THREE―SAFE
HAVEN
“―“I've come to believe that in everyone's
life,
there's one undeniable moment of change,
a set of circumstances that suddenly alters
everything.”
RUMAH itu terlihat sangat terawat. Rumah dengan material
batako untuk tembok dan asbes sebagai atapnya. Dibangun di atas lahan seluas
kira-kira 8 m x 11 m itu tidak besar seperti rumah Oik di Jakarta. Oik menatap
rumah tersebut memperhatikan setiap detilnya. Sebelum Cakka membuka pintunya
dan memanggil Oik masuk ke dalam.
Oik pun segera masuk. Di ruang tamu tampak sangat
berantakan. Koran-koran berserakan dimana-mana membuat Cakka dengan cepat
membereskannya. Tempat duduk di ruang tamupun hanya kursi minimalis bukan sofa
modern seperti yang ada di rumah Oik. Sebuah laptop terbuka di atas meja di antara
kursi tersebut. Buku-buku menumpuk di atas meja. Cakka segera menyingkirkannya.
“Oh… Oik silakan duduk, aku ke belakang sebentar mau
taruh buku-buku ini,” kata Cakka.
Oik menatap ragu kursi itu sebelum akhirnya
menghempaskan bokongnya di atas kursi. Oik memperhatikan sekitarnya. Di dinding
tampak kosong melompong. Tidak ada hiasan satu pun. Apakah Oik akan betah di
rumah seperti ini?
Mata Oik terantuk pada sebuah laptop di hadapannya.
Mata Oik menyipit mencoba melihat apa yang ada di layarnya. Itu seperti obat…
tapi obat apa ya? Oik mencoba membaca tulisan yang ada di pembungkusnya itu
sebelum Cakka datang dan segera menutup laptop tersebut. Ia segera duduk di
samping Oik.
“Sori ya, tadi malam aku cari tahu tentang penyakit
kamu sampai ketiduran makanya berantakan kayak gini,” kata Cakka.
Oik berbalik ia menatap Cakka lalu mengernyit heran,
“kamu nyari tahu tentang penyakitku?” tanya Oik memastikan.
Cakka mengangguk, “ya… waktu ‘dia’ ngasih tahu tentang
itu, aku kaget sih, heran aja, setahu aku dulu pas belajar Biologi di SMA, guru
bilang kalau penderita hemofilia itu laki-laki tapi kamu perempuan,” kata
Cakka.
“Kamu nggak manggil Bunda dengan panggilan Bunda?”
tanya Oik ketika Cakka menyebut bundanya ah… bukan bunda mereka dengan ‘dia’.
“Menurutku, dia telah kehilangan sosok Bunda semenjak
dia pergi meninggalkanku,” kata Cakka.
“Lalu Tejo dimana?” tanya Oik.
“Tejo?” Cakka mengernyit.
“Ah… maksudku ayah kamu,” kata Oik memperbaiki
kalimatnya.
“Oh, bajingan itu. Dia di kampung, bininya lima
sekarang,” kata Cakka dengan santainya.
“Hah?” Oik kaget mulutnya menganga.
“Sudahlah nggak usah membicarakan mereka oke,” kata
Cakka.
“Oh… oke, trus apa yang kamu cari tahu tentang
penyakitku?” tanya Oik, “ehm… maaf aku belum terbiasa manggil kamu dengan
panggilan kakak,” kata Oik.
“Nggak apa-apa, panggil Kka aja kalau kamu mau
memanggil dengan namaku. Kka bukan Kak… K-K-A,” kata Cakka mengeja.
Oik mengangguk untuk merespon. Ia masih menanti jawaban
pertanyaannya tadi.
“Ya… aku sih cuma nyari tahu kasus. Apa ada perempuan yang
mengidap hemofilia selain kamu sih katanya,” kata Cakka.
“Trus?” tanya Oik.
“Ada tapi kasusnya di Kanada. Trus namanya hemofilia
vaskuler atau pseudo-hemofilia kalau
lebih populernya sih VWD,” kata Cakka.
“Itu bahasa planet ya?” tanya Oik.
Cakka tertawa, “kamu di sekolah emangnya nggak pernah
belajar Biologi ya? Kan di Biologi juga banyak istilah-istilah semacam itu,”
kata Cakka.
“Aku nggak pernah sekolah,” kata Oik berhasil membuat
mata Cakka melotot, “emang Bunda nggak pernah cerita sama kamu?”
