jangan pukul-pukul terus sakit tahu,” kata Cakka karena dirinya di pukul-pukul Oik saat baru turun dari FU-nya.
“Ihh… kamu itu yah, kalau aku mati gimana? Mau tanggung jawab,” kata Oik.
“Tenang saja, kamu tak akan mati, kan buktinya sekarang masih hidup,” kata Cakka.
“Huh! Jam berapa sekarang, aku bisa di gorok bunda pergi tanpa izin pulangnya jam segini,” kata Oik.
“Jam setengah dua belas, nanti aku yang menghadap sama bunda kamu bilang aku yang ngajak kamu,”
“Hah?! Tidak! Cari masalah kamu, biar aku yang masuk sendiri,” kata Oik.
“Aku antar sampai depan pintu yah,” tawar Cakka.
Oik mengangguk. Mereka berdua berjalan beriringan menuju pintu rumah Oik. Hawa dingin mulai menyusup ke celah-celah bajunya. Entah kenapa dia baru merasakan dingin sekarang, padahal tadi di jalan dia tidak merasa kedinginan. Barulah dia sadar kalau tadi dia memeluk Cakka sepanjang perjalanan mereka. Oik terpekik dalam hatinya.
“Kenapa Ik?,” tanya Cakka heran.
“Eh… tidak… tak apa-apa,”
“Kamu kedinginan yah?,” tanya Cakka.
“Iya, sedikit hehehe,” kata Oik sambil memegang kedua lengan tangannya.
“Sori ya Ik, aku mengajak kamu dengan keadaan kayak gini,” kata Cakka ketika mereka tepat berada di depan pintu rumah Oik.
“Iya… tapi lain kali jangan lagi yah, kalau kamu lagi stress jangan mengajak aku untuk ikut stress juga yah,”
“Lho? Kan sahabat berbagi dalam suka maupun duka,”
“Tapi tidak seperti ini juga kali,”
“Hehehehe, iya deh, iya,” kata Cakka sambil mengacak poni Oik.
“Mana jadwalnya?,” tagih Oik.
Cakka kemudian mengeluarkan secarik kertas dari dalam saku celananya dan menyerahkannya pada Oik, “nih, nanti kamu sms ke aku yah jadwalnya lagi soalnya aku belum catat,” kata Cakka.
“Oke masbro, aku masuk dulu yah, kamu juga pulang tapi jangan berisik, takut bunda bangun,”
“Tunggu Ik,” cegat Cakka memegang tangan kiri Oik sebelum Oik berhasil memutar gagang pintunya.
Deg. Ya Tuhan sentuhan ini lagi.
Oik merasa saat Cakka menyentuh tangannya. Aliran darahnya mengalir lebih cepat dari biasanya. Hawa dingin yang tadi terasa mulai mereda. Terasa terjadi pembakaran di dalam tubuhnya. Seiring itu pacuan jantungnya lebih cepat dari biasanya. Wangi parfum Cakka yang khas sudah sedari tadi menari-nari di hidungnya. Entah kenapa, malam ini perlakuan Cakka kepadanya beda dari biasanya. Oik menatap Cakka yang sedang menatapnya. Mata sayunya menyiratkan sesuatu yang tidak bisa dibaca Oik. Tatapan teduhnya itu menghangatkan malam itu. Keduanya sama-sama terhipnotis saling tatap. Angin malam yang membelai kulit mereka berdua tak memberi efek apa-apa pada mereka. Untuk beberapa saat mereka bergeming.
Oik mulai merasa pipinya hangat. Bertatapan dengan Cakka seperti ini kenapa bisa membuatnya malu setengah mati? Dia ingin memalingkan wajahnya agar Cakka tak melihat perubahan raut wajahnya. Tapi, dia tak mau meninggalkan mata sayu nan teduh milik Cakka.
Kejadiannya begitu cepat. Sebelum Oik sadar ada sesuatu yang empuk dan basah mendarat di bibirnya. Sebuah kecupan di bibirnya. Cakka menjauhkan kepalanya setelah melakukan hal itu. Tapi matanya masih menatap Oik. Melihat reaksi yang akan dilakukan Oik setelah dia mengecupnya di bibir. Tapi, Oik terdiam dia tidak melakukan respon apapun. Dia hanya membalas dengan tatapan paling innocent sedunia. Cakka tersenyum kecil melihatnya. Diraihnya tubuh Oik mendekat ke arahnya. Kemudian menenggelamkan gadis itu ke dalam pelukannya. Dikecupnya ubun-ubun kepalanya. Oik masih tetap bergeming. Tak beberapa lama kemudian dia membalas dengan melingkarkan tangannya pada pinggang Cakka.
Dentuman arloji Oik bahkan seakan tak terdengar di telinga mereka masing-masing. Mereka terlalu larut di dalam pelukan hangat itu. Cukup lama mereka berpelukan sebelum Cakka melepaskannya.
“Ehem, aku… aku pulang dulu yah Ik,” kata Cakka lalu melangkan agak menjauh dari Oik sebelum dia berbalik…
“Cakka,” panggil Oik.
“Ya?,” Cakka mengernyit.
“Eh… itu, hm cuma mau bilang…ee… hati-hati di jalan yah,” kata Oik.
Cakka tersenyum, “iya, makasih yah Ik, aku pulang dulu, salam buat bunda kamu, nite.”
Bukannya pergi, Cakka malah mendekat ke arah Oik. Oik heran, dahinya berkerut. Kenapa Cakka tidak pergi malah berbalik ke arahnya? Setelah tiba di depan Oik, Cakka mengecup pipinya setelah itu meletakan pipinya di depan bibir Oik, sebelum bibir Oik menempel di pipi Cakka.
“Daaa,” ucapnya sambil melangkah pergi.
Dengan cepat Oik berbalik dan segera membuka pintu rumahnya. Masuk ke dalam dan dengan langkah cepat menuju kamarnya. Dihempaskannya tubuhnya di atas spring bed miliknya. Pikirannya kini kacau. Apa yang dia dan Cakka lakukan tadi?  Apa ini dinamakan persahabatan?

***

Ashilla mybest calling…
Oik menatap layar ponselnya yang sedang berdering. Dia segera memencet tombol hijau pada layar ponselnya dan segera berbicara dengan Shilla yang berada di seberang sana.
“Hallo, ada apa Shill?”
“Hallo, Oik aku dan Cakka lagi on the way ke rumahmu nih,”
“Hah? Buat apa?,”
“Gini, kan lusa UN, jadi sebelum UN kita jalan dulu lah, refreshing gitu jangan stress buat mikirin UN,”
“Ck, bukannya belajar malah jalan, aku nggak ganggu acara kamu dengan Cakka nih?,”
“Hahaha… nggak kok, kamu kan sahabat aku dan Cakka, jadinya kita jalan bertiga nggak apa-apa dong, ayo buruan gih ganti baju kalau belum,”
“Iya deh iya,”
“Buru yah, kita udah dekat rumah kamu,”
“Oke,”
“Sip deh,”
Oik mengakhiri percakapannya. Dengan malas dia turun dari tempat tidurnya. Sedari tadi dia hanya berbaring di spring bed­-nya sambil membaca buku-buku pelajaran. Dia segera membuka lemarinya mengambil beberapa potong pakaian lalu mengganti pakaiannya.
Tepat setelah Oik berganti pakaian bell rumahnya berbunyi. Dengan gontai dia membuang langkahnya keluar. Di ruang tamu Cakka dan Shilla telah duduk. Bundanya berdiri tak jauh dari situ. Tadi bundanya yang membukakan pintu untuk Cakka dan Shilla masuk.
“Bun, Oik izin ya mau pergi sama Cakka dan Shilla,” kata Oik.
“Mau kemana sayang? Bukannya hari senin UN kamu nggak belajar?,”
“Gini tante, kita malah mau pergi ke rumah guru untuk belajar,” sambung Shilla.
“Oh… ya sudah pergi saja, tapi pulangnya jangan malam-malam yah,”
“Iya Bunda,” jawab Oik.
“Ya udah tan, Shilla, Oik dan Cakka pamit pergi dulu yah,” kata Shilla.
Oik mencium tangan bundanya sebelum pergi dengan Cakka dan Shilla. Mobil mereka menuju ke sebuah tempat karaoke. Setelah memesan tempat mereka masuk ke dalamnya dan mulai berkaraoke. Mereka menyanyikan lagu-lagu favorit mereka masing-masing. Kadang solo, kadang duet, kadang juga trio. Kebetulan ketiganya hobi bernyanyi, sehingga mereka enjoy di dalam ruang karaoke itu.
“Kka, Ik… Aku ke toilet ya bentar, kalian nyanyi dulu tiba-tiba perutku mules nih,”
“Oh, Oke Shill jangan lama-lama yah,” kata Oik.
Shilla pun keluar meninggalkan Cakka dan Oik berdua di dalam ruangan itu.
“Ik, mau nyanyi lagu apa?,”
“Terserah deh,”
“Masa terserah sih? Mana ada lagu terserah,”
“Ada kok… terserah kali ini sungguh aku takkan peduli, aku tak sanggup lagi mulai kini semua terseraaaaaahh,”
“Oh jadi sekarang main terserah-terserahan yah? Oke,” kata Cakka sambil melihat-lihat lagu yang pada komputer kecil yang ada di depannya, “hm ini aja, kita duet ya,” kata Cakka sambil menyerahkan mic ke tangan Oik. Oik mengambilnya, kemudian matanya tertuju pada layar LCD yang ada di hadapan mereka.
Seluruh nafas ini.
Musik pun di mulai dan mereka mulai menyanyikan lagu tersebut. Saat part berdua terjadi kontak mata antara keduanya. Mata sayu nan teduh milik Cakka bertemu dengan mata bening milik Oik. Flashback malam itu tiba-tiba secara otomatis terputar di dalam benak Oik. Oik segera memalingkan pandangannya ke layar LCD agar dia dapat menjauhi tatapan Cakka itu. Tatapan itu membuatnya merasa sesuatu yang berbeda dari dalam sana. Oik berusaha fokus pada nyanyiannya agar dia tidak teringat lagi kejadian itu sampai lagunya selesai.
“Suara kamu bagus,” puji Cakka.
“Tak usah berlebihan begitu Cakka,” kata Oik.
“Aku tidak berlebihan tapi benar-benar bagus,”
“Shilla kenapa lama yah?,” Oik mengalihkan pembicaraan.
Cakka hanya mengangkat kedua pundaknya. Dia mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya. Entah apa yang dilakukannya. Hanya sebentar saja sebelum akhirnya dia memasukkannya kembali.
“Oik,” panggil Cakka.
“Hm,” gumam Oik tanpa menoleh sedikitpun. Matanya tertuju pada layar LCD yang sedang menampilkan promo-promo tempat karaoke tersebut.
“Lihat kemari dong,”
“Ih Cakka, aku lagi seru nonton promo tempat karaoke ini,” kata Oik ceplas-ceplos. Tak mungkin dia mengatakan aku tak mau melihat matamu.
“Hah?,” Cakka kaget dengan jawaban Oik yang sungguh tidak masuk akal. Dia segera memegang dagu Oik dan memutar kepala Oik menghadapnya, “memang apanya yang menarik dari promo itu dibandingkan aku?,” tanya Cakka.
Oik bingung mau menjawab apa. Karena dibandingkan promo itu tentu saja lebih menarik Cakka. Itu kan hanya alibinya untuk tidak bertatapan dengan Cakka. Kalau begini caranya mau tidak mau Oik harus bertatapan dengan Cakka.
Cakka masih memegang dagu Oik. Menatap Oik yang terlihat begitu polos di hadapannya. Ah, gadis ini harus bertanggung jawab. Tidak tahukah dia? Gara-gara dia perasaannya pada Shilla mulai memudar? Dan dia harus menganalisis perasaannya yang sebenarnya?
“Cakka… jangan menatapku seperti itu,” kata Oik.
“Kenapa?,”
“Ya… hm, tidak apa-apa sih sebenarnya… hanya jangan saja,”
Cakka malah tersenyum. Dan mendekatkan wajahnya semakin dekat pada wajah Oik. Mata Oik membesar serta mengerutkan keningnya. Napasnya tertahan. Apa yang akan dilakukan Cakka? Oh God, jangan itu lagi… mohon Oik dalam hatinya.
Terlambat. Bibir Cakka telah mendarat di atas bibirnya. Ciuman yang manis. Oik yang awalnya kaget dan tidak membalas mulai menikmatinya. Matanya terpejam kala Cakka memulai lumatan-lumatan lembut di bibirnya. Lidahnya berusaha menerobos tapi tetap dengan lembut. Sehingga Oik terbuai dan mulai membalas ciuman Cakka. Semua yang dilakukan Cakka lembut tapi mendamba.
Keduanya melewati detik demi detik itu dengan pengalaman yang berbeda sebelum…
“KALIAN!,” teriakan Shilla mengakhiri segalanya.

