Sabtu, 25 Februari 2012

Gone With the Wind [One Shoot]

Gone With the Wind
Kau datang dan pergi secepat angin…


Dia seperti angin tak bisa dilihat, namun bisa dirasakan. Dia seperti angin laut, yang bertiup dari darat kelaut diwaktu siang. Juga seperti angin darat, yang bertiup dari darat kelaut diwaktu malam. Namun dia tak seperti angin fohn yang bisa mematikan tanaman. Diapun tak terkira, tak seperti angin munsoon. Tapi, dia selalu datang bersama angin dan pergi juga bersama angin. Angin yang membawa kesejukan, angin yang membawa ketenangan, angin yang membawa kehangatan, angin yang membawa kekuatan, bahkan angin yang menjadi candu.
Ya, candu. Canduku kepada angin. Bahwa, dimana ada angin disitupun dia berada.

***

Prolog

Kakinya kembali dijejakan diatas jembatan bambu sebuah sungai. Lembayung tengah merona, mengantarkan senja dan mulai menyibak tirai malam. Bulir kristal bening yang jatuh dipipinya belum mengering. Dia kemudian duduk ditepi jembatan bambu itu, mencelupkan kakinya dihamparan air sungai. Terasa dingin, namun tak membuat dia jerah, dan tetap bergeming mempertahankan posisinya itu.
“Kamu dimana Cakka? Kenapa hari ini tidak datang? Kamu sudah berjanji padaku,” Katanya pilu, suaranya terdengar setengah serak, bahkan terdengar seperti berbisik.
Angin sepoi malam membelai rambut hitam panjang miliknya. Sejenak matanya terpejam. Merasakan kesejukan diantara kesesakan didalam hatinya. Angin sepoi malam, mulai membelai indera penciumannya juga. Wangi yang dia kenali merasuki hidungnya. Segera dia berbalik seakan mengikuti belaian angin tadi.
“Aku takkan mungkin melupakanmu, aku bukan tipe orang pengingkar janji, aku pasti datang,” Sebuah suara menelusup ke indera pendengarannya. Suara yang menenangkan, suara yang ditunggunya sejak tadi.
“Selamat ulang tahun, Oik,” Katanya tersenyum hangat, anginpun terasa hangat. Puluhan fireflies berterbangan memecah senja yang telah berganti malam itu.

