Sabtu, 23 Maret 2013

Sparks of Love―[3]

THREE―SAFE HAVEN
“―“I've come to believe that in everyone's life,
there's one undeniable moment of change,
a set of circumstances that suddenly alters everything.”

RUMAH itu terlihat sangat terawat. Rumah dengan material batako untuk tembok dan asbes sebagai atapnya. Dibangun di atas lahan seluas kira-kira 8 m x 11 m itu tidak besar seperti rumah Oik di Jakarta. Oik menatap rumah tersebut memperhatikan setiap detilnya. Sebelum Cakka membuka pintunya dan memanggil Oik masuk ke dalam.
Oik pun segera masuk. Di ruang tamu tampak sangat berantakan. Koran-koran berserakan dimana-mana membuat Cakka dengan cepat membereskannya. Tempat duduk di ruang tamupun hanya kursi minimalis bukan sofa modern seperti yang ada di rumah Oik. Sebuah laptop terbuka di atas meja di antara kursi tersebut. Buku-buku menumpuk di atas meja. Cakka segera menyingkirkannya.
“Oh… Oik silakan duduk, aku ke belakang sebentar mau taruh buku-buku ini,” kata Cakka.
Oik menatap ragu kursi itu sebelum akhirnya menghempaskan bokongnya di atas kursi. Oik memperhatikan sekitarnya. Di dinding tampak kosong melompong. Tidak ada hiasan satu pun. Apakah Oik akan betah di rumah seperti ini?
Mata Oik terantuk pada sebuah laptop di hadapannya. Mata Oik menyipit mencoba melihat apa yang ada di layarnya. Itu seperti obat… tapi obat apa ya? Oik mencoba membaca tulisan yang ada di pembungkusnya itu sebelum Cakka datang dan segera menutup laptop tersebut. Ia segera duduk di samping Oik.
“Sori ya, tadi malam aku cari tahu tentang penyakit kamu sampai ketiduran makanya berantakan kayak gini,” kata Cakka.
Oik berbalik ia menatap Cakka lalu mengernyit heran, “kamu nyari tahu tentang penyakitku?” tanya Oik memastikan.
Cakka mengangguk, “ya… waktu ‘dia’ ngasih tahu tentang itu, aku kaget sih, heran aja, setahu aku dulu pas belajar Biologi di SMA, guru bilang kalau penderita hemofilia itu laki-laki tapi kamu perempuan,” kata Cakka.
“Kamu nggak manggil Bunda dengan panggilan Bunda?” tanya Oik ketika Cakka menyebut bundanya ah… bukan bunda mereka dengan ‘dia’.
“Menurutku, dia telah kehilangan sosok Bunda semenjak dia pergi meninggalkanku,” kata Cakka.
“Lalu Tejo dimana?” tanya Oik.
“Tejo?” Cakka mengernyit.
“Ah… maksudku ayah kamu,” kata Oik memperbaiki kalimatnya.
“Oh, bajingan itu. Dia di kampung, bininya lima sekarang,” kata Cakka dengan santainya.
“Hah?” Oik kaget mulutnya menganga.
“Sudahlah nggak usah membicarakan mereka oke,” kata Cakka.
“Oh… oke, trus apa yang kamu cari tahu tentang penyakitku?” tanya Oik, “ehm… maaf aku belum terbiasa manggil kamu dengan panggilan kakak,” kata Oik.
“Nggak apa-apa, panggil Kka aja kalau kamu mau memanggil dengan namaku. Kka bukan Kak… K-K-A,” kata Cakka mengeja.
Oik mengangguk untuk merespon. Ia masih menanti jawaban pertanyaannya tadi.
“Ya… aku sih cuma nyari tahu kasus. Apa ada perempuan yang mengidap hemofilia selain kamu sih katanya,” kata Cakka.
“Trus?” tanya Oik.
“Ada tapi kasusnya di Kanada. Trus namanya hemofilia vaskuler atau pseudo-hemofilia kalau lebih populernya sih VWD,” kata Cakka.
“Itu bahasa planet ya?” tanya Oik.
Cakka tertawa, “kamu di sekolah emangnya nggak pernah belajar Biologi ya? Kan di Biologi juga banyak istilah-istilah semacam itu,” kata Cakka.
“Aku nggak pernah sekolah,” kata Oik berhasil membuat mata Cakka melotot, “emang Bunda nggak pernah cerita sama kamu?”
Cakka menggeleng, “dia… dia hubungi aku dan hanya memintaku untuk menjagamu selama dia pergi, memangnya dia mau pergi kemana sih sampai-sampai nitipin kamu ke aku?”
“Bunda kan udah pergi untuk selama-lamanya.”
“APA?!” Cakka kaget. Jadi artinya ia akan selama-lamanya dengan Oik. Hidup dengannya berdua di rumah ini?
Oik mengangguk. Raut wajahnya berubah. Cakka juga tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi ke depannya. Cakka mencoba santai dari segala kekagetannya.
“Kalau kamu nggak sekolah berarti kamu nggak tahu baca? Dan lain-lain?” tanya Cakka kemudian mengalihkan pembicaraan mereka.
