Sabtu, 05 November 2011

AIDS to Love (One shoot)

AIDS to Love


T
ik…Tik… Tik… Waktu terus berdetik, jarum detik terus berpacu seakan tanpa mempedulikan keadaan disekitarnya. Matahari nampak hampir terbenam disebelah barat kala jarum panjang jam tepat berada diangka enam dan jarum pendek berada diantara lima dan enam. Nampak seorang wanita berjalan ragu memasuki sebuah rumah sakit, hatinya dag-dig-dug tak karuan, nafasnya seolah-olah terhenti. Ketakutan membungkus wajah wanita itu sampai wajahnya memucat dan kakinya sedikit gemetar. Dingin tiba-tiba menjalar diseluruh tubuhnya, setetes air mengucur di pelipisnya. Terasa dingin bak es batu yang baru saja mencair. Dengan langkah perlahan dia mengayunkan kakinya menuju sebuah ruangan. Ruangan yang menurutnya akan  menentukan nasib hidupnya kemudian. Setelah masuk kedalamnya, Ia menyebutkan namanya.

“Oik Cahya Ramadlani…”

Seseorang berpakaian serba putih menyerahkan sebuah amplop putih kepada Oik –wanita itu– dengan wajah cemas ia menerima amplop tersebut. Kemudian melangkahkan kaki keluar dari ruangan itu.

Amplop putih itu masih berada ditangannya, terdiam tanpa bergiming sedikitpun. Oik menatap amplop putih itu, dia bimbang dan ragu untuk mambuka amplop tersebut. Dia takut kalau-kalau… ah tidak...! apapun hasil yang ia temukan didalam amplop itu merupakan jalan hidupnya yang telah digariskan Tuhan. Dengan perlahan dia meyobek bagian atas amplop itu, sobekan kecil itu terjun bebas kelantai. Ditariknya pula secara perlahan kertas putih yang ada didalamnya. Dibukanya lipatan-lipatan rapi kertas putih itu perlahan, semakin pelan sampai dirinya seakan tak berdaya. Tak mampu. Tapi Ia coba menguatkan hatinya untuk membuka amplop tersebut. Setelah berhasil mengumpulkan energinya yang tersisa, Oik membuka kembali lipatan-lipatan kertas itu dengan cepat dan menjelajehi tulisan-tulisan yang ada didalamnya. Sampai dia menemukan sebuah kata yang membuat dunianya seakan berubah 180 derajat. Sebuah kata yang mampu menghancurkan mimpinya. Sebuah kata yang mampu memporak-porandakan dunianya saat ini. Kata itu adalah………

“Positif…”

Mata Oik berkaca-kaca, bulir-bulir bagaikan kristal jatuh dari pelupuk matanya. Entah, mungkin penyesalan. Tapi, bukankah untuk cinta tak pernah ada kata menyesal? Bukan begitu? Ah! Mungkin karena cinta yang membutakan semua. Mungkin cinta yang membuat dia tak berpikir akan ada penyesalan. Tapi apa yang terjadi pada Oik saat ini? Bukankah ini sebuah penyesalan?. Bukankah cinta itu apa adanya bukan ada apanya? Kata andai kini selalu terngiang dibenak Oik. Tapi bukankah andai itu semu? Dan takkan terulang kembali bila sudah terjadi? Sekarang yang terpenting hanya satu! Menemukan dia!

^ ^ ^

Oik kembali memperhatikan pria yang ada tak jauh dari hadapannya. Bukan kali ini saja dia memperhatikannya, sudah beberapa kali dia memperhatikan pria itu. Pria dengan kamera DSLR yang tak pernah lepas dari lehernya. Dengan lihai membidik segala sudut mata angin dan segala sudut pandang yang ia temukan. Pria itu sungguh charming  untuk diperhatikan, mulai dari rambutnya, alis matanya, mata sayu miliknya, hidung yang lumayan mancung –soalnya Oik tak suka dengan pria yang hidungnya terlalu mancung pinochio–, bibirnya yang melengkung sempurna ketika tersenyum, wajah ovalnya,  hampir semua yang ada pada dirinya itu menurut Oik sempurna. Memang tak ada didunia ini yang sempurna, tapi menurut ukuran Oik –manusia– He’s so perfect. Mungkin inikah yang dinamakan Love at the first sight? Tapi sayangnya Oik adalah tipe orang yang tidak percaya dengan kata-kata itu, karena dia meyakini bahwa cinta itu takkan pernah instan. Maybe, that’s feel is Like at the first sigh?

Angin sepo-sepoi berhembus meniup rambut Pria itu, sinar matahari kini semakin menyengat kulit. Dikeluarkannya sunglass lalu dipakainya menambah Oik semakin menggigit bibir melihat Pria itu. Pria itu membuka kaosnya sehingga badan atletisnya semakin terlihat jelas membuat Oik menahan napasnya. Lalu dia berjemur diatas hamparan pasir putih yang membentang disepanjang pesisir pantai Kuta, Bali.