***

Oik mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Acara promnite kelulusan sekolahnya itu tampak begitu sangat ramai. Lalu lalang manusia dengan pakaian terbaiknya seperti parade fashion show di hadapan Oik. Jam sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB. Oik menghela napasnya lalu meneguk minuman yang ada di tangannya. Dari jauh, dia melihat Shilla sedang bersama Sivia dan Ify. Semenjak kejadian itu, Shilla jadi menjauh darinya. Dia jadi dekat denga Sivia dan Ify. Dan gara-gara kejadian itu, Cakka dan Shilla putus. Oik jadi tidak enak pada mereka. Maka dari itu, Oik juga memutuskan menjauh dari mereka.
Oik meletakan minumannya di atas meja. Lalu menyampirkan tasnya di bahunya. Dia hendak keluar dari situ. Dia sangat tidak nyaman berada di situ. Dilangkahkan kakinya keluar dari ruangan tersebut. Dia mengambil langkah menjauhi café tempat dilaksanakannya promnite sekolahnya. Sekarang dia bingung mau pulang dengan apa? Apa masih ada taksi jam segini?
M3 berhenti di hadapannya. Kaca mobil di turunkan. Seorang lelaki dari dalam mobil memanggilnya.
“Oik,”
“Cakka,”
Napas Oik tercekat. Kenapa lelaki ini bisa muncul di hadapannya lagi?
“Mau pulang? Aku antar,” kata Cakka sambil membuka pintu mobilnya dan keluar mendekati Oik.
“Aku pulang sendiri saja,”
“Ayolah Oik… jangan menjauhiku, jam begini taksi sudah jarang lebih aman kalau aku yang mengantarmu… tak baik kalau seorang gadis berjalan sendiri malam-malam begini,” kata Cakka.
Oik sudah tidak tahu berkata apalagi. Gerimis mulai menyapa mereka. Titik-titik air itu sudah menyentuh kulit keduanya.
“Tuh, sudah mau hujan juga, ayo…,” kata Cakka sambil berjalan membukakan pintu untuk Oik.
Dengan terpaksa Oik masuk ke dalam mobil Cakka. M3 itu melaju menuju rumah Oik. Tiba di rumah Oik. Cakka dan Oik keluar dari mobil. Cakka mengantarkan Oik menuju pintu rumahnya.
“Hm… kamu tidak mau masuk dulu?,” tawar Oik.
“Boleh deh,” kata Cakka.
Oik membuka pintu rumahnya. Mereka masuk ke dalam rumah Oik yang tampaknya sepi. Cakka duduk di sofa ruang tamu. Sementara Oik membuka higheels yang sedari tadi dikenakannya. Lalu ikut duduk di sofa.
“Ik… bunda kamu mana? Kok kayaknya sepi,”
“Bunda lagi pulang kampung ke Salatiga, baliknya lusa,”
“Oh… jadi kamu sendiri?,”
“Iya,”
“Oh ya Ik, ayah kamu mana sih? Perasaan dari pertama kali aku datang ke rumah ini sampai sekarang aku tidak pernah melihat ayahmu,”
Raut wajah Oik tiba-tiba berubah drastis, senyum sinis membusur di bibirnya, “aku tidak punya ayah, aku tidak kenal sosok ayahku, dia lelaki yang paling tidak bertanggung jawab di dunia, bagiku bundaku itu juga ayahku, aku bahkan tak mau tahu siapa ayahku,”
Cakka sudah tidak meneruskan pembicaraan itu lagi. Dia melihat ada kebencian di mata Oik terhadap ayahnya itu. Siapa sih pria yang menelantarkan Oik dan bundanya?
Keheningan antara keduanya tercipta. Sebelum Oik memulai pembicaraan yang baru.
“Kka, kamu mau lanjut kuliah dimana?,”
Cakka menarik napasnya, “Yogyakarta, kamu sendiri?,”
“Di Jakarta saja, jadi kamu mau berangkat ke Yogyakarta,”
“Iya… besok, makanya aku tidak ikut promnite tadi,”
“Oh…,”
Hening kembali. Keduanya bingung mau memulai percakapan darimana lagi. Cakka menarik napasnya. Sepertinya ini saat yang tepat walau terlambat untuk mengatakan yang sebenarnya pada Oik.
“Oik,”
“Hm,”
“Lihat aku dong,”
“Aku tak mau kejadian waktu itu terulang lagi kalau aku menatapmu,” Oik tetap tak mau memalingkan pandangannya menatap Cakka. Tatapannya lurus.
“Tapi ini kan situasinya beda, oke… aku tahu aku waktu itu salah, aku masih pacaran dengan Shilla dan melakukan hal itu padamu, tapi sekarang kan aku sudah tidak dengan Shilla,”
“Oh… jadi begitu,” Oik tersenyum sinis.
“Lagi pula kamu menikmatinya,”
Oik terdiam mendengar kata-kata Cakka barusan. Pipinya memanas mengingat kejadian itu lagi. Ah! Tapi Cakka gila mengatakan seperti itu padanya.
“Kamu marah yah Ik? Maaf… tapi… hm, aku… aku sayang sama kamu Ik… aku cinta sama kamu lebih dari sekedar sahabat… dan aku mulai menyadarinya saat malam sebelum aku membawamu keluar dengan piyama… aku sadar Ik, yang aku cinta kamu bukan Shilla. Kamu yang ada saat aku lagi butuh seseorang yang bisa menguatkanku, kamu yang selalu menemaniku, kamu yang selalu dengar curhatan aku, semuanya kamu bukan Shilla Ik,”
“Tapi aku melakukannya karena Shilla Kka… Shilla yang menyuruhku, jadi Shilla yang sebenarnya peduli sama kamu bukan aku Kka!, kalau bukan Shilla aku tidak akan peduli denganmu, aku tidak setulus yang kamu kira Kka,”
Cakka memegang kedua lengan Oik lalu memutar Oik ke arahnya, “tatap mata aku kalau kamu benar-benar tidak peduli kepadaku, mata tak bisa berbohong!,”
Oik menatap mata Cakka. Ah! Mata sayunya itu membuat Oik tak bisa berkata-kata lagi. Ah… tatapannya itu. Tak terasa bulir airmata mengalir di pipinya. Tiba-tiba Oik terisak. Perasaan aneh merasuk ke dalam dirinya. Terasa sesak. Cakka segera menenggelamkan Oik ke dalam pelukannya. Dibelainya rambut Oik. Berusaha menenangkan gadis yang terisak di pelukannya itu.
“Aku… aku juga sayang kamu Kka… aku juga cinta kamu… tapi, aku… sadar, kamu bukan milikku, kamu milik Shilla sahabatku… aku tidak mungkin merusak hubungan kalian… you aren’t mine, you’re hers... we just friends,” kata Oik sambil terisak di dalam pelukan Cakka.
Cakka melepas pelukannya dan menghapus bulir airmata di pelupuk mata Oik dan juga pipinya, “tapi sekarang aku sudah tidak dengan Shilla, dan aku mencintaimu sepenuh hatiku Oik,”
Oik terdiam. Perasaan dalam hatinya meluap-luap. Entah apa yang harus dikatakannya. Sebelum pikirannya benar-benar jernih Cakka mendaratkan kecupan di dahinya, di pipinya, di sudut bibirnya. Sebelum akhirnya melumat bibir Oik. Keduanya terbuai indahnya malam itu.
Dan entah siapa yang menuntun siapa, tahu-tahunya Cakka sudah membopong Oik menuju salah satu kamar di rumahnya Oik. Keduanya membunuh malam itu, berdua. Di situ.
Satu hal yang Oik ingat saat terbangun di pagi hari adalah kelembutan Cakka. Lelaki yang kini terbaring di sampingnya dan tertidur pulas. Sesaat dia panik, dia tahu apa yang dilakukan mereka tadi malam. Sebuah kesalahan. Tubuh Oik masih tertutup selimut. Oik menyentuh Cakka hendak membangunkannya.
“Kka… bangun… bukannya hari ini kamu berangkat ke Yogyakarta,”
Cakka menggeliat dan mendesah. Di lihatnya jam dinding sudah menunjukan pukul 07.12 WIB. Cakka menatap Oik yang ada di sampingnya. Dia langsung menyadari kesalahan yang diperbuatnya pada Oik. Dia menatap Oik, ingin melihat apakah ada penyesalan di sana? Tapi, tatapan gadis itu benar-benar tanpa penyesalan. Gadis ini benar-benar tulus menyerahkan yang berharga dalam dirinya untuk Cakka.
Cakka menyingkap selimutnya, dirinya hanya mengenakan boxer. Melihat Cakka seperti itu membuatnya membayangkan hal gila yang mereka lakukan tadi malam hupfh. Untungnya, Cakka cepat-cepat memakai pakaiannya kembali. Setelah selesai, dia pergi ke tepi tempat tidur Oik.
“Aku pergi dulu, baik-baik ya di sini… sampai ketemu lagi…,” Cakka menatap Oik dalam-dalam, “dan… maaf,” itu kata terakhir yang terucap dari mulut Cakka sebelum mengecup kening Oik dan kemudian meninggalkan Oik di kamar itu.
Ah… kesalahan ini… tak akan terlupa…