***

Petir sore itu mengiringi langkah kaki seorang gadis. Meski hujan belum turun, namun bisa dipastikan hari ini akan terjadi badai. Tapi, tak mengurungkan niat gadis itu untuk menjauh dari rumahnya. Ah, itu bukan rumah, tapi neraka baginya. Perlahan langkah kecilnya mulai dipercepat sehingga dirinya setengah berlari. Sebenarnya dia tak tahu tujuannya kemana. Kemanapun angin membawanya, dia harap kesebuah tempat yang bisa membuat perasaan yang berkecamuk didalam hatinya itu tenang. Rinai hujan mulai turun, kala rinai cairan bening dari pipinya mengalir. Dia senang akhirnya hujan turun juga, agar tiada seorangpun yang tahu kalau dalam hatinya sedang menyimpan luka, dan matanya sembab karena tangis.
Dan anginpun membawanya kesebuah tempat. Tempat yang belum pernah dijejakannya. Dia bahkan tak tahu dimana ini, yang pasti perasaannya mengatakan disini bisa membawanya kedalam ketenangan. Diapun mengayunkan kakinya menjejaki jembatan bambu dipinggir sungai itu. Ya, dia kini berada disebuah sungai yang diatasnya terdapat jembatan bambu yang membentang sepanjang kurang lebih 20 meter. Kemudian, dia mencelupkan kakinya di air seiring rinai hujan yang berubah menjadi bulir hujan yang cukup membuat tubuhnya basah. Dia tetap bergeming, merasakan air hujan terus menyusup melalui kain yang membungkus tubuhnya. Merasakan dingin yang mulai membungkus. Namun, tak disangka gemuruh angin yang kencang menggoyangkan pohon-pohon disekitarnya. Nampaknya alampun tahu kesedihan hatinya, hujan dan angin seakan meneriakkan keadaannya saat ini. Tubuhnya mulai bergetar saat angin kencang itu menyapu seluruh bagian tubuhnya. Bulu kuduknya berdiri, saat angin menyentuh kulitnya dengan kasar.
“Bangunlah dari situ, menangis dan tetap bergeming seperti itu tak akan menyelesaikan masalahmu,” Sebuah suara mengejutkannya. Suara siapakah itu? Apa mungkin suara angin? Bukannya angin tak punya suara? Segera digerakannya kepalanya mengikuti arah angin yang mulai mereda dan membelai kepalanya.
Seorang lelaki dengan rambut agak berantakan –mungkin karena tertiup angin tadi– berdiri tak jauh dari tempat itu. Lelaki dengan kemeja berwarna dark brown yang kancingnya dibiarkan terbuka semua dan didalamnya ada T-shirt berwarna silver dengan celana selutut berwarna senada dengan kemejanya itu memegang sebuah payung. Anginpun mulai mereda. Namun hujan tak hentinya mengguyur.
“Dari mana kamu tahu kalau aku menangis?,” Tanya gadis itu.
“Kamu pikir hujan bisa menutupi kepiluan? Kamu salah tidak akan! Anginlah yang memberitahuku bahwa ada seorang gadis yang sedang bersedih ditempat ini,” Kata lelaki itu mendekat dan memayungi gadis itu.
Diusapnya tepi mata gadis itu sambil berkata, “Berhentilah menangis, masih banyak yang ingin melihat kamu tersenyum,” Itu… itu sentuhan pertama seorang lelaki selain ayahnya dibagian tubuhnya. Sentuhan itu masih terasa, bahkan terasa menenangkan, “Kamu mau kan berbagi cerita denganku, nampaknya angin sudah memaklumi walaupun hujan tak mau berkompromi, sepertinya dibawah sana kita bisa berlindung untuk sementara waktu,” Katanya sambil menunjuk sebuah pohon rindang yang berdiri kokoh cukup jauh dari hadapan mereka. Gadis itupun mengangguk lalu bergerak dari posisinya tadi. Tangan kiri lelaki itu melingkari pinggul sang gadis.
Deg----, Jantungnya.
Dia belum pernah diperlakukan lelaki seperti ini. Berlebihankah ini? Ataukah dia yang belum terbiasa?.
Mereka akhirnya melangkah, menuju ke pohon rindang itu yang siap menanti mereka.
“Oh ya, namaku Cakka, namamu?,” Kata lelaki itu memperkenalkan dirinya, tangan kanannya terulur dan tangan kirinya masih melingkar dipinggul gadis itu.
“Oik,” Dia membalas uluran tangan lelaki itu dengan senyum samar dibibirnya.
Tak terasa, akhirnya mereka tiba juga dibawah pohon rindang itu. Merekapun duduk dibawah pohon, Oik masih merasakan dingin menyelimuti tubuhnya. Cakkapun melepaskan kemeja yang dikenakannya dan menyelimutkannya kepada Oik. Oik tersenyum masih samar dan mengucapkan terima kasih. Hening untuk beberapa saat sebelum Cakka membuka pembicaraan.
“Sekarang, apa permasalahanmu? Bolehkan berbagi denganku? Tak baik kalau masalah itu disimpan sendirian,” Katanya.
Oik menghela nafas. Sanggupkah dia menceritakan kisah yang menyesakan ini lagi? Mungkin akan mengiris kalbunya lagi, tapi benar kata Cakka tak baik juga masalah disimpan sendiri. Bukannya ini masalah pribadi? Bahkan terlalu pribadi. Mampukah dia menceritakan kepada seseorang yang baru dikenalnya beberapa menit lalu? Amankah rahasia ini? Semoga. Yang pasti saat ini Oik butuh teman berbagi. Iapun mulai membuka mulutnya mengeluarkan kata demi kata.
“Orang tuaku baru saja bercerai kemarin, itu membuatku terpisah dengan kakakku, bahkan tadi saat ayah membawaku pulang kerumahnya, mereka bertengkar lagi, aku tidak tahan, hatiku sakit melihat semua ini, aku kini terpisah dengan kak Zahra, padahal aku sangat menyayangi kak Zahra, dia satu-satunya orang yang memahamiku dirumah,” Katanya berkaca-kaca.
“Aku tahu, perpisahan itu memang menyedihkan, aku pernah merasakannya, awalnya aku rapuh sepertimu, tapi akupun sadar untuk segera bangun dari keterpurukan dan melihat disekitar kita, perjalanan ini masih panjang,” Kata Cakka berusaha menenangkan Oik.
Namun, Oik malah menangis semakin tersedu-sedu. Melihatnya seperti itu, Cakka segera membawa Oik kedalam pelukannya mengusap punggungnya mencoba menguatkannya. Lama kelamaan dalam posisi ini, seperti ada ion positif yang masuk kedalam tubuh Oik, sehingga dia merasakan sebuah ketenangan, kenyamanan, kehangatan, dan kedamaian berada diposisi seperti ini. Kelopak matanya kemudian bergerak menutup. Perlahan tetapi pasti bola matanya mulai tak kelihatan. Garis melengkung matanya mulai kentara membatasi kelopak atas dan kelopak bawah matanya. Hingga diapun tertidur dalam posisi memeluk Cakka. Cukup lama. Sebelum Cakka melonggarkan pelukannya dan memindahkan posisi Oik. Meletakan kepala Oik dipahanya sebagai bantal dan membiarkan gadis itu tertidur lelap. Sambil bersenandung…
I'll always remember
it was late afternoon
It lasted forever
But ended so soon
You were all by yourself
Staring up at a dark gray sky
I was changed

In places no one will find
All your feelings so deep inside
It was there that I realized
That forever was in your eyes
The moment I saw you cry

***

Oik mengerjapkan matanya, ditatapnya sekeliling tempat dia berada. Ruangan ini dikenalinya, desain interior yang elegant namun tidak meninggalkan kesan cute. Tidak salah lagi, ini kamar kakaknya Zahra. Kenapa dia bisa berada ditempat ini? Bukankah dia tadi bersama Cakka? Apa yang tadi itu hanya halusinasi? Diapun berjalan keluar dari kamar kakaknya itu, memutar gagang pintu kamarnya yang berwarna campuran silver dan gold. Segera setelahnya, dia menjejaki kakinya dan mendapati kakaknya tengah berdiri diruangan tengah menyambutnya.
“Oik, sudah bangun?,” Tanya kakaknya itu.
Oik mengangguk, “Kak, kenapa aku bisa berada disini?,” Tanyanya.
“Tadi, temanmu yang membawamu kemari, katanya kamu ketiduran dan hampir malam, tapi dia takut membangunkanmu yang tertidur pulas jadi dia membawamu kemari, ” Kata Zahra.
Oik mengernyitkan dahinya bingung, “Siapa kak?,”
“Cakka, itu dia orang---,” Kata-kata Zahra tergantung, ketika dia tidak mendapati Cakka lagi, perasaan Cakka belum pamit dan perasaan baru beberapa menit yang lalu Cakka berdiri didekatnya.
“Cakka mana kak?,” Tanya Oik.
“Lho, tadi dia disini loh Ik, oh ya Ik tadi baju kamu basah, jadi kakak ganti,” Kata Zahra.
Sesaat setelah perkataan kakaknya itu, angin membelai mereka berdua, tirai jendelapun bergoyang. Sepertinya, seperti saat Cakka datang. Cakkapun pergi bersama angin. Tapi bagaimana Cakka tahu rumah ibundanya? Dan membawanya kemari? Belum sempat herannya terjawab, ponselnya berdering. Nada dering panggilan khusus untuk ayahnya. Artinya, ini darurat dia harus segera pulang sebelum ayahnya menyusul kemari dan bertengkar lagi bersama ibundanya. Zahrapun menghantarkan Oik pulang kerumah sang Ayah.