“Tahu… aku cuma punya guru private, semacam home-schooling. Dan itu pun aku cuma belajar Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika. Aku nggak tahu tuh kalau ada pelajaran semacam Biologi,” katanya.
Oke…oke sepertinya Cakka harus lebih ekstra sabar menghadapi orang seperti Oik. Kenapa juga waktu itu ia menyetujui perjanjian dengan orang itu? Kalau saja ia tidak menerimanya pasti tidak akan seribet ini kan? Demi apapun ini akan menjadi pekerjaan sulit baginya. Mungkin akan lebih sulit daripada menjadi seorang penulis yang kena writer-block. Atau lebih sulit dari seorang mafia yang menyelundupkan barang berharga. Err. Apalagi… Oik itu cantik, bisa-bisa… Ah! Cakka segera menghapus pikirannya yang tidak-tidak. Ia kembali menatap Oik yang tampak celingak-celinguk memandangi rumahnya.
“Kenapa? Kamu nggak nyaman ya tinggal di sini?”
“Oh… nggak bukan begitu. Aku hanya belum terbiasa,” kata Oik.
Terdiam lagi. Cakka segera mengambil laptopnya kembali. Lalu mematikannya dengan benar. Menyimpan kembali laptop itu ke dalam sebuah tas. Kali ini, Oik memperhatikan Cakka. Dari rambutnya, matanya, hidungnya, bibirnya, dagunya. Membuat Cakka agak sedikit risi dengan tatapan Oik itu. Ia segera memalingkan pandangannya ke arah Oik mengawasi gadis yang sedang mengawasinya itu.
Can I hug you again?” tanya Oik, “aku tuh dari dulu pengin banget punya kakak,” lanjutnya.
Cakka berpikir sejenak sebelum tersenyum dan mengangguk. Oik segera memeluk kakaknya itu. Dia kembali bersandar di dada bidangnya. Di dalam rengkuhan tangan besarnya. Oik menutup matanya merasakan kenyamanan yang ditawarkan Cakka. Ada sesuatu yang beda dengan pelukan Cakka―entah apa. Sehingga Oik seperti tertempel magnet dan tidak mau melepaskannya.
“Mau kuceritakan tentang perempuan Kanada yang mengidap penyakit sama sepertimu?” tanya Cakka.
Oik mengangguk dalam pelukan Cakka. Cakka pun mulai bercerita.
“Namanya Ryanne Radford, seorang perempuan yang lahir dan dibesarkan di sebuah kota kecil di Newfoundland dan Labrador dengan penduduk sekitar sepuluh ribu orang. Dia di diagnosa terkena hemofilia sejak tujuh bulan. Awalnya dokter mengira dia bermain terlalu kasar. Tapi ibunya mengatakan itu tidak mungkin terjadi. Sedangkan tantenya mengira dia hemofilia hanya saja hampir tidak mungkin kan seorang anak perempuan mengidap hemofilia. Pada bulan usianya yang menginjak bulan ke sembilan barulah dia di diagnosa mengidap penyakit itu karena kurangnya factor V, semakin besar dia semakin tahu keadaannya dan dia sangat khawatir dengan keadaannya itu, tapi dia beruntung karena saat di sekolah guru dan teman-temannya tidak membedakannya. Jadilah dia makin bersemangat untuk hidup, karena penyakit bukan berarti akhir dari segalanya bukan? Tahu nggak awalnya dulu dia dibuatkan helm untuk dipakai kalau dia bermain di sekitarnya agar tidak mudah terluka, tapi… ibunya tidak mau terlihat dia berbeda dengan teman-teman sekitarnya, makanya dia tidak mengenakannya kalau sedang di depan umum,” cerita Cakka.
“Enak ya punya Bunda seperti itu, yang nggak mengekang dan membedakan,” kata Oik.
Cakka hanya tersenyum, “setiap orang tua pasti punya cara berbeda untuk melindungi anak-anaknya, begitu juga orang tua Ryanne ini. Dan sekarang dia sudah hidup selama dua puluh delapan tahun dengan penyakit itu. Dia sedang merencanakan pernikahannya tanggal dua puluh juli nanti, lihat penyakit bukan untuk diratapi kan kalau berjuang pasti dia akan kalah juga meski tetap bersarang dalam tubuh,” kata Cakka.
“Jadi? Nanti aku juga bisa menikah?” tanya Oik menengadahkan menatap wajah Cakka di atasnya.
“Tentu,” kata Cakka, “nanti aku yang menjadi walinya,” lanjutnya.
“Kukira kamu mau menjadi pengantin prianya, hehehe,” canda Oik.
Mereka berdua tertawa bersama. Berusaha mengakrabkan diri satu dengan yang lainnya. Tapi… bukankah ini terlalu akrab untuk dua orang yang baru mengenal beberapa jam lalu?
“Kalau dia menjagamu dengan cara mengekangmu. Aku juga ingin menjagamu tapi dengan cara memberimu kebebasan dalam menentukan,” kata Cakka.
Oik mengernyit heran. Apa maksudnya?