Cakka menggeleng, “dia… dia hubungi aku dan hanya
memintaku untuk menjagamu selama dia pergi, memangnya dia mau pergi kemana sih
sampai-sampai nitipin kamu ke aku?”
“Bunda kan udah pergi untuk selama-lamanya.”
“APA?!” Cakka kaget. Jadi artinya ia akan selama-lamanya
dengan Oik. Hidup dengannya berdua di rumah ini?
Oik mengangguk. Raut wajahnya berubah. Cakka juga tidak
bisa membayangkan apa yang akan terjadi ke depannya. Cakka mencoba santai dari
segala kekagetannya.
“Kalau kamu nggak sekolah berarti kamu nggak tahu baca?
Dan lain-lain?” tanya Cakka kemudian mengalihkan pembicaraan mereka.
“Tahu… aku cuma punya guru private, semacam home-schooling.
Dan itu pun aku cuma belajar Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika.
Aku nggak tahu tuh kalau ada pelajaran semacam Biologi,” katanya.
Oke…oke sepertinya Cakka harus lebih ekstra sabar
menghadapi orang seperti Oik. Kenapa juga waktu itu ia menyetujui perjanjian
dengan orang itu? Kalau saja ia tidak menerimanya pasti tidak akan seribet ini
kan? Demi apapun ini akan menjadi pekerjaan sulit baginya. Mungkin akan lebih
sulit daripada menjadi seorang penulis yang kena writer-block. Atau lebih sulit dari seorang mafia yang
menyelundupkan barang berharga. Err. Apalagi… Oik itu cantik, bisa-bisa… Ah!
Cakka segera menghapus pikirannya yang tidak-tidak. Ia kembali menatap Oik yang
tampak celingak-celinguk memandangi rumahnya.
“Kenapa? Kamu nggak nyaman ya tinggal di sini?”
“Oh… nggak bukan begitu. Aku hanya belum terbiasa,”
kata Oik.
Terdiam lagi. Cakka segera mengambil laptopnya kembali.
Lalu mematikannya dengan benar. Menyimpan kembali laptop itu ke dalam sebuah
tas. Kali ini, Oik memperhatikan Cakka. Dari rambutnya, matanya, hidungnya,
bibirnya, dagunya. Membuat Cakka agak sedikit risi dengan tatapan Oik itu. Ia
segera memalingkan pandangannya ke arah Oik mengawasi gadis yang sedang
mengawasinya itu.
“Can I hug you
again?” tanya Oik, “aku tuh dari dulu pengin banget punya kakak,”
lanjutnya.
Cakka berpikir sejenak sebelum tersenyum dan
mengangguk. Oik segera memeluk kakaknya itu. Dia kembali bersandar di dada
bidangnya. Di dalam rengkuhan tangan besarnya. Oik menutup matanya merasakan
kenyamanan yang ditawarkan Cakka. Ada sesuatu yang beda dengan pelukan
Cakka―entah apa. Sehingga Oik seperti tertempel magnet dan tidak mau melepaskannya.
“Mau kuceritakan tentang perempuan Kanada yang mengidap
penyakit sama sepertimu?” tanya Cakka.
Oik mengangguk dalam pelukan Cakka. Cakka pun mulai
bercerita.
“Namanya Ryanne Radford, seorang perempuan yang lahir
dan dibesarkan di sebuah kota kecil di Newfoundland dan Labrador dengan
penduduk sekitar sepuluh ribu orang. Dia di diagnosa terkena hemofilia sejak
tujuh bulan. Awalnya dokter mengira dia bermain terlalu kasar. Tapi ibunya
mengatakan itu tidak mungkin terjadi. Sedangkan tantenya mengira dia hemofilia
hanya saja hampir tidak mungkin kan seorang anak perempuan mengidap hemofilia.
Pada bulan usianya yang menginjak bulan ke sembilan barulah dia di diagnosa
mengidap penyakit itu karena kurangnya factor V, semakin besar dia semakin tahu
keadaannya dan dia sangat khawatir dengan keadaannya itu, tapi dia beruntung
karena saat di sekolah guru dan teman-temannya tidak membedakannya. Jadilah dia
makin bersemangat untuk hidup, karena penyakit bukan berarti akhir dari
segalanya bukan? Tahu nggak awalnya dulu dia dibuatkan helm untuk dipakai kalau
dia bermain di sekitarnya agar tidak mudah terluka, tapi… ibunya tidak mau
terlihat dia berbeda dengan teman-teman sekitarnya, makanya dia tidak
mengenakannya kalau sedang di depan umum,” cerita Cakka.