^ ^ ^

“Cakka Kawekas Nuraga, panggil saja Cakka atau Kka…” Kata pria itu memperkenalkan dirinya enggan menyalami Oik. Entah kenapa. Dan tentu saja itu sangat ganjal. Apabila mengenal seseorang bukankah harus menjabat tangannya agar terasa semakin akrab? Atau sebagai kewajiban bagi orang indonesia bahkan seluruh dunia apabila berkenalan?
Pria misterius ini, Cakka namanya. Dia yang diperhatikan Oik sewaktu berlibur ke Bali. Semenjak itu, Oik ingin sekali berkenalan dengannya. Disaat ini keinginannya tercapai. Entah mungkin takdir yang mempertemukan mereka kembali di Jakarta, 6 bulan setelah liburannya ke Bali. Berawal dari chatting. Oik mempunyai teman chatting semenjak 1 tahun belakangan ini dia memakai nama ‘Anak_Ilang’. Tapi siapa sangka ketika Oik dan teman chatting nya janjian untuk bertemu di sebuah tempat rekreasi –ancol–, ternyata sang Anak Ilang adalah sosok Cakka, yang adalah pria impian Oik. Dingin itulah sikap Cakka pertama kali berkenalan dengan Oik. Sangat berbanding 180 derajat ketika dia menjadi teman chatting Oik dan tentu saja Oik sangat heran. Atau ini hanya bentuk kaku dari dua teman yang berkenalan dari dunia maya dan mencoba beradaptasi dengan dunia nyata?

Oik berjalan beriringan dengan Cakka, dia hanya memperhatikan pria itu yang asik dengan kameranya membidik objek sasaran yang hendak dijadikan sarana untuk menyalurkan hobinya tersebut. Dengan ragu Oik memulai percakapannya dengan Cakka.

“Cakka…hmm… Kau hanya suka photography atau memang kau seorang photographer?...”

“Menurutmu…?” Jawaban gantung dari Cakka sambil terus memutar lensa kameranya, membuat Oik semakin penasaran dengan sosok Cakka penuh misteri.
Oik memang sudah menjadi teman chatting Cakka sejak 1 tahun. Tapi itu hanya sekedar sharing saja tanpa saling mengetahui background kehidupannya masing-masing. Dan bagi Oik tak penting untuknya dulu, teman chatting hanya untuk have fun saja dan Oik tak pernah berencana untuk membawanya ke dunia nyata. Tapi apa yang terjadi jika Cakka adalah teman chattingnya itu?

“Ya, aku gak tahu… makanya aku tanya kamu… aku kan pengen kenal kamu gak hanya sebagai anak ilang tapi juga sebagai Cakka…”

Cakka menyunggingkan senyum yang membuat leher Oik terasa dingin dan bulu roma ditangannya merinding sebelum akhirnya Cakka menjawab…

I don’t like photograpy and I’m not a photographer…

Oik bingung dengan jawaban Cakka. Mungkinkah Cakka berbohong? Bagaimana dia bisa bilang dia tidak suka photography sedangkan kamera DSLRnya selalu tergantung dilehernya? Baru saja Oik ingin bertanya lagi Cakka meneruskan perkataannya…

But my love just for photography… nothing else…

Lanjutan kata-kata Cakka membuat Oik mengerti bahwa Cakka bukan menyukai dunia photography melainkan mencintainya. Ya memang suka dan cinta itu beda. Mungkinkah perasaan Oik kepada Cakka juga hanya di namakan suka?

^ ^ ^

‘Jreeeengg…’ Cakka memetik sebuah gitar hitam. Diiringi lantunan suara Oik yang merdu menyanyikan lagu Minenya Taylor Swift. Ini pertemuannya dengan Cakka untuk kesekian kalinya semenjak perkenalannya dengan pria itu. Dan ditiap kali pertemuan mereka Cakka selalu membuat Oik terkagum-kagum. Pertemuan pertama sifatnya dingin bak es batu. Pertemuan kedua masih seperti itu. Pertemuan ketiga sudah ada wajah yang bersahabat dari Cakka ketika membicarakan soal makanan dengan Oik, ternyata Cakka suka makan juga. Pertemuan keempat sudah sedikit mencair kemudian beberapa pertemuan selanjutnya sampai membuat mereka lumayan akrab. Tapi dalam hitungan Oik, pertemuan ke 18 adalah yang paling berkesan ketika matanya bertemu dengan mata Cakka, rambutnya tertiup angin, hawa disekitar dingin tapi dengan menatap mata Cakka, Oik merasakan kehangatan. Pertemuan-pertemuan selanjutnya, Oik tak menghitung lagi karena pesona Cakka dipertemuan ke 18 itu semua jadi blank.

Do you remmember we were sitting down by the water… you put your arm around me it’s for the first time….

Suara Oik dan petikan Gitar Cakka diiringi dengan bunyi air-air yang jatuh dibelakang mereka. Air mancur. Membuat malam itu terasa menyenangkan.

Nice… Suaramu indah…” Puji Cakka

Thanks... Petikan gitarmu juga hebat… hmmm, do you like practice guitar?

Yeahh… I do like it…

What about photography?

“Oik sudah pernah ku bilang kan beda suka dan cinta waktu kita chatting dulu…?

Oik memutar kembali memory belakang otaknya yang menyimpan segala apa yang pernah terjadi kepadanya kemudian menemukan…

Anak_Ilang: Suka berbeda dengan Cinta. Suka itu berbicara di luar sedangkan Cinta itu berbicara di dalam. Misalnya kalau kamu tertarik dengan seorang pria hanya dari luar saja… itu dinamakan suka. Tapi kalau kamu tertarik kepada pria tanpa melihat fisik tapi rasa sebuah rasa yang tak bisa kau ungkapkan dengan kata-kata dari dalam dirimu itu baru dinamakan Cinta.