***

Cakka membuka pintu sebuah apartemen, dia menyeret koper masuk ke dalamnya. Diikuti Oik dan Acha yang mengekor di belakangnya.
“Selama di Yogyakarta, kalian tinggal di sini dulu yah, ini apartemenku dulu, tapi karena aku sudah pindah ke rumahku yang baru jadi apartemen ini tidak di gunakan, aku pikir dari pada kalian tinggal di hotel mending di sini, oh ya aku juga sudah mengutus dua orang pembantu dari rumahku untuk memenuhi segala kebutuhan kalian selama di sini,” kata Cakka.
Kemudian, datang 2 orang pembantu yang keduanya perempuan di hadapan Cakka, Oik dan Acha, “nah kenalkan ini pembantu kalian selama di sini, ada Mbok Atun dan Mpok Depi,” kedua pembantu itu menunduk tanda hormat.
“Oh, yaudah mana kamar gue, udah capek nih gue, mau istirahat dulu,” kata Acha.
“Mbok Atun antar Acha ke kamarnya,” kata Cakka.
“Ayo non,”
Acha pun di antar Mbok Atun ke kamarnya. Bersama Mpok Depi yang kembali lagi ke belakang. Tersisa Cakka dan Oik di situ.
“Makasih ya Cakka, maaf sudah merepotkan,” kata Oik.
Never mind, oh ya Ik, ini sudah jam dua, kita punya janji loh sama Pak Sudarma untuk menyelesaikan proyek kita jam setengah tiga, kita harus berangkat sekarang, kamu mau ganti baju dulu apa langsung berangkat?,” tanya Cakka.
“Langsung berangkat aja yuk, takutnya telat nanti proyeknya batal lagi,” kata Oik.
“Oh, ya sudah ayo,”
Cakka menggandeng tangan Oik keluar dari pintu apartemennya menuju mobil Oik.
Deg, sentuhan itu lagi…

***

Tujuan Oik datang ke Yogyakarta adalah mengadakan kerja sama antara perusahaan tempat Oik bekerja dengan perusahaan milik Cakka. Oik sebagai sekertaris diutus mewakili pemilik perusahaan yang berhalangan hadir karena ada urusan di luar negeri. Dari situlah Cakka dan Oik kembali berhubungan. Awalnya Oik tidak tahu bahwa pimpinan perusahaan yang ada di Yogyakarta adalah Cakka. Namun, setelah Oik menghubunginya barulah dia tahu bahwa kini dia berhubungan dengan seseorang yang sangat penting di masa lalunya. Seseorang yang 18 tahun lalu menjadi bagian dalam hidupnya. Oik akan berada di Yogyakarta selama 1 bulan. Setelah itu dia akan kembali ke Yogyakarta. Dan selama di Yogyakarta dia akan intens berhubungan dengan Cakka tentang pekerjaan mereka. Oik akan sering berada di kantor Cakka karena pekerjaan ini.
Seperti saat ini, mereka sedang berada di ruang tamu apartemen dan sibuk dengan laptop mereka masing-masing. Sejumlah berkas menumpuk di atas meja yang terlihat semrautan. Tiba-tiba pintu apartemen di buka. Acha muncul dari baliknya, gadis itu terlihat acak-acakan. Oik kaget melihat kondisi Acha seperti itu. Seharusnya Oik sudah biasa mendapati Acha dengan keadaan seperti itu. Karena dari Jakarta pergaulan Acha sudah bebas seperti itu. Tapi, Acha kan orang baru di Yogyakarta tapi sudah pulang dengan keadaan seperti itu.
Oik meninggalkan laptopnya, mendekati Acha. Bau alkohol tercium saat Oik berada di dekat Acha. Bau rokok juga bercampur di antara bau alkohol.
“Acha, darimana kamu?,” tanya Oik.
“Lo nggak usah ikut campur dalam kehidupan gue deh,”
Oik menahan napas sakit hati saat kata-kata itu meluncur dari mulutnya Acha, “tapi Acha, kamu datang kemari bersamaku, kebiasaan buruk di Jakarta jangan kamu bawa di sini,” kata Oik berusaha sabar terhadap kelakuan Acha.
“Udah… lo nggak akan pernah tahu rasanya jadi gue, lo nggak pernah tahu kan gimana kehidupan gue di dunia ini… karena lo nggak akan bisa pernah ngerasain jadi gue,”
Oik hendak memeluk Acha, tapi Acha malah menghindar. “jangan peluk-peluk gue,”
Oik menghela napasnya, Acha sungguh keterlaluan padanya, “Acha sayang, kalau aku salah aku minta maaf, tapi kamu boleh nggak sekali-kali mendengarkan perkataanku, walau bagaimanapun aku ini—,”
“Udah lah gue tahu lo siapanya gue... Gue tahu banget... Udah! Gue capek gue mau tidur,” Acha segera mengambil langkah menjauh dari Oik menuju kamarnya dan membanting pintu keras-keras.
Oik kembali ke depan laptopnya, dia menghela napasnya.
“Maaf ya Kka, Acha memang seperti itu, aku sudah berusaha mendidiknya tapi dia selalu tak mau mendengarkan kata-kataku,”
“Seharusnya Acha tidak seperti itu, apalagi kamu kan ini kakaknya, sebenarnya dia ada masalah apa sih?, sepertinya dia frustasi berat,”
Oik menghela napasnya dan mengangkat kedua bahunya, ”entahlah dia tak mau cerita,”
“Oh ya, maaf ya kalau ikut campur, Acha itu adik tiri kamu kan? Bukannya kamu dulu—,” belum sempat Cakka melanjutkan kata-katanya Oik memotong.
“Iya... Acha... Acha... Adik tiriku,” jawab Oik.
Cakka mengangguk-angguk, ”aku ingin deh berteman dengan Acha, aku mau buat dia berubah, boleh tidak Ik? Hm, besok kamu bawa Acha ke rumahku, mumpung besok weekend dan aku tidak ada kerjaan, jadi pengin sharing bareng Acha, siapa tahu dia mau terbuka padaku,”
Oik terdiam kaget dengan penawaran Cakka, ekspresi Oik tiba-tiba berubah. Dia menghentikan aktivitasnya dengan laptop yang ada di hadapannya.
“Gimana? Boleh ya Ik?,”
“Percuma Cakka sama aku saja dia tak mau terbuka, apalagi sama kamu, dan nanti Acha akan merepotkan kamu, kamu belum tahu dia yang sebenarnya Kka,”
“Aku tahu, sebenarnya dia anak yang baik, hanya saja ada sesuatu yang membuatnya seperti itu, boleh ya Ik?,”
“Aku tanya Acha dulu,”
“Oke, aku tunggu besok di rumah,”
Mereka kembali sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Terkadang terjadi percakapan kecil tentang pekerjaan mereka. Beberapa menit kemudian mereka menyudahi aktivitas mereka karena sudah larut malam. Cakka harus kembali ke rumahnya untuk istirahat.
“Oik,” Panggil Cakka.
“Ya?,” Oik menjawab tapi masih sibuk merapikan berkasnya. Dia sengaja menghindari kontak mata dengan Cakka.
“Kenapa sampai sekarang kamu belum menikah?,” tanya Cakka tiba-tiba membuat aktivitas yang Oik dari tadi kerjakan terhenti.
“Kamu sendiri kenapa belum nikah?,” Oik balik bertanya.
“Ya, aku kan tanya sama kamu duluan, kenapa balik nanya,”
“Karena aku belum menemukan seseorang yang tepat untuk menikah denganku,”
“Oh ya, memangnya kamu belum punya pacar ya?,”
“Sepertinya itu di luar pekerjaan kita,”
“Iya sih, tapi aku pengin tahu aja, kalau tak boleh juga tak apa,”
“Shilla apa kabar?,” Oik mengalihkan pembicaraan.
“Shilla? Dia baik sepertinya, dia kan sudah menikah Ik, memangnya kamu tak tahu?,”
“Tidak, aku tak tahu dia tak mengundangku,”
“Masa?,”
Oik mengangguk, “mungkin dia masih marah padaku,”
“Jangan berpikiran negatif Ik, kamu dan dia kan udah lama tidak saling kontak,”
Cakka berdiri dari tempat duduknya. Oik ikut berdiri juga. Cakka melihat arlojinya sudah menunjukan pukul 11.06 WIB, “sudah larut, aku harus pulang, sampai ketemu besok ya Ik, selamat malam,” kata Cakka sebelum melangkah keluar dari apartemen.

