ONE―THE
NOTEBOOK
“―You
can't live your life for other people.
You've
got to do what's right for you,
even
if it hurts some people you love. ―”
WANGI bunga kamboja menguar. Burung hantu sore itu
menggema. Oik duduk menatap batu nisan yang ada di hadapannya. Air matanya
belum mengering di pipinya. Masih ada bekas-bekas genangannya di sana. Ya…
bundanya telah tiada. Entah dia harus bersedih atau bersyukur mungkin keduanya.
Bersedih karena bundanya adalah sosok yang melahirkannya kini telah tiada,
menyatu lagi dengan tanah. Bersyukur karena itu artinya Tuhan menyayangi
bundanya karena telah memanggilnya pulang―oke itu bohong. Bersyukur karena
tidak ada yang mengekang kebebasannya lagi? Ah! Itu juga bukan seperti yang ada
di dalam hatinya.
Lalu tak ada bundanya siapa lagi yang memperhatikannya?
Memperhatikan penyakitnya? Kenapa ayahnya menurunkan penyakit bodoh ini
kepadanya? Kenapa? Ia bahkan seperti telur di ujung tanduk dengan penyakit turunan
keparat ini. Huh!
Dia menatap sebuah buku diari yang ada digenggamannya. Buku
yang sudah agak usang dengan sampul berwarna cokelat tua polos. Tanpa ada
pernak-pernik lainnya. Yang ada hanyalah sebuah tulisan The Notebook. Itu saja.
Oik mengangkat kedua alisnya kemudian mengerutkan keningnya. Bundanya sering
menulis diari? Dia pikir hanya sibuk arisan dengan ibu-ibu hebring dan uang-uang
haram…oops―it’s a secret, she’ll tell you
later.
Oik pun membuka buku diari itu melihat apa yang
tertulis di dalam diari itu. Di halaman paling depan terdapat sebuah tulisan
yang sudah agak buram. Oik mencoba membacanya dengan saksama.
“Hidup
kadang membuat kita melukai orang yang kita cintai.”
Entah kenapa membaca itu Oik ikut terluka. Hatinya
seakan menjerit. Dia mulai mengingat kembali saat-saat dimana bundanya itu
pergi menghadap Sang Pencipta.
***
RS. Medistra 20
Januari 2013 01.00 AM
Oik masih terjaga. Ini hari ulang tahunnya yang ke 20.
Tapi mungkin diantara ulang tahunnya yang buruk. Ini adalah yang terburuk.
Menghitung mundur ulang tahunnya di depan bundanya yang dibantu dengan
alat-alat medis. Oik menatap bundanya itu dari sofa tempat ia duduk saat itu.
Bundanya hanya seperti tertidur. Dan ia meyakini bahwa bundanya hanya tidur.
Beberapa minggu yang lalu bundanya sering mengeluh
pusing, sakit kepala, menggigil, nyeri sendi dan lain sebagainya. Tapi bundanya
tidak mau berobat ke dokter. Katanya itu tidak apa-apa. Mungkin hanya karena
capek. Mengingat tahun baru banyak acara dari teman-teman arisan dan juga
teman-teman ‘sepermainan’-nya itu. Sejak ditinggal ayahnya beberapa tahun yang
lalu karena jatuh dari tangga kantornya. Oke itu konyol. Tapi sebenarnya
penyebab kematiannya bukan karena itu. Tapi karena penyakit yang sekarang ini
juga bersarang di tubuh Oik sejak lahir. Bundanya seakan jadi bebas. Seperti
burung yang baru saja dilepas dari sangkarnya. Oik tidak tahu persis apa
penyebabnya.
Oik menghela napasnya, sebelum menatap bundanya itu
lekat. Bundanya terbaring karena penyakit malaria tropica + 5. Oke… Oik tidak
mengerti dengan istilah itu. Tapi kata dokter penyakit yang disebabkan oleh
gigitan nyamuk anopheles ini telah menyerang sampai otaknya. Bagi orang yang
tidak tahan dengan penyakitnya bisa menyebabkan gila atau pun kematian. Semoga
saja itu tidak terjadi pada bundanya. Oik mengambil langkah mendekat ke samping
ranjang bundanya. Kemudian membelai bundanya itu. Sebenarnya Oik sangat
menyayanginya. Walau bagaimana pun dia tetap bundanya. Oik baru saja ingin
kembali duduk saat bundanya melakukan gerakan. Ia terdiam dan berbalik menatap
lekat lagi bundanya. Perlahan mata bundanya terbuka membuat Oik sumringah.
“Bunda…” Oik segera memanggil bundanya tersebut.
Di bawah bantuan tabung oksigen. Bundanya berusaha
untuk bernapas seperti sediakala.
“Oik,” panggil bundanya dengan suara lemah.
“Ya Bunda?” jawab Oik.
Tangan yang di atasnya bersarang sebuah jarum infus itu
berusaha membelai Oik.
“Kalau nanti Bunda sudah nggak ada, kamu janji ya bakal
jaga diri kamu,” kata bundanya.