“Masih ingat kan?”

Oik mengangguk.

“Nah sama halnya bagiku dengan gitar dan photography… Aku suka gitar karena terbiasa… Dulu setiap hari aku memainkannya, bisa dibilang aku suka karena dari luar atau keadaan disekitarku suka… Sedangkan photography tak ada mendukungku meyukai hal itu… Maka dari itu aku mempertahankannya sehingga menimbulkan rasa cinta…”

Oik mencoba meresapi kata-kata Cakka, agak cukup sulit untuk mencerna kata-katanya. Tapi, akhirnya Oik mengangguk mengerti. Sepertinya, ada sesuatu dibalik kecintaannya pada photography.

Cakka beranjak dari tempat yang mereka duduki menuju hamparan rumput tak jauh dari situ, membaringkah tubuhnya diatas rerumputan hijau yang membentang, menengadahkan kepalanya keatas langit. Oik mengikutinya, tapi dia hanya duduk disamping Cakka dengan kaki disilangkan, seperti biasanya ada jarak diantara keduanya. Oik juga ikut menengadah keatas langit. Lama mereka terdiam dalam suasana malam itu. Sunyi sepi. Tak ada suara. Tiba-tiba…

“Ik…” Panggil Cakka

Oik menoleh kearah sumber suara –Cakka–. Cakka masih dalam posisinya tadi. Cakka menyadari kalau Oik kini telah menatapnya namun ia tetap tak bergeming sedikitpun.

“Kamu tahu masih ingat gak pertama kali kita ketemu…? Aku bilang my love just for photography… nothing else…

“Aku ingat sekali…” Jawab Oik.

“Hmm… kalau aku tarik kata-kataku yang itu boleh gak?...” Tanya Cakka yang membuat Oik bingung.

“Maksudmu kau tak cinta photography lagi?...”

“Bukan… bukan begitu tentu saja aku selalu cinta photography…

“Trus?...”

“Aku baru sadar kalau cintaku bukan hanya untuk photography lagi… Tapi kini bertambah for someone else…”

“Hmm… pasti terbagi untuk gitar kan? Kau baru sadar kalau kau mencintai gitar juga kan?...”

Wrong answer…. Can you hear me? I told you for someone else… Not for something else…

Someone else?...”

“Yah… Jangan bilang kalau kau tak tau lagi perbedaan someone dengan something…

“Aku terlalu bodoh kalau tak tau itu… Lalu siapa yang kau cintai sekarang…” Kata Oik. Hatinya deg-degan menunggu jawaban dari Cakka. Mungkinkah dirinya? Atau mungkinkah dia terlalu berharap?

“Seseorang… Dia yang ada di dekatku sekarang…”

Oik menggigit bibirnya mendengar jawaban Cakka. Bunga sakura seaka bersemi didalam hatinya. Kembang api dan mercon seakan membisingkan telinganya. Seperti ada perayaan didalam dirinya ketika mendengar jawaban Cakka itu.

“Kau tahu Ik, semenjak setahun lalu kau menjadi teman chattingku, aku merasakan sebuah kecocokan antara kita. Sebelumnya tak ada yang nyambung denganku. Hanya kamu. Tapi…” Cakka tampak memikirkan sesuatu. Membuat Oik menunggu kata apa yang akan diucapkan Cakka.

“Ah sudahlah…. Ayo kita pulang sekarang, sudah larut malam... Besok menanti kita…” Kata Cakka berdiri hendak beranjak pergi. Sikap Cakka yang tadi membuat perayaan dalam diri Oik sekejap berubah menjadi hampa. Hanya begitu? Cakka mencintainya tapi tak memintanya untuk menjadi seseorang yang lebih berharga dalam hidupnya? Tak bisakah? Kenapa? Berbagai pertanyaan terngiang dipikiran Oik. Cakka masih tetap saja misterius.

Dengan perasaan kecewa, Oik mengikuti langkah Cakka. Sempat terbersit dalam benaknya malam ini akan berakhir sempurna. Tapi, Cakka yang membangun harapan itu, dia pula yang menghancurkannya sejenak. Diam menyelimuti keduanya ketika menyusuri jalan. Waktu disekitar sudah menunjukan pukul 10.35 WIB, Cakka bermaksud mengantarkan Oik kerumahnya karena jam segitu sudah tak ada alat transportasi yang lewat disekitar mereka. Sebagai pria yang bertanggung jawab dia harus memastikan Oik tiba dirumahnya dengan selamat.

“Kka…” Panggil Oik.

“Ya…” Jawab Cakka singkat.

Diam. Oik tampak berpikir. Rasa ragu menyelimuti dirinya untuk menanyakan hal yang ada dibenaknya sekarang.

“Hmmm… katanya kau mencintai aku… kok kamu gak…” Kata-kata Oik menggantung.

“Nembak kamu?’ Tebak Cakka.

Oik terdiam. Malu. Ini baru pertama kalinya dia bertanya seperti itu dihadapan pria seperti Cakka.

“Memangnya kamu juga mencintaiku?...” Tanya Cakka.

Pipi Oik bersemu merah. Lalu mengangguk dengan cepat.

“Kalau kau memang mencintaiku, apakah kau mampu menerimaku apa adanya?...”