***


“Lo mau bawa gue kemana sih?,” tanya Acha saat di dalam mobil bersama Oik.
“Ke rumahnya Cakka,”
“Gue harus ikut gitu? Kan lo sama Cakka yang ada urusan, kenapa bawa-bawa gue ke sana juga?,”
Oik menghela napasnya kentara, ”Cakka pengin ketemu sama kamu,”
“Gue?! Nggak salah gitu dia?,”
Oik tidak menjawab, dia fokus terhadap jalan yang ada di hadapannya.
“Lo sama Cakka kalau gue lihat ya, kayak ada sesuatu gitu,”
“Yah, kita kan partner kerja,”
“Bukan yang itu, kayak ada apa-apanya deh,”
“Sudah ya Cha, jangan berisik aku lagi nyetir,”
“Ck,” keluh Acha, lalu dia mengambil novel yang ada di pangkuannya dan melanjutkan membaca. Membiarkan Oik fokus pada kemudinya.
Mereka tiba di sebuah rumah megah bertype klasik. Cat rumahnya berwarna broken white. Mobil mereka masuk ke dalam halaman yang di buka oleh seorang security. Berhenti tepat di depan teras rumah. Oik dan Acha turun dari dalam mobil dan menuju pintu rumah. Oik memencet bell rumah. Pintu berderit sebelum muncul wanita paruh baya dari balik pintu.
“Permisi, Cakka ada?,” tanya Oik.
“Oh Tuan Cakka lagi di taman belakang, mau saya panggilkan?,”
“Hm, gini aja Bi, gimana kalau bibi tunjukan jalan aja, biar kami yang ke sana,” kata Oik.
“Oh ya, mari ikut saya,”
Pembantu Cakka menuntun Oik dan Acha menuju taman belakang rumah Cakka.
“Di sana, mungkin Tuan Cakka lagi nyiram tanaman peliharaannya,” kata Pembantu Cakka.
“Oke, biar saya saja yang ke sana, makasih ya Bi,”
“Oke sama-sama, saya permisi dulu,”
Oik dan Acha berjalan melewati taman belakang Cakka. Taman ini terlihat rapi dan bersih. Banyak bunga-bunga dan tanaman lain yang memperindahnya.
Langkah Oik tiba-tiba tehenti. Napasnya tercekat. Pasokan oksigen ke tubuhnya seakan berkurang. Saat melihat seorang lelaki yang hanya mengenakan boxer dan sedang asyik menyiram tanaman. Lama Oik terdiam. Acha jadi bingung melihat Oik. Cakka yang baru sadar kalau di belakangnya sedang ada orang segera berbalik. Saat Cakka berbalik kaki Oik terasa bergetar, dia seakan tak mampu menahan beban tubuhnya.
Ah! Memory itu lagi...
“Oik, Acha... Sudah datang, eh maaf ya, ini kebiasaan aku tiap weekend jadi maaf ya kalau kalian datang malah disambut sama pemandangan yang tidak mengenakan seperti ini, aku...ganti baju dulu yah, kalian silakan tunggu di ruang tamu,” kata Cakka mematikan keran air yang mengalir. Lalu berjalan masuk ke dalam diikuti Acha dan Oik.
Tak beberapa lama kemudian Cakka kembali dengan mengenakan kaos oblong dan celana gombrang. Cakka terlihat sangat beda dari pertama kali Oik bertemu dengannya di bandara.
“Hm, Kka, aku... Cuma mau bawa Acha kemari, aku harus pergi ada yang harus ku kerjakan,” kata Oik kemudian berdiri.
“Lo biarin gue sama dia?,” kata Acha ogah-ogahan.
Oik mendekati Acha lalu mengelus rambutnya, “dia nggak akan macam-macam sama kamu kok, dia mau berteman denganmu,” kata Oik matanya sedikit berkaca-kaca.
“Trus ngapain lo mau nangis gitu? Kayak gue mau di jual,” kata Acha.
“Nggak! Jangan pernah berkata seperti itu Acha,” kata Oik.
“Tapi, lo nggak jawab pertanyaan gue!,”
“Sudahlah, aku harus pergi sekarang, kamu baik-baik sama Cakka, dia nggak bakal ngapa-ngapain kamu, dia cuma pengin temanan sama kamu, Kka, aku titip Acha ya, kalau ada apa-apa kamu telepon aku,” kata Oik.
“Oke,” kata Cakka.
Oik melangkah pergi meninggalkan Acha dan Cakka di situ. Acha masih berdiri menatap kepergian Oik.
“Duduk,” suruh Cakka.
Acha memalingkan pandangannya pada Cakka yang sedang duduk sambil membaca sebuah koran.
“Apa maksud lo manggil gue kemari?,” selidik Acha.
“Kan Oik sudah bilang kan aku pengin temanan sama kamu,” kata Cakka.
“Lo sadar nggak umur lo udah 35 tahun, lo mau temanan sama gue yang masih 17 tahun gitu?,”
“Yap, emangnya nggak boleh? Berteman kan bebas sama siapa siapa saja nggak mandang usia,”
“Ya tapi aneh aja lo mau temanan sama gue, emang nggak ada gitu orang seumuran lo yang mau temanan sama lo,”
“Aku punya banyak teman dari berbagai usia kan nggak apa-apa kalau nambah kamu,”
“Ck, lo aneh,”
“Nggak kok,” kata Cakka sambil meletakan koran yang sedari tadi dibacanya.
Dia menatap Acha yang menatapnya dengan tatapan yang aneh.
“Kamu tahu masak?,”
“Nggak! Nyentuh dapur aja gue ogah,”
“Perempuan itu harus tahu masak, yuk,” Cakka memegang tangan Acha hendak menariknya.
“Tunggu...tunggu, kita mau kemana?,” tanya Acha.
“Masak,” kata Cakka lalu menariknya menuju dapur.
Tiba di dapur Cakka segera menuju kulkas mengambil bahan-bahan yang diperlukan untuk memasak. Acha cuma menatapnya sambil mengerutkan keningnya. Cakka menyerahkan celemek ke tangan Acha. Cakka juga mengenakan celemeknya. Acha tidak tahu cara mengenakan celemek akhirnya Cakka membantunya.
“Oke Acha, kita mulai masaknya, untuk kita makan siang ini,”
“Ih lo itu keras kepala ya, gue bilang gue nggak tahu masak,”
“Kan sudahku bilang akan aku ajarkan,”
“Ck,”
Mereka pun memulai acara masak mereka. Cakka mengajarkan Acha cara pegang pisau, cara memotong, cara menyalakan kompor dan lain sebagainya. Awalnya Acha masih kaku, tapi lama kelamaan dia bisa juga.
Begitu pun dengan menggoreng. Acha kadang takut kena minyak panas. Jadi terkadang berteriak-teriak karena takut terpancar minyak panas. Cakka hanya tertawa melihat kelakuan gadis itu.
Kesal karena Cakka menertawakannya, Acha mengambil tepung terigu dan mengoleskannya di pipi Cakka. Cakka ikut membalasnya, terjadi perang tepung terigu antara Acha dan Cakka. Dan membuat mereka mandi tepung.
“Udah...udah kapan selesainya kalau kita main-main begini,” kata Cakka.
“Makanya lo jangan tertawain gue,”
“Iya deh iya,”
Merekapun melanjutkan acara masak mereka. Beberapa jam mereka memasak akhirnya makanan yang mereka masak pun selesai. Pembantu Cakka membantu mereka meletakan masakan di atas meja makan.
Cakka dan Acha kemudian duduk di sofa ruang tamu lagi setelah selesai memasak.
“Huh! Capek juga, seru juga yah ternyata masak,”
“Iya, nggak rugi kan aku mengajarkanmu masak,”
“Iya,”
“Jadi sekarang aku sudah bisa jadi temanmu kan?,”
“Ya, bolehlah kayaknya nggak buruk juga temanan sama lo,”
“Sip, kan sekarang kamu temanan sama aku, jadi aku mau tanya yah, kenapa kamu begitu sama Oik?,”
“Gue kayak gimana?,” Acha mengernyit menatap Cakka.
“Kayak tadi malam, sepertinya kamu tidak mau mendengarkan Oik dan kata Oik kamu tiap hari berkelakuan kayak tadi malam?,”
“Oh...itu, udah lah biarpun gue cerita, lo tetap nggak bakalan ngerti tentang gue,”
“Memangnya kamu kenapa?,”
“Lo nggak kan pernah ngerti gimana jadinya anak yang dihina sejak kecil,”
“Dihina bagaimana?,”
“Udah lah itu bikin sakit hati kalau gue ingat-ingat, yaudahlah lo masih tetap mau kan jadi teman gue? Jadi jangan tanya-tanya lagi!,”
“Oke, ya sudah, ayo kita makan dulu sudah saatnya makan siang,” kata Cakka.
Mereka pun menuju meja makan dan menikmati makanan yang mereka buat bersama.