***

Oik mengerjapkan matanya saat tangan Cakka menyentuh pipinya untuk membangunkannya. Saat ia terbangun, ia mendapati dirinya masih berada di pelukan Cakka. Sepertinya tadi ia tertidur. Dengan segera ia menjauh dari Cakka. Cakka terlihat sedang menatap arloji yang terlingkar di tangannya.
“Sudah malam, kamu sebelumnya tinggal dimana? Kita ambil barang-barangmu dulu bawa kemari baru kita cari makan malam ya,” kata Cakka.
Oik mengangguk.
“Ah… tapi kamu tunggu di sini dulu, aku pinjam mobil sama teman baru kita pergi, aku nggak mungkin membiarkanmu jalan kaki,” kata Cakka kemudian, “tunggu di sini, nggak lama, lima menit,” kata Cakka kemudian melangkahkan kakinya membuka pintu lalu menghilang di balik pintu.
Oik kembali melihat-lihat detil rumah Cakka itu.  Ia takut melakukan gerakan di situ. Maka dari itu ia hanya duduk di tempatnya itu. Ruang tamu di rumah Cakka ini besarnya sama dengan kamar mandi di kamarnya. Tapi tidak lebih buruk dengan rumah orang-orang miskin yang dia lihat di televisi. Banyak koran-koran menumpuk di bawah meja di hadapannya. Baru saja Oik ingin mengambilnya. Suara pintu berderit, Cakka datang kembali. Ia terlihat tergesa-gesa masuk ke dalam mengambil beberapa buku kemudian membuka pintu kembali.
“Ayo!” panggil Cakka.
Oik segera berdiri dari kursinya. Melangkah keluar dari pintu yang telah dibuka oleh Cakka. Sebuah Kijang keluaran tahun 1999 bertengger di depan rumahnya. Oik menatap mobil di hadapannya itu. Berbeda sekali dengan SUV ayahnya yang terparkir di garasi rumahnya. Dengan perlahan Oik melangkah masuk ke dalam Kijang itu. Setelah menutup pintu, Cakka segera berjalan ke jok belakang, membukanya dan meletakan buku yang ia bawa di situ. Lalu segera mengambil alih kemudi dan mereka pun pergi meninggalkan rumah Cakka.
“Barang-barang kamu di hotel mana?” tanya Cakka.
“Di Hotel Santika, itu cuma satu buah koper kecil kok,” kata Oik.
“Oh sekalian, aku mau mengembalikan buku-buku yang aku pinjam di Perpustakaan Kota,” kata Cakka.
Cakka kembali fokus mengemudikan Kijang-nya itu. Oik menatap ke kiri dan ke kanan pemandangan di sekitarnya. Kijang itu melewati Universitas Gajah Mada sebelum memasuki Jalan Corner Simanjuntak. Saat Oik membaca tulisan itu, ia jadi ingat tulisan di dalam diari bundanya. Jadi dulu bundanya kuliah di situ. Padahal bundanya dulu beruntung bisa sekolah, bisa kuliah, bisa punya teman-teman banyak. Hupfh.
Oik masih bergulat dengan pikirannya sebelum menyadari kijang itu telah berhenti di depan hotel tempat Oik meletakkan kopernya. Tadi pagi, setelah tiba di Yogyakarta. Ia meminta taxi yang dia naiki membawanya ke sebuah hotel. Dan taxi itu membawa Oik ke situ. Jadinya check-in di situ. Setelah memarkir Kijang itu. Cakka dan Oik turun, mereka segera menuju kamar tempat Oik meletakan kopernya. Mengambil kopernya, kemudian check-out dari situ. Setelahnya, baru mereka mengembalikan buku-buku yang dipinjam Cakka ke Perpustakaan Kota Yogyakarta.
