Minggu, 31 Maret 2013

BELIEVE―FOUR―[CATCHING FEELINGS]

FOUR―CATCHING FEELINGS
“―They say we’re too young for love
But I’m catching feelings―

BANDARA  Zestienhoven terlihat ramai. Banyak orang hilir-mudik. Cakka menyampirkan syalnya di leher. Walaupun ini musim semi tetap saja udara di sini lebih dingin dari Indonesia. Lima tahun tidak berada di sini. Cakka merasakan keadaan yang begitu berbeda. Embusan napasnya di udara menghasilkan uap. Padahal dulu, kalau musim semi ia bahkan bisa keluar dengan celana pendek dan baju kaos biasa. Kenapa sekarang terasa seperti ini sih? Pasti gara-gara sudah terbiasa dengan panas Jakarta yang begitu mencekam.
Cakka mendelik ke kiri dan ke kanan. Mencoba mencari orang yang mengenakan kaos seragam berwarna ungu dengan tulisan Tropische Vakantie Tour. Anak buah papanya. Ya, di sini papanya punya perusahaan yang bergerak di bidang tour. Khususnya tour ke Negara tropis. Bali, Indonesia menjadi paket unggulan tentunya. Kata papanya Cakka akan dijemput oleh anak buahnya itu menuju MyCityLofts Skyline, apartemennya.
Dag Meneer,” sapa seorang pria dengan rambut blonde dan bermata biru.
Hallo, tuan.
Dag Meneer,” balas Cakka menyapa sapaan orang itu.
Mag ik me voorstellen?  Ik ben Peter Bergsma, Ik ben je papa werknemer,” katanya lalu menyalami Cakka.
Bolehkah saya memperkenalkan diri? Saya Peter Bregsma. Karyawan papa anda.
Cakka membalas uluran tangannya, “Ik ben Cakka Aylonso Pramanna, Aangenaam om met u kennis te maken, Peter,” katanya.
Saya Cakka Aylonso Pramanna, senang berkenalan dengan anda, Peter.
Neem ik u mee naar uw appartement,” kata Peter sambil mengambil koper Cakka dari tangannya. Lelaki itu mulai mendorong koper Cakka.
Mari saya antar ke apartement anda.
Okee, Dank u wel,” kata Cakka sambil mengekor di belakang Peter.
Peter membawa Cakka ke sebuah SUV yang terparkir di lapangan Parkir. Ia memasukan kopernya ke dalam bagasi. Lalu mengambil alih kemudi. Cakka duduk di samping kemudi. SUV itu pun keluar dari Bandara terus ke Fairoaksbaan. Cakka menatap ke kiri dan ke kanan. Masih sama seperti lima tahun lalu saat ia meninggalkan Rotterdam.
hoe was je reis, Meneer?” tanya Peter saat mereka belok ke arah kanan memasuk Glize-Rinjenstraat.
Bagaimana perjalanannya tuan?
Ik genoot ervan,” jawab Cakka sambil mencoba menyalakan ponselnya.
Saya menikmatinya.
Goed,” katanya.
Bagus.
Lima belas menit kemudian mereka akhirnya tiba di MyCityLofts Skyline. Apartemen yang terletak di  Schiedamsedijk 60. Merupakan salah satu apartemen yang strategis karena sangat dekat dengan pelabuhan dan dengan pemandangan jembatan Erasmus. Tidak hanya itu di situ juga dekat dengan Museum Maritim, Museum Bersejarah, Blaak Market Square and the Cube Houses. Dulu, waktu Cakka masih kuliah di Erasmus Universiteit. Dia juga tinggal di sini. Jadi artinya, Cakka kembali pada masa-masa kuliahnya dengan keadaan yang berbeda.
Cakka segera turun dan SUV itu. Membuka kacamatanya. Menatap bangunan Skyline itu kembali. Bangunan kokoh menjulang tinggi. Cakka segera menyeret kopernya masuk ke dalam lobi.
Dat de auto sleutel en uw appartement sleutel,” kata Peter sambil menyerahkan dua buah kunci ke tangan Cakka.
Ini kunci mobil dan apartemen anda.
Cakka segera mengambilnya, “dank u wel,” kata Cakka berterima kasih.
Ik moet weg. Zoveel werk in het kantoor,” kata Peter.
Saya harus pergi. Masih banyak pekerjaan di kantor.
Okee. Dag Peter,” kata Cakka.
Dag Meneer,” Peter pun berlalu dari hadapan Cakka.
Cakka segera menuju lift untuk naik ke lantai sepuluh. Tempat apartemennya berada. Tiba di lantai sepuluh, Cakka segera menyusuri koridor. Ia sudah hafal jalan di sini. Jadi, tanpa melihat nomornya ia sudah tahu apartemennya sebelah mana. Dengan segera Cakka memutar kunci apartemen dengan nomor 888. Lama ia memutar, seperti ada yang aneh di kuncinya. Tapi, saat ia memutar gagang pintu, apartemen itu terbuka. Dengan segera Cakka masuk ke dalam.
Apartemen itu sangat dominan dengan warna putih. Dipadu padankan dengan sofa berwarna silver. LED di depan sofa tersebut. Cakka segera menghempaskan tubuhnya ke atas sofa tersebut. Perjalanan yang cukup melelahkan. Saatnya untuk tidur dulu. Tapi tidak di sofa ini.
Cakka segera menyeret kopernya ke kamar. Ia segera membuka pintu kamar. Menaruh kopernya secara sembarangan. Dan langsung menghempaskan tubuhnya ke atas masterbed di situ. Ia pun hendak menutup matanya. Tapi ada yang aneh. Sepertinya shower di kamar mandinya menyala. Apa petugas apartemen ini lupa mematikannya?
Cakka mendesah dan segera berdiri dari mastebed-nya. Seperti ini yang mengganggu ketenangannya. Payah! Masa apartemen seperti ini petugasnya tidak teliti. Cakka segera memutar gagang pintu kamar mandi. Ia berjalan masuk ke dalamnya. Betapa kagetnya ia saat mendapati di balik sliding door ke bathtub ada siluet seorang gadis dengan gaya sensual sedang menyabuni badannya. Cakka menelan ludah. Oke, yang terlihat memang cuma siluet. Tapi… kenapa sampai ada gadis di apartemennya?
Cakka masih menikmati setiap gerakan gadis itu sebelum sebuah teriakan menyadarkannya.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA,” teriak gadis itu menyadari keberadaan Cakka. Ia segera menarik pakaian mandi yang tergantung tak jauh dari tempatnya dan menutupi bagian tubuhnya.
Gadis itu segera menggeser sliding door kamar mandi itu. Lalu melotot menatap Cakka yang berdiri terpatung di hadapannya. Gadis dengan rambut ikal panjang yang basah. Embun-embun air masih membasahi wajahnya.
Spijt me, dit een ongeluk. Ik ken je niet binnen bent,” kata Cakka.
Maaf, ini tidak sengaja. Aku tidak tahu ada orang di dalam.
I don’t understand. I can’t speak Dutch. Can you speak english?” Gadis itu berusaha meredam emosinya. Daripada roaming berbicara dengan lelaki bejat di hadapannya yang dengan tidak senonohnya masuk ke kamar mandi orang. Lebih baik mencari solusi bahasa dulu. Nanti kalau ia bisa berbahasa inggris mungkin ia bisa memakinya dengan asshole, son of bitch, fuck you, dog gone you, god damn you, bone head, dan lain sebagainya.
Oh sorry, it just an accident, I don’t know you’re inside,” kata Cakka kemudian.
You get into my private area. You such as son of bitch,” katanya.
And you’re the bitch!” bukannya meminta maaf lagi. Cakka malah balas memaki gadis itu. Bagi Cakka, minta maaf cuma sekali. Dua kali itu namanya penghinaan. Dan penghinaan bagusnya dibalas dengan penghinaan.
Gadis itu benar-benar naik pitam. Ia segera berjalan mendekati Cakka lalu berteriak di hadapan Cakka, “get out from there or I’ll call security and tell you’re going to rape me!”
Do you want me to rape you? Okay, let’s get naked,” kata Cakka sambil menyunggingkan senyum nakalnya yang lebih terkesan menantang gadis itu.
“Arggghhh,” gadis itu menggelengkan kepalanya frustasi. Ia segera melangkah keluar dari kamar mandi. Cakka mengekor di belakangnya.
“Oh Tuhan, tolong aku menghadapi laki-laki gila seperti dia,” kata gadis itu setengah berbisik.
Samar-sama Cakka bisa mendengar perkataan gadis itu, “apa lo bilang? Gue gila? Lo yang gila bukan gue. Ini apartemen gue kenapa lo yang ada di dalam?” Cakka menyerocos ketika tahu kalau gadis di hadapannya ini orang Indonesia juga.
“Kamu memang gila. Ini apartemen aku, kamu masuknya sembarangan,” katanya.
“Hello, apartemen tripel delapan itu punya gue dari lima tahun lalu,” kata Cakka ngotot.
Gadis itu segera mengambil kunci apartemennya dan menunjukan nomor yang tertera dikuncinya persis di depan mata Cakka, “nih… delapan-delapan-delapan. Jadi yang salah kamu, kamu harus keluar dari sini! Mau punya kamu dari seribu tahun lalu kek. Lima puluh ribu tahun lalu kek. Yang penting ini sekarang punyaku,” katanya.
Cakka kaget melihatnya. Ia segera merogoh kunci yang diberikan karyawan papanya kepadanya. 889. Sial kenapa 889? Cakka mendesah. Ia segera meraih ponselnya lalu menelepon papanya tercinta. Kenapa bisa apartemennya berubah menjadi nomor 889? Tapi sayangnya tidak kunjung ada jawaban. Dengan segera Cakka memencet nomor Alvin. Siapa tahu Alvin tahu dengan hal ini. Setelah nada sambungan akhirnya Alvin menjawab.
Hallo… wah Kka udah sampai ya di sana?”
“Lo pasti tahu kenapa apartemen gue pindah jadi delapan-delapan sembilan?” tanya Cakka tanpa menghiraukan sapaan saudara kembarnya itu.
Oh itu, iya Papa baru ngasih tahu tadi kalau apartemen lo pindah di muka apartemen lama lo. Soalnya, Papa bilang bagusan yang di depan. Katanya lebih besar dan lebih bagus view-nya. Sebelum lo berangkat dia lupa bilang sama lo. Jadinya―,” belum sempat Alvin menyelesaikan penjelasannya Cakka sudah mengakhiri sambungannya.
Ia kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku. Sebelum menarik koper dan melangkah menuju pintu kamar tersebut. Di samping pintu kamar tergantung sebuah almamater. Itu almamater Erasmus Universiteit dengan name tag di dada kiri. Cakka segera membaca name tag itu.
Oik Santika
Student of Master programmes
Specialisation Accounting and Finance
Oik Santika? Cakka segera menoleh ke belakang lagi menatap gadis yang ada di belakangnya. Gadis itu menatapnya heran. Sebelum Cakka membuka pintu kamar dan membantingnya dengan kencang lalu pergi dari situ.
Oik hanya bisa menghela napasnya. Ternyata ada juga orang gila seperti dia di sini. Hupfh.