***

To: Acha
Acha sayang, kamu dimana?

From: Acha
Gue lagi jln sama Cakka.

To: Acha
Oke, hati-hati ya di jln.
Jgn nakal.

From: Acha
Gue udh bkn anak kcl!
Lo nggak ush pringatin gue!
Gue tahu!

Oik menghela napasnya melihat balasan SMS Acha itu. Dia tak habis pikir kenapa Acha jadi anak seperti itu. Padahal dalam keluarganya tidak pernah diajarkan membangkang.
Belakangan ini, Acha jadi sering jalan dengan Cakka. Sudah 3 minggu mereka di sini dan hampir setiap Cakka punya jam kosong pasti dia jalan dengan Acha. Begitupun hari ini, ada perasaan cemas dalam hati Oik. Dia sangat cemas tentang Acha dan Cakka. Dan Acha memang semenjak kembali dari rumah Cakka waktu itu. Sudah jarang keluar malam dan mabuk-mabukan. Bahkan dia juga sudah jarang merokok. Acha berubah sejak saat itu. Entah apa yang Cakka lakukan padanya. Padahal sudah sejak lama Oik ingin merubah kebiasaan buruk Acha itu tapi tak bisa. Kenapa untuk Cakka terlihat mudah? Oik menghela napasnya terasa berat, seperti ada sesuatu yang sesak.
Tok...tok...tok ketukan pintu. Oik segera membuka pintu apartemennya. Cakka dan Acha berdiri di luar.
“Cakka suruh gue ngajak lo di jalan-jalan kita hari ini,” kata Acha.
Oik mengernyit.
“Udah lo nggak usah bingung, ayo...,” Acha menarik tangan Oik menyeretnya keluar.
Mereka bertiga menuju mobil Cakka. Acha duduk di samping Cakka sedangkan Oik di belakang. CR-V Cakka melaju menuju sebuah pasar malam. Mereka bertiga turun di situ.
Acha berlari duluan masuk ke dalam pasar malam. Sedangkan Cakka dengan Oik berjalan beriringan. Cakka meletakan kedua tangannya di dalam saku, sedangkan Oik memegang kedua lengannya.
“Kamu kedinginan yah?,” tanya Cakka.
Ah! Kata-kata itu serasa dejavu di telinga Oik.
“Eh..., hm... Sedikit,” kata Oik.
Cakka melepaskan jaket yang dikenakannya dan menyampirkan di bahu Oik.
“Pakai yah, supaya tak kedinginan lagi,” kata Cakka.
“Makasih,” kata Oik, sambil memakai jaket yang diberikan Cakka.
“Aku pengin peluk kamu sebenarnya biar kamu nggak dingin lagi tapi—,”
“Hei kalian berdua jalannya lama banget, Cakka... Yoo buruan, di sana kayaknya keren,” kata Acha yang tiba-tiba datang dan langsung menyeret Cakka dari samping Oik.
Mereka bertiga pun berjalan keliling-keliling pasar malam. Kadang Acha meminta Oik untuk memotret dirinya dengan Cakka. Kadang mereka bertiga naik wahana yang ada di situ. Kadang juga Oik tidak ikut hanya menonton saja.
“Cakkaaaa... Mau eskrim dong...,” kata Acha seperti merengek pada Cakka.
“Sudah malam nanti kamu sakit,” kata Cakka.
“Jahat deh, gue nggak bakal sakit beliin dong,”
“Oke...oke,” Cakka kemudian menatap Oik yang ada tak jauh dari mereka, “mau juga?,” tanya Cakka pada Oik.
Oik menggeleng.
Cakka dan Acha akhirnya menuju tempat penjual eskrim. Oik hanya menatap keakraban keduanya dari jauh. Entah kenapa airmata Oik mulai mengalir di pipinya. Cepat-cepat disekanya sebelum Cakka dan Acha kembali.
Cakka dan Acha tak lama kemudian kembali. Mereka pun melanjutkan menikmati pasar malam itu.

***

Oik sedang membersihkan kamar Acha yang sangat berantakan. Beberapa hari lagi mereka akan kembali ke Jakarta. Kerja sama antara perusahaan Cakka dengan perusahaan tempat kerjanya hampir selesai. Dan sebentar lagi dia akan meninggalkan Cakka lagi. Akan pergi dari sini. Kembali menghadapi kerasnya hidup di Jakarta.
Acha memang orangnya sembarangan. Apa-apa diletakan secara sembarangan. Jadinya, Oik harus merapikannya. Di atas nightstand Acha terdapat sebuah foto. Itu hasil photobox Acha dan Cakka. Terlihat mereka berdua akrab sekali. Oik tersenyum melihatnya. Sepertinya, Cakka membuat kebahagiaan baru bagi Acha.
Di samping foto itu ada secarik kertas. Oik mengambilnya. Saat Oik hendak membuka lipatan kertas...
“Hei! Ngapain lo di sini?!,”
Cepat-cepat Oik menyimpan lipatan kertas itu di sakunya.
“Aku sedang membersihkan kamarmu, begini kan terlihat rapi,”
“Sudah selesai kan?,”
“Boleh nggak lo keluar?,”
“Oke,” Oik pun mengambil langkah keluar dari kamar Acha.
Tepat setelah Oik keluar dari kamar Acha, alerts ВВМ Oik berbunyi. Oik segera merogoh blackberry-nya dari dalam sakunya.

Cakka: Oik aku mau ajak kamu dinner bisa tidak?
Oik: Dalam rangka?
Cakka: Ya, bentar lagi kamu plg kan, dan kita blm prnh jln berdua selain urusan pekerjaan
Oik: Aku kan kemari mmg u/ pekerjaan
Cakka: Ayolah Ik, mau yah... Pliss
Oik: Hm, yaudah...
Cakka: Oke, aku jemput kamu stgh jam lagi