Mereka telah kembali duduk di kijang Cakka dan bingung setelahnya akan ke mana.
Let see, kita akan kemana selanjutnya?” tanya Cakka pada dirinya sendiri sambil memikir-mikir kemana mereka akan makan, “ke Angkringan Tugu, banyak makanan yang nggak sehat buat kamu,” kata Cakka.
“Maafin aku ya, gara-gara aku. Jadi susah kan kamu makannya juga,” kata Oik.
Cakka mengacak poni Oik, “nggak apa-apa tenang aja. Kalau sama kamu kayaknya aku harus belajar jadi vegan,” kata Cakka.
Vegan?”
“Iya, sebutan untuk pengikut vegetarian,” kata Cakka, “kita ke Garuni 2 aja. Ke Soma Yoga, di sana kayaknya kamu bisa makan,” lanjutnya kemudian menarik porsneling dan Kijangnya itu melaju ke arah utara dari Jalan Suroto menuju Jalan Sabirin dan terus ke Jalan Cik Ditiro.
Sekitar lima belas menit kemudian, mereka tiba di sebuah warung makan. Oik membaca tulisan di sebuah papan ‘Warung Vegetarian Soma Yoga’. Warung makan tersebut bangunannya terbuat dari anyaman bambu dengan atapnya dari daun nipah. Cakka dan Oik turun kemudian memasuki warung makan itu. Oik kembali menghempaskan pandangannya ke kiri dan ke kanan. Nuansa tradisional sangat terasa di sana. Cakka kemudian menarik sebuah kursi yang tak jauh dari tempat mereka masuk sebelum Oik duduk di situ. Ia kemudian duduk di hadapan Oik. Sebuah menu makanan tersedia di atas meja mereka. Kemudian salah satu waitress datang menyapa mereka.
Oik memandangi menu yang ada di hadapannya dengan tatapan aneh. Berjejeran nama-nama asing makanan yang ada di dalam menu itu. Roti manis vegan berbagai rasa, Nasi ginger healthy, Nasi kebuli,  Nasi goreng jamur, Nasi goreng buah bit, Nasi timbel jamur, Somayoga steak, Somayoga lautan kasih dan lain sebagainya.
“Tenang aja kok makanan di sini tanpa telur, susu, madu serta MSG, dan tentu saja tanpa daging. Jadi sehat untuk kamu,” kata Cakka.
“Aku bingung mau pesan yang mana, kamu saja yang pesankan,” kata Oik.
“Biasanya kamu di sana makan apa?” tanya Cakka.
“Hm, makan pagi itu kalau nggak roti gandum, bubur kacang hijau tanpa santan dan rendah gula, makan siang nasih merah, kalau makan malam nasi tim, tadi pagi aja itu pas aku minum minuman dingin itu yang pertama kalinya, soalnya aku bingung mau pesan apa,” kata Oik.
Hah?! Cakka menganga. Bukankah itu makanan untuk bayi? Oik kan bukan bayi. Ya… walaupun dia sakit kan tidak seharusnya dilakukan seperti bayi begitu bukan?
“Kamu makan makanan bayi kalau begitu,” komentar Cakka.