***

Cakka menyesap kopi yang baru di buatnya sambil duduk di sebuah sofa dekat kaca yang bisa membuatnya menikmati pemandangan jembatan Erasmus dari situ. Ia merogoh ponselnya kembali. Ini belum selesai. Ia masih mau apartemennya yang ditempati Oik Santika itu. Apa-apaan coba? Papanya berlaku militan tanpa mempedulikannya?
Setelah lima kali percobaan menelepon papanya. Akhirnya papanya mengangkat telepon darinya.
Hallo Cakka kenapa? Papa baru selesai meeting jadi baru lihat telepon kamu,” kata Alons dari seberang.
“Cakka mau apartemen lama Cakka,” kata Cakka to the point.
Lho? Kenapa? Yang itu lebih bagus. Kamu lebih leluasa melihat Erasmus Bridge dari situ,” kata Alons.
“Pokoknya Cakka udah catch apartemen itu. Jadi nggak ada orang lain yang bisa menempati apartemen itu selain Cakka,” kata Cakka.
Itu punya MyCityLofts bukan punya Papa,” kata Alons.
“Ck, Cakka tahu itu Pa, tapi Cakka udah klop dengan angka tripel delapan. Het is mijn geluksgetal(*),” kata Cakka.
Apalah arti sebuah angka Cakka,” kata Alons.
“Bagi Cakka penting, pokoknya nggak mau tahu apartemen itu harus balik ke Cakka,” kata Cakka dengan segala ke keras kepalaannya.
Alons menghela napasnya mulai frustasi lagi dengan anaknya yang satu ini, “tapi nggak bisa Cakka, setahu Papa yang nomor delapan-delapan-delapan. Udah di booked sama anaknya Bob Suganda. Kamu kan bisa berteman dengan dia. Seenggaknya kalau berteman dengan dia kamu bisa main-main ke apartemen lama kamu,” kata Alons.
“Oh berteman dengan orang yang bilang Cakka mau perkosa dia?”
Mendengar perkataan Cakka itu Alons kaget, “kamu apain dia Cakka?” tanya Alons dengan nada meninggi.
Kalmeren(**) Papa, itu gara-gara papa tahu nggak. Cakka kan nggak tahu kalau apartemen Cakka pindah di depan. Jadi Cakka masuk aja ke dalam apartemen lama Cakka. Salah dia juga nggak ngunci pintu apartemennya. Trus Cakka ke kamar deh, tahunya Cakka dengar shower nyala, Cakka niatnya mau matiin eh nggak tahunya ada dia di dalam,” jelas Cakka.
TRUS?
“Dia bilang Cakka mau perkosa dia. Enak aja! Cakka nggak biasa perkosa orang adanya mereka sendiri yang minta diperkosa,” kata Cakka dengan cueknya.
Kamu bilang begitu sama dia?” tanya Alons masi dengan nada meninggi.
“Nggak kok. Cakka bilang kalau mau diperkosa ayo,” kata Cakka lagi-lagi dengan nada santainya.
Dalam hatinya ia menghitung mundur. Pasti sebentar lagi papanya itu akan mengoceh.
3…
2…
1…
“Cakka! Kamu tuh memang anak yang nggak tahu sopan santun,” kata Alons. Nah bener kan. Cakka pun segera menyiapkan telinganya agar tidak panas mendengar ocehan papannya, “kalau dia lapor papanya tentang kamu itu. Papa bisa malu kalau tersebar di seluruh kalangan pengusaha. Nanti Papa dibilang nggak tahu didik anak. Papa dibilang punya anak yang nggak punya tata krama, etiket, moral dan lain sebagainya. Kamu mau Papa kamu dicap seperti itu?”
“Dia nggak tahu kan aku anaknya Papa,” kata Cakka.
“Tapi lama-lama dia pasti tahu juga Cakka. Haduh! Kamu tuh emang dasar ya,” kata Alons frustasi.
“Udah Pa, nggak usah terlalu berlebihan gitu kenapa. Ini luar negeri bukan Indonesia. Udah biasa kayak gitu. Lagipula itu Cakka cuma becanda,” kata Cakka.
“Becanda kamu yang berlebihan. Seharusnya di luar negeri kamu harus membawa kebudayaan Indonesia kamu―,”
Tit. Belum sempat papanya selesai bicara. Cakka mematikan sambungan telepon tersebut. Ia malas mendengarkan ocehan papanya. Tujuannya untuk apartemennya itu bukan untuk mendengarkan ocehan papanya. Ck.
Cakka segera membanting ponselnya itu secara sembarangan. Lalu kembali menyesap kopi yang dibuatnya. Menikmati indahnya jembatan Erasmus.
Setelah kopinya telah habis ia segera menyambar jaketnya untuk keluar. Jalan-jalan lebih baik. Daripada stress berdiam diri di situ. Mungkin ia bisa mengunjungi teman-teman lamanya semasa kuliah atau bisa ke pub, anywhere.
Ia membuka pintu apartemennya. Saat ia berada di luar. Gadis tadi juga sedang membuka apartemennya hendak keluar. Apartemen mereka yang berhadapan membuat mata mereka saling terantuk.
Cakka memperhatikan gadis di hadapannya itu. Ia agak menyipitkan matanya mencoba mengamati. Gadis itu terlihat takut dengan tatapan Cakka yang tajam. Cepat-cepat ia mengunci pintu apartemennya. Saat baru saja satu langkah ia menyusuri koridor. Cakka menghalanginya. Mereka kini saling berhadapan. Gadis itu menghela napasnya.
Mau apa lagi sih dia?
“Permisi, aku mau lewat,” katanya.
“Kayaknya gue kok pernah liat lo,” kata Cakka.
“Iya, kan tadi kamu lihat aku di kamar,” jawabnya.
“Ya… sebelum yang tadi maksudnya,” kata Cakka.
Gadis itu menutup matanya berusaha mengingat juga. Sebelum dia membuka matanya lalu menjawab, “di TMII,” jawabnya singkat.
“Oh lo kan gadis gila yang siang bolong jalan-jalan di Keong Mas pake bridal dress kan?” kata Cakka mengingat-ngingat.
“Iya,” katanya, “udah puas? Minggir aku mau lewat,” lanjutnya.
Tapi Cakka masih tetap bergeming pada posisinya. Membuat gadis itu menghela napasnya kembali dan mencari jalan lain. Baru satu langkah ia berjalan tubuhnya tertabrak badannya Cakka yang kekar. Wangi musk menguar dari tubuh Cakka. Membuat gadis itu ‘sedikit’ terbuai. Cepat-cepat ia menyadarkan dirinya. Cakka masih menghalangi jalannya.