***

“Kamu pergi dari sini!,” Usir ayah Oik.
“Tidak, aku tak akan pergi dari sini sebelum aku bertemu dengan Oik,”
“Oik milikku, kamu sudah punya Zahra, jangan egois untuk memiliki keduanya Shita,”
“Tidak, bukan begitu Pram. Zahra milikmu juga, Oik dan Zahra milik kita berdua, please Pram, aku tidak pernah melarangmu bertemu dengan Zahra, kumohon jangan larang aku juga untuk bertemu dengan Oik,”
“Tidak bisa! Kau tidak bisa bertemu dengan Oik,”
“Aku harus bertemu dengan Oik! Mana Oik… Oik… Oik,” Ibunya berteriak-teriak memanggil Oik.
Sengatan cahaya mentari yang baru terbit menembus jendela kamar Oik, kala telinga Oik menangkap kerusuhan yang terjadi. Ya, ayah dan ibunya bertengkar lagi. Oik yang tadinya hendak keluar tertahan didaun pintu mendengarkan pertengkaran kedua orang tuanya. Ia hanya dapat terdiam dan terpaku dibalik daun pintu. Disandarkannya tubuhnya didaun pintu itu, kakinya mulai tak kuat, tubuhnya mulai merosot kelantai bersamaan dengan cairan bening yang keluar dipelupuk matanya. Pagi yang muram. Dia tak tahan setiap hari begini.
Ia menarik nafas, menghapus airmata yang sedari tadi tak henti-hentinya mengucur. Kemudian menguatkan dirinya agar kakinya mampu menopang tubuhnya, membuka daun pintu secara perlahan dan mengendap-endap keluar dari rumahnya. Dia butuh ketenangan.
Langkah kaki Oik dipercepat setelah berhasil keluar dari rumahnya. Setengah berlari dan akhirnya mengambil langkah seribu. Entah kenapa Ia ingin pergi ketempat kemarin, dia tak memperhatikan jalan kemarin. Semoga dia bisa tiba disitu, dan bertemu Cakka.
Matahari mulai menyengat kulit, sedari tadi dia mencari tempat kemarin itu tapi tak ditemukannya. Syurrrr suara angin membelai kulitnya, seakan menyuruhnya untuk menengok kesamping kiri. Disana dia melihat jalan setapak. Disusurinya jalan setapak itu. Ketika melihat cahaya didepan, Oik mempercepat langkahnya. Dan, dia tiba ditempat kemarin. Jembatan bambu yang membentang diatas sungai, disana seorang lelaki duduk bersimpuh sambil memegang setangkai bunga matahari dan mencabut-cabut kelopaknya seolah menghitung, Oik datang tepat setelah kelopak terakhir dicabut. Dia kemudian membuang bunga matahari itu kearah sungai. Oik datang mendekat lalu duduk disampingnya.
“Sudah kuduga, pasti kamu datang lagi,” Katanya tersenyum penuh misteri kearah Oik.
“Aku tak tahu, kenapa aku datang lagi menemuimu disini,”
“Kamu pasti punya masalah,”
“Setiap hari masalah tak pernah lalu dari hidupku, hm by the way terima kasih kemarin telah mengantarkanku kerumah kakakku, aku heran dari mana kamu tahu rumah kakakku itu,”
Dia kembali tersenyum penuh misteri dan tak menjawab kata-kata Oik tadi, “Ada yang ingin kamu ceritakan?,”
Oik menarik nafasnya cukup panjang, “Ya, pagi yang suram,” Matanya mulai berkaca-kaca, “Ayah dan Ibuku bertengkar lagi, tadi pagi ketika aku baru bangun ada suara gaduh dan ternyata itu kedua orang tuaku yang bertengkar, aku… aku tidak sanggup dengan semua ini,” Kata Oik airmatanya sudah mengalir deras.
Cakka menenggelamkan Oik didadanya, membelai rambutnya. Berusaha agar gadis itu mendapatkan ketenangan.
“Satu yang ingin aku katakan padamu, masalah bukan untuk ditangisi, tapi untuk dihadapi,”