Sesuai perjanjian Cakka datang setengah jam sesudah ВВМ terakhirnya. Mereka pun sama-sama menuju parkiran. Oik kaget saat tidak melihat CR-V Cakka di parkiran. Dia mengernyit. Cakka malah membawanya ke samping CBR. Dia naik di atas CBR tersebut menyalakannya lalu mengajak Oik naik.
Astaga. Dia akan naik motor lagi bersama Cakka? Oik dengan perlahan naik di atas CBR Cakka. Untung tadi dia tidak jadi pakai rok. Jadi gampang buat naik ke atas CBR Cakka. Setelah Oik naik dan melingkarkan tangannya di pinggang Cakka. CBR itu mulai berjalan menyusuri jalanan Yogyakarta. Sepanjang perjalanan flashback terputar di kepala Oik.
Oh God! Ini malam yang berat...
Cakka membawa Oik ke sebuah warung pinggiran. Dia menghentikan CBR-nya di situ. Mereka pun turun.
“Ik, tak apa kan kalau aku membawamu makan di warung pinggiran begini?,”
“Hahaha... Tak apa Cakka, aku malah senang, sudah lama aku tidak makan di warung pinggiran kayak gini,”
“Hehehe, iya aku juga, kayaknya kalau di restoran gitu tidak akan spesial,”
Kebetulan warung itu sedang sepi hanya Cakka dan Oik disitu. Kebetulan atau mungkin Cakka sengaja membayar pada penjual di situ agar tidak menerima pelanggan selain mereka berdua. Karena khusus malam ini Cakka hanya ingin berdua dengan Oik.
Penjual di tempat itu langsung membawakan gudeg andalan warung itu ke meja Cakka dan Oik ketika mereka tiba di situ. Oik kaget, bukannya mereka belum memesannya yah. Cakka yang membaca kekagetan Oik langsung tersenyum nakal ke arahnya.
Ah... Senyuman itu lagi...
“Kau sengaja ya?,”
“Iya, kan berdua lebih baik, hehehe,”
Mereka pun mulai menyantap hidangan yang ada di atas meja.
“Oik,” panggil Cakka.
“Hm,” jawab Oik.
“Kamu kebiasaan kalau aku panggil selalu tak mau menatapku yah,” kata Cakka.
Dengan terpaksa Oik mengangkat wajahnya dan menatap Cakka. Dia takut Cakka akan memegang dagunya lagi dan memaksa dia menatap Cakka. Itu akan bahaya. Dinding ketegaran yang dia ciptakan selama ini akan roboh begitu saja kalau-kalau hal itu terjadi.
Tatapan sayu nan teduh Cakka kembali beradu dengan mata bening Oik. Waktu terasa terhenti kembali. Kilas balik semakin terputar di belakang kepala mereka masing-masing. Dan terhenti saat...
Teringat akan sebuah kesalahan...
Cakka dan Oik sama-sama terhenti dan mengalihkan pandangan mereka. Mereka akhirnya melanjutkan makan malam mereka.
Setelah selesai makan malam, Cakka dan Oik kembali ke CBR milik Cakka. Mereka kembali berjalan keliling kota Yogyakarta. Kali ini, Cakka tidak ngebut. Dia membawa Oik dengan sangat hati-hati.
Kali ini, Cakka membawa Oik ke alun-alun kota Yogyakarta. Mereka turun dan berjalan di situ. Dalam hening, mereka menikmati kebersamaan mereka berdua malam itu.
“Ik, naik sepeda yuk,” ajak Cakka.
“Tapi aku tak tahu bersepeda,”
“Nanti kamu naik bareng aku, yuk,” Cakka segera menarik Oik ke sebuah tempat dimana terparkir banyak sepeda. Cakka menyewa salah satu sepeda di situ. Dan mengajak Oik naik di depan tempat duduknya. Cakka mulai mengayuh sepedanya menyusuri alun-alun kota Yogyakarta.
“Ik, sudah berapa lama kamu bekerja di perusahaannya Rio?,” tanya Cakka di sela-sela perjalanan sepeda mereka.
“Sudah 4 tahun,” kata Oik.
“Lumayan lama yah, kata Rio di kantornya kamu banyak disukai tapi kamu nolak mereka semua, kenapa?,”
“Itu... Aku, cuma masih mau sendiri,”
“Umur segini loh, sudah cukup untuk menikah,”
“Kau sendiri belum menikah juga,”
“Pacar saja aku tak punya,”
“Hm, tidak mungkin tak ada yang menyukaimu,”
“Tak semudah itu Oik,”
“Kalau begitu alasanku sama denganmu,”
Mereka terdiam kembali. Menikmati perjalanan mereka dengan sepeda. Setelah lelah berputar-putar mereka kembali. Mengembalikan sepeda itu ke tempat semula. Dan pergi menuju CBR Cakka.
CBR itu kembali menyusuri jalanan Yogyakarta. Jalanan sudah mulai sepi. Sepertinya sudah larut malam.
“Ik, masih berani kalau aku ngebut kayak waktu itu?,” tanya Cakka.
“Jangan Cakka! Nanti aku mati jantungan,” larang Oik.
“Aku pengin coba, apa aku masih jago ngebut seperti dulu,” kata Cakka, “pegangan yang kuat ya Ik,” lanjutnya.
Bruuuuuummmm... CBR Cakka memecah keheningan malam.
“Cakkaaaaaaaaaa,” suara Oik tertup suara knalpot CBR Cakka.
Oik menutup matanya. Tangannya dieratkan melingkar dipinggang Cakka. Dagunya diletakan di pundak Cakka. Wangi Cakka kembali menari-nari di hidungnya.
Ya Tuhan... Kenapa kau ingatkan ini kembali...
Oik tak tahu lagi bagaimana untuk tidak mengingat masa lalunya itu. Kejadian malam itu benar-benar mengingatkannya akan kejadian 18 tahun lalu.

***

“Yes! Ternyata aku masih bisa ngebut,” kata Cakka saat mereka berjalan dari parkiran menuju lobi apartemen Oik.
Oik sedang merapikan rambutnya yang nampak sangat berantakan gara-gara Cakka.
“Senang ya kamu?,” tanya Oik.
Cakka yang melihat Oik sedang sibuk dengan rambutnya menghentikan langkahnya.
“Senang banget,” kata Cakka sambil menunggu Oik sejajar dengan dirinya.
Kemudian, dia ikut membantu Oik merapikan rambutnya. Oik jadi menghentikan aktivitasnya. Dia jadi membiarkan Cakka merapikan rambutnya. Kenapa Cakka tidak pernah berubah? Dia masih seperti dulu? Kenapa apapun yang di lakukan Cakka terasa dia kembali ke masa mudanya?
“Aku hampir mati,” kata Oik setelah Cakka selesai merapikan rambutnya.
“Aku minta maaf,”
“Ck, berapa kali kamu minta maaf padaku,”
“Ya sudah deh, iya aku salah, tapi kan kalau tidak begitu, tak akan seru,” kata Cakka.
Cakka mengantar Oik sampai ke depan pintu apartemen Oik. Oik mengambil kunci dari dalam tasnya kemudian membuka pintu apartemennya. Mereka masuk ke dalam apartemen Oik.
“Makasih ya Cakka untuk dinner dan jalan-jalannya,” kata Cakka.
“Sama-sama,”
Dan tanpa sengaja, mereka berdua saling bertatapan. Cukup lama. Sebelum Cakka mendaratkan kecupan di dahi Oik.
“Aku pulang dulu ya,” kata Cakka.
Oik tersenyum, “hati-hati di jalan,”
“Pasti,”
Ah! Oik kembali terantuk pada mata sayu Cakka. Ah! Mata itu lagi. Oik berusaha menghindar. Cakka bukannya pergi malah kembali mendekat ke arah Oik. Pada detik ini, Oik kehilangan kesadarannya. Mata Cakka menghipnotisnya. Dia bergeming. Dia tak menjauh saat kepala Cakka mendekat ke arahnya. Padahal ini yang di hindarinya. Semuanya buyar sampai...
“Oh jadi lo keluar sama Cakka ya tadi,” suara Acha membuat keduanya saling menjauh.
“Acha ngagetin aja,” kata Oik.
“Kalian berdua dari mana?,” tanya Acha.
“Kita...kita dari...,”
“Kita cuma keluar cari angin bentar kok Cha, maaf yah nggak ngajak kamu,” kata Cakka.
“Oh,”
“Cha, Ik, aku pulang dulu ya, sampai ketemu besok, daa,” pamit Cakka sebelum meninggalkan mereka di situ.
Oik juga cepat-cepat pergi ke kamarnya. Mengunci kamarnya. Lalu segera menghempaskan tubuhnya di atas ranjangnya.
Tadi...nyaris.
Oik menghela napasnya. Lalu menutup matanya. Mungkin malam ini dia bisa tidur nyenyak.

***

Ting...tong...ting...tong bell rumah Cakka berbunyi. Cakka yang kebetulan sedang berada di ruang tamu segera menuju pintu untuk membuka pintu rumahnya.
Dari balik pintu muncul Acha. Gadis itu tampak kusut. Dia tampak kacau hari itu. Cakka segera mengajaknya masuk ke dalam rumahnya. Menyuruh Acha duduk dulu di sofa. Setelah itu Cakka menyuruh pembantunya membuatkan minuman untuk Acha. Cakka menyuruh Acha meminum minuman itu dulu. Setelah Acha meminumnya Cakka membiarkan dia tenang dulu sebelum dia bertanya.
“Kamu kenapa Acha?,”
Acha memalingkan pandangannya pada Cakka. Bukannya bercerita pada Cakka, Acha malah menangis sejadi-jadinya. Melihat Acha seperti itu Cakka segera menenangkannya. Dia membawanya ke dalam pelukannya dan mengusap kepalanya.
“Sudah, tenang dulu, kamu jangan nangis, kalau kamu nggak mau cerita nggak apa-apa,”
Acha terus menangis. Cakka membiarkannya. Kalau dengan menangis Acha bisa meluapkan semua perasaannya, begitu lebih baik daripada dia menyimpannya. Acha menangis sampai terisak-isak. Terus dan terus. Cukup lama sebelum dia tenang. Tapi isakannya belum berhenti.
“Boleh nggak, malam ini...gue tidur di sini,” tanya Acha di sela-sela isakannya.
“Loh? Kenapa?,”
“Boleh ya? Plis, gue janji nggak akan nakal, gue cuma pengin bareng lo, kan gue bentar lagi pulang ke Jakarta,”
“Oke, tapi aku minta izin kakakmu dulu,”
“Boleh nggak lo biarin gue di posisi ini sampai gue tidur nanti?,” izin Acha sambil matanya menatap Cakka.
Cakka terdiam sebentar sebelum mengangguk.
“Makasih ya,” Acha kemudian menutup matanya. Dia tertidur dalam pelukan Cakka.
Cakka segera mengambil blackberrynya dari kantongnya dan segera mengirimkan ВВМ pada Oik.

Cakka: Oik, aku lagi brg Acha, tdi dia dtg sambil nangis2. Trs dia minta izin tdr di sini. Blh tdk? Aku tdk bakal ngapa2in dia kok. Klo kamu tdk percaya blh dtg kmri qt biar km tdr di sini jg buat jaga Acha.
Oik: Oh yaudah. Aku prcaya kok sama kamu. Jaga Acha ya. Aku percayakan Acha sama kamu.
Cakka: Oke :) thanks ya Ik. Aku bakal jaga Acha.

***

Oik sedang membereskan pakaiannya. Memasukan kembali ke dalam koper. Dia akan kembali ke Jakarta besok. Makanya hari ini dia harus packing. Dia melihat celana jeans hitam miliknya. Dia ingat dia meletakan secarik kertas yang dia temukan di kamar Acha waktu itu. Dia pun mengambil secarik kertas tersebut. Membuka lipatan-lipatan kertas tersebut dan segera melihat apa yang ada di dalamnya. Tulisan tangan Acha...