“Lo mau kemana?” tanya Cakka.
“Belanja bahan makanan,” katanya.
“Emangnya tahu jalanan di Rotterdam sini? Tahu harus belanja dimana?” tanya Cakka.
Gadis itu terhenti. Sebenarnya dia tidak tahu juga. Tadi tujuannya mau bertanya pada petugas apartemen di bawah.
“Bukan urusan kamu,” katanya.
“Gue anterin lo gimana?” tawar Cakka.
“Aku nggak biasa naik tumpangan orang asing,” katanya.
“Yaudah kenalan apa susahnya sih. Gue Cakka,” kata Cakka mengulurkan tangannya.
Gadis itu menatap uluran tangan Cakka dengan hati-hati.
“Gue nggak punya virus menular. Nggak usah dilihatin kayak gitu juga kali. Lo kan nggak bisa bahasa Belanda, dan orang-orang di pasar sini kalau lo mau belanja bahan makanan penjualnya nggak mengerti bahasa Inggris. Gue kan bisa bantu lo buat komunikasi sama mereka,” kata Cakka.
Gadis itu berpikir sejenak. Benar juga sih. Daripada dia stress dan pulang tanpa hasil. Apa salahnya dia meminta tolong lelaki gila ini. Hupfh. Akhirnya gadis itu membalas uluran tangan Cakka, “Oik,” katanya memperkenalkan dirinya.
Bukannya melepaskan uluran tangan Oik. Cakka malah menggenggam tangannya. Lalu menggandengnya menyusuri koridor apartemen. Entah kenapa Oik punya firasat ini awal yang buruk.

***

Cakka memarkir SUV-nya setelah tiba di Blaak Market. Dari apartemen mereka hanya memakan waktu lima menit menggunakan mobil untuk tiba di Blaak Market. Tadi sebenarnya Oik ingin mereka masing-masing membawa mobil saja. Tapi Cakka tidak mengizinkannya. Ia malah menyuruh Oik masuk ke dalam SUV-nya. Alhasil, mereka berdua pergi ke Blaak Market dengan SUV Cakka.
Blaak Market adalah pasar paling besar di pusat kota Rotterdam. Blaak sangat menarik karena adanya the cube houses, the pencil building, dan tempat perhentian trem. Pasar rakyat ini menjual berbagai macam barang dengan berbagai macam harga.
Cakka segera menggandeng Oik masuk ke dalam Blaak Market. Oik menghempaskan pandangannya ke kiri dan ke kanan. Banyak penjual dan pembeli. Di sebuah sudut ada penjual keju dengan berbagai varian. It’s sounds great! Karena selain kincir angin dan bunga tulip, Belanda juga terkenal dengan keju.
“Lo mau cari apa?” tanya Cakka.
“Sayur sama buah deh, buat persediaan makanan,” kata Oik.
Cakka kembali menyeret Oik semakin masuk ke dalam Blaak Market. Mereka menuju penjual buah dan sayur yang ada di situ. Begitu banyak buah dan sayur di dalamnya.
“Lo bilang aja yang lo mau beli nanti gue yang tanyain,” kata Cakka.
“Apel, ceri, toge sama buncis, pokoknya apel satu kilo yang lain satu pond aja,” kata Oik.
“Sori ya, gue tanya lo beli sayur emang lo tahu masak?”
“Ya… dikit-dikit sih. Tumis-tumis doang. Ya hitung-hitung aku belajar mandiri. Daripada setiap hari makan di restoran.”
“Oke deh kalau begitu,” kata Cakka. Ia segera memalingkan pandangannya ke arah penjual di situ.
Penjual itu segera menyapa Cakka, “Zegt u het maar, Meneer?”
Anda perlu apa, Tuan?
Mag ik een pond taugé, drukknopen en kersen,” kata Cakka.
Berikan saya satu pon toge, buncis, dan ceri.
“Alstublieft, Meneer. Wilt u ook peren kopen?” tanya penjual itu.
Silakan tuan. Apakah anda mau membeli pir?
Nee, Geef mij maar een kilo appels,” kata Cakka, “Hoeveel kost dat?” tanya Cakka kemudian.
Tidak, berikan sekilo apel saja. Berapa harganya?
Eens kijken... Een pond kersen vijf euro, een pond taugé zes euro, een pond drukknopen zes euro, een kilo apples tien euro. Dat is dan zevenentwintig euro,” kata Penjual itu sambil menghitung di kalkulatornya.
Sebentar… satu pond ceri lima euro, satu pond toge enam euro, satu pond buncis enam euro, satu kilo apel sepuluh euro. Jadi semuanya dua puluh tujuh euro.
“Dua puluh tujuh euro,” kata Cakka sambil mengulurkan tangannya ke arah Oik menuntut uang dari Oik.
“Apaan dua puluh tujuh euro?” tanya Oik.
“Harganya, lo ngarep gue yang bayarin?”
“Oh iya,” cepat-cepat Oik mengambil uang dari dalam dompetnya. Tentu saja yang di dalam sudah bukan rupiah. Semuanya sudah ditukar dalam pecahan euro. Ia segera mengambil uang dan memberikannya pada Cakka.
Cakka segera memberikan uang yang diberikan Oik pada penjual. Lalu mengambil belanjaan yang sudah dibungkus dengan plastik. Oik mengulurkan tangannya hendak mengambil belanjaannya itu.
“Udah biar gue yang bawa,” kata Cakka, “dank u wel, mevrouw,” kata Cakka pada penjual itu lalu berjalan mendahului Oik sambil membawa kantong plastik itu.
Oik menatap punggung Cakka. Lelaki dihadapannya ini ternyata tidak segila kesan pertama yang dia berikan pada Oik. Ternyata dia lumayan baik juga. Tapi entahlah bisa jadi ini hanya sementara. Atau mungkin lelaki ini punya penyakit gila yang sering datang dan pergi.
“Lo liatin apa lagi di situ? Ayo!” kata Cakka berbalik menghadap Oik yang masih bergeming di depan penjual buah dan sayur itu.
Oik kaget segera mengekor di belakang Cakka. Semoga dia bisa betah tinggal di sana. Ya, walaupun dengan tetangga seperti Cakka.