“Bunda nggak boleh begitu, Bunda pasti sembuh kok Oik
yakin,” katanya.
Bundanya menggeleng, “janji dulu sama Bunda. Nggak
boleh melakukan semua daftar yang bunda buat, nanti bakalan ada yang
menggantikan Bunda buat menjaga kamu,” kata bundanya.
Oik mengernyit, dia tak mengerti dengan perkataan
bundanya itu, “maksud Bunda?” tanya Oik.
“Ada yang Bunda ingin ceritakan sama kamu. Rahasia
lama, rahasia kelam hidup Bunda,” kata bundanya.
Oik menunggu kelanjutan kata-kata bundanya itu. Air
mata bundanya jatuh di pipi bundanya.
“Nanti kalau Bunda pergi kamu cari kakak kamu ya, kamu
cari dia, dia yang akan menjaga kamu. Bunda sudah menghubunginya beberapa hari
lalu sebelum Bunda masuk rumah sakit. Selama ini Bunda masih berhubungan
dengannya tanpa ada satu orang pun yang tahu. Dan dia menyetujui untuk
menjagamu,” kata Bundanya sambil memegang tangan Oik.
Wait a few minutes.
Apa kata bundanya? Kakak? Ia punya kakak? Bukankah ia anak satu-satunya? Oik
semakin tidak mengerti arah pembicaraan bundanya. Oh! Mungkin benar kata
dokter. Penyakitnya menyerang otaknya dan bundanya sekarang gila!
“Kamu pasti kaget. Tapi itulah kenyataan Oik. Kamu
punya Kakak. Dia anak Bunda dengan pria lain, bukan dengan Ayahmu. Tapi dia
tetap kakakmu, carilah dia. Dia ada di Yogyakarta. Alamatnya di Jalan Kaliurang
kilometer enam, Sawit Sari. Supaya kamu nggak lupa Bunda taruh alamatnya di dalam
buku diari Bunda. Ada di dalam lemari Bunda, di laci yang selalu terkunci.
Kuncinya ada di bawah bantal Bunda, rahasia Bunda ada di dalam diari itu,” kata
Bundanya.
Oik masih shock.
Ia punya kakak? Yang diusia ke-20 baru ia mengetahuinya? Kenapa bundanya baru
mengatakannya sekarang? Apakah almarhum ayahnya tahu kalau bundanya punya anak
dengan pria lain? Oik masih bergeming dan baru sadar ketika tangan bundanya
melemah dan jatuh terhuyung di atas kasur. Seiring hembusan napas terakhirnya.
Bundanya telah pergi tepat di ulang tahunnya. Sungguh
ini hadiah termanis.
***
Oik jadi penasaran dengan isi diari bundanya
selanjutnya. Dia segera membuka halaman berikutnya. Ada sebuah foto yang
ditempel menggunakan selotip. Sepertinya foto bundanya dengan seseorang. Waktu
itu bundanya masih seumuran Oik mungkin. Oik segera membuka halaman
selanjutnya.
Juni 1990
Malas. Itu hal yang
menggambarkanku saat ini. Aku MALAS dengan semuanya! Mama dan Papa memaksaku
untuk kuliah di bidang manajemen! Tolong dong! Aku nggak pernah punya niat buat
kuliah di sana. Sepertinya desain visual lebih menarik menurutku. Selama 5 semester
kemarin nilai jeblok haha. Mending aku keluar aja ye nggak? Walaupun UGM yang
KATANYA Universitas bergengsi. Ah! Tapi aku malas berada di sana. Membuat aku
MUAK!
Juli 1990
This is the
adventure! Aku udah fix berhenti kuliah. Oh mama dan papa nggak tahu. Uang yang
mereka kirimkan aku pakai untuk berhura-hura dengan teman-temanku. Ngekos di
sebuah rumah hanya untuk aku dan teman-temanku. Yeah! It’s heaven for me! And
then, kita tadi baru melakukan perjalanan pulang ke desanya Asti. Desa Singosaren.
And now I’m here! Yipiiieee. Desa dengan perkebunan dan persawahan terbuka.
Tapi… kata Asti Desa ini terbagi atas dua bagian jalan lingkar utara dan
lingkar selatan. Dan tempat tinggalnya di jalan lingkar selatan. Oke… whatever
she said! Yang penting aku nyaman di Desa ini.
Masih Juli 1990
Guys! Aku kenalan
dengan seorang warga kampung sini. Namanya Tejo. Lucu ya namanya. Hehehe. Tapi
sumpah dia ganteng banget. Dia nggak sama dengan teman-teman cowok di kampusku.
Gayanya sederhana, tapi aku suka itu. Kayaknya I’m falling in love with him.
Kayaknya kalau begini aku mau tinggal di Desanya Asti ini selama-lamanya aja
with Tejo. Hahahahahahaha.
Oik membuka lembaran demi lembaran diari bundanya itu.
Berisi tentang curhatan bundanya tentang lelaki bernama Tejo itu.
Kedekatan-kedekatan mereka. Sampai ketika Asti mengajaknya kembali ke kota,
bundanya tidak mau. Jadinya Asti juga tidak pulang ke kota dan tinggal di situ.