“Iya… kata Bunda aku nggak boleh makan sembarangan. Nggak boleh makan yang keras-keras nanti kalau aku makan yang keras-keras di dalam mulut saat aku makan terluka gimana?” kata Oik dengan tampang sepolos mungkin.
Cakka menggeleng-gelengkan kepalanya, “itu tidak masuk akal. Dia membuatmu seperti boneka kalau begitu,” kata Cakka, “pesan nasi ginger healthy, sama jus tomat dua,” lanjutnya kemudian.
Waitress itu segera mencatat dan pergi dari hadapan mereka. Cakka menatap Oik, gadis itu terlihat sangat kikuk berada di situ. Kasian sekali kalau dia dikekang seperti itu dulu. Cakka menghembuskan napasnya. Ia segera merogoh ponselnya dan sibuk memencet tuts ponselnya itu.
Tak beberapa lama kemudian, pesanan yang mereka tunggu-tunggu datang. Nasi ginger healthy dan jus tomat datang. Oik menatap makanan di hadapannya itu. Hidangan yang disajikan beralaskan daun pisang dan piring dari anyaman bambu itu terasa aneh bagi Oik. Cakka yang sudah mulai memakan berhenti sejenak menatap Oik yang belum mulai makan.
“Kenapa?” tanya Cakka.
“Ini piring ya?” tanya Oik.
“Iya,” jawab Cakka.
“Baru tahu kalau piring di Yogyakarta beda dengan piring di Jakarta. Di sini piringnya unik,” kata Oik.
Cakka menepuk jidatnya. Astaga, dikiranya kenapa Oik belum mau mulai memakan. Ternyata hanya karena piringnya? Cakka mendesah, “ah… nggak usah dipikirkan, yang penting kamu makan aja dulu, nggak baik buat kesehatan kamu kalau kamu terlambat makan,” kata Cakka.
“Tapi nggak ada sendok dan garpu, gimana aku mau makan?” tanya Oik.
Sekali lagi Cakka menepuk jidatnya. Oke… mungkin Oik tidak tahu cara makan menggunakan tangan seperti dirinya. Cakka memanggil waitress di situ kembali. Lalu meminta sendok dan garpu. Tak beberapa lama kemudian, waitress itu datang dengan sendok dan garpu. Dia segera meletakkannya di samping piring Oik. Kembali lagi Oik menatap sendok dan garpu itu. Ia juga belum memulai makannya. Apalagi sih yang kurang?
“Kka…” itu panggilan pertama Oik memanggil namanya.
“Kenapa lagi?” tanya Cakka.
Oik tersenyum sepolos mungkin, “aku… aku… nggak biasa makan sendiri, jadi nggak tahu cara megang sendok dan garpu,” kata Oik diakhiri sebuah cengiran.
Untuk yang ketiga kalinya Cakka menepuk jidatnya. Cilaka! Sekarang dia tidak cuma jadi kakak, tapi juga akan jadi baby sitter sepertinya. Cakka menghembuskan napasnya panjang. Sebelum menepikan makanannya. Mengambil sendok dan garpu serta piring makanan Oik. Lalu mulai menyuap Oik dengan hati-hati. Oik membuka mulutnya. Saat makanan asing itu menyentuh lidahnya sensasi rasa baru diterima indera pengecapnya itu. Tidak sama seperti makanan yang diterimanya selama ini tentunya.
Sehingga Oik menikmati makan malam itu.