***

Hosh…hosh… Nafas Oik memburu, dia berlari mencoba menjauh dari kejaran pengawal ayahnya. Hari ini dia ada janji dengan kakaknya Zahra untuk bertemu memang nanti sore, tapi siang itu dia sudah mencoba kabur dari rumahnya. Akibatnya, pengawal ayahnya mengejarnya. Oik kemudian melihat sebuah gedung tua tak jauh dari situ. Dia segera mengambil langkah seribu kearah gedung tua tersebut dan bersembunyi disitu. Oik melihat pengawal ayahnya celingak-celinguk didepan gedung tua tempatnya bersembunyi saat ini.
Angin berhembus, membuat bulu kuduk Oik merinding berada ditempat ini. Angin disini terasa beda dari angin-angin biasanya. Tiba-tiba mulutnya dibekap oleh sebuah tangan dari belakang bersamaan dengan sebuah suara.
“Tenang,” Katanya.
Tangan itu menyeret Oik menaiki anak tangga gedung tua itu. Menyeretnya keatas gedung. Setelah berada tepat diatas gedung. Tangan itu membuka bekapannya dari mulut Oik. Oik segera berbalik dan mendapati seorang lelaki berdiri dihadapannya. Lelaki itu…
“Cakka,” Ucap Oik.
“Kenapa kamu seperti dikejar-kejar orang?,”
“Aku memang sedang dikejar pengawal ayah,” Kata Oik, Cakka mengernyitkan dahinya meminta penjelasan yang lebih dari Oik, “Hari ini aku punya rencana bertemu dengan kak Zahra, tapi ayah sudah pasti tak mengizinkan, makanya aku kabur, dan ketahuan pengawalnya, jadi aku dikejar-kejar,” Kata Oik.
“Kita duduk disana yuk,” Kata Cakka menunjuk tepi atap gedung sambil menggandeng tangan Oik.
“Ah, Cakka tidak… aku belum mau mati,”
“Tenang, selama ada aku disampingmu, kamu aman,” Kata Cakka.
Oikpun dengan ragu membuang langkah, tangannya masih dalam gandengan Cakka. Oik menatap bawah ketika mereka tiba tepat diatas gedung. Dia menelan ludahnya melihat aktifitas yang terjadi dibawah gedung. Jalanan. Kalau dia jatuh kebawah sudah dipastikan tidak akan selamat. Cakka duduk ditepi gedung menjuntaikan kakinya menggantung diudara tepat diatas jalanan.
“Ayo, ada aku disini,” Kata Cakka.
Oikpun duduk, dengan perlahan ikut menjuntaikan kakinya. Tangan kiri Cakka melingkari pinggang Oik. Mata mereka menyipit, karena sinar matahari yang lumayan pekat menghalangi pandangan mereka. Walaupun begitu, diposisi seperti itu, angin terasa menyejukan.
“Kamu tahu Cakka, sejak aku lahir orang tuaku tidak pernah akur. Setiap hari aku mendengar mereka bertengkar, dan tiap hari pula aku menangis, kalau aku menangis kak Zahra yang menenangkanku, aku heran kenapa ayah dan ibu menikah kalau setiap hari kerjaannya bertengkar terus. Belakangan baru aku tahu, ayah dan ibu menikah karena dijodohkan, dan ibu punya kekasih saat menikah dengan ayah dan ternyata sampai sekarang mereka masih berhubungan, itu yang membuat ayah marah dan menceraikan ibu,”
“Memang, tak semua pernikahan diawali dengan cinta dan tak semua cinta diakhiri dengan pernikahan. Terkadang harus ada yang mengalah, ayah dan ibuku begitu juga, aku tahu mereka juga tidak saling mencintai, ah lebih tepatnya mencintai materi, mereka menikah hanya untuk kepuasan materi, aku dan kakakku memang dipuaskan oleh materi, tapi tidak dengan kasih sayang, terkadang orang tua itu egois, tapi tak bisa dipungkiri, tanpa mereka kita tak akan ada,”
Keduanya terlibat percakapan tentang keluarga mereka masing-masing dan tak menyadari, hari mulai sore. Oikpun sadar kalau dia harus cepat-cepat bertemu dengan kakaknya. Setelah dirasa aman merekapun turun dari gedung tua itu.
Langkah kaki keduanya sejajar menyusuri jalan-jalan menuju tempat Oik dan Zahra janjian untuk bertemu. Mereka menuju taman kota, Oik mendapatkan pesan singkat kalau kakaknya telah menunggu disana. Beberapa menit kemudian mereka telah tiba ditaman kota. Zahra terlihat menunggu disebuah bangku taman. Kala Oik menghampirinya, Zahra menyambut dengan pelukannya. Angin mulai berhembus lagi, Oik dan Zahra melepaskan pelukan mereka. Tepat! Ketika Oik menatap kesamping Cakka telah lenyap.

***

“Oik, ayo siap-siap, kemasi barang-barangmu,” Kata ayahnya secara tiba-tiba kepada Oik yang sedang menonton dikamarnya. Oik mengernyitkan dahi kebingungan.
“Lho? Memangnya Oik mau kemana Yah?,”
“Ke Puncak, kamu butuh liburan sekaligus supaya kamu tidak bertemu dengan Zahra dan juga Shita,” Kata ayahnya lalu berjalan hendak keluar, “Bergegaslah, ayah tunggu sekarang!,”

Oik menuju puncak dengan perasaan sedih dihatinya. Ayahnya memang tak pernah mengerti apa yang diinginkannya. Sudah sejak kemarin Oik berada dipuncak, disana ia hanya ditemani sepasang suami isteri paruh baya yang menjaga villa milik ayahnya itu dipuncak. Disini dia sangat kesepian, tak ada ayahnya… tak ada ibunya… tak ada Zahra… dan juga tak ada Cakka… bisakah dia bertahan selama seminggu di Puncak kalau keadaannya seperti ini?.
Oik menjejakan kaki dikebun teh milik ayahnya, yang dikelolah oleh dua orang kepercayaan ayahnya. Kebun teh itu terhampar luas, warna hijau menyejukan penglihatannya. Udara sejuk diiringi kicau burung membuat perasaannya, setidaknya bisa tenang untuk beberapa saat. Angin sepoi-sepoi membelai kulitnya. Angin… angin… angin selalu mengingatkannya pada Cakka.
Ya Tuhan… semoga itu Cakka… Oik membatin sambil menutup matanya menikmati belaian angin.
“Bolehkah aku menemanimu?,” Sebuah suara mengagetkan Oik, Dia segera membuka matanya dan cepat-cepat menoleh kearah sumber suara. Matanya terbelalak kaget mendapati…
“Cakka, kenapa kamu bisa---,” Belum selesai Oik melanjutkan kata-katanya, Cakka mengulurkan tangannya.
“Bolehkah?,” Tanyanya tersenyum.
Oikpun mengangguk, menyambut uluran tangan Cakka dan tersenyum. Merekapun melangkahkan kakinya menyusuri kebun teh yang sangat indah itu. Saling membagi senyum, hingga mentari mulai kembali ketempat peristirahatannya. Cakka sedang membantu Oik menyeberangi sungai yang sangat jernih dengan menjejakan kaki diatas batu-batu besar yang menjadi jembatan penyeberang di sungai itu. Namun mereka terhenti tepat dibatu besar ditengah sungai.
“Kita duduk disini dulu yah Kka, aku capek,” Kata Oik duduk menyilangkan kakinya dibatu besar, Cakkapun ikut duduk disamping Oik. Suara aliran air menjadi musik ditelinga mereka. Oik menyandarkan kepalanya dibahu Cakka sambil bersenandung…
It was late in September
And I'd seen you before
You were always the cold one
But I was never that sure
You were all by yourself
Staring up at a dark gray sky
I was changed