***
(*)  Itu angka keberuntunganku.
(**) Tenang.

BELIEVE―THREE―[MAMA’S BOY]

THREE―MAMA’S BOY
“―Can’t run away and leave my mama alone
Cause I’m her boy, mama’s boy―”

DILAHIRKAN sebagai anak kembar. Cukup membuat Cakka sedikit frustasi. Bagaimana tidak? Ia selalu dibanding-bandingkan dengan kakak kembarnya itu. Padahal mereka adalah dua pribadi yang berbeda bukan? Kadang ia geli sendiri mengingat dulu waktu mereka masih kecil mamanya memakaikan baju dengan warna yang sama, motif yang sama, apapun selalu sama bahkan sampai underwear-nya pun sama. Tapi hebatnya mamanya selalu tahu mana Cakka dan mana Alvin, prok-prok.
Cakka mulai berontak tidak mau memakai sama lagi ketika ia mulai mengenal yang namanya ‘pacaran’ dan ajaibnya itu waktu kelas enam SD. Di saat Alvin masih bermain dengan mobil-mobilan. Apalagi ditambah kesukaan mereka yang berbeda. Cakka semakin jengkel ketika dia yang pecinta tokoh Spiderman bajunya Batman semua gara-gara kakak kembarnya itu suka Batman. Padahal Cakka paling benci kelelawar. Err.
Alvin tumbuh jadi anak yang berprestasi dalam bidang akademik. Dia selalu jadi bintang kelas dan membuat papanya selalu mengelu-elukannya. Cakka juga tidak mau kalah. Tentu saja dia juga menjadi anak yang berprestasi. Tapi berprestasi dalam menaklukan hati gadis-gadis. Dan tentu saja dia juga bintang. Bintang di hati banyak gadis di sekolahnya. Tidak hanya di sekolah tapi di luar sekolah juga banyak. Bukan membuat papanya mengelu-elukan namanya tapi malah membuat papanya mengoceh setiap hari untuknya. Karena hampir setiap bulan ada orang tua gadis-gadis yang datang untuk meminta pertanggungjawaban Cakka atas anak mereka. Ada yang hampir bunuh diri karena diputusin Cakka. Ada yang dirawat di-ICU karena minum baygon ketika mengetahui pacar Cakka tidak hanya dia. Ada yang nyilet-nyilet karena cintanya ditolak Cakka. Ada juga orang tua yang minta tanggung jawab supaya Cakka menikahi anaknya. Hellow gue masih SMA. Karena anaknya sudah tidak virgin gara-gara Cakka. Hellow dia yang mau, gue nggak minta, yang penting dia nggak hamil kan? Gue diajarin guru kok buat safe sex. Dan perkataan Cakka seperti itu selalu dihadiahi tamparan dari orang tua korban-korbannya. Whatever! Untungnya Cakka punya mama yang selalu membelanya. Jadinya setidaknya kalau papanya tidak berpihak padanya fine! Masih ada sang mama.
Pertama Cakka mengira Alvin gay. Secara sampai SMA, Alvin belum pernah yang namanya pacaran. Padahal ia saja sudah tak terhitung berapa kali pacaran. Mungkin pacaran sama kayak gonta-ganti underwear sana-sini. Makanya Cakka sedikit ‘agak’ menjauh dari Alvin. Tapi, semenjak kelas dua SMA ada seorang murid baru namanya Sivia dan membuat Alvin jadi tergila-gila padanya lebih dari orang gila. Kenapa Cakka bilang begitu? Karena Alvin memang benar-benar gila karena gadis bernama Sivia itu. Semua bukunya di belakangnya tertulis nama Sivia―yang menurut Cakka norak. Bahkan kalau malam ngigo nama Sivia. Mungkin juga wet dream gara-gara Sivia. Oops. Tapi hebatnya Alvin, walaupun ‘gila’ tak menurunkan prestasinya. Alvin minta tolong Cakka menyusun strategi untuk mendapatkan Sivia. Karena Cakka lebih berpengalaman dalam masalah menggait cewek. Dari situlah mereka baru benar-benar dekat sebagai saudara kembar.
Alvin akhirnya berhasil mendapatkan Sivia. Alvin tentunya berterima kasih kepada saudara kembarnya itu. Dan tanpa diminta Cakka, Alvin malah menawarkan diri mengerjakan seluruh PR-nya selama satu minggu. Sebenarnya Cakka bukan tipe anak yang bodoh banget dalam akademik. Ia termasuk dalam kaum yang sedang-sedang saja. Kalau cuma PR ia juga bisa mengerjakannya. Tapi… mumpung ada kesempatan dimanfaatkannya. Dan baru itu pula ia melihat kembarannya itu peduli sama yang namanya ‘cewek’. Ia terlihat begitu menyayangi Sivia. Melindunginya dari apapun. Tidak seperti Cakka yang ‘merusak’ dari segi apapun. Jujur saja, selama dia pacaran dari SD itu, awalnya cuma coba-coba. Pertama kali pacaran itu terasa biasa aja tidak ada yang istimewa dari jalan bareng, makan bareng di kantin, duduk dekat-dekatan. Apalagi ya… hm, mungkin cuma membuat Cakka rajin sekolah biar bertemu dengan pacarnya itu. Karena merasa biasa aja ia memutuskan pacarnya itu. Saat SMP semuanya terasa lebih berbeda, ia coba-coba lagi dengan kakak kelasnya. Dan tentu saja membawanya pada nuansa pacaran yang lebih berbeda, jalan berdua, duduk berdua, pengangan tangan, pelukan, first kiss. Ketagihan. Sampai jadi perusak. Oke, cukup sampai di situ. Karena sebanyak-banyaknya ia pacaran belum pernah merasakan yang namanya ‘jatuh cinta’ yang benar-benar cinta. Biasanya, ngomong cinta hanya sekadar rayuan belaka. Omong kosong dan sebagainya. Belum pernah benar-benar yang namanya tergila-gila seperti Alvin itu.