“Tentu saja… Cinta itu harus saling menerima kekurangan orang yang dicintainya…”

“Tapi aku takut…”

“Takut kenapa?...”

“Kalau suatu hari nanti kau mencabut kata-katamu…”

“Untuk apa aku mencabut kata-kataku…?”

“Untuk sebuah alasan… mungkin… hmmm ah sudahlah…”

“Jadi?...” Tanya Oik hendak memastikan hubungan mereka.

Cakka tampak berpikir. Seribu pemikiran telah ia lakukan hasilnya tetap satu dia memiliki perasaan cinta terhadap wanita disampingnya itu.

“Kamu mau menerimaku apa adanya?”

“Tentu saja Cakka…”

“Yakin…?” Cakka memastikan

“Yakin…”

“Yaudah…”

“Jadi…?”

Cakka mengangguk. “Menerimaku apa adanya sudah cukup alasanku untuk menjadikanmu tambatan hatiku… Makasih ya Ik…”

“Sama-sama Cakka…”

Cuma begitu? Hanya seperti itukah? Tak ada pelukan hangat apalagi ciuman mesra dari Cakka ketika mereka resmi sebagai sepasang kekasih. Tak seperti yang Oik nonton di film-film. Tapi ya sudahlah, menjadi kekasih Cakka sudah cukup membuatnya bahagia. Ternyata malam ini benar-benar berakhir sempurna.

^ ^ ^

4 bulan sudah Cakka dan Oik menjadi sepasang kekasih. Cakka masih tetap sama misterius. Oik mencoba membuat Cakka bisa terbuka dengan kehidupannya. Dia hanya bisa menemukan beberapa fakta yang terlihat seperti hobby Cakka –yang sudah diketahuinya sejak awal pertemuan–, mengetahui bahwa Cakka tinggal sendiri disebuah kos-kosan, dan Cakka berasal dari Yogyakarta. Tapi Oik yakin bahwa dia menyimpan sejuta rahasia dibalik kemisteriusannya. Bukankah pacaran untuk saling mengenal agar kau bis mengetahui pasanganmu dan bisa melangkah ke jenjang selanjutnya? Ditambah lagi hubungan mereka terasa datar dan tanpa ekspresi. Tak ada rangkulan mesra, pelukan hangat ataupun sebuah ciuman manis baik dikepala, dahi, kening, pipi apalagi dibibir. Bahkan untuk membelai rambut Oik atau sekedar memegang tangannyapun tak pernah. Tak pernah bersentuhan. Bukankah diusia mereka saat ini gaya pacaran seperti itu sudah sewajarnya?

Sampai suatu malam. Oik sangat kelelahan, hari ini merupakan hari yang sangat kacau. Pekerjaannya dikantor membuatnya cukup frustasi. Bosnya marah-marah tak jelas. Belum lagi Cakka yang tak memberi kabar sedikitpun hari ini, membuatnya moodnya semakin random. Dilangkahkan kakinya menuju kesebuah rumah kos yang tak terlalu besar bdan tak juga terlalu kecil. Kemudian ia mengetuk pintu rumah tersebut. Seorang pria hanya memakai celana boxer sedangkan membukakan pintu. Oik menahan nafas, seakan kembali mengulang masa-masa liburannya di Bali, tempat pertama kalinya dia melihat Cakka. Tapi, ada yang berubah Cakka telihat agak kurus dari tempo hari. Tapi tak mengurangi pesonanya dimata Oik.

“Oik…”

“Cakka, boleh aku masuk?...”

“Hmm… silahkan saja…”

Oikpun masuk kedalam lalu duduk melantai karena di kos-kosan Cakka tidak ada kursi ataupun bangku. Cakka masuk kedalam kamar memakai sebuah kaos lalu keluar lagi dan duduk melantai tak jauh dari situ.

“Kamu kenapa tak ada kabar seharian ini…?”

Sorry…

“Cuma sorry?... tak adakah alasan lain untuk kau membela diri?...”

Cakka terdiam. Oik menunggu pembelaan dari Cakka yang tak kunjung keluar dari mulutnya.

“Aku minta maaf. Aku salah maaf membuatmu cemas…”

Tak ada pembelaan hanya kata maaf yang dikeluarkan Cakka. Oik tak mau memperkeruh suasana. Hari ini sudah membuatnya cukup gila. Dia tak mau menambahnya lagi. Mereka terdiam sebelum akhirnya Cakka beranjak dari situ lalu kembali dengan secangkir teh hangat lalu diberikannya kepada Oik.

“Makasih…” Oik kemudian meminumnya. Badanya terasa hangat. Teh panas itu seakan menjalari tubuhnya.

“Kamu ada masalah dikantor ya, Ik?

“Kok tahu?...”

I know all about you…

But, I know just a little about you… maybe, I’m a bad girlfriend for you…

“Kenapa kamu bilang begitu Ik?...”

“Kita pacaran… kamu masih saja misterius… tak mau terbuka…”

“Kau benar-benar ingin tahu segala sesuatu tentangku?...”

“Tentu saja… apa gunanya aku jadi pacarmu kalau tak tahu apa-apa tentangmu Anak Ilang!...”

Well, little princess look at my eyes…

Oik menatap mata Cakka, mata berbentuk seperti almond  menyiratkan sesuatu yang dalam. Seperti menyimpan banyak rahasia. Mata itu mampu menghipnotisnya membuat waktu serasa berhenti. Mata dipertemuan ke 18 itu masih tetap sama. Mata yang bisa menciptakan sebuah kehangatan.