Acha ​​ Cakka

Oik shock dengan tulisan yang ada di dalamnya. Airmatanya mengalir begitu saja tak terhenti melihat tulisan itu.
Ya Tuhan...! Ini kesalahan...
Pekik Oik dalam hatinya. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya serasa tak percaya melihat tulisan itu. Tapi benar itu tulisan tangan Acha.
Tiba-tiba pintu kamar Oik di buka oleh Acha.
“Lo lihat kaos gue yang warna merah muda nggak?,” tanya Acha setelah dia membuka pintu.
Oik segera berdiri dan menghadap Acha. Acha kaget melihat Oik yang banjir airmata. Dia sedang memegang secarik kertas. Wajahnya yang biasanya lembut kini sepertinya berubah garang. Acha terpekik saat Oik menunjukan tulisan yang ada di dalam secarik kertas itu.
“INI... APA MAKSUDNYA ACHA?! OH GOD! Kamu suka sama Cakka?,” tanya Oik.
Acha mengangkat wajahnya membalas tatapan Oik, “Kalau iya kenapa?! Lo marah?!,”
“Acha! Kamu nggak bisa suka sama Cakka!,”
“Kenapa? Karena dia lebih tua jauh dari gue? Lo tahu kan cinta itu nggak mandang umur!,”
“Tapi kamu nggak bisa suka sama Cakka,” airmata Oik semakin deras dia terisak.
“Kenapa?! Atau jangan-jangan karena lo juga cinta sama Cakka?! Gue tahu kok waktu itu lo mau ciuman sama Cakka! Tapi gue muncul! Gue tahu lo itu suka sama Cakka! Trus salah kalau gue juga suka sama Cakka?! Kita saingan yang sehat,” kata Acha.
OH GOD PLEASE HELP ME! Kamu nggak bisa suka sama Cakka Acha,” kata Oik.
Kini Acha ikut menangis, “lo emang nggak pernah ngertiin gue,” kata Acha kemudian berlari keluar kamar Oik.
Oik mengejarnya, “Acha mau kemana?!,”
“Gue mau cabut!,” kata Acha kemudian keluar dari apartemen.
“Achaaa tunggu,”
Tapi Acha tetap saja keukeh meninggalkan Oik.
Pikiran dan perasaan Oik saat ini kacau. Dia tak tahu lagi harus berbuat apa. Semuanya terasa kacau. Dunia serasa runtuh menimpanya. Dia terus menangis. Dia berusaha menenangkan dirinya sendiri untuk berpikir jernih. Dia menghela napas panjang. Kemudian mengambil blackberry-nya.
Satu tujuannya...menelepon Cakka.
“Hallo...,” suara di seberang.
“Hiks... Ca...kka, Acha... Ada di...sana?,” tanya Oik setengah terisak.
“Ya Tuhan, kau kenapa Oik?,”
“Panjang ceritanya, sekarang Acha denganmu tidak?,”
“Tidak, memangnya kenapa Ik?,”
“Aku...aku bertengkar dengan Acha dan dia kabur, boleh bantu aku mencarinya?,”
“Oke, aku segera ke sana, tunggu saja,”

Cakka datang 15 menit setelah telepon ditutup. Dia segera menuju apartemen Oik untuk menjemput Oik di situ. Didapatinya Oik sedang menangis terisak. Dia segera mendekat ke arah Oik.
“Ya Tuhan, kau kenapa Oik,”
Entah dorongan darimana Oik malah memeluk Cakka duluan. Dia terisak di pelukan Cakka. Cakka menenangkannya. Sebenarnya bingung masalah apa yang terjadi diantara mereka?
Setelah Oik tenang, Oik langsung mengajaknya mencari Acha. Penjelasannya sebentar setelah Acha ditemukan.
Cakka merangkul Oik sampai masuk ke dalam CR-Vnya. Setelah itu mereka menyusuri jalan Yogyakarta mencari Acha. Jam sudah menunjukan pukul 19.00. Mereka akan berangkat ke Jakarta besok jam 08.00 jadi mereka harus menemukan Acha malam ini atau tidak keberangkatan mereka ke Jakarta batal.
“Cakka, kamu biasa kalau bersama Acha kemana saja? Siapa tahu Acha di sana,”
“Sudah, kan tadi sudah ku tunjukan tempat-tempat dimana aku dan Acha biasa pergi tapi dia tak ada,”
“Trus kemana lagi aku harus mencarinya?,” Oik terlihat frustasi. Dia memegang kepalanya pusing.
“Memangnya ada apa sih sampai kamu bertengkar dengan Acha?,” tanya Cakka.
Oik menghela napasnya lalu menghembuskannya kentara, “Cakka...kamu...apa kamu suka sama Acha?,” tanya Oik.
“Suka? Suka bagaimana maksudmu?,”
“Ya suka, suka...cinta begitu,”
“Hahaha... Kamu apa-apaan sih, aku tuh anggap Acha sebagai adik aku... Tak lebih, aku suka dia sebagai adik, aku sayang dia sebagai adik, memangnya kenapa?”
Oik kembali terisak sebelum melanjutkan perkataannya, “kita cari Acha,”
Cakka menurutinya. Mereka pun kembali berputar-putar di jalanan Yogyakarta.
“Cakka kamu tahu bar atau pub di sini? Kita cari dia di sana... Mungkin dia kembali pada kebiasaan lamanya,”
Cakka dan Oik pun mengunjungi bar dan pub satu per satu. Sudah pukul 22.00 malam Acha belum ditemukan juga. Oik hampir putus asa mencarinya. Oik khawatir sekali dengan Acha. Cakka terus berusaha menenangkan Oik.
Akhirnya mereka melihat Acha baru keluar dari sebuah pub pada pukul 22.30 malam. Oik segera turun dari mobil Cakka dan menghampiri Acha dengan Cakka mengekor di belakangnya.
“Acha!,” panggil Oik.
“Ngapain lo cari gue di sini?,” tanya Acha.
“Cha, plis pulang Cha, ini udah malam besok kita berangkat,”
“Gue nggak mau, gue mending di sini bareng Cakka,” kata Acha.
“Acha! Aku sudah bilang kamu nggak boleh jatuh cinta sama Cakka!,”
“Kenapa?! Kalau soal umur dan soal lo cinta sama Cakka juga itu nggak etis, kita harus bersaing fair,”
“Ini kesalahan Acha kalau kamu jatuh cinta sama Cakka!,”
“Kesalahan?! Hah? Dari mana ini kesalahan?! Gue nggak lihat ada kesalahan,”
“Ini SALAH BESAR!,”
“KENAPA?!, dari tadi gue tanya kenapa tapi lo nggak pernah jelasin,”
“Karena...,” Oik tertahan. Inilah saatnya... Dia terisak lagi, sakit hati yang mendalam dipendamnya, perasaan campur aduk meluap-luap di dalamnya. Dia berusaha menguatkan dirinya.
“Karena kenapa?!,” tuntut Acha.
“KARENA DIA AYAHMU!, CAKKA ITU AYAHMU!,” teriak Oik napasnya memburu dia berusaha mengatur napasnya.
“Ayah?,” Acha mengernyit matanya membesar mendengar kenyataan yang dikatakan Oik.
Cakka tercekat. Dia terlihat sangat kaget. Wajahnya pucat pasi. Dia menatap Oik dan Acha secara bergantian. Menuntut penjelasan akan semuanya ini. Oik sudah menangis. Acha juga ikut berkaca-kaca. Bagaimana semua ini begitu sulit? Mengapa semua ini jadi kacau begini?
“Bawa kita pulang! Kalau kamu mau penjelasan, nanti aku jelaskan di apartemen,” kata Oik.
Mereka bertiga menuju mobil Cakka dengan perasaan kacau. Ketiganya sangat shock dengan kejadian malam ini.
Mereka tiba di apartemen pukul 23.30. Acha langsung masuk ke kamarnya dan membanting pintu dengan keras. Dia masih belum bisa menerima kenyataan. Sedangkan Cakka dan Oik terdiam di ruang tamu. Keduanya terlihat resah.
“Kamu pasti bingung dengan semuanya Kka,” kata Oik sambil airmatanya terus mengalir di pipinya.
“Aku bingung sekali, sebenarnya apa yang terjadi, kenapa kau tak bilang dari awal kalau Acha itu putriku? Kenapa kau mengenalkannya sebagai adikmu? Kenapa Ik?,”
“Maafin aku Cakka, aku tak bisa mendidik Acha dengan baik, dia jadi pembangkang, dia jadi anak dengan pergaulan yang bebas, Acha tidak mau memanggilku dengan panggilan bunda sejak SMP, sejak dia mulai bergaul, dia takut teman-temannya menyebutnya anak haram, apalagi kalau pacar-pacarnya tahu dia anak di luar nikah, makanya dia menyuruh aku menganggap dia sebagai adik saja, sehingga mereka tidak mengejeknya, tapi lama-kelamaan mereka tahu dan Acha dijauhi, makanya dia kena pergaulan bebas, dia juga membenciku karena itu,” Oik menangis menceritakannya.
Cakka mendekat ke arah Oik. Sulit dipercaya, sekarang dia punya putri yang berusia 17 tahun. Kemana dia selama ini? Kenapa dia begitu bodoh meninggalkan Oik dulu?
Dia memeluk Oik, mengusap kepalanya, mengecup ubun-ubunnya, “maafin aku Ik, aku yang salah, aku yang bodoh dari dulu, bukan kamu yang salah, kamu sudah berusaha membesarkan Acha, kamu sudah berusaha Ik, aku yang salah, maaf,”
Keduanya terdiam dalam pelukan. Cukup lama sampai Oik tenang dan melepaskan pelukan Cakka.
“Kka, kumohon kamu pulang ya sekarang, aku butuh waktu berdua dengan Acha,”
“Tapi Ik—,”
“Plis Kka yah,” mohon Oik.
Cakka menatap Oik lagi.
“Plis Kka jangan menatap aku seperti itu,” kata Oik.
“Oke, aku pergi,” kata Cakka dengan terpaksa berdiri dari sofa.
Oik mengantarnya menuju parkiran. Selama Oik mengantar Cakka mereka terdiam. Tiba di parkiran, Oik menunggu sampai Cakka masuk ke dalam mobil. Bukannya masuk Cakka malah berdiri di hadapan Oik. Dia memegang kedua tangan Oik.
“Ik..., aku...aku mau memperbaiki kesalahan ku di masa lalu, aku... Aku sayang kamu Ik, aku cinta kamu, dari dulu aku menunggu takdir mempertemukan kita lagi, tapi aku tahu itu ternyata salah, bukannya berusaha tapi aku malah menunggu seharusnya dari dulu aku mencari kamu, karena prinsipku dulu kalau kita berjodoh kita akan dipertemukan lagi,” kata Cakka.
Oik melepaskan genggaman tangan Cakka. Dia memeluk Cakka erat. Sangat erat. Kemudian menutup matanya. Menghirup aroma tubuh Cakka. Setelah itu menjauhkan dirinya dari Cakka.
“Aku...aku...juga masih sayang kamu, aku juga masih cinta kamu, tapi...,” Oik menghela napasnya berat, “tapi biarkan aku dan Acha dulu tanpamu, setelah masalah ini mungkin semuanya akan berbeda, aku mohon Kka, biarkan aku dan Acha kembali dulu, kita tunggu takdir lagi yang mempersatukan kita lagi,” lanjut Oik.
“Tapi Ik—,” belum sempat Cakka meneruskan perkataannya Oik sudah membungkamnya dengan ciuman di bibirnya.
Akhirnya dia bisa kembali merasakan manis bibir Oik di atas bibirnya. Cukup lama mereka saling memangut sebelum Oik melepaskannya.
“Ya Cakka, aku mohon, kita netralkan dulu keadaan ini,” kata Oik.
“Aku ikut kamu ke Jakarta,”
Oik menggeleng, “biarkan aku dan Acha tenang dulu, plis Kka, demi Aku dan juga Acha”
Cakka menghela napasnya dan menghembuskannya, “baiklah, demi kamu dan Acha,” kata Cakka kemudian memeluk Oik. Mungkin pelukan terakhir.
Love you, Ik,” kata Cakka sebelum masuk ke dalam mobil.
Oik tersenyum, “biarkan cinta menemukan jalannya,” katanya sebelum masuk ke dalam apartemen.