Saat kuliah, Alvin lebih memilih di Indonesia. Dimana lagi kalau bukan Universitas Indonesia. Apalagi alasannya kalau bukan karena tidak mau jauh dari Sivia. Sedangkan Cakka lebih memilih melanjutkan studinya di Erasmus University, Belanda. Sebenarnya waktu pertama kali hendak ke Belanda. Cakka juga agak berat meninggalkan sang mama tercinta. Secara, Cakka dekat dengan sang mama. Se-bad boy apapun Cakka, ia tetap tak bisa lepas dari mamanya. Dengan berat hati akhirnya mamanya juga mau melepas Cakka ke Belanda. Selama 5 tahun lebih ia menuntut ilmu di sana sampai meraih gelar master. Mamanya menyuruhnya kembali ke Indonesia. Padahal, kesepakatan awalnya Cakka yang akan mengurus perusahaan orang tuanya di Belanda. Tapi, karena menyayangi mamanya ia akhirnya kembali ke Indonesia.
Setahun kembali ke Indonesia, ia akhirnya bertemu dengan Shilla gadis yang berhasil membuatnya merasakan saat-saat Alvin tergila-gila dengan Sivia. Diusianya yang ke 24 tahun. Mungkin agak terlambat karena ia merasakan cinta baru diusia seperti itu. Bahkan lebih norak dari mencorat-coret halaman belakang buku. Cakka melakukan tindakan paling ia jauhi dulu. Menyingkat namanya dengan nama Shilla lalu dibuatkan kalung hati dengan nama mereka berdua. Hueek. Ternyata cinta memang norak, tapi Indah.
Alvin dan Sivia memutuskan menikah di usia 25 tahun. Tapi Cakka salut sama mereka karena berhasil mempertahankan hubungan dari SMA sampai nikah. Dan artinya, Alvin cuma butuh satu kali pacaran dan langsung menemukan jodohnya, prok-prok. Berarti cinta sejati benar-benar ada? Don’t know. Ia berusaha percaya dengan adanya Shilla di sampingnya. Tapi apa? Dia dibanting lagi dengan peristiwa setahun lalu!
Usia Cakka semakin bertambah. Kini menginjak 28 tahun. Dan… belum juga menikah membuat orang tuanya terkadang mendesaknya. Apalagi ketika Alvin dan Sivia punya anak. Huh! Makin-makin terdesak. Ya… seperti saat ini. Saat mereka semua berkumpul di rumah orang tua mereka. Ada papa, mama, Alvin, Sivia, anak mereka dan Cakka.
“Cakka, kayaknya kamu perlu cepat-cepat cari pengganti Shilla. Masa Shilla mendahului kamu,” kata Alons―papanya.
“Ck,” Cakka berdecak kesal dari tempat duduknya.
“Iya sayang, supaya Mama sama Papa nggak khawatir terus sama kamu,” kata Cayla―mamanya.
“Iya deh Kka, kayaknya lo butuh orang yang ngurus lo biar nggak kelayapan kemana-mana lagi,” komentar Sivia yang langsung diberi kode oleh Alvin, karena ia tahu saudara kembarnya itu not in a good mood.
“Nanti. Belum sekarang. Gue butuh waktu,” katanya membalas komentar Sivia, “Ma, Pa… Cakka mau bicara sama Mama dan Papa,” lanjutnya.
“Apa?” tanya Alons dan Cayla serempak.
Ia sedikit berpikir sebelum melanjutkan, “Cakka boleh nggak balik ke Rotterdam lagi? Balik ke kesepakatan awal kita lagi? Cakka ngurus perusahaan papa yang ada di sana aja ya. Cakka nggak cocok sama bisnis Papa di sini,” katanya.
Cayla terlihat kaget sedangkan Alons mengernyit sambil menatap anaknya itu.
Nee…Nee(*), jangan berpikiran negatif lagi tentang Cakka di sana. Tenang aja, Cakka masih di jalur aman kok di sana,” kata Cakka, ia pun memalingkan pandangannya ke arah Cayla, “Ma… ya, Cakka butuh waktu buat melupakan Shilla. Siapa tahu kan di sana Cakka bisa mendapat pengganti dia. Cakka janji di sana buat kerja, bukan buat senang-senang seperti di sini,” bujuk Cakka pada Cayla.
“Jangan percaya Ma, anak kayak Cakka tuh susah kalau nggak senang-senang,” kata Alvin sambil mengambil Shanta, anaknya yang masih bayi dari gendongan Sivia.
“Elah lo gitu banget Vin, bantu gue sedikit kek. Lo nggak mau kan lihat gue kayak gini terus. Lo mau tiap hari di suruh Mama nengokin gue ke apartemen gue, lihat gue udah pulang apa belum? Nggak mau kan? Kata lo kan mending lo ngurus isteri sama anak lo kan?” kata Cakka.
Alvin berpikir sejenak. Benar juga, kalau Cakka kembali ke Belanda dia tentu saja bebas dari tugasnya ‘mengawasi’ Cakka. Dan sok care sama Cakka. Padahal sih, ia benar-benar peduli pada saudara kembarnya itu. Hanya ia saja yang pura-pura ‘sok care’ agar Cakka tidak terlalu ke-GR-an. Tapi, dia juga lelah kalau Cakka keras kepala dan susah untuk diberi tahu.
“Ya… iya juga sih,” kata Alvin.
“Nah! Ayolah Ma, Pa. Cakka kan sudah dewasa, masa dua puluh delapan tahun masih dikekang Mama sama Papa kayak gini,” kata Cakka.
“Kalau kelakuan kamu seperti Alvin, Papa dan Mama nggak akan seperti itu sama kamu,” kata Alons.
“Mulai lagi deh dibanding-bandingin,” keluh Cakka.
“Mama sama Papa nggak maksud membandingkan. Kita cuma mau yang terbaik buat kamu,” kata Cayla.
“Kalau begitu balik ke Rotterdam adalah yang terbaik buat Cakka,” kata mantap.
Cayla dan Alons saling pandang-pandangan. Seberapa kerasnya mereka menghadapi anak mereka yang satu ini. Cakka tetap anak yang keras kepala. Apapun yang dimintanya tetap akan dikabulkan oleh mereka walaupun dengan berat hati.
Alons menghela napas berat sebelum akhirnya menyetujuinya, “baiklah, kalau itu yang kamu mau.”