Bundanya dengan lelaki bernama Tejo itu akhirnya pacaran. Oke… sepertinya diari
itu berisi tentang Tejo… Tejo dan Tejo saja. Sampai Oik menggeleng-geleng
frustasi melihat nama Tejo dimana-mana. Dengan noraknya bundanya menggambar
hati dengan nama ‘Tejo & Idha’ di dalamnya. Membuat Oik bergidik ngeri
sendiri. Oik melewatkan beberapa halaman sebelum matanya membaca sebuah tulisan…
November 1990
God please forgive
me, forgive us. Aku tahu aku memang bukan anak yang baik. Aku tahu aku memang banyak
dosa. Tapi… ini adalah salah satu kesalahanku. Aku dan Tejo telah melakukannya.
Waktu Asti dan keluarganya sedang tidak ada di rumah. Aku terlalu terbawa
suasana. Tapi kami berjanji nggak akan melakukannya lagi… cukup itu saja.
Oik tercekat. Dengan bergetar dia membuka halaman demi
halaman lagi. Oik menghela napasnya. Lagi-lagi dia menemukan penyesalan.
Desember 1990
Happy b’day Tejo.
Wish u all the best I love you all the time. All my life :’)
Aku nggak punya
hadiah yang berarti. Oke boong, karena untuk hadiah ulang tahun Tejo aku
memutuskan untuk melakukannya sekali lagi. Oke dosa besar. Penyesalan lagi.
Huh! Kayaknya nggak ada guna.
Januari 1991
I’M PREGNANT IT’S
LIKE HELL!!
Ah! Tapi Tejo
bilang itu anugerah :’)
Oik kembali menghela napasnya kembali. Sepertinya bundanya
mengandung kakaknya. Mungkin ini yang dikatakan bundanya sebelum meninggal.
Tejo mungkin pria lain yang dikatakan bundanya. Halaman selanjutnya hanya halaman-halaman
dengan tulisan-tulisan singkat. Ada juga sebuah paragraf yang mengatakan bahwa
bundanya dengan Tejo akhirnya pindah ke kota Yogyakarta karena Tejo akan mencari
pekerjaan untuk menghidupi bundanya dan calon bayinya. Karena bundanya ketahuan
berhenti kuliah dan tentu saja uang bulanannya dihentikan. Di tahun 1991,
bundanya berhenti menulis di bulan Juli yang katanya dia hamil besar.
Selanjutnya halamannya kosong melompong sampai bulan Januari tahun 1992.
Januari 1992
Damn! IT’S MORE
THAN HELL! I MISS TEJO SO MUCH. Bahkan di malam pertama aku
dengan suamiku, aku masih memikirkan Tejo? Memikirkan bayi kita? Aku belum
sempat memberinya nama sebelum dengan paksanya Mama sama Papa mengirim bodyguard untuk menjemputku. Aku bahkan
baru siuman. Dan baru tahu kalau anakku lelaki. Dan secepat itu? Aku dijodohkan
dan DIPAKSA menikah dengannya?! OH! KLISE! OH BEGITU! AKU INGIN MATI SAJA!
Halaman selanjutnya masih tetap berisi Tejo… Tejo dan
Tejo. Padahal bundanya sudah menikah dengan ayahnya. Sebegitu cintanya bundanya
dengan Tejo? Yang membuat sakit hati Oik adalah…
Mei 1992
I’M PREGNANT AGAIN!
I WANNA KILL THE BABY IN MY BELLY!
Jadi awalnya bundanya tidak mengingikannya? Awalnya
bundanya ingin membunuhnya? Tega sekali bundanya. Oik tak sanggup membaca tulisan-tulisan
bunda selanjutnya. Karena yang ada di dalamnya hanyalah kebencian bundanya
terhadap bayi yang ada di dalam kandungannya. Dan kerinduannya pada Tejo dan
bayi lelakinya itu.
Namun Oik terharu ketika melihat sebuah tulisan di
bulan Januari 1993
Januari 1993
Dia perempuan :’)
aku punya sepasang bayi. Selamat datang Oik Cahya Ramadlani. Kamu bayi yang
cantik. Maafkan bunda selama ini :’)
Bunda akan selalu
menjaga dan merawatmu sebisa mungkin.
Jangan seperti
Bunda ya Nak.
Dan itu merupakan akhir dari semua tulisan di dalam
buku diari bundanya…
Oik menghapus air matanya dengan telapak tangannya.
Perasaannya benar-benar campur aduk setelah membaca buku diari bundanya itu.
Sekarang… ia mengerti kenapa ayah dan bundanya seperti saling tidak mencintai. Ah!
Bukan mereka benar-benar tidak saling mencintai. Atau mungkin hanya bundanya
yang tidak mencintai ayahnya―entahlah. Tapi, ayahnya juga tidak pernah
menunjukkan mencintai bundanya. Lalu? Oik lahir ke dunia ini bukan karena
cinta? That’s funny.
***
0 komentar:
Posting Komentar