***

Oik menatap schedule penerbangan yang ada di atasnya. Jadi di sinilah dia, bandara Adi Sucipto. Sudah saatnya check-in untuk keberangkatannya ke Jakarta. Dia menyeret kopernya. Acha menghampirinya juga menyeret koper. Dia dan Acha sama-sama masuk ke dalam ruang check-in.
Oik menatap ke belakang. Berharap ada seseorang yang datang. Tapi, Oik tahu itu tidak mungkin. Tadi dia sengaja tidak mengabarkan Cakka saat dia hendak kembali ke Jakarta. Oik kemudian tersenyum dan masuk ke dalam ruangan tersebut.
Setelah Oik dan Acha check-in mereka berjalan ke ruang tunggu untuk menunggu pesawat. Tak lama kemudian Oik dan Acha masuk ke dalam pesawat melalui pintu nomor 3. Dan mereka pun siap berangkat.
Selamat tinggal Cakka... Sampai ketemu ditakdir selanjutnya...

***

EPILOG.
CAKKA berlari tergesa-gesa memasuki area bandara Adi Sucipto. Dia melihat schedule yang ada di atas kepalanya.
Merpati Airlines MZ-7317 Yogyakarta Jakarta 09.15
Shit! 10 menit lagi...
Dengan cepat Cakka menuju penjualan tiket merpati yang ada di bandara.
“Mbak, penjualan tiket merpati MZ tujuh tiga satu tujuh masih di buka? Saya mau tiketnya sekarang,”
“Adanya yang bussines class Pak, tapi sepuluh menit lagi berangkat Pak,”
“Itu saja, saya mohon, saya sangat butuh! Berapapun saya bayar,”
“Tunggu sebentar Pak,”
Tampak petugas itu menelepon. Cakka sudah tidak sabar. Dia takut terlambat.
“Mbak, tolong cepat dong,”
“Pak sebentar lagi berangkat,”
“Saya mohon bantu saya, ini penting sekali saya bayar 5x lipat tak apa-apa,”
“Baiklah kalau anda memaksa,”
Petugas itu bekerja cepat. Cakka memberikan uang sesuai yang dia minta dan cepat-cepat dia berlari memasuki ruang check-in. Semua serba cepat. Karena dia tidak membawa barang satu pun. Cakka kemudian masuk ke dalam pesawat melalui pintu nomor 3. Hampir. Pintu pesawatnya hampir di tutup untung saja Cakka berhasil masuk. Pada saat itu pramugari sedang mengarahkan cara penyelamatan. Cakka disuruh duduk oleh pramugari. Dengan terpaksa Cakka duduk di tempat duduknya dulu. Pesawat mulai berjalan. Cakka harus menunggu sampai pesawat lepas landas dan lampu tanda sabuk pengaman di padamkan barulah Cakka mencari Oik.
Dia menyusuri koridor pesawat menatap kiri dan kanan berharap menemukan Oik. Dia melihat wanita yang dikenalinya duduk di kursi nomor 18 C. Dengan cepat dia berjalan melangkah mendekatinya. Tepat di samping Oik. Acha yang melihat Cakka duluan kaget. Oik yang menyadari kekagetan Acha segera memalingkan pandangannya.
Didapatinya Cakka berdiri di situ. Oik kaget refleks berdiri memandang Cakka.
“Cakka,”
“Oik,”
“Kok kamu bisa di sini?,”
Cakka tersenyum, “aku tak mau melakukan hal bodoh lagi, sudah cukup dulu aku meninggalkanmu, aku tak ingin kali ini kau yang meninggalkanku, apalagi sekarang kamu tak sendiri, bersama putri kita, aku tak mau kehilangan dua orang yang sangat berharga dalam hidupku,” kata Cakka.
Oik sudah tidak tahu mau berkata apa lagi. Matanya sudah berkaca-kaca lagi. Ah, dia cengeng sekali. Oik berusaha tersenyum di tengah airmatanya yang akan tumpah. Cakka berlutut di hadapannya. Membuat semua orang-orang yang ada di pesawat itu menatap mereka. Cakka mengeluarkan kotak beludru berwarna merah. Yang ditengahnya terdapat cincin emas bertahtakan berlian.
“Oik aku mau orang-orang di sini jadi saksinya, aku mau serius sama kamu, maaf kalau dulu aku melakukan kesalahan terbesar padamu, tapi biarkanlah kesalahan-kesalahan ini membuat kita jadi dewasa, aku cinta kamu, aku juga sayang kamu, aku juga cinta putri kita dan sayang putri kita, aku tak mau menunda-nunda takdir lagi… di sini… di atas pesawat ini… aku mau memintamu, menjadi bandara terakhir dalam hidupku, please marry me,”
Semua orang tegang menyaksikan apa yang ada di hadapan mereka. Oik juga kaget dan tak menyangka Cakka akan melamarnya di atas pesawat seperti ini, di hadapan putrinya dan di hadapan semua penumpang pesawat. Oik menatap Acha yang duduk di sampingnya gadis itu tersenyum ke arahnya. Dia ikut berdiri, mengambil tangan Oik dan tangan Cakka yang masih dalam posisi berlutut.
“Terima saja Bun, gue juga mau kali punya ayah, gue tadi malam merenung di kamar, merenungkan yang terjadi belakangan ini, dan gue akhirnya sadar, perasaan gue sama hm… Ayah itu hanya karena gue memang butuh sosok ayah dalam kehidupan gue, dan kebetulan ayah ada di samping gue, jadi itu bukan rasa cinta sepasang kekasih melainkan rasa cinta anak kepada ayahnya, lo juga sih Bun, nggak pernah bilang sama gue siapa ayah gue, pokoknya gue janji deh, kalau kalian bersatu gue akan rubah semua sifat buruk gue,” kata Acha.
“Jadi?,” tanya Oik.
“Jadi gue ngerestuin kalian berdua, sudah gih lo terima aja Bun,” kata Acha.
Oik menutup matanya. Menghela napasnya panjang-panjang. Sebelum tersenyum dan mengangguk, “iya, aku mau,” kata Oik.
Cakka menyematkan cincin itu di jari Oik. Setelahnya dia berdiri dan memeluk Oik lalu mengangkatnya berputar-putar. Para penumpang di pesawat itu semuanya bertepuk tangan termasuk pramugari-pramugari menyaksikan adegan di hadapan mereka itu.
Cakka menurunkan Oik dari pelukannya kemudian menatap Oik lagi. Dia tersenyum.
Oh shit! Cakka don’t look at me like that… my heart beating faster…
Tanpa memedulikan orang-orang di sekitarnya. Cakka mengekspresikan kebahagiaannya dengan mencium Oik di bibirnya.
“Oh shit! Ayah dan Bunda gue mesum banget,” kata Acha sambil menutup kedua dengan telapak tangannya.
Sepasang kekasih yang duduk di paling belakang dan sedang menyaksikan adegan Cakka dan Oik saling pandang.
“Sayang, nanti kalau kamu mau ngelamar aku, pengin juga di atas pesawat kayak gini.”
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...