***

Sehari sebelum Cakka berangkat kembali ke Belanda. Ia diminta mamanya menginap di rumahnya. Cakka menyetujuinya. Daripada dia batal ke Belanda. Saat ini, ia sedang mengemasi barang-barangnya yang akan dibawa ke Belanda. Mamanya membantunya lagi. Cakka jadi ingat saat pertama kali mamanya melepasnya ke Belanda. Mamanya begitu panik mempersiapkan segala sesuatunya. Sekarang pun masih begitu. Mamanya tetap sama.
Setelah selesai mengemasi barang-barangnya Cakka dan Cayla duduk di ruang keluarga. Mereka sama-sama menyesap teh hangat yang dibuat Cayla.
“Mama nggak nyangka harus melepas kamu ke Negeri orang lagi,” kata Cayla.
“Santai aja Ma. Ini untuk yang kedua kalinya kan? Jadi nggak perlu khawatir,” kata Cakka.
“Mama selalu khawatir sama kamu. Because until whenever you always be mama’s boy,” kata Cayla.
“Ya… sampai Cakka kakek-kakek tetap aja boy,” canda Cakka.
Keduanya tertawa lepas. Sudah lama mereka tidak merasakan kehangatan seperti ini. Cayla menepuk ubun-ubun kepala Cakka. Seperti yang biasa ia lakukan waktu Cakka masih kecil. Waktu memperingatkan Cakka bahayanya main dekat kipas angin, kompor dan lain sebagainya. Ia tersenyum, matanya berkaca-kaca. Membuat Cakka juga tersentuh hatinya melihat mamanya seperti itu.
“Udah deh Ma, jangan buat Cakka ikutan sedih juga,” kata Cakka.
“Nggak kok. Mama terharu aja. Nggak nyangka banget anak-anak Mama udah besar-besar. Mama jadi Ibu sudah dua puluh delapan tahun dari anak yang ganteng-ganteng,” kata Cayla.
“Mama nyesel nggak punya anak kayak Cakka? Keras kepala. Bad boy-nya nggak ketulungan. Udah gitu gagal nikah lagi,” kata Cakka.
Cayla tersenyum ia membelai pipi Cakka, “nggak sayang, Mama selalu bangga punya kamu. Dan sampai kapanpun akan tetap bangga,” kata Cayla.
Cakka segera memeluk mamanya itu. Merasakan kembali hangatnya pelukan seorang mama. Ternyata ia salah, cinta sejati memang ada. Buktinya cinta mamanya kepadanya. Eit! Tapi ini tidak berlaku dalam love life-nya. Mungkin belum―entahlah.
“Mama buat Cakka berat lagi kan buat ninggalin Mama,” kata Cakka.
“Pergi saja sayang, kamu pantas mencari kebahagiaan kamu. Masa depan kamu dan semuanya. Lagi pula kamu kan masih bisa main-main kemari. Mama pun bisa main-main ke Belanda, kita kan masih bisa bertemu,” kata Cayla.
Dank u wel Ma, Mama memang Mama paling baik yang pernah ada di dunia,” kata Cakka, “walau kadang menjengkelkan, hahahaha,” lanjut Cakka diakhiri tawa.
Cayla juga tertawa.

***

Keberangkatan internasional Bandara Soekarno-Hatta terlihat ramai oleh turis-turis. Cakka menyeret kopernya mendekati pintu check-in. Namun sebelumnya ia pamitan dulu pada keluarga yang mengantarnya. Ada Alons, Cayla, Alvin, Sivia dan Shanta di situ. Cakka menyalami Alons lalu memberikan pelukan ala lelaki. Kemudian menyalami Cayla dan langsung dihadiahi pelukan lembut seorang ibu. Kemudian menyalami Alvin.
“Jaga diri di sana Bro,” kata Alvin kemudian memeluk saudara kembarnya itu.
“Perkataan lo itu kayak perkataan orang tua ke anak perawannya tahu nggak,” kata Cakka sambil melepas pelukannya.
“Dih… mulai lagi. Gue bakal kangen deh sama keras kepala lo kayak gini,” kata Alvin.
Cakka berjalan mendekati Sivia kemudian menyalaminya, “Siv, jagain kembaran gue. Jangan biarin dia ngelirik wanita lain. Kalau dia kangen gue, lo keras-kerasin kepala lo aja kayak gue, biar kangennya sedikit terobati,” kata Cakka.
Sivia tertawa, “iya sip itu,” katanya.
“Lo kira gue kayak lo tukang lirik-lirik. Jangan sayang, jangan keras kepala kayak dia kelakuan buruk nggak boleh ditiru,” kata Alvin.
“Ya deh yang good boy,” kata Cakka. Ia kemudian melihat Shanta yang ada di atas kereta bayi. Bayi perempuan mungil itu sedang tertawa mempertontonkan gusinya pada Cakka.
“Shanta, Om Cakka pergi dulu ya. Kamu baik-baik. Tumbuh jadi gadis yang cantik. Trus kalau cari pacar jangan cari yang kayak Om Cakka ya, nggak bagus,” kata Cakka.
“Kalau ada cowok tipe lo yang ngedekatin Shanta nanti gue udah bunuh cowok itu duluan,” komentar Alvin.
“Galak amat sih lo Vin,” kata Cakka langsung berdiri lagi dan beringsut dari tempat Shanta.
“Demi kebaikan anak gue, nggak apa-apa dong gue basmi virusnya terlebih dahulu,” kata Alvin.
“Ya… terserah deh,” kata Cakka. Ia menatap arlojinya, “semua Cakka pamit, sampai ketemu lain waktu,” kata Cakka.
“Oke Cakka, hati-hati di jalan sayang, Mama selalu berdoa buat kamu,” kata Cayla.
Cakka mengangkat jari jempolnya kemudian berjalan menyeret kopernya memasuki hendak memasuk ruang check-in. Akhirnya, ia akan kembali ke Belanda.
Sebelum ia benar-benar masuk ke ruang check-in. Ia diperiksa kelengkapannya dulu oleh petugas. Dari tempatnya berdiri terdengar perkataan seorang ibu kepada anaknya beberapa langkah di sampingnya.
“Jaga diri baik-baik ya di sana ya sayang, nggak boleh ikut-ikutan budaya di sana. Ingat di sana kamu buat menuntut ilmu bukan untuk bersenang-senang,” kata ibu itu.
Cakka memalingkan pandangan ke arah sumber suara. Ternyata seorang ibu dan suaminya bersama anak gadisnya. Gadis berambut ikal panjang itu memeluk ibunya. Tanda perpisahan. Cakka hanya bisa melihat punggung gadis itu.
Punya anak perempuan itu ribet. Makanya Cakka tidak mau punya anak perempuan nanti. Harus menjaganya dengan baik seperti halnya menjaga kristal, takut pecah. Apalagi kalau ketemu lelaki seperti Cakka. Oh no!
Cakka segera menggeleng-gelengkan kepala. Menyingkirkan pikirannya itu. Suer! Selama ini, ia baru memikirkan soal ‘anak’ tadi. Dan itu refleks hanya karena melihat gadis itu dengan orang tuanya.
Petugas bandara mengagetkan Cakka. Ia menyerahkan kelengkapan Cakka setelah di periksa dan menyuruh Cakka masuk ke dalam ruang check-in. Cakka menghembuskan napasnya sebelum masuk ke dalam.
Dag, tot ziens Indonesië.(**)

***
(*) Tidak… Tidak
(**) Sampai jumpa Indonesia

BELIEVE―TWO―[HEARTACHE]

TWO―HEARTACHE
“―Nothing can cure my headache
Cause I’m experiencing what they call heartbreak―