In places no one will find
All your feelings so deep inside
It was there that I realized
That forever was in your eyes
The moment I saw you cry

***

Oik sedang menikmati makan siangnya, diruang makan yang ada diteras villanya. Udara siang itu cukup dingin menembus kulit. Tirai-tirai mulai bergoyang, angin lagi-lagi mulai menyapa Oik. Senyum mengembang dibibir Oik.
“Aku tahu itu kamu, Cakka,” Kata Oik.
Seikat mawar putih muncul tepat didepan mata Oik. Oik mendongakkan kepalanya keatas nampak Cakka sedang tersenyum kearahnya.
For you,” Ucap Cakka. Oik mengambil bunga mawar putih itu.
“Waw, thanks, padahalkan ini bukan hari ulang tahunku, ulang tahunku nanti bulan Januari, kau sudah repot-repot memberiku bunga ini,”
“Aku hanya ingin memberikannya padamu, seperti warna bunga itu putih, akupun begitu, memberikanmu itu bukan untuk suatu tujuan, murni aku memberikan ini karena aku mau,” Kata Cakka sambil duduk disamping Oik, “Makanlah, habiskan dulu makananmu baru kita lanjutkan pembicaraan kita,” Kata Cakka.
Oikpun melahap sisa makanan yang ada dipiringnya. Meneguk segelas air minum lalu mengelap mulutnya dengan serbet.
“Besok aku akan kembali ke Jakarta, makasih ya Kka, sudah menemaniku disini, padahal awalnya aku pikir ini akan menjadi liburan yang sangat menyedihkan untukku, karena ada kamu pikiranku itu tidak terjadi,” Ucap Oik.
“Ya, sama-sama, kalau begitu sampai ketemu di Jakarta,”

***

Sekembalinya Oik dari liburannya dipuncak, ayahnya menjadi overprotective padanya. Oik tidak bisa keluar kemana-mana, Ia harus tinggal dirumah terkurung didalam sangkar emas bagaikan burung yang tidak berdaya. Sebulan sudah dia terkurung, tanpa menemui ibunya, tanpa menemui Zahra, juga tanpa menemui Cakka. Dia sangat-sangat kesepian, memang airmata yang menghiasi hidupnya sudah berkurang, namun yang terjadi kini hampa. Ayahnya sedang pergi keluar negeri , kala itu dia sedang menonton sebuah siaran. Siaran itu sedang meliput tentang keluarga-keluarga pengusaha sukses. Ada Oik dan keluarganya, keluarga Rahardja serta heboh perceraian ayah dan ibu Oik. Mereka juga memprediksikan kalau Oik Putri Rahardja akan menggantikan tahta kepemimpinan ayahnya. Setelah liputan tentang keluarga Oik. Ada juga liputan tentang keluarga Negara yang merupakan rival ayahnya. Ayahnya dan juga Arwana Negara merupakan musuh bebuyutan dari dulu. Saling menjatuhkan, saling tindih menindih, saling bersaing. Awalnya, Oik tak tahu kenapa ayahnya sangat tidak suka dengan Arwana Negara, ternyata masalah itu. Arwana Negara adalah kekasih ibunya dulu dan masih saja berhubungan dengan ibunya yang juga merupakan pemicu perceraian ibunya dengan ayahnya. Diberita itu, memperbincangkan tentang putra Arwana Negara yakni Alvin Rainer Negara, yang mulai menjejaki dunia bisnis seperti ayahnya.
Tiupan angin mulai menyapu tubuh Oik, saat telepon rumahnya berdering. Oik segera mengangkat gagang telepon yang berada tepat disampingnya itu.
…Hallo…
…Hallo, nona Oik, didepan ada seorang pemuda yang ingin bertemu dengan nona…
…Siapa?...
…Dia tak mau menyebutkan namanya…
… Hm, Oke, aku segera turun, tunggu disitu…
Oik menutup gagang teleponnya. Mematikan televisi, kemudian mengambil jaketnya lalu berjalan keluar rumahnya.
Tiba di gate, dia melihat seorang lelaki bersama pengawalnya. Lelaki yang mengenakan jaket tebal berwarna hitam menoleh kearahnya. Dia mengenalinya, bahkan sangat mengenalinya. Oik segera menghambur memeluk lelaki itu.
“Aku… kangen kamu… Cakka,” Ujar Oik.
“Aku juga…,” Kata Cakka sambil mengecup ubun-ubun kepala Oik.
“Ayo masuk, temani aku didalam,” Kata Oik.
Cakka menggeleng, “Aku kemari hanya untuk memastikan kalau kamu baik-baik saja,”