“Oik… Bolehkah aku bertanya lagi…”

Oik mengangguk tapi pandangannya tetap fokus ke mata Cakka. Tanpa berpaling sedikitpun.

“Apakah kau benar-benar bisa menerimaku apa adanya?...” Pertanyaan itu lagi. Apa yang dimaksudkan Cakka sehingga menanyakan hal itu untuk kesekian kalinya kepada Oik? Apakah dia ragu dengan cinta Oik yang ia berikan untuknya?

“Mata tak bisa bohong… Now, Look at my eyes tooAm I a liar?

Cakka menggeleng. “Tidak, tapi aku perlu bukti…” Ucap Cakka yang membuat Oik bingung bukti apa yang harus ia berikan kepada Cakka agar dia percaya.

“Ik… kau benar-benar ingin tahu semua tentangku…?”

Cakka mulai mendekat kearah Oik semakin mempersempit jarak antara keduanya. Tak biasanya Cakka seperti ini. Cakka semakin mendekat dan semakin dekat membuat Oik bisa mencium aroma tubuhnya pada jarak seperti ini. Sampai tak ada jarak diantara keduanya, merasakan hembusan nafas masing-masing.

“Kau akan tahu semua tentangku setelah ini…” Bisik Cakka ketelinga Oik. Hembusan nafasnya terasa hangat sampai ke leher Oik. Cakka melepaskan karet yang mengikat rambut Oik sehingga rambutnya ikalnya tergerai. Kemudian membelai rambutnya itu. Itu sentuhan pertama Cakka semenjak mereka pacaran sampai sekarang. Mendekap tubuh Oik lalu memiringkan kepalanya menyentuh bibir Oik dengan bibirnya. Ciuman yang diawali dengan dengan kehangatan sekejap berubah liar… semakin liar… sampai tak terkontrol.

^ ^ ^

Oik terbangun dari tidurnya, dipandangnya sekeliling tempat ini, hm lebih tepatnya kamar ini cukup asing. Wajah berubah kaget ketika menyadari dirinya berada dikamar orang tanpa busana dan hanya dengan sebuah selimut yang menutupi tubuhnya. Tiba-tiba ia kalang kabut, bingung, takut, semuanya bercampur menjadi satu. Kemudian dia melihat secarik kertas dimeja tepat disamping tempat tidurnya. Diambilnya kertas tersebut sepertinya sebuah surat lalu dibacanya kata demi kata. Itu surat dari Cakka.

Setelah membaca surat tersebut, Oik merasakan sesuatu menohoknya, beban berton-ton datang kepadanya untuk dipikul. Badannya seakan tak berdaya, tubuhnya linglung. Bahkan untuk memakai kembali pakaiannya yang berserakan dia harus mengeluarkan tenaga ekstra. Pusing menyerangnya. Tidak, mungkin itu hanya candaan Cakka. Tapi tidak mana mungkin Cakka bercanda dengan hal seperti itu? Dan Cakka benar-benar menghilang, tak ada disekitarnya. Benarkah? Apa yang dikatakan Cakka dalam surat itu? Kepalanya berat sekali tapi dipaksakannya untuk berdiri dan harus keluar dari rumah itu. Harus. Dia tak mau terkurung didalamnya. Walaupun dengan sempoyongan, dia berhasil keluar dari kos-kosan Cakka.

Kini dia bingung. Harus kemana? Mencari dimana Cakka? Dan menanyakan apa arti semua ini? Memintanya untuk bertanggung jawab atas dirinya? Atau kerumah sakit untuk mencari kepastian tentang apa yang ditulis Cakka dalam suratnya? Dilema!

^ ^ ^

‘Positif… positif… positif…’ Kata itu selalu terngiang dalam benak Oik ketika pulang dari rumah sakit ke rumahnya.

Orang disekitarnya akan mengasingkan dan tak yang akan menerima Oik bila tahu kalau dia… Ah! Dia harus mencari Cakka. Dilangkahkannya kakinya menuju kamarnya dikemas barang-barangnya untuk pergi mencari Cakka yang tak tahu pergi kemana setelah malam itu. Setelah membereskan barang-barangnya Oik terdiam kembali untuk berpikir, kemana kira-kira Cakka pergi? Diputarnya otaknya sambil membaca kembali secarik kertas yang ditinggalkan Cakka.

Thanks for the beautiful night ya Ik… It’s so amazing
Mungkin kamu bakal kaget sejadi-jadinya setelah baca surat dariku ini
Atau mungkin kau akan menyesal telah mengenalku dan
Berhubungan denganku.
Dari sekarang siapkan mental… aku hitung sampe tiga…
Ku harap kau telah siap…
1…
2…
3…
Aku sudah berjanji padamu setelah tadi malam,
Aku akan memberitahukan tentangku.
Aku Cakka Kawekas Nuraga, 23 tahun, aku seorang Dokter.
Itu satu yang tidak kamu ketahui tentangku kan? I’m a doctor.
Aku seorang dokter anak, dan  5 bulan lalu aku dinyatakan
Mengidap sebuah penyakit yang berbahaya, bahkan ditakuti oleh
Manusia, dan sampai sekarang belum ditemukan obatnya,
Sebuah virus bernama HIV dengan penyakit bernama AIDS.
Hmmm, kurasa sudah ku ceritakan tentang diriku yang selama ini
Ingin kau ketahui. Yang kau bilang misterius.
Itulah misteriku kau telah berhasil mengetahuinya.
Dalam surat ini aku juga mau pamitan, aku merasa bersalah terhadapmu
Sangat, karena ikut menjerumuskanmu dalam penyakitku.
Itu semua kulakukan karna aku tak mau kehilanganmu.
Mungkin kau akan berpikir kalau aku jahat, ya aku memang jahat.
Jika kau benar-benar mencintaiku aku yakin kau pasti mencariku.
Dan pasti menemukanku. Semoga.

-Cakka-

Masih merasa shock ketika membaca kembali surat dari Cakka. Dia masih belum bisa percaya Cakka yang dikaguminya, Cakka yang dikenalinya, Cakka pacarnya, mengidap penyakit yang mematikan bahkan menanam penyakit itu didalam tubuhnya. Kejam!

^ ^ ^

Oik menyeret kopernya, lalu melihat tiket yang ada ditangannya tertulis sebuah tempat tujuan ‘Yogyakarta’. Itu tempat asal Cakka. Hati Oik berkata kalau Cakka ada di Yogyakarta. Langkah kakinya semakin dipercepat. Dia ingin cepat-cepat sampai ke Yogyakarta. Cepat-cepat menemui Cakka. Oikpun masuk ke pintu keberangkatan yang mengantarkannya ke sebuah pesawat yang akan mengantarkannya ke Yogyakarta. Sekarang Oik jadi was-was kalau orang-orang disekitarnya tahu didalam tubuhnya ada sebuah penyakit yang berbahaya pasti mereka akan menjauhinya, Oik jadi takut bersentuhan dengan siapapun. Adakah perbedaan dirinya dengan orang-orang sehat lain disekitarnya? Sepertinya tidak, sama seperti Cakka dulu. Itu membuat Oik untuk sementara waktu bisa bernafas lega.

Pesawat akhirnya menerbangkan Oik menuju Yogyakarta. Tak butuh berjam-jam untuk tiba di Yogyakarta. Oik turun dari pesawat menyeret kopernya, keluar dari bandara. Tapi terhenti, sekarang pertanyaan baru muncul dibenak Oik. Yogyakarta itu besar, bagaimana bisa mencari Cakka di kota itu? Sedangkan dia tak punya alamat rumah Cakka?

^ ^ ^

2 bulan sudah Oik di Yogyakarta, tapi Cakka belum dia temukan. Setiap hari dia mencari-mencari dan mencari Cakka. Ia hanya menginap disebuah penginapan yang hanya menyediakan kamar khusus wanita. Pagi-pagi, Oik bersiap-siap untuk kembali melakukan rutinitasnya, mencari Cakka. Tapi didepan dia mendengar pembicaraan dari ibu kos dan salah satu tetangga.

“Dengar-dengar di tv ya bu… sekarang AIDS sudah mewabah loh… Hati-hati deh Bu kalau nerima anak kos jangan-jangan membawa penyakit itu… takutnya tertular keseluruh penghuni kos-kosan ibu…”

“Udah tahu Bu, makanya sebentar sore saya akan suruh anak-anak kos saya untuk pergi ke stadion soalnya disana diadakan penyuluhan tentang AIDS itu jeng… Supaya anak-anak pada tahu bahayanya, ya biar mereka gak sembarangan… Saya juga akan pergi biar anak-anak kos saya gak ada yang bolos karena ini kegiatan penting…”

“Bagus deh bu… Anak gadis saya juga titip ya pergi bareng ibu…”

“Okelah Jeng…”

‘Deg…’ Jantung Oik. Sebentar ibu kosnya pasti tak akan membiarkan Oik untuk tidak ikut penyuluhan itu. Oik sangat takut, kalau-kalau disana mereka bisa mengetahui Oik mengidap penyakit berbahaya tersebut. Oik mengurungkan niatnya untuk mencari Cakka. Dia kembali ke kamarnya disana ia ingin mencari cara untuk tidak pergi ke tempat itu. Tapi dikamarnya Oik malah tertidur.

^ ^ ^

‘Tok…tok…tok…’ Pintu kamar Oik diketuk. Oik tebangun tiba-tiba. Gelagapan dia segera menyisir rambutnya. Lalu dengan cepat dia membukakan pintu. Ibu kosnya telah berdiri dihadapannya.

“Oik, siap-siap kalian akan ikut penyuluhan… Gak pake alasan, gak pake tapi-tapian…”

Oik yang kebingungan dengan terpaksa mengikuti perintah ibu kosnya itu. Ibu kosnya melemparkan sebuah kaos putih dengan tulisan berwarna merah.
‘Say NO to AIDS’

Oik menelan ludah membaca tulisan tersebut. Seakan menyindir dirinya sendiri.

“Pakai kaos itu yah… Ibu dan yang lain tunggu kamu di ruang tamu… buruan…” Kata Ibu kos lalu menutup pintu kamar Oik.

Oik memandang kaos itu dengan tatapan miris. Haruskah dia memakai kaos ini? Dengan agak ragu dia mengganti pakaiannya dengan kaos yang diberikan ibu kosnya. Terasa risih dibadannya dan seakan menghina dirinya sendiri. Seperti ada yang berkata hei lihat itu Oik, pengidap AIDS yang memakai kaos Say NO to AIDS itu artinya dia mengatakan tidak untuk dirinya sendiri…Hahahaha.