SEMILIR angin malam itu terasa menenangkan. Tapi, tidak cukup menenangkan untuk Cakka yang duduk di balkon kamarnya. Menatap bintang yang menurutnya tak seindah biasanya. Sial! Sudah setahun belakangan ini ia stuck dengan yang namanya Shilla. Apa-apan ini? Ia tidak pernah seperti ini. Wanita itu harusnya bertanggung jawab dengan semua yang terjadi padanya. Bukannya gagal move on cuma buat cewek yang menye-menye?
Tiba-tiba saja Cakka merasakan sakit kepalanya. Seharusnya sudah cukup sampai di sini. Shilla sudah bahagia dengan pasangannya. Ia tidak boleh merasa menderita di bawah kebahagiaan orang. Apa lah namanya ini? Sakit hati? Patah hati dan semacamnya? Cakka belum pernah merasakan yang seperti ini.
Ia segera berjalan ke arah kamarnya. Menghempaskan tubuhnya di atas masterbed. Menatap langit-langit kamarnya. Bukannya membuat sakit kepalanya sembuh malah membuat makin sakit kepalanya. Karena dalam keadaan tenang dan sendirian di kamar mengingatkannya pada penghinaan Shilla di café itu.
“Arrrrgggghhhh,” teriak Cakka berdiri kembali langsung menyambar jaketnya yang tersampir di sofa kamarnya.
Ia segera menuju pintu kamarnya membuka pintu kamarnya lalu membantingnya dengan kasar. Cakka segera berjalan turun dari kamarnya menuju lapangan parkir. Mengambil BRZ-nya lalu menyetirnya memecah jalanan Jakarta malam itu.
Kembali pada kebiasaan lamanya. Kembali kepada dunia lamanya. Ia terus menyetir sampai ke sebuah jalanan yang ramai oleh pemuda dan pemudi dengan mobilnya masing-masing. Dari sinilah pertama kali ia bertemu dengan Shilla. Dari dunia ini. Dan ia ingin mengakhirinya dari dunia ini juga.
Cakka segera memarkir BRZ-nya sejajar dengan mobil-mobil yang sudah berjejer di situ. Ia kemudian turun dari situ. Beberapa gadis menyambutnya. Gadis-gadis itu tampak liar dengan rok mini dan tubetop.
“Hai Kka, udah lama nggak kemari. Tumben kemari lagi,” kata seorang gadis dengan make-up yang lumayan tebal.
“Memangnya gue nggak boleh ya balik sini lagi?” tanya Cakka dengan tatapan tajamnya ke arah tiga gadis yang ada di hadapannya.
“Boleh kok. Boleh banget malah,” kata gadis yang rambutnya tergerai dengan antusias.
Seorang lelaki berjalan ke arah Cakka. Tiba di depan Cakka dia segera menyunggingkan senyum setengahnya, “berani lo kemari lagi?” tanyanya lebih terkesan menyindir.
“Gue nggak akan pernah takut sama lo Sion!” kata Cakka.
“Kalau begitu masih berani kan lo turun ke jalan?” tantang Sion.
Natuurlijk(*),” kata Cakka dengan tatapan penuh keyakinan.
“Oke! Taruhannya BRZ lo sama CR-Z gue,” katanya.
Okee. Tot ziens in de auto(**),” kata Cakka tak kalah sinis.
Ia segera melangkah masuk ke dalam BRZ-nya dan membawa BRZ-nya itu ke depan garis start. Banyak yang sudah berkumpul di garis start. Mereka semua terlihat antusias. Meneriaki nama jagoan mereka masing-masing. Sion baru tiba dengan CR-Z-nya di samping BRZ Cakka. Seorang gadis yang mengenakan hotpants dengan tanktop membawa sebuah bendera. Ia mulai mengibarkannya di udara tanda Cakka dan Sion harus segera bersiap-siap. Sekali lagi gadis itu mengibarkan benderanya sebelum ia menutupnya dan CR-Z dengan BRZ itu berlomba menyusuri jalan.
Balapan liar. Setelah pulang dari menuntut ilmunya di Negeri kincir angin. Dulu Cakka hidup di sini. Ia sering ikut taruhan balapan liar setiap malam. Sebelum ia bertemu Shilla di situ. Shilla adalah satu diantara gadis-gadis yang menggunakan rok mini dan tubetop atau tanktop. Menemani para jokey malam itu. Dari one night stand, hubungan mereka berlanjut. Dan memutuskan untuk keluar dari dunia malam nan liar itu. Untuk menjalani cinta mereka. Ya… cinta yang bullshit itu.
Cakka fokus pada jalanannya berusaha melupakan Shilla. Tujuannya hanya satu. Memenangkan pertarungan ini! CR-Z Sion masih berada di depan BRZ Cakka. Ia tersenyum sinis.
Tidak semudah itu Sion
Cakka kembali memacu BRZ-nya meninggalkan CR-Z Sion di belakangnya. Terjadi kejar-kejaran antara keduanya. Pertarungan sangat sengit. Keduanya tidak mau saling mengalah. Sorak-sorai penonton terdengar riuh. Adrenalin keduanya terpacu. Mereka semakin menjadi di jalanan. Sedikit lagi tiba di garis finish. Cakka segera menginjak gasnya dan membuatnya menjadi yang pertama tiba di garis finish.
Semua langsung berkerumun di depan BRZ-nya. Banyak yang bersorak mengelu-elukan namanya. Cakka segera turun dari BRZ-nya. Menghampiri Sion yang juga baru turun dari CR-Z-nya dengan tatapan tidak terima.
Verliezer(***),” kata Cakka menatapnya sinis sambil mengulurkan tangannya menuntut kunci CR-Z-nya Sion.
Dengan terpaksa Sion menyerahkan kunci CR-Z itu ke tangan Cakka. Kemudian dengan geram berlalu dari situ. Cakka tertawa menyindir.
Setidaknya, seperti ini bisa membuatnya sejenak melupakan Shilla.

***

Cakka membuka pintu apartemennya. Ia sempoyongan berjalan masuk ke dalam. Jam sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi. Cakka baru pulang, semalam setelah ia memenangkan balapan. Ia mentraktir semua temannya di bar.  Alhasil, ia akhirnya pulang pagi. Ini untuk pertama kalinya ia pulang pagi semenjak tiga tahun lalu.
“Cakka! Astaga! lo mabuk lagi?” tanya Alvin saat Cakka memasuki ruang tamu.
Hou je mond! Je geen zorgen(****),” kata Cakka.
“Gue nggak ngarti lo pake bahasa Belanda kayak gitu. Mentang-mentang lo kuliah di sana trus lo pake bahasa sana melulu. Kan percuma Mama sama Papa kuliahin lo jauh-jauh ke sana tapi kelakuan lo nol kayak gini,” kata Alvin.
“Gue bilang lo diam aja. Nggak usah khawatir sama gue. Lagipula kan dulu gue bilang gue nggak mau pulang ke Indonesia lagi tapi Mama maksa kan gini jadinya. Gue kan kuliah di sana buat ngurus perusahaan Papa yang ada di sana bukan balik ke Indonesia kayak gini, ik niet bevalt(*****),” kata Cakka.
“Sebenarnya sih gue nggak khawatir sama lo. Dih ngapain gue ngurusin orang keras kepala kayak lo. Mending gue ngurusin anak dan isteri gue. Cuma Mama nerima laporan dari pembantu lo katanya lo nggak pulang tadi malam. Mama khawatir sana! Mama tuh sayang banget sama lo makanya dia nggak mau lo ada apa-apanya di Negeri orang makanya dia suruh lo pulang kemari.”
“Tapi gara-gara gue pulang kemari gue malah ada apa-apanya kan? Mending gue di sana nggak pernah ngerasain yang namanya cinta bullshit. Senang-senang sama cewek siapa aja. Daripada di sini gini kan jadinya?”
“Gue rasa Shilla nggak bakalan nyesel ninggalin lo! Lo perlu pembelajaran Cakka untuk menghargai bentuk cinta yang sebenarnya.”
“Halah! God vermond! Gue nggak perlu tuh belajar begituan. Dan sekali lagi gue peringatin sama lo, jangan sebut-sebut Shilla lagi di hadapan gue. Gue muak!” kata Cakka langsung berjalan masuk ke kamarnya dan membanting pintu.
Alvin menghela napasnya. Menggeleng-gelengkan kepalanya. Sebelum mengambil langkah keluar dari apartemen saudara kembarnya itu.