***

La…la…la…la senandung Oik, dia tampak girang hari itu. Tujuannya satu, ketempat Ia pertama kali bertemu dengan Cakka. Dia sangat berharap Cakka ada disitu. Supaya bisa memberikan undangan ulang tahunnya kepada Cakka. Kali ini dia yakin pasti angin akan membawanya ketempat itu, meski dia belum hafal jalan kesana. Entah kenapa, jalan itu sulit sekali dihafal Oik.
Dan benar saja, Oik tiba dijalan setapak yang akan menghantarkannya menuju tempat itu. Seperti biasa, Cakka duduk bersila dijembatan yang membentang diatas sungai itu. Oik mendekat kearahnya dan langsung mengulurkan undangan kedepan mata Cakka.
“Apa ini?,” Tanya Cakka sambil mengambil undangan itu.
“Undangan ulang tahunku,” Kata Oik, kemudian duduk disamping Cakka dan mencelupkan kakinya disungai, “Kau harus berjanji datang keacara ulang tahunku,” Lanjut Oik.
“Baiklah… aku berjanji akan datang,” Kata Cakka.
“Janji?,” Ucap Oik sambil mengulurkan jari kelingkingnya.
Cakka tersenyum sambil menautkan jari kelingkingnya dijari kelingking Oik, “Janji… aku akan datang dengan caraku sendiri,”

***

Disebuah hotel mewah berbintang lima, tampak mobil-mobil mewah berjejer memenuhi parkiran. Di Ballroom hotel itu, sedang ada pesta. Itu pesta ulang tahun Oik. Oikpun nampak cantik dengan gaun putih panjangnya. Dengan make-up minimalis kecantikan alami Oik memancar. Namun sedari tadi tak ada gurat ceria sedikitpun diwajahnya. Dipandanginya tamu-tamu yang sedang lalu lalang, sebagian besar adalah kerabat bisnis ayahnya. Tak ada ibunya… Tak ada Zahra… dan tak ada tamu istimewanya… Cakka. Ayahnya memang sengaja menutup akses untuk ibunya dan Zahra masuk. Tapi, tidak dengan Cakka. Cakka punya undangan dan Cakka sudah berjanji untuk datang dihari ulang tahunnya. Tapi kenapa sampai sekarangpun Cakka belum datang?
Acara ulang tahun Oik berlangsung sangat mewah dan meriah banyak artis-artis yang dibayar mahal oleh ayahnya untuk ikut memeriahkan ulang tahun Oik. Tamu-tamupun mulai larut didalam pesta. Oik semakin gelisah menunggu Cakka yang belum datang. Padahal dia punya rencana memberikan potongan kue ulang tahun pertama untuk Cakka.
Rasa kecewa Oik, mulai pada puncaknya ketika pada saat memotong kue ulang tahunnya Cakka tak tampak batang hidungnya. Oik akhirnya memberikan potongan kue ulang tahun pertama untuk ayahnya.
Acara baru saja selesai, cepat-cepat Oik berlari meninggalkan hotel berbintang lima itu. Didepan sudah tak dijaga security dan tepat didepan pos penjagaan itu. Oik menemukan sebuah kotak yang berisi kue ulang tahun namun telah hancur tergeletak dijalan. Oik mengambilnya dan membukanya, didalam ada sebuah surat.
Oik sayang,
Ini kue ulang tahun buatan Ibu dan Zahra untukmu. Kamu masih ingatkan, dulu ketika kamu ulang tahun kita bertiga membuat kue ulang tahunmu bersama? Ibu harap kamu tak akan pernah lupa. Semoga kue ini bisa menjadi hadiah sepesial untukmu.
Selamat ulang tahun putriku…
Airmata Oik tumpah kembali membaca surat itu. Ini benar-benar ulang tahun terburuk didalam hidupnya. Belum pernah selama ini, disaat ulang tahunnya ia merasa sehancur ini.
Oikpun berlari bersama angin menuju sebuah tempat…

***

Cakka mendekat kearah Oik ditemani fireflies, kemudian menghapus airmata yang mengalir dipipinya dengan tangannya, “Jangan menangis lagi yah, aku sudah bilang padamu, aku akan datang dengan caraku sendiri,” Kata Cakka.
Oik langsung menghambur kepelukan Cakka fireflies mengelilingi mereka, “Aku… pikir… kamu… tak… akan… datang…,” Kata Oik terbata-bata karena tangisnya yang tersedu-sedu.
“Sudah jangan menangis lagi, sudah kubilang masalah bukan untuk ditangisi,” Kata Cakka.
“Tapi… bagaimana kalau dengan menangis… aku bisa mendapatkan… kelegaan?,” Tanya Oik, Cakka membelai rambut Oik.
“Yakinlah, ada cara lain untuk menemukan kelegaan itu, bukan hanya dengan menangis,” Ucap Cakka, dia melonggarkan pelukannya kemudian memegang kedua pipi Oik, sekali lagi menghapus airmata Oik dengan jari ibunya, “Aku ingin melihatmu tersenyum,” Ucap Cakka.
Oik menguatkan dirinya, menarik nafasnya panjang. Dan mulai mencoba membentangkan busur dibibirnya. Ia akhirnya tersenyum.
“Nah, seperti itu… kamu terlihat lebih cantik kalau seperti itu,” Kata Cakka. Oik jadi tersipu mendengarkan perkataan Cakka barusan. Pipinya memerah, wajahnya tertunduk. Cakka memegang dagu Oik lalu mendongakkan keatas.
“Maaf Ik, aku… tak punya hadiah yang berarti untukmu,” Kata Cakka.
Oik menggeleng, “Tak apa, kamu datang saat ini aku sudah sangat senang, apalagi waktu itu kamu telah memberikanku mawar putih, anggap saja itu hadiah darimu,” Ujar Oik.
“Aku ingin sekali memberimu hadiah… tapi hadiah yang akan dikenang selamanya,” Kata Cakka.
Oik mengernyitkan dahinya bingung, Cakka yang masih dalam posisi memegang dagu Oik. Mendekatkan kepalanya kearah Oik.
Sorry,” Ujar Cakka sebelum kepalanya semakin mendekat kearah Oik. Mata Oik kemudian membesar ketika bibirnya disentuh oleh sesuatu yang basah. Bibir Cakka. Ciuman pertamanya tepat diulang tahunnya. Awalnya, dia kaget. Namun kemudian matanya terpejam menikmatinya. First kiss last forever…
I wanted to hold you
I wanted to make it go away
I wanted to know you
I wanted to make your everything
Alright