***

Jam sudah menunjukan pukul sembilan malam ketika Cakka membuka pintu rumahnya untuk Oik masuk. Ia kemudian menyeret koper Oik ke dalam sebuah kamar yang tertata rapi. Rumah itu hanya memiliki sebuah kamar. Oik yang mengekor di belakang Cakka memperhatikan kamar itu. Kalau dibandingkan dengan kamarnya di Jakarta ini hanya seperempat bagian kamarnya. Kamar itu hanya terdapat sebuah ranjang berukuran dua badan di tengah. Sebuah lemari di sudut ruangan. Dan sebuah kursi plastik.
“Kamu tidur di sini aja, biar aku tidur di ruang tamu,” kata Cakka.
“Tidur bareng aja di sini, lagi pula kan ranjangnya cukup untuk dua orang,” kata Oik sambil berjalan ke arah ranjang dan duduk di ranjang itu.
Cakka melotot. Haduh! Anak ini bagaimana sih. Oke dia memang kakaknya. Tapi… mereka berdua masih terlalu asing untuk tidur bersama di atas sebuah ranjang seperti itu.
“Ohh… nggak bisa Oik, kamu perempuan aku laki-laki kita nggak bisa tidur bareng,” kata Cakka.
“Kenapa? Kamu kan kakak aku, kita kakak-adik jadi nggak apa-apa kan? Bunda dan Ayah walaupun musuhan saja mereka tetap tidur bareng. Dan mereka perempuan dan laki-laki,” kata Oik.
Oke untuk kesekian kalinya dalam satu hari ini menepuk jidatnya gara-gara Oik. Ia harus memutar otaknya untuk menjawab pertanyaan anak berumur 20 tahun ini tapi pikirannya mungkin seperti anak-anak SD. Di sisi lain, Cakka bersyukur karena Oik bisa tiba di Yogyakarta dengan selamat dan tanpa lecet sedikit pun.
“Nggak bisa, aku… aku… ada yang harus aku kerjakan dengan laptopku, jadi mau nggak mau aku harus tidur di ruang tamu,” kata Cakka.
Oik terlihat kecewa, “yaudah nggak apa-apa deh,” kata Oik kemudian.
Cakka berusaha tersenyum, “kamu mending tidur aja, istirahat ya,” kata Cakka berjalan ke arah ranjang tempat Oik berada.
Oik menatap Cakka yang sedang mendekatinya. Ia kemudian berbaring di atas ranjang. Cakka menarik selimut lalu menyelimuti Oik. Oik masih memperhatikan Cakka dengan mata beningnya. Membuat Cakka agak kurang nyaman diperhatikan seperti itu.
“Kka,” panggil Oik lagi.
“Ya?”
“Boleh ya malam ini tidur di sini sama aku. Kalau misalnya kamu nggak mau tidur sama aku. Malam ini saja ya, plis. Soalnya aku masih asing dengan kamar yang bukan kamarku. Aku takut sendirian. Kalau di Jakarta Bi Inem atau Bi Ate yang menemaniku sampai tertidur baru mereka pergi dari kamarku. Kamu boleh juga kok seperti itu yang penting sampai aku tertidur aja,” kata Oik sambil menatap Cakka dengan tatapan memohon.
Menatap mata bening Oik, Cakka jadi tidak tega melihat Oik memohon seperti itu. Tapi, tetap saja ia masih perlu beradaptasi untuk menjadi kakaknya Oik. Cakka mempertimbangkannya. Oik menanti dengan penuh harap.
“Oke, sampai kamu tidur saja ya,” dengan berat hati Cakka menyetujuinya.
Oik mengangguk antusias.
“Tapi tunggu, aku mau menelepon dulu tidak lama, nanti aku kembali,” kata Cakka kemudian melangkah keluar dari kamar.
Oik menantinya. Pandangannya kembali dihempaskan pada sudut-sudut kamar itu. Di diding banyak terdapat poster-poster. Bukan poster orang-orang atau mungkin poster selebritis. Tapi poster-poster tempat. Mata Oik terantuk pada sebuah poster. Seperti di daerah pesisir pantai. Dengan sebuah rumah panggung di tepi pantai. Sepertinya asyik sekali kalau dia suatu saat berada di sana. Tapi mungkin itu bukan di Indonesia.
Oik menunggu cukup lama juga. Dirinya sudah diserang kantuk. Sudah beberapa kali ia menguap. Cakka belum datang juga. Namun ia tetap bertekad untuk menunggu Cakka barulah ia tidur. Cakka datang lima belas menit kemudian. Tanpa banyak bicara dia segera berbaring di samping Oik dan membelakangi Oik. Dari tempat tidurnya, Oik hanya bisa menatap punggung Cakka itu.
Ia tersenyum sebelum menutup matanya dan mulai mengarungi dunia mimpi.
Setidaknya ini tempat yang aman untuk Oik saat ini.

***

P.S: Kisah Ryanne itu kisah nyata -_-v

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Lanjuttttttttttttt, penasaran deeeeh ama next part nyaaaaa :D

Anonim mengatakan...

Ayo lanjut cik! Udah 4 hari gak ngepost nihh... Nunggu, tambah penasaran..

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...