“Enak ya punya Bunda seperti itu, yang nggak mengekang
dan membedakan,” kata Oik.
Cakka hanya tersenyum, “setiap orang tua pasti punya
cara berbeda untuk melindungi anak-anaknya, begitu juga orang tua Ryanne ini.
Dan sekarang dia sudah hidup selama dua puluh delapan tahun dengan penyakit itu.
Dia sedang merencanakan pernikahannya tanggal dua puluh juli nanti, lihat
penyakit bukan untuk diratapi kan kalau berjuang pasti dia akan kalah juga
meski tetap bersarang dalam tubuh,” kata Cakka.
“Jadi? Nanti aku juga bisa menikah?” tanya Oik
menengadahkan menatap wajah Cakka di atasnya.
“Tentu,” kata Cakka, “nanti aku yang menjadi walinya,”
lanjutnya.
“Kukira kamu mau menjadi pengantin prianya, hehehe,”
canda Oik.
Mereka berdua tertawa bersama. Berusaha mengakrabkan
diri satu dengan yang lainnya. Tapi… bukankah ini terlalu akrab untuk dua orang
yang baru mengenal beberapa jam lalu?
“Kalau dia menjagamu dengan cara mengekangmu. Aku juga
ingin menjagamu tapi dengan cara memberimu kebebasan dalam menentukan,” kata
Cakka.
Oik mengernyit heran. Apa maksudnya?
***
Oik mengerjapkan matanya saat tangan Cakka menyentuh
pipinya untuk membangunkannya. Saat ia terbangun, ia mendapati dirinya masih
berada di pelukan Cakka. Sepertinya tadi ia tertidur. Dengan segera ia menjauh
dari Cakka. Cakka terlihat sedang menatap arloji yang terlingkar di tangannya.
“Sudah malam, kamu sebelumnya tinggal dimana? Kita
ambil barang-barangmu dulu bawa kemari baru kita cari makan malam ya,” kata
Cakka.
Oik mengangguk.
“Ah… tapi kamu tunggu di sini dulu, aku pinjam mobil
sama teman baru kita pergi, aku nggak mungkin membiarkanmu jalan kaki,” kata
Cakka kemudian, “tunggu di sini, nggak lama, lima menit,” kata Cakka kemudian
melangkahkan kakinya membuka pintu lalu menghilang di balik pintu.
Oik kembali melihat-lihat detil rumah Cakka itu. Ia takut melakukan gerakan di situ. Maka dari
itu ia hanya duduk di tempatnya itu. Ruang tamu di rumah Cakka ini besarnya
sama dengan kamar mandi di kamarnya. Tapi tidak lebih buruk dengan rumah
orang-orang miskin yang dia lihat di televisi. Banyak koran-koran menumpuk di
bawah meja di hadapannya. Baru saja Oik ingin mengambilnya. Suara pintu
berderit, Cakka datang kembali. Ia terlihat tergesa-gesa masuk ke dalam
mengambil beberapa buku kemudian membuka pintu kembali.
“Ayo!” panggil Cakka.
Oik segera berdiri dari kursinya. Melangkah keluar dari
pintu yang telah dibuka oleh Cakka. Sebuah Kijang keluaran tahun 1999
bertengger di depan rumahnya. Oik menatap mobil di hadapannya itu. Berbeda
sekali dengan SUV ayahnya yang terparkir di garasi rumahnya. Dengan perlahan
Oik melangkah masuk ke dalam Kijang itu. Setelah menutup pintu, Cakka segera
berjalan ke jok belakang, membukanya dan meletakan buku yang ia bawa di situ.
Lalu segera mengambil alih kemudi dan mereka pun pergi meninggalkan rumah
Cakka.
“Barang-barang kamu di hotel mana?” tanya Cakka.
“Di Hotel Santika, itu cuma satu buah koper kecil kok,”
kata Oik.
“Oh sekalian, aku mau mengembalikan buku-buku yang aku
pinjam di Perpustakaan Kota,” kata Cakka.