Oikpun keluar dari kamarnya menuju ruang tamu, tempat dimana ibu kos dan yang lainnya menunggu. Setelah itu sama-sama pergi ketempat dimana akan diadakan penyuluhan. Oik tak dapat duduk tenang. Disana dia merasa sangat…sangat dan sangat risih, seakan masuk kedalam lubang buaya. Selama penyuluhan Oik tak mau mengangkat wajahnya sedikitpun, dia hanya asyik dengan khayalannya sendiri. Pikirannya tentang Cakka dan tentang masa depannya yang tentu saja suram.

“Jadi Cara penularan AIDS ada berbagai macam cara, misalnya melalui hubungan seksual, jarum suntik yang tidak steril, transfusi darah, ibu hamil yang menderita AIDS kepada anaknya atau apapun yang mengeluarkan darah yang bersentuhan langsung dengan kita… Tapi tidak menular jika berciuman, bersentuhan, berjabat tangan, memakai peralatan makan secara bergantian, dan semacamnya… Inang HIV akan mati juga jika terdiam selama beberapa waktu diudara… Ciri-ciri penderita AIDS pada masa awalnya tidak dapat dibedakan dengan manusia normal lainnya…” Samar-samar terdengar suara orang yang menjelaskan tentang penyakit laknat yang kini bersarang di tubuh Oik itu. Tunggu…tunggu… Oik merasa tak asing dengan suara itu.

“Saya seorang penderita HIV/AIDS…” Pernyataan orang yang berbicara itu membuat orang-orang disekitarnya kaget.

“Pasti kalian tak percaya… Ini masa awal, saya terlihat seperti orang sehat bukan tak ada apa-apa…?”

Oik juga ikut kaget, bagaimana mungkin seorang penderita AIDS mengaku jujur dihadapan publik seperti itu? Dirinya mungkin sudah mati bila mengaku di depan umum seperti itu. Oik mencoba mengangkat wajahnya, betapa kagetnya ketika dilihatnya seseorang yang dia kenali berdiri diatas panggung itu, seseorang yang dicarinya selama ini dan seseorang yang menanam penyakit mematikan didalam tubuhnya. Cakka.

“Jadi ceritanya begini, Saya seorang dokter anak disebuah rumah sakit di Jakarta… Waktu itu ada pasien saya… Seorang anak kecil berumur 5 tahun yang mengalami kecelakaan, pendarahan yang cukup parah… saya yang baru tiba tanpa pikir panjang segera menangani pasien saya itu… membersihkan darahnya tanpa mengenakan sarung tangan… yang ada dipikiran saya waktu itu hanya untuk menyelamatkan nyawa anak kecil itu… tanpa berpikiran dengan begitu saya malah membahayakan diri saya… Belakangan baru saya ketahui kalau anak kecil itu mengidap penyakit yang berbahaya yaitu AIDS…” Cakka menjelaskan membuat orang-orang mengangguk mengerti.

Oik akhirnya tahu juga bagaimana Cakka bisa tertular AIDS. Karena dipikirannya –jujur saja– pernah terbersit pikiran negatif. Ditatapnya pria itu dalam-dalam. Dia masih sama Cakka Kawekas Nuraga. Perasaan cinta itu selalu ada didalam hatinya untuk Cakka. Walaupun dengan mencintai Cakka mendatangkan petaka untuknya. Rasa itu tetap sama tak berubah tetap seperti dulu.

^ ^ ^

“Cakka…” Oik memanggil seseorang yang barusan turun dibelakang panggung.

Cakka kaget melihat seorang Oik dihadapannya.

“Oik…” Ucap Cakka pelan tapi dalam.

Tanpa terasa bulir-bulir kristal itu kembali mengalir dipipi Oik. Cakka mendekati Oik dengan tatapan bersalah. Wajahnya tertunduk.

“Maaf Oik…”

Oik tetap terdiam, sambil bulir-bulir itu terus mengalir dipipinya.

“Kalau kamu mau tampar… tampar aku… kalau kamu mau pukul, pukul aja, tak jadi masalah… aku memang jahat sama kamu… aku telah menjerumuskan kamu…”

Tanpa disangka, Oik bukan menampar ataupun memukul tapi malah memeluk Cakka. Membuat orang-orang yang berada disekitarnya mengarahkan pandangannya kearah Cakka dan Oik.

“Aku sudah bilang tak akan menarik kata-kataku yang tempo hari… Aku cinta kamu apa adanya… Apapun yang terjadi sama kamu… aku akan menerim anya…”

“Walaupun aku ikut membawa petaka buatmu?...”

“Untuk apa aku kemari kalau aku tak mencarimu, seperti dalam suratmu… Jika aku benar-benar mencintaimu… aku akan mencarimu bagaimanapun keadaan aku dan kamu kan?...”

Cakka melepaskan pelukan Oik, lalu menghapus bulir airmata dipipinya.

“Makasih ya, Ik… I Love you…

I Love you too…

 “Let’s against the AIDS together…” Kata mereka bersama.

Diiringi tepuk tangan orang-orang dibelakang panggung.

“Cieee…. Cieeee….”