***

Botol vodka dimana-mana. Kamar itu berantakan. Asap rokok membuat ruangan itu terasa semakin sesak. Cakka duduk di atas masterbed kamarnya. Sambil menyesap rokok yang ada di tangannya. Kemeja putih yang dikenakannya terbuka semua kancingnya. Memperlihatkan badannya yang kekar. Seorang gadis yang kepalanya dipangkuan Cakka. Tangannya menelusuri setiap lekuk otot-otot Cakka. Seperti melukiskan setiap keindahan yang ada di hadapannya itu.
Tadi malam Cakka baru menghadiri pernikahan temannya. Sebenarnya semenjak pernikahan Shilla. Ia sudah muak menghadiri pernikahan-pernikahan yang lain. Namun, karena ini teman baiknya. Ray temannya itu, seorang musisi yang terkenal dan mempunyai nama di Indonesia. Temannya sejak kecil. Jadi walau bagaimana pun ia menghadirinya.
Dari situ, ia bertemu lagi dengan teman lamanya. Merasa nyaman berbagi dengannya lagi. Mereka mengakrabkan diri lagi di apartemen Cakka. Bernostalgia sebagai kawan lama. Minum-minum dan berakhir di ranjang. Kembali pada kebiasaan lamanya lagi.
“Lo lagi stress ya Kka?” tanya gadis itu.
“Udah deh Cha, lo nggak usah banyak tanya,” kata Cakka.
“Ya, nggak gue heran aja,” katanya masih dengan aktivitas pada otot-otot Cakka, “soalnya, bukannya tahun lalu gue dengar lo mau nikah gitu, tapi pas gue lagi di Aussie itu sih, gue dengar dari Gita katanya lo udah nyebar undangan, waktu Gita bilang itu ke gue, sumpah gue ketawa, lo mau nikah? Yang benar aja, lo kan paling nggak percaya sama yang namanya cinta itu, cinta satu malam mah iya,” katanya diakhiri tawa, “emang lo cinta sama dia?” tanyanya kemudian.
Cakka menghembuskan asap rokoknya, “Ik houd van haar, I love her, gue cinta dia. Lo pasti pikir lucu. Tapi memang itu kenyataannya. Tapi dia ninggalin gue waktu sebulan sebelum pernikahan gue sama dia, dan beberapa minggu lalu dia nikah sama orang lain,” kata Cakka.
“Lo heartache ya? Astaga seorang Cakka heartache, hebat banget cewek itu,” katanya lebih terkesan menyindir.
“Udah deh, lo nggak usah nyindir gue,” kata Cakka.
“Itu karma kali Kka, lo nggak tahu seberapa banyak kan cewek-cewek yang heartache karena lo dulu? Termasuk gue, tapi itu dulu ya,” katanya.
“Mau heartache kek, heartbreak kek atau apapun semacamnya. Gue janji ini yang terakhir kali gue kayak gini. Berikut nggak ada lagi yang kayak gini, dan gue nggak percaya sama yang namanya karma, gue percayanya hukum tabur-tuai,” kata Cakka.
“Oh c’mon Kka, lo udah dua puluh delapan tahun saatnya jalani sesuatu dengan serius. Nggak apa-apa kali kalau lo heartache. Itu normal kok,” katanya.
“Gue udah pernah jalani dengan serius, tapi toh nggak ada hasilnya. Jadi mendingan gue balik lagi kayak dulu,” kata Cakka kemudian menyulutkan rokoknya ke dalam asbak. Lalu beringsut dari masterbed-nya. Mengunci kembali satu per satu kancing kemejanya.
“Ya… itu sih terserah lo ya, pilihan lo, cuma kalau menurut gue lo butuh seseorang yang membuat lo percaya kalau cinta itu sebenarnya nggak bullshit,” katanya sambil ikut berdiri mengambil gaunnya dan memakainya.
“Lo suruh gue buat percaya cinta itu nggak bullshit, tapi lo sendiri juga nggak percaya kan?”
“Gue percaya kok. Cuma gue belum nemu aja sekarang,” katanya.
“Trus maksud lo orang yang bisa buat gue percaya kalau cinta itu nggak bullshit lo gitu?” tanya Cakka sambil mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu. Matanya yang tajam menatap kedua bola mata cokelat gadis itu.
No… no, bukan gue. I’m not a good girl and you know that. Lo butuh orang yang benar-benar baik. Yang kehidupannya seratus delapan puluh derajat dari lo,” katanya.
“Maksud lo gadis-gadis kampungan begitu? Gue harus cari gadis kampung? Buat ngobatin sakit hati gue?”
“Ya nggak gitu juga kali. Ah! Susah deh bicara sama orang kayak lo. Ganti topik,” katanya sambil duduk di sofa kamar Cakka, “Alvin apa kabar?”
“Kenapa? Lo kangen sama dia?” Cakka balik bertanya dan duduk di sampingnya.
“Ck, gue tanya lo malah balik tanya,” keluhnya.
“Baik dia. Apalagi kan sekarang dia udah settle down. Kenapa lo nggak datang waktu dia nikah?”
“Gue kan udah bilang tamat SMA gue di Aussie, sampe sebulan lalu baru gue balik ke sini,” katanya.
“Hm,” respon Cakka singkat.
“Ketemu lo sama Alvin, gue sadar kembar itu nggak selalu sama, Alvin good boy banget, tipe-tipe warm yang bikin cewek melted, kalau lo bad boy di atas playboy, tipe-tipe hot yang bikin cewek―,”
Horny,” potong Cakka cuek.
“Cakka boleh nggak pikiran lo sedikit aja jauh dari yang seperti itu, gue belum selesai,” protesnya.
“Habisnya lo bilang hot. Lo sendiri juga kan horny waktu sama gue. Jadi gue nggak salah kan?”
Perkataan Cakka itu sukses membuat pipi gadis itu merona, “okay, I think that’s over. I should go now, gue mau ke kantor bokap dulu. Lo nggak ngantor?”
Cakka menatap arlojinya, “iya bentar lagi,” katanya.
Gadis itu beringsut dari tempat duduknya mengambil tas dan kembali memakai stiletto-nya. Merapikan rambutnya kembali lalu berjalan membuka pintu kamar Cakka. Sebelum ia keluar. Ia berbalik menatap Cakka yang kembali memasang rokoknya.
“Tapi bener deh Kka, pikirin yang gue bilang tadi. Kalau lo mau ngobatin heartache lo bukan dengan cara balik ke kehidupan lama lo. You must try to find someone who can make you believe again in love. Good girl who deserve to accept your love with all her heart and life,” katanya sebelum berjalan hendak keluar.
“Acha,” panggil Cakka.
Gadis itu menoleh mengangkat setengah alisnya.
I don’t understand,” kata Cakka.
Ask your heart, by the way thanks for the last night. Nice to see you again,” kata Acha sebelum benar-benar keluar meninggalkan Cakka di kamar apartemennya.
Cakka mengangkat kedua bahunya kemudian menggeleng-gelengkan. Menghembuskan asap rokok dari mulutnya memenuhi ruangan itu kembali.
Tanya hatinya? Kalau hati yang sakit apa bisa ditanya? Ya apapun itu. Mulai hari ini Cakka benar-benar akan melupakan Shilla. Mungkin dengan sebuah rencana yang sudah ada di dalam benaknya.

***
(*) Tentu saja
(**) Baiklah. Sampai jumpa di mobil
(***) Pecundang
(****) Diam! Tidak usah khawatir
(*****) Aku tidak menyukainya
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...