Cakka kembali fokus mengemudikan Kijang-nya itu. Oik
menatap ke kiri dan ke kanan pemandangan di sekitarnya. Kijang itu melewati
Universitas Gajah Mada sebelum memasuki Jalan Corner Simanjuntak. Saat Oik
membaca tulisan itu, ia jadi ingat tulisan di dalam diari bundanya. Jadi dulu
bundanya kuliah di situ. Padahal bundanya dulu beruntung bisa sekolah, bisa
kuliah, bisa punya teman-teman banyak. Hupfh.
Oik masih bergulat dengan pikirannya sebelum menyadari
kijang itu telah berhenti di depan hotel tempat Oik meletakkan kopernya. Tadi
pagi, setelah tiba di Yogyakarta. Ia meminta taxi yang dia naiki membawanya ke sebuah hotel. Dan taxi itu membawa Oik ke situ. Jadinya check-in di situ. Setelah memarkir
Kijang itu. Cakka dan Oik turun, mereka segera menuju kamar tempat Oik
meletakan kopernya. Mengambil kopernya, kemudian check-out dari situ. Setelahnya, baru mereka mengembalikan buku-buku
yang dipinjam Cakka ke Perpustakaan Kota Yogyakarta.
Mereka telah kembali duduk di kijang Cakka dan bingung
setelahnya akan ke mana.
“Let see,
kita akan kemana selanjutnya?” tanya Cakka pada dirinya sendiri sambil
memikir-mikir kemana mereka akan makan, “ke Angkringan Tugu, banyak makanan
yang nggak sehat buat kamu,” kata Cakka.
“Maafin aku ya, gara-gara aku. Jadi susah kan kamu
makannya juga,” kata Oik.
Cakka mengacak poni Oik, “nggak apa-apa tenang aja.
Kalau sama kamu kayaknya aku harus belajar jadi vegan,” kata Cakka.
“Vegan?”
“Iya, sebutan untuk pengikut vegetarian,” kata Cakka, “kita ke Garuni 2 aja. Ke Soma Yoga, di
sana kayaknya kamu bisa makan,” lanjutnya kemudian menarik porsneling dan
Kijangnya itu melaju ke arah utara dari Jalan Suroto menuju Jalan Sabirin dan
terus ke Jalan Cik Ditiro.
Sekitar lima belas menit kemudian, mereka tiba di
sebuah warung makan. Oik membaca tulisan di sebuah papan ‘Warung Vegetarian
Soma Yoga’. Warung makan tersebut bangunannya terbuat dari anyaman bambu dengan
atapnya dari daun nipah. Cakka dan Oik turun kemudian memasuki warung makan
itu. Oik kembali menghempaskan pandangannya ke kiri dan ke kanan. Nuansa
tradisional sangat terasa di sana. Cakka kemudian menarik sebuah kursi yang tak
jauh dari tempat mereka masuk sebelum Oik duduk di situ. Ia kemudian duduk di
hadapan Oik. Sebuah menu makanan tersedia di atas meja mereka. Kemudian salah
satu waitress datang menyapa mereka.
Oik memandangi menu yang ada di hadapannya dengan
tatapan aneh. Berjejeran nama-nama asing makanan yang ada di dalam menu itu. Roti
manis vegan berbagai rasa, Nasi ginger healthy, Nasi kebuli, Nasi goreng jamur, Nasi goreng buah bit, Nasi
timbel jamur, Somayoga steak, Somayoga lautan kasih dan lain sebagainya.
“Tenang aja kok makanan di sini tanpa telur, susu, madu
serta MSG, dan tentu saja tanpa daging. Jadi sehat untuk kamu,” kata
Cakka.
“Aku bingung mau pesan yang mana, kamu saja yang
pesankan,” kata Oik.
“Biasanya kamu di sana makan apa?” tanya Cakka.
“Hm, makan pagi itu kalau nggak roti gandum, bubur
kacang hijau tanpa santan dan rendah gula, makan siang nasih merah, kalau makan
malam nasi tim, tadi pagi aja itu pas aku minum minuman dingin itu yang pertama
kalinya, soalnya aku bingung mau pesan apa,” kata Oik.
Hah?!
Cakka menganga. Bukankah itu makanan untuk bayi? Oik kan bukan bayi. Ya…
walaupun dia sakit kan tidak seharusnya dilakukan seperti bayi begitu bukan?
“Kamu makan makanan bayi kalau begitu,” komentar Cakka.
“Iya… kata Bunda aku nggak boleh makan sembarangan.
Nggak boleh makan yang keras-keras nanti kalau aku makan yang keras-keras di
dalam mulut saat aku makan terluka gimana?” kata Oik dengan tampang sepolos
mungkin.
Cakka menggeleng-gelengkan kepalanya, “itu tidak masuk
akal. Dia membuatmu seperti boneka kalau begitu,” kata Cakka, “pesan nasi
ginger healthy, sama jus tomat dua,” lanjutnya kemudian.
Waitress itu
segera mencatat dan pergi dari hadapan mereka. Cakka menatap Oik, gadis itu
terlihat sangat kikuk berada di situ. Kasian sekali kalau dia dikekang seperti
itu dulu. Cakka menghembuskan napasnya. Ia segera merogoh ponselnya dan sibuk
memencet tuts ponselnya itu.
Tak beberapa lama kemudian, pesanan yang mereka
tunggu-tunggu datang. Nasi ginger healthy dan jus tomat datang. Oik menatap
makanan di hadapannya itu. Hidangan yang disajikan beralaskan daun pisang dan
piring dari anyaman bambu itu terasa aneh bagi Oik. Cakka yang sudah mulai
memakan berhenti sejenak menatap Oik yang belum mulai makan.
“Kenapa?” tanya Cakka.
“Ini piring ya?” tanya Oik.
“Iya,” jawab Cakka.
“Baru tahu kalau piring di Yogyakarta beda dengan
piring di Jakarta. Di sini piringnya unik,” kata Oik.
Cakka menepuk jidatnya. Astaga, dikiranya kenapa Oik
belum mau mulai memakan. Ternyata hanya karena piringnya? Cakka mendesah, “ah…
nggak usah dipikirkan, yang penting kamu makan aja dulu, nggak baik buat
kesehatan kamu kalau kamu terlambat makan,” kata Cakka.
“Tapi nggak ada sendok dan garpu, gimana aku mau
makan?” tanya Oik.
Sekali lagi Cakka menepuk jidatnya. Oke… mungkin Oik
tidak tahu cara makan menggunakan tangan seperti dirinya. Cakka memanggil waitress di situ kembali. Lalu meminta
sendok dan garpu. Tak beberapa lama kemudian, waitress itu datang dengan sendok dan garpu. Dia segera
meletakkannya di samping piring Oik. Kembali lagi Oik menatap sendok dan garpu
itu. Ia juga belum memulai makannya. Apalagi sih yang kurang?
“Kka…” itu panggilan pertama Oik memanggil namanya.
“Kenapa lagi?” tanya Cakka.
Oik tersenyum sepolos mungkin, “aku… aku… nggak biasa
makan sendiri, jadi nggak tahu cara megang sendok dan garpu,” kata Oik diakhiri
sebuah cengiran.
Untuk yang ketiga kalinya Cakka menepuk jidatnya.
Cilaka! Sekarang dia tidak cuma jadi kakak, tapi juga akan jadi baby sitter sepertinya. Cakka
menghembuskan napasnya panjang. Sebelum menepikan makanannya. Mengambil sendok
dan garpu serta piring makanan Oik. Lalu mulai menyuap Oik dengan hati-hati.
Oik membuka mulutnya. Saat makanan asing itu menyentuh lidahnya sensasi rasa
baru diterima indera pengecapnya itu. Tidak sama seperti makanan yang
diterimanya selama ini tentunya.
Sehingga Oik menikmati makan malam itu.
***
Jam sudah menunjukan pukul sembilan malam ketika Cakka
membuka pintu rumahnya untuk Oik masuk. Ia kemudian menyeret koper Oik ke dalam
sebuah kamar yang tertata rapi. Rumah itu hanya memiliki sebuah kamar. Oik yang
mengekor di belakang Cakka memperhatikan kamar itu. Kalau dibandingkan dengan
kamarnya di Jakarta ini hanya seperempat bagian kamarnya. Kamar itu hanya
terdapat sebuah ranjang berukuran dua badan di tengah. Sebuah lemari di sudut
ruangan. Dan sebuah kursi plastik.
“Kamu tidur di sini aja, biar aku tidur di ruang tamu,”
kata Cakka.
“Tidur bareng aja di sini, lagi pula kan ranjangnya
cukup untuk dua orang,” kata Oik sambil berjalan ke arah ranjang dan duduk di
ranjang itu.
Cakka melotot. Haduh! Anak ini bagaimana sih. Oke dia memang
kakaknya. Tapi… mereka berdua masih terlalu asing untuk tidur bersama di atas
sebuah ranjang seperti itu.
“Ohh… nggak bisa Oik, kamu perempuan aku laki-laki kita
nggak bisa tidur bareng,” kata Cakka.
“Kenapa? Kamu kan kakak aku, kita kakak-adik jadi nggak
apa-apa kan? Bunda dan Ayah walaupun musuhan saja mereka tetap tidur bareng.
Dan mereka perempuan dan laki-laki,” kata Oik.
Oke untuk kesekian kalinya dalam satu hari ini menepuk
jidatnya gara-gara Oik. Ia harus memutar otaknya untuk menjawab pertanyaan anak
berumur 20 tahun ini tapi pikirannya mungkin seperti anak-anak SD. Di sisi
lain, Cakka bersyukur karena Oik bisa tiba di Yogyakarta dengan selamat dan
tanpa lecet sedikit pun.
“Nggak bisa, aku… aku… ada yang harus aku kerjakan
dengan laptopku, jadi mau nggak mau aku harus tidur di ruang tamu,” kata Cakka.
Oik terlihat kecewa, “yaudah nggak apa-apa deh,” kata
Oik kemudian.
Cakka berusaha tersenyum, “kamu mending tidur aja,
istirahat ya,” kata Cakka berjalan ke arah ranjang tempat Oik berada.
Oik menatap Cakka yang sedang mendekatinya. Ia kemudian
berbaring di atas ranjang. Cakka menarik selimut lalu menyelimuti Oik. Oik
masih memperhatikan Cakka dengan mata beningnya. Membuat Cakka agak kurang
nyaman diperhatikan seperti itu.
“Kka,” panggil Oik lagi.
“Ya?”
“Boleh ya malam ini tidur di sini sama aku. Kalau
misalnya kamu nggak mau tidur sama aku. Malam ini saja ya, plis. Soalnya aku
masih asing dengan kamar yang bukan kamarku. Aku takut sendirian. Kalau di
Jakarta Bi Inem atau Bi Ate yang menemaniku sampai tertidur baru mereka pergi
dari kamarku. Kamu boleh juga kok seperti itu yang penting sampai aku tertidur
aja,” kata Oik sambil menatap Cakka dengan tatapan memohon.
Menatap mata bening Oik, Cakka jadi tidak tega melihat
Oik memohon seperti itu. Tapi, tetap saja ia masih perlu beradaptasi untuk
menjadi kakaknya Oik. Cakka mempertimbangkannya. Oik menanti dengan penuh
harap.
“Oke, sampai kamu tidur saja ya,” dengan berat hati
Cakka menyetujuinya.
Oik mengangguk antusias.
“Tapi tunggu, aku mau menelepon dulu tidak lama, nanti
aku kembali,” kata Cakka kemudian melangkah keluar dari kamar.
Oik menantinya. Pandangannya kembali dihempaskan pada
sudut-sudut kamar itu. Di diding banyak terdapat poster-poster. Bukan poster
orang-orang atau mungkin poster selebritis. Tapi poster-poster tempat. Mata Oik
terantuk pada sebuah poster. Seperti di daerah pesisir pantai. Dengan sebuah
rumah panggung di tepi pantai. Sepertinya asyik sekali kalau dia suatu saat
berada di sana. Tapi mungkin itu bukan di Indonesia.
Oik menunggu cukup lama juga. Dirinya sudah diserang
kantuk. Sudah beberapa kali ia menguap. Cakka belum datang juga. Namun ia tetap
bertekad untuk menunggu Cakka barulah ia tidur. Cakka datang lima belas menit
kemudian. Tanpa banyak bicara dia segera berbaring di samping Oik dan
membelakangi Oik. Dari tempat tidurnya, Oik hanya bisa menatap punggung Cakka
itu.
Ia tersenyum sebelum menutup matanya dan mulai
mengarungi dunia mimpi.
Setidaknya ini tempat yang aman untuk Oik saat ini.
***
P.S: Kisah Ryanne itu kisah nyata -_-v
2 komentar:
Lanjuttttttttttttt, penasaran deeeeh ama next part nyaaaaa :D
Ayo lanjut cik! Udah 4 hari gak ngepost nihh... Nunggu, tambah penasaran..
Posting Komentar