^ ^ ^

Lonceng gereja berbunyi tiga kali. Kala dua insan mengucapkan janji sehidup semati dihadapan Tuhan. Keduanya tampak bahagia. Dengan memakai bridal couple keduanya tampak serasi. Sang pria memakai setelan jas berwarna putih terlihat sempurna dengan sang wanita yang memakai gaun putih. Keduanya tampak serasi berjalan keluar dari gereja menyusuri karpet merah yang membentang sepanjang perjalanan mereka menuju sebuah mobil mercedez benz didepan gerbang. Keduanya masuk kedalam mobil sebelum akhirnya mobil melaju membawa mereka kesebuah tempat. Pasangan yang sempurna jika dilihat dari pandangan mata. Tapi dari dalam mereka mungkin pasangan yang paling tidak sempurna

Matahari siang itu tampak bersinar cerah, langit biru dan awan putih terbentang indah. Kala Cakka dan Oik tidur diatas pasir putih pantai kuta bali. Angin berhembus disekitar mereka kedua. Mereka menerawang jari mereka keatas langit. Cincin melingkar di masing-masing jari mereka.

“Ik kamu tahu gak kenapa Cincin itu berbentuk lingkaran dan dipakai sebagai simbol pernikahan?...”

Oik menggeleng tak tahu.

“Karena cincin itu berbentuk lingkaran dan lingkaran berarti keabadian. Cincin dianggap sebagai lambang pernikahan yang abadi. Cincin juga dianggap akan mengabadikan hubungan dua orang yang saling mencintai.

Oik mengangguk-angguk mendengar penjelasan Cakka, sekali lagi angin bertiup dan terasa hembusannya lebih kuat sehingga rambut Oik tertiup menutupi wajahnya, Oik membetulkan posisi rambutnya.

“Kka…”

“Ya…”

“Kata Nicholas Sparks, Love is like the wind, you can’t see it but you can feel it… Yeahhh I can’t see the wind…” Kata Oik menutup mata.

But I can feel it…

Cakka merapatkan tubuhnya kearah Oik lalu membelai rambutnya.

It’s a miracle of love…

^ ^ ^

5 tahun kemudian.

Sepasang pria dan wanita berbaring diatas rerumputan hijau. Keduanya terlihat sangat kurus tertinggal kulit yang membungkus tulang. Tapi kebahagiaan itu selalu hadir diantara mereka walaupun mereka harus mengalah kepada penyakit dan tak berdaya membiarkan penyakit menggrogoti tubuh mereka.

“Cakka, sudah 5 tahun aku jadi isterimu tapi kau masih tetap saja miterius…”

“Misterius gimana maksudmu sayang?”

“Aku penasaran kenapa kamu cinta photography…?”

“Kamu gak pernah tanya sih…”

“Iya juga yah…” Oik melongo.

“Mau tau? Cita-citaku itu sejak dahulu menjadi photographer… Tapi tak diijinkan oleh keluargaku karena keluargaku adalah keluarga dokter aku pun harus ikut menjadi dokter… Dan semakin orang tuaku melarang, aku semakin menyukai photography… sampai tak bisa melepaskannya dan berubah rasa menjadi cinta…”

Oik mengangguk-angguk mendengarkan Cakka.

“Trus kenapa belakangan ini semenjak kamu pindah ke Yogyakarta kamu tak lagi membawa kameramu itu…?”

“Kalau aku boleh cabut lagi kata-kataku waktu itu… aku mau bilang… Because my love just for you Oik… nothing else… Aku menemukan cinta sejatiku ternyata bukan something tapi someone… Makanya aku tinggalkan photography…

“Kejam!”

“Lho? Kok kejam?...”

“Karena kau meninggalkan hal yang telah susah payah kamu pertahankan…”

“Apa sih yang gak untuk kamu sayang…”

“Alah, gombal…”

Cakka tersenyum.

“Tak apa yang penting gombal untuk isteriku tercinta…”

Cakka menenggelamkan Oik kedalam pelukannya.

“Ik, berjanjilah... kita akan selalu saling menyayangi dan mencintai tak Cuma sampai kita ketempat peristarahatan terakhir tapi sampai di eternal life kita… Percaya atau gak aku pernah berjanji pada Tuhan… akan menikahi teman chattingku little princess bagaimanapun ia, karena hanya dia yang mengerti aku…”

“Masa sih Anak ilang?...”

“Gak percaya sama aku?...”

“Iya…iya percaya deh…”

“Aku janji… Kamu juga kan?...” Kata Oik mengulurkan jari kelingkingnya yang sudah kurus dan tak berbentuk. Cakka menautkan jari kelingkingnya yang tak beda jauh dengan Oik.

“Janji…”

“Walau AIDS yang menyatukan kita, tapi aku bersyukur karena kalau tak begitu mungkin kau dan aku takkan bersatu…”

Perlahan kelingking yang bertautan itu melemah dan akhirnya jatuh tapi tautan itu tetap tak terlepas, diiringi dua kelopak mata yang tertutup dengan senyum busur menghias bibir mereka. Cakka dan Oik akhirnya beristirahat untuk selama-lamanya. Mereka mengakhiri pertarungannya dengan penyakit itu. Memang AIDS mengalahkan tubuh mereka, tapi tidak untuk cinta mereka yang tertanam dalam hati sampai pada kehidupan kekal di sorga nanti.

“Don’t cry because it’s over, Smile because it happened.” – Dr. Seuss

AIDS to Love: End 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...