I'll always remember...
It was late afternoon......
in places no one will find

***

Oik sedang diruangan kerja ayahnya. Kala itu, ayahnya sedang sibuk dengan laptopnya. Oik sengaja menemani ayahnya, mulai saat ini dia akan mencoba mengakrabkan diri dengan ayahnya. Dia tahu ayahnya baik, mungkin selama ini dia cemburu karena anak-anaknya lebih dekat dengan ibunya ketimbang dirinya. Makanya, dia mengekang Oik. Dan Oik berusaha, untuk merubah sifat ayahnya itu.
Oik duduk disebuah sofa tak jauh dari meja kerja ayahnya, diatas meja tepat didepannya ada sebuah majalah yang tergeletak diatasnya. Oik mengambil majalah tersebut. Ternyata itu majalah khusus yang memuat profil-profil keluarga pengusaha. Tanggal terbitnya sudah setahun yang lalu, tapi Oik penasaran dan membukanya. Halaman demi halaman dibukanya, kemudian dia terpaku kala melihat sebuah halaman. Matanya terbelalak melihat foto yang ada dimajalah itu. Foto Cakka bersama keluarga Negara? Oik membaca tulisan disamping foto tersebut…
Keluarga Negara.
Arwana Negara dan Ramona Nugrah
Putra Pertama: Alvin Rainer Negara
Putra Kedua: Cakka Windson Negara
Jadi? Cakka keluarga Negara? Rival ayah Oik?
“Yah, lelaki yang difoto ini siapa?,” Tanya Oik. Ayahnya mengalihkan pandangannya kearah foto didalam majalah yang ditunjuk Oik.
“Itu Cakka, putra kedua Arwana,” Jawab ayahnya kemudian.
Deg---, Jantung Oik.

***

Siang ini, Oik sedang ingin makan diluar. Belakangan ini, ayahnya sudah tidak terlalu mengekangnya, jadi dia sudah lumayan bisa bebas pergi kemanapun termasuk bertemu ibunya dan Zahra. Hanya, semenjak kejadian di ulang tahunnya itu, angin sudah tak pernah lagi menyapanya. Tepatnya, Cakka sudah tak pernah lagi muncul dihadapannya. Itu juga disebabkan, belakangan ini Oik sudah mulai terjun kedunia perbisnisan ayahnya. Akhirnya, dia tak ada waktu untuk pergi ketempatnya bersama Cakka. Padahal, Oik sangat ingin bertanya tentang apa yang dilihatnya dimajalah tempo hari.
Oik makan siang disebuah restoran tak jauh dari kantornya. Sebuah televisi terletak dipojok kiri restoran mempertontonkan wawancara dengan semua keluarga Negara, ada Arwana Negara, Ramona Nugrah, dan Alvin Rainer Negara. Aneh? Kenapa hanya mereka bertiga? Bukannya kata ayahnya dan menurut majalah yang Oik baca, kalau Cakka juga adalah putra keluarga Negara. Kenapa selalu hanya Alvin yang ditunjukan? Merasa tertarik Oik menghentikan sejenak acara makannya dan terpaku pada televisi itu.
Tiba-tiba sendok dan garpu yang dipegang Oik jatuh ketika pembawa acara ditelevisi itu menanyakan…
Katanya, ada yang ingin anda sekalian sampaikan mengenai almarhum Cakka?
Apa? Almarhum Cakka? Cakka sudah meninggal? Oik bagaikan disambar petir disiang bolong. Bergegas dia berlari meninggalkan restoran itu. Menuju kesebuah tempat…

***

Tap.. tap… tap… Langkah kaki Oik menjejaki jembatan itu kembali, sambil meneriakkan nama Cakka. Tapi, angin tak kunjung datang, angin tak kunjung menyapanya.
“Cakka… Cakka… Cakka… Kamu dimana? Bilang kalau yang aku dengar tadi bohong, kumohon,” Suara Oik menggema.
Tiba-tiba cuaca buruk menyapa, tadinya cerah matahari menyengat dengan sempurna kini kilat, guntur, petir dimana-mana kabut menutup sinar mentari. Angin yang sangat kencang menyambut Oik dan seakan menyeretnya kesebuah tempat. Oik hanya bisa mengikuti angin tersebut. Semoga bukan berita buruk.
Oik tersungkur tepat didepan sebuah batu nisan, dan membaca apa yang terukir diatas batu nisan tersebut…
Cakka Windson Negara
18 Agustus 1990 – 09 September 2011
Oik kaget melihat tulisan tersebut, airmatanya kembali tumpah seiring hujan yang mulai mengguyur membasahi tubuhnya. Ia tak menyangka, Cakka ternyata meninggal tepat disaat dia bertemu dengan Cakka pertama kalinya.
Angin kembali membelai Oik, kali ini lebih lembut. Wangi tubuh Cakka seakan tercampur dengan angin itu. Dan angin itupun mulai menjauhinya.
Cakka datang disaat yang tak terduga seperti angin, diapun pergi disaat yang tak terduga bersama angin…

Gone with the wind: End

Epilog

“Kenapa angin selalu bersamamu?,”
“Karena aku lahir dibulan Agustus, tepat ketika angin berhembus begitu kencangnya, bisa dikatakan aku ini anak angin, maka dari itu nama Windson diletakan ditengah namaku,”

***

Bridal Couple sedang berbaring diatas jembatan bambu yang membentang diatas sebuah sungai. Pria dan wanita itu nampak sangat bahagia mereka bertatapan tersenyum, kemudian mengangkat jari-jarinya keatas. Menerawang. Sepasang cincin pernikahan berwarna gold diatasnya ada diamond berwarna bening berbias rainbow. Ini saat-saat yang bahagia bukan?. Sang pria kemudian dengan gemas mencubit hidung sang wanita.
“Cakkaaaaa… sakit tahu!!!!!,”
Cakka malah berdiri dan hendak berlari, “Kalau bisa kejar aku, Oik sayang,” Kemudian mengambil langkah seribu. Oik memanyunkan bibirnya, mencoba berdiri dengan bridal dressnya yang nampak amat sangat ribet. Melepas higheels setinggi 9cm yang sedari tadi dipakainya. Mengangkat bridal dressnya itu sehingga setinggi lutut lalu mengejar Cakka yang sudah berlari didepannya menuju pohon rindang.
Hosh…hosh… Oik kelelahan berlari sampai dipohon rindang itu. Apalagi mengenakan bridal dress sungguh amat konyol.
“Kasihan isteriku, sini…,” Kata Cakka kemudian membenamkan Oik kedalam pelukannya.

Oik menangis tersedu-sedu melihat makam yang ada dihadapannya. Angin tadi begitu menyesakan. Dia tak pernah menyangka, Cakka yang dikenalinya adalah Cakka yang telah tiada. Ia larut didalam kesedihan, baru saja hidupnya berangsur bahagia kini kesedihan dan kesesakan itu kembali menghimpit. Dia membiarkan airmatanya terus tumpah, walaupun kata Cakka ‘masalah itu tidak untuk ditangisi’ tapi kali ini Oik perlu menangis. Diapun mengelus batu nisan Cakka.
“Yah, menangis lagi,” Sebuah suara berasal dari belakang Oik. Suara yang dikenalinya. Cepat-cepat Oik menoleh kebelakang.
“Cakka,” Kata Oik sambil mengucek matanya. Jangan-jangan dia sedang berhalusi nasi. Namun beberapa kali dia coba mengucek matanya. Dia tetap mendapati lelaki dengan rambut basah yang memegang sebuah payung dan mata almondnya sedang menatap kearahnya. Perlahan Oik berdiri mendekat kearah Cakka. Kemudian memegang pipi Cakka, herannya Cakka malah tertawa.
“Kau pikir aku ini hantu?,” Kata Cakka setelah menyelesaikan tawanya.
Oik mengangguk polos.
“Oke, baik dengar sini Oik Putri Rahardja, aku memang Cakka Windson Negara, dan ya itu memang makam dengan namaku, tapi dengar ceritaku ini yah,” Kata Cakka sambil menyerahkan sebuah album foto. Oik mengambilnya, dan membukanya dialbum foto itu terdapat potret dirinya dengan kegiatan sehari-harinya. Tapi bagaimana bisa?
“Kamu tahu, aku memperhatikanmu sejak dulu, lebih tepatnya aku menyukaimu sejak pertama bertemu denganmu disebuah acara perkumpulan anak pengusaha, kamu mungkin tidak mengetahuiku, yang pasti aku memperhatikanmu dari kejauhan, ya aku tahu kamu anaknya Pramudya Rahardja, rival ayahku maka dari itu aku tak berani mendekati, dengan menjadi pengagum rahasiamu aku diberi kepuasan, namun suatu saat ayah tahu kalau aku menyimpan rasa padamu, dia amat marah dan langsung menyuruh aku memilih, kamu dan dicoret dari daftar keluarga Negara atau tetap tinggal dan tetap menjadi keluarga Negara. Dan aku memilihmu, sehingga aku diusir dari rumahku. Tak mau publik tahu dan mencoreng nama baiknya kalau ayah mengusirku dari rumah dia membuat skandal ini. Skandal yang ada dihadapanmu. Makam dengan namaku. Mereka semua mengatakan kalau aku telah meninggal dan telah tiada. Begitulah, jadi kamu jangan menangis lagi yah, aku tak benar-benar meninggal,” Kata Cakka.
Oik memeluk Cakka dengan erat, seolah dia tak ingin Cakka meninggalkannya.
“Kemarin, ayah datang menemuiku meminta maaf atas semua yang terjadi, katanya dia sadar kalau dia salah, dia tak seharusnya bersikap seperti itu kepadaku, katanya juga semuanya telah membaik hubungan bisnisnya dengan ayahmu, makanya dia memintaku kembali, tapi aku tidak mau, karena kupikir ayah hanya pura-pura agar aku dan kamu terpisah. Ternyata ayah tak lantas menyerah, dia membuktikan kesungguhannya tadi, meminta maaf kepadaku lewat siaran televisi dan mengatakan pada publik kalau semua tentangku selama ini hanya rekayasa, aku merasa menjadi anak yang berdosa, sepertinya aku bukan ayah yang harus minta maaf tapi aku,” Lanjut Cakka.
“Aku juga, sepertinya aku harus meminta maaf pada ayahku,”

“Terima kasih yah Cakka,”
“Untuk apa?,” Tanya Cakka bingung.
“Karena kamu, kita semua bisa saling memaafkan, karena kamu aku kuat dan karena kamu airmata ini berubah menjadi airmata kebahagiaan, karena kamu keluargaku bisa utuh lagi, ayah dan ibu bisa bersatu kembali aku bisa bersatu dengan kak Zahra juga,” Kata Oik masih dalam dekapan Cakka.
Cakka menggeleng, “Ini bukan karena aku, tapi karena Tuhan, ini semua rencanaNya. Berterima kasihlah kepada Tuhan atas semuanya ini,” Kata Cakka.
Oik mengangguk mengerti dan berterima kasih kepada Tuhan dalam hatinya. Cakka melonggