Senin, 20 Oktober 2014

And... RED finally ... here!

Judul Buku          : Red
Penulis           : Fhily Anastasya
Penerbit         : Grasindo
Tanggal terbit: 27 Oktober 2014
Tebal              : 306 Halaman
Genre             : Romance
ISBN              : 9786022517238
Harga             : 59.000,-

Pernakah kau diduakan?

Arlani Kayana, gadis 23 tahun, penyuka warna merah yang bekerja di sebuah redaksi majalah. Mempunyai kenangan buruk dengan lelaki di masa lalunya. Ia selalu menjadi korban perselingkuhan. Baik itu dengan (mantan) sahabatnya sendiri ataupun dengan lima orang sekaligus. Dari trauma itulah yang membuat Lani tidak pernah mau menjalin hubungan yang serius dengan pria.

Ya, ini sebuah kisah tentang orang yang diduakan...

Suatu hari atasannya memberikan ia tugas yang membuatnya harus mengorek kembali masa lalunya yang suram itu. Sebuah perbincangan dengan sahabatnya, Manda membuatnya melontarkan sebuah candaan yang mungkin akan mengubah takdirnya ke depannya.

Tapi dari sisi orang kedua itu sendiri...

Takdir membawanya bertemu kembali dengan seorang lelaki asing ber-tuxedo putih yang mengajaknya berdansa di sebuah pesta. Lelaki itu malah membawanya pada hubungan yang tidak bisa diterima oleh logikanya. Tapi hati berhasil mengubah segala logika yang ada. Namun cinta juga yang membuatnya menjadi lebih runyam.

Karena terkadang, yang pertama bukan selalu yang utama.

Mampukah Lani menemukan apa makna “merah” yang sebenarnya seperti yang dikatakan Raga pada pertemuan pertama mereka?



--------------------------------------------------------------------------------------------


Boleh ngga numpang terharu dulu :') duh... Setelah sekian lama saya menunggu momen kayak gini. Akhirnya, saya bisa posting Red sebagai upcoming novel.
Untuk semua yang menantikan Red di blog ini. Saya sangat terharu dengan komentar dan testimoni kalian tentang Red di sini. Makasih karena kalian semua saya jadi "berani" mengirimkan Red kepada penerbit (meski dengan berbagai macam penolakan yang saya terima). Akhirnya dengan baik hati ada sebuah penerbit yang akhirnya mau mewujudkan impian saya.
Mungkin, ada yang bilang saya terlalu heboh atau norak hihihi >.< tidak apalah, saya melampiaskan kegembiraan saya dong.

Oh ya, sedikit cerita tentang Red versi novel. Akan ada perbedaan dengan versi cerbung ataupun versi wattpad. Dikarenakan kena sensor dari editor, pertimbangan saya sendiri maupun pertimbangan bersama. Ada sebuah scene yang diubah total, ada scene yang dipotong, ada scene yang dihilangkan atau adapun yang ditambahkan. Semoga kalian tidak kecewa dengan hasil akhir dari Red ya :)

Dan... akhir kata... jangan kapok-kapok membaca karya saya!

For the Love of Red,


Fhily Anastasya


Sabtu, 03 Mei 2014

BELIEVE—NINE—[BOYFRIEND]


NINE—BOYFRIEND
“—Keep you on my arm girl
You’d never be alone—”

CAKKA mengernyitkan dahinya. Membaca satu per satu kalimat yang tertera di atas kertas itu. Sesekali tertawa kecil. Oik memandanginya sambil menggembungkan pipinya. Huh! Ini untuk yang keberapa kalinya ia dipermainkan oleh lelaki ini.

Persyaratan:
1. Dilarang memindahkan barang-barang yang sudah tertata rapi.
2. Dilarang memasuki area pribadi.
3. Dilarang grepe-grepe.
4. Dilarang kepo.
5. Cari makan masing-masing.
6. Urus diri masing-masing
7. Dilarang mengatur seenak jidatnya.
8. Jangan bilang kesiapapun tentang hal ini!
9. Tidak boleh melakukan tindakan senonoh.
10. Semua hal yang tidak baik, yang tidak sesuai dengan moral dan budaya Indonesia. Tidak boleh dilakukan!

Oik menanti apa yang akan dikatakan Cakka tentang persyaratannya itu. Semoga saja ia tidak menyanggupinya dan tidak jadi tinggal di apartemennya. Tapi, lelaki itu malah mengambil sebuah pena dari atas meja dan sepertinya sedang menulis sesuatu lalu menandatanganinya. Setelah itu, ia menyodorkan kertas itu kembali kepada Oik.

N.B: Semua persyaratan di atas tidak berlaku selama jam les.

Oik melotot melihat tulisan tersebut, “Maksud kamu apa, Cakka?”
“Belum jelas? Jam les itu hakku! Jadi terserah aku mau ngapain juga itu hakku,” kata Cakka.
“Lho? Nggak bisa begitu dong,” Oik protes.
“Bisa saja. Kan sudah kubilang kita bersimbiosis mutualisme. Jadi kita sama-sama diuntungkan. Sudah, aku mau taruh barang-barangku di kamar dulu,” kata Cakka sambil menyeret kopernya.
Oik masih tidak terima. Ia mengekor di belakang Cakka. Banyak yang ada dibenaknya yang ingin ia keluarkan. Namun, seperti tertahan di mulutnya. Sedangkan Cakka berjalan menuju pertengahan antara kamar tamu dengan kamar Oik. Ia membuka kedua tangannya. Sambil mengangkat kedua bahunya.
“Aku di kamar yang mana?” tanya Cakka, “Aku sih maunya di kamar yang ini,” lanjutnya menunjuk kamar Oik, “Tapi nggak mau merepotkan kamu. Jadi aku mengalah di kamar yang ini,” Cakka memutar gagang pintu kamar tamu dan masuk ke dalam.
Oik hanya bisa melongo menyaksikannya.
Mulai hari ini. Hidupnya bakalan lebih runyam lagi. Dengan keberadaan lelaki gila itu di dalam apartemennya. Oik mengembuskan napasnya. Kemudian melangkah pasrah masuk ke dalam kamarnya.

***

Oik terbangun dengan badan yang sangat pegal. Membuatnya semakin malas beranjak dari tempat tidurnya. Setelah perjanjian itu, ia dan Cakka memulai kegiatan les mereka. Hari ini sudah hari yang keempat. Biasanya, les berlangsung sebelum Oik pergi ke kampus atau pun sepulang Cakka dari kantornya. Tadi malam, ia baru tidur jam 12.00 malam. Dikarenakan Cakka menyuruh ia menghafal 50 kosakata sampai lidahnya keriting. Yang ia ingat terakhir adalah adegan Cakka marah-marah di ruang tamu. Karena ia susah menyebutkan kosakata yang ia hafal. Setelah itu....
Oik terpekik kaget. Berarti, ia tertidur dan Cakka yang memindahkannya ke kamar ini. Cepat-cepat ia mengecek semuanya. Ia mengembuskan napasnya lega, saat mendapati dirinya yang masih berpakaian sempurna. Ah! Bisa-bisanya Oik berpikiran seperti itu. Ia menggeleng. Selama 4 hari ini, Cakka memang tidak pernah berlaku macam-macam padanya. Mereka hanya bertemu pada waktu pagi dan petang. Setelah les, mereka sibuk akan dunia masing-masing. Oik pun menyingkap selimut yang masih membalut tubuhnya. Mencoba melawan rasa malas yang hinggap padanya. Ia pun berjalan keluar dari kamarnya.
Aroma makanan tiba-tiba saja menari-nari di indera penciuman Oik. Mencium aroma tersebut Oik cepat-cepat pergi ke dapurnya.
Di dapur sudah sangat berantakan. Peralatan masak sudah berserakkan di atas pantri. Sedangkan di atas kompor gas, ada sebuah panci yang sedang merebus sesuatu. Di atasnya berasap tanda kalau makanan itu sudah matang. Siapa yang harus bertanggung jawab akan kekacauan yang terjadi di dapurnya ini?
Oik masih menganga melihat semua kekacauan. Saat seseorang datang. Seseorang yang hanya menggunakan boxer dengan rambut basah dan wangi musk yang menguar dari tubuhnya. Seakan menutupi aroma yang ditimbulkan makanan.
“Wah, sudah masak,” katanya segera menyambar panci itu dan membuka tutupnya.
Dengan lihai Cakka memotong sosis yang ukurannya lumayan besar setelah mengangkat makanan itu dari panci. Makanan yang berwarna hijau itu telah diletakkan di atas sebuah piring berwarna putih. Kemudian, dihiasi dengan sosis yang baru dipotong tadi di atasnya.
“Oke, siap!” kata Cakka sambil memberi sentuhan terakhir pada makanan yang dimasaknya itu.
Oik mengernyit menatap makanan yang dibuat oleh Cakka. Makanan yang aneh. Sayurnya dihancurkan sedemikian rupa. Oik tidak mengerti sama sekali. Entah apa jenis masakan yang dibuat Cakka itu.
“Makanan apa ini? Aneh banget,” komentar Oik.
“Ini namanya stamppot, makanan khas Belanda,” kata Cakka sambil mengangkat piring itu.
Stamppot?” tanya Oik alisnya dinaikan setengah seakan meminta penjelasan.
“Makanan yang terbuat dari kentang yang direbus dan dihancurkan lalu dicampur dengan beberapa sayuran seperti wortel atau sayuran hijau seperti boerenkool,” jelasnya sambil memasukkan makanan yang ia masak ke dalam mulutnya.
Tiba-tiba perut Oik terasa keroncongan. Ia pun melangkahkan kakinya ke arah kulkas. Membuka kulkasnya. Oh iya! Oik lupa. Ia lupa untuk belanja bulanan. Di dalam kulkas kosong melompong. Yang tersisa hanya beberapa cemilan beserta beberapa jus buah. Oik kembali menatap Cakka yang sedang menghabiskan stamppot-nya. Kemudian ia ingat akan perjanjiannya yang ia tulis sendiri.
Cari makan masing-masing.
Ia pun mengurungkan niatnya untuk meminta makanan Cakka itu. Lagi pula ia tidak tahu jenis makanan itu juga. Bagaimana kalau rasanya tidak enak? Ia mungkin bisa keluar berbelanja. Oh... Oik lupa lagi, kalau terakhir ia belanja makanan bersama Cakka. Kalau sendiri, ia akan kesulitan berbelanja bahan makanan lagi. Hupfh!
“Mau?” tawar Cakka pada Oik sambil mengangkat piringnya ke arah Oik.
Oik menggeleng gengsi, “Nggak.”
“Nggak usah gengsi deh. Aku tahu stok bahan makanan kamu habis, nih kalau mau makan,” kata Cakka sambil mengarahkan sendoknya ke arah Oik.
Oik berdecak. Perutnya lagi-lagi keroncongan. Oik menatap was-was ke arah Cakka, “Itu enak?” tanya Oik.
“Coba aja, enak atau nggak selera pribadi. Yang pasti ini baik kok buat kesehatan. Soalnya perpaduan sayur-sayuran. Kalau kamu nggak mau gemuk nggak usah makan sosisnya,” cerocos Cakka.
“Tapi—”
Tanpa disangka Oik di tengah perkataan Oik. Cakka malah memasukkan makanan itu ke mulut Oik. Ia dengan terpaksa mengunyah makanan yang telah dimasukkan Cakka ke dalam mulutnya. Rasa sayur-sayuran yang mendominasi. Serta keempukan makanan yang dihancurkan. Ditambah bumbu-bumbu baru yang dikecapnya. Membuat sensasi baru di lidahnya.
“Sudah kubilang kan, kamu harus belajar untuk cepat mengambil keputusan,” kata Cakka sambil memasukkan sendok makanan ke dalam mulutnya.
Oik berpikir sebentar. Sepertinya perkataan Cakka ini benar. Ia harus benar-benar belajar untuk cepat mengambil keputusan. Dulu ia hampir terlambat mengambil keputusan. Dan sekarang ia tidak boleh mengulanginya lagi.
Itulah yang membuat langkahnya mendekat ke arah Cakka. Langsung menyambar piring Cakka dan tanpa memedulikan Cakka ia segera memakan yang tersisa di atas piring itu. Cakka tersenyum melihatnya. Oik juga tersenyum sambil memasukkan suapan selanjutnya ke dalam mulutnya.
“Kapan-kapan selain jadi guru les Bahasa Belanda. Boleh juga jadi masterchef masakan Belanda buat chef amatir kayak aku,” kata Oik.
Kemudian keduanya tertawa bersama. Sebelum Cakka merampas sendok dari Oik dan memasukkan makanan itu ke dalam mulutnya.
“Sepertinya sepiring berdua romantis juga.”

***

Pulang dari kerja. Cakka langsung masuk ke dalam apartemen Oik. Tanpa memencet bel atau mengetuk pintu. Karena ia tahu kebiasaan buruk gadis itu. Ia selalu lupa mengunci pintu. Cakka segera melepas dasi yang sedari tadi terpasang. Hendak menuju kamarnya untuk berbaring sebentar. Tadi cukup melelahkan. Menandatangani berkas-berkas yang bahkan ia sendiri tidak bisa menghitung banyaknya. Ia akan mengajar Oik setelah ia mengistirahatkan dirinya sebentar. Jam sudah menunjukkan pukul 10.00 malam.
Namun, dirinya terhenti saat melihat Oik tertidur dengan kepala yang ditenggelamkan di tangannya sendiri di atas meja ruang tamu. Buku-buku banyak berserakkan di kiri dan di kanannya. Gadis itu terlihat kelelahan. Cakka mendekat. Ada sebuah buku yang sepertinya sedang di tulis Oik tapi ia malah tertidur.
Cakka memperhatikan tulisan Oik. Tulisannya sangat rapi dengan huruf balok. Berbeda sekali dengan tulisannya yang bersambung seperti tulisan dokter. Ia menyipitkan matanya membaca tulisan yang ditulis Oik itu.

Goedemorgen.
Goedemiddag.
Ik ben Oik Santika.
Ik kom uit Indonesië.
Hoe gaat het je?
Ik houd van je,
(Selamat pagi.
Selamat siang.
Saya Oik Santika.
Saya berasal dari Indonesia.
Apa kabar kamu?
Aku cinta kamu,)

Cakka tertawa. Dari sekian banyak yang diajarkan Cakka. Oik hanya mengingat kata-kata itu? Cakka memang memberikan Oik PR. Tanpa melihat catatannya, ia harus menulis kalimat yang diingatnya. Cakka tertarik dengan kalimat Ik houd van je dengan koma di belakang. Berarti Oik masih ingin menuliskan sesuatu. Dan kemungkinan besar ia akan menuliskan nama “Obiet” pada akhir kalimat tersebut. Ck. Gadis ini masih belum bisa melupakan lelaki itu.
Ia pun segera merapikan buku-buku yang berserakkan. Membiarkan gadis itu tertidur pulas. Setelah selesai dengan semuanya. Cakka segera menggendong Oik. Membawanya ke kamar Oik. Ini bukan untuk pertama kalinya ia melakukan hal ini. Sudah beberapa kali semenjak ia tinggal di apartemen ini. Sudah beberapa kali Oik tertidur di ruang tamu atau dimanapun selain di kamarnya. Cakka yang akhirnya memindahkannya ke kamar.
Cakka meletakkan tubuh Oik di atas ranjangnya. Ia tertahan dengan telapaknya bertumpuh pada ranjang. Sedangkan dirinya beberapa cm di atas Oik. Memperhatikan cara gadis itu bernafas. Memperhatikan setiap lekuk wajahnya yang sedang tertidur. Terasa damai. Wangi floral yang menguar dari tubuhnya semakin membuat Cakka betah di posisinya. Ia pun memberi kecupan kecil di bibir Oik. Sebelum beringsut dari posisinya.
Ia segera menyalakan penghangat di kamar Oik. Sebelum melangkah hendak keluar. Belum sempat ia tiba di pintu. Matanya terantuk di pintu kamar mandi Oik. Ia kemudian tertawa kecil, mengingat pertama kalinya ia dan Oik bertemu di situ. Siluet Oik dengan gerakan sensual sedang menyabuni badannya pun masih terbayang. Otak Cakka sepertinya memang sudah terprogram untuk lebih cepat mengingat hal-hal seperti itu.
Langkah kaki Cakka, malah membawanya mendekati pintu kamar mandi tersebut. Ia kemudian membuka pintu kamar mandi. Di dalam terasa sangat feminim. Berbeda dengan punya Cakka dulu, kamar mandi ini telah di renovasi menjadi lebih feminim. Warna broken white memenuhi setiap sudut ruangan. Di dalam sebuah sliding door yang agak transparan terdapat sebuah bathtub. Di samping luar bathtub ada sebuah shower namun itu masih berada di dalam sliding door. Sebuah lukisan bunga magnolia ada di dekat cermin di tengah-tengah kamar mandi. Wangi floral pun tercium pekat di dalam. Sebuah handuk putih dan sebuah baju mandi tergantung di over the door hanger. Cakka melangkahkan kakinya menuju shower dan mengatur suhu air menjadi hangat. Lalu menyalakannya. Tiba-tiba saja, ia ingin mandi di situ.
Ia pun melucuti satu per satu pakaiannya. Dan bergelung di bawah guyuran air hangat. Melepaskan segala kepenatannya seharian.

***

Tubuh Oik tiba-tiba saja terasa gerah. Penghangat di dalam kamarnya sepertinya sudah keterlaluan. Ia pun bangun dan segera mematikan penghangat. Ia segera mengganti pakaiannya dengan baju tidur tipis. Karena masih kegerahan. Ponselnya yang berada di atas meja rias tiba-tiba saja berbunyi. Oik segera meraihnya dan melihat pesan singkat yang masuk.

From: Ify
Ik, I miss you so much.
Skype yuk.

Oik segera mengetik pesan singkat balasan untuk Ify.

To: Ify
Mysdmtoo.
Yuk.

Ia pun segera melangkahkan kakinya. Menuju Macbook yang memang sudah terbuka di atas meja belajarnya. Ia segera memulai koneksi Skype-nya. Menghubungi Ify. Ia hendak mencari-cari dimana headset-nya namun tak di temukan. Dengan terpaksa ia membesarkan volume Macbook-nya.
Tak beberapa lama kemudian. Muncul seorang gadis di layarnya. Gadis itu sedang mengenakan kacamata dengan buku-buku berserakkan.
“Ik, aku capek nih. Belajar melulu. Nggak ada hiburan, makanya aku hubungin kamu,” kata Ify sambil melepas kacamatanya.
“Aku juga, Fy. Banyak tugas. Ada cerita-cerita seru nggak di sana? Udah dapet boyfriend belum di sana?” tanya Oik antusias.
Ify tertawa, “Ik, aku kan di sini buat belajar bukan buat cari pacar. Belum dapet yang pas. Oh ya, baju tidur kamu boleh juga,” kata Ify.
“Ya, cari dong, Fy. Jangan belajar terus nanti kamu gila. Selama ini, kamu bahkan belum pernah ngenalin pacar-pacar kamu sama aku. Aha! Ia nih gerah makanya pake yang ini,” kata Oik.
“Ya, mentang-mentang udah ada Cakka jadi kayak gitu,” Ify tertawa menggoda Oik, “Takut ah ngenalin sama kamu. Nanti mereka berpaling sama kamu,” canda Ify.
“No! Cakka bukan pacar aku!” Oik membantah, “Ya, kalau dia sayang kamu pasti dia nggak akan berpaling kok,” lanjut Oik.
“Oh! No! Ik, udah mulai nakal ya,” kata Ify yang tiba-tiba berteriak kaget dan menutup matanya.
“Apaan, Fy?” Oik bingung sendiri melihat kelakuan sahabatnya itu.
“Di belakang...” kata-kata Ify menggantung.
Oik pun menoleh ke belakang. Berdiri di depan pintu kamar mandi yang berada di arah jam enam dari tempatnya duduk, seorang laki-laki yang hanya mengenakan handuk putih terlilit di pinggangnya. Rambutnya yang basah dikibas-kibaskan. Ketika melihat Oik yang sedang melongo menatapnya, ia tersenyum. Melangkah mendekati Oik yang masih shock melihat, kenapa lelaki gila ini bisa mandi di kamar mandinya?
“Sudah bangun? Tadi kamu tidur nyenyak banget. Kamu kelelahan ya?” kata-kata itu malah keluar dari mulut Cakka setelah tiba di hadapan Oik. “Eh... Hai, Ify,” sapa Cakka.
“Hai, Cakka,” Ify balik menyapa.
“Fy, yang kamu lihat nggak seperti yang kamu bayangin,” kata Oik tiba-tiba.
“Emang aku bayangin apa sih, Ik? Nggak kok,” kata Ify tapi dari perkataannya ia malah seperti menggoda Oik.
“For God's sake, Cakka! Ngapain kamu mandi di sini?” Oik menggeram kesal.
“Shower di kamar mandi aku macet. Aku baru suruh ngecek petugas. Kayaknya lama. Jadi aku mandi di sini,” alibi Cakka.
“Kamu kan bisa mandi di apartemen kamu!” kata Oik.
“Jauh ah, butuh waktu. Kalau di kamar kamu tinggal lewat conecting door nyampe,” kata Cakka, “Udah ya, aku mau ganti baju dulu. Nggak lama. Setelah itu baru kita lanjutkan belajarnya,” lanjut Cakka yang langsung membuang langkahnya menuju conecting door dan menghilang di baliknya.
Oik menatap Ify dengan tatapan shock. Ify menunggu Oik menjelaskan.
“Fy, jangan berpikir yang aneh-aneh,” kata Oik.
“Gimana aku nggak mau berpikir yang aneh-aneh, Oik? Kamu nggak cerita apa-apa sama aku. Kamu... tinggal satu apartemen dengan Cakka. Trus kalian belajar apa sampai tinggal satu apartemen begitu, Ik?” tanya Ify.
Oik menghela napasnya. Ini akan menjadi penjelasan yang panjang. Hupfh.

***

Hari ini weekend. Oik sudah memasak. Kemarin, Cakka berbaik hati mengantarnya belanja. Sekalian melatihnya menggunakan bahasa Belanda yang ia pelajari. Sedikit ada kesulitan kemarin. Tapi bisa diatasinya—dengan bantuan Cakka tentu saja. Selama tiga minggu belajar bahasa Belanda dengan Cakka. Dengan tiap hari pertemuan. Ia setidaknya sudah bisa sedikit-sedikit berbahasa Belanda. Meski kadang lupa-lupa ingatnya masih sering kambuh.
Sepertinya Cakka masih tidur. Padahal sudah jam 09.00 pagi. Tapi, Cakka sama sekali belum menampakkan batang hidungnya. Biasanya, pagi-pagi seperti ini Cakka sudah membuat keributan—apapun itu. Termasuk menelepon saudara kembarnya sambil berteriak-berteriak. Atau membangunkan Oik dengan desahan-desahan dari film unrated yang sering Cakka tonton—dan itu ick banget.
Setelah menghabiskan makanannya. Oik berjalan ke arah ruang nonton. Hendak menonton sesuatu. Sebenarnya, di kamarnya juga ada home teather tapi ia ingin mencari beberapa DVD yang ia simpan lemari ruang nonton. Ia pun berjalan ke arah sebuah lemari kaca yang ada di sudut ruang nonton. Di dalam ada tatakan DVD tempat Oik meletakkan beberapa koleksi filmnya. Oik pun mengambil semua DVD itu dan meletakkannya di atas meja.

American Pie The Series
American Wedding
American Reunion
American Gigolo
American Beauty
Porky's
The Virginity Hit
Miss March
Lovelace
Fifty Shades of Grey
Project X
Sex and The City
Sex and The City 2
Sleeping Beauty
Turkish Delight
Sex Drive
Hot Moves
Coming soon
Road Trip
Sex Tape

Oik hampir senewen melihat koleksi DVD romannya berubah menjadi erotis seperti ini. Kemana semua koleksi DVD-nya? Kenapa jadi banyak DVD retrieved dan unrated di dalam sini? Di tengah emosinya, mata Oik terantuk pada beberapa buah DVD yang disatukan dan diikat dengan pita berwarna merah. Seperti hadiah. Oik mengambilnya. Membaca sebuah tulisan di atas kertas yang diikat di pita merah tersebut.

For ur wedding.

Oik segera membuka ikatan pita merah tersebut. Kemudian melihat satu per satu judul film yang tertera di sampul DVD itu.

Steel Magnolias
Love Actually
Romeo + Juliet
Mama Mia!
Breaking Dawn
The Vow
The Wedding Date

Setidaknya, judul-judul film ini lebih baik daripada yang tadi. Tapi aneh, kenapa Cakka bisa mengoleksi film seperti ini? Karena dipikirnya selain Obiet, jarang ada lelaki yang suka menonton film roman. Pasti dikatakan banci oleh sesama lelaki. Apalagi jenis laki-laki seperti Cakka.
“Ehm, ngapain bongkar-bongkar?” sebuah suara mengagetkan Oik.
Ia pun membalikan badannya menatap lelaki yang sudah berdiri di depannya. Lelaki yang hanya mengenakan kaos putih dan boxer berdiri sambil menatap Oik meminta penjelasan tentang apa yang sedang terjadi.
“Kemana koleksi film aku?” tanya Oik.
“Ada di lemari bagian bawah kok,” kata Cakka.
“Tapi kan di persyaratan dilarang memindahkan barang yang sudah tertata rapi!” kata Oik.
“Barang yang sudah tertata rapi? Itu berantakan banget. Lagipula itu tetap di lemari situ nggak aku pindahin kemana-mana. Cuma merapikan saja,” kata Cakka sambil berjalan mendekat ke samping Oik.
“Tapi... ini...” Oik menunjuk kumpulan DVD milik Cakka yang berserakkan di atas meja, “Arrrgh... kamu tuh ya,” Oik kesal setengah mati.
“Santai aja, ini biasa aja kok. Mau nonton?” kata Cakka sambil mencomot secara sembarangan dari kumpulan DVD itu.
“Nggak!”
“Ya udah, aku aja,” kata Cakka sambil berjalan ke arah DVD player membawa The Virginity Hit di tangan kanannya.
“Stop! Aku mau nonton yang lain!” Oik menghentikan langkah Cakka.
Cakka mengernyit ke arah Oik, “Yang mana?”
“Yang...” Oik menatap DVD yang sedang di tangannya lalu mengangkat salah satunya, “Ini!”
The Wedding Date? Damn! Kenapa film kayak gitu masih ada di sini?” Cakka merenggut kesal.
“Aku nemunya di tatakan DVD kamu kok. Masa kamu nggak tahu?” Oik mengernyit heran, “Nih! Ada tulisan for your wedding,” kata Oik sambil menunjukkan kertas putih yang tadi ditemukannya.
“Nggak,” Cakka menggeleng, “Aku nggak perhatikan sih pas naruh kemarin. Tapi seharusnya, aku nggak bawa DVD itu! Ah! Ini kerjaan siapa? Alvin? Mama? Atau?” Cakka mendesah, “Aku nggak pernah suka nonton film kayak gitu,” lanjutnya.
“Ada yang ngasih hadiah untuk pernikahan kamu?” Oik bertanya hati-hati.
“Itu pemberiannya Sivia, isterinya Alvin. Sebelum pernikahanku sama Shilla dulu. Aku disarankan untuk menonton film tentang pernikahan sama wedding organizer yang menangani acara pernikahan kami. Aku juga nggak ngerti maksudnya. Sivia juga bilang hal yang sama dan langsung memberiku itu. Dia dan Alvin punya ketakutan yang sama kalau-kalau aku main-main dengan sebuah pernikahan,” Cakka menggeleng dan menghela napasnya panjang, “Mereka terlalu berlebihan kadang-kadang. Memangnya mereka pikir aku menikah buat main-main,” lanjutnya.
“Abis tampangnya kamu memang nggak ada seriusnya kayaknya kalau soal pernikahan,” timpal Oik.
“Ck,” Cakka berdecak, “Mau nonton nggak nih? Kalau nggak aku putar film-ku dan kamu harus ikut nonton!” kata Cakka.
“Eh... Iya mau, tapi... emang, ini film tentang apa?” tanya Oik.
“Itu film yang paling nggak mau aku tonton sebenarnya!” Cakka melangkah duduk di sofa, “Tentang cewek yang pernikahannya tiba-tiba batal karena calon suaminya memutuskannya,” kata Cakka sambil mengambil doublemint dari sakunya lalu mengunyahnya.
“Kamu nggak nyindir kan?” Oik agak sensitif menanggapi Cakka.
“Buat apa aku nyindir? Beneran ceritanya kayak gitu. Trus suatu saat adiknya si cewek menikah dan mau nggak mau si cewek harus bertemu dengan mantan calon suaminya itu. Efek patah hati si cewek susah buat dapat penggantinya si mantannya itu. Trus, buat nunjukin ke mantannya itu kalau dia udah bahagia. Jadilah dia sewa gigolo buat pura-pura jadi pacarnya. Then, you know-lah, klise si cewek malah jatuh cinta beneran sama gigolonya,” jelas Cakka.
“Ada gigolo-nya juga?” Oik bergidik ngeri.
Cakka tertawa membayangkan sesuatu sambil menatap Oik, “Iya, nanti kalau siapanya kamu menikah trus mengharuskan kamu ketemu sama Obiet lagi, nanti aku yang bakal jadi gigolo-nya deh,” canda Cakka.
“Sori, aku nggak punya niat buat mencari gigolo walaupun aku nggak bisa move on!” kata Oik.
“Yakin deh, kamu bakalan mau kalau gigolo-nya kayak aku,” Cakka semakin menggoda Oik, ia mengedipkan mata kirinya. Membuat Oik ingin muntah. Ia menggerutu kesal.
Di tengah pembicaraan mereka yang absurd tiba-tiba bel apartemen berbunyi. Keduanya terdiam. Mencoba menebak-nebak siapa yang datang.
“Kamu pesan room service tadi?” tanya Oik pada Cakka.
Cakka menggeleng, “Nggak. Udah bukain pintu sana!” suruh Cakka.
“Ck... pintunya kan nggak...” belum sempat Oik melanjutkan perkataannya...
“Oik, where are you? We’re coming!” sebuah suara khas perempuan yang dikenali Oik seiring dua pasang langkah kaki mendekati mereka.
She isn’t close the door. Maybe, she’s already wait for,” sebuah suara mengekor di belakang suara tadi.
Membuat Oik melotot menatap Cakka yang ada di depannya. Ia panik. Ia lupa kalau-kalau...
“Celine, Helena,” sapa Oik yang kaget mendapati kedua gadis berambut blonde itu di hadapannya.
“Oik... your?” gadis yang rambutnya lebih pendek bermata hijau menunjuk ke arah Cakka, “Boyfriend?” lanjutnya.
“Celine... he is...”
Oh gosh! You’ve American Pie complete series? Can I borrow that?” kali ini gadis yang berambut panjang bermata biru segera melepas tas dan diktat yang dibawanya. Ia malah menatap jejeran DVD di atas meja yang tadi sempat menjadi bahan pertengkaran Cakka dan Oik.
“Helena... it’s...”
Yes, you can,” Cakka memotong perkataan Oik menyetujui pertanyaan Helena.
Oh thank you, such a romantic couple, i love you both,” kata Helena sambil mencium pipi Cakka dan Oik lalu menarik Celine melihat-lihat koleksi DVD Cakka di atas meja.
Oik melotot menatap Cakka. Ia masih shock. Kenapa kedua teman kampusnya ikut-ikutan gila seperti Cakka? Oik mengajak mereka kemari untuk mengerjakan tugas kelompok. Bukan untuk membicarakan film-film gila ini, bahkan bukan untuk mengatakan ia dan Cakka pasangan yang romantis. Oik menggeleng frustasi.
So, Oik and...?” Celine bertanya sambil menunjuk ke arah Cakka.
“Cakka,” jawab Cakka.
Yes, Cakka. How long you’ve been living together?” tanya Celine.
We are not...”
A couple months,” Cakka menyela sambil merangkul Oik, “I will keep her on my arm and never leave her alone,” lanjutnya.
Oh... sweet! Me and my boyfriend on planning to live together. Maybe, next month we will find a new apartement for we both. So we can do anything we want, just like you both. We will watch erotic movies, or maybe practice it on our sex journeys,” kata Helena sambil memilah-milah DVD.
Cakka, Helena dan Celine tertawa. Oik menelan ludahnya. Bisakah mereka berhenti membicarakan hal-hal seperti itu? Entahlah, pembicaraan mereka yang terlalu pribadi atau Oik yang terlalu lugu dan naif sehingga mendengar hal-hal seperti itu terasa menggelikan baginya. Ia tak tahu apa yang besok akan dibicarakan Celine dan Helena pada teman-teman kampusnya. Semoga saja Celine dan Helena bukan tipe Regina di mean girls. Yang dengan mudahnya menyebarkan gosip pada seantero kampusnya. ‘Oik dan pacarnya tinggal satu apartemen’ atau ‘Oik dan pacarnya nonton film erotic’. Tapi bukankah hal-hal seperti itu, dianggap wajar saja di luar negeri seperti ini? Tapi... bagaimana jika sampai ke telinga teman-temannya di Indonesia? Atau bahkan orang tuanya? Oik tidak bisa membayangkannya. Yang pasti untuk saat ini rasanya ia ingin berteriak di telinga Celine dan Helena he is NOT my boyfriend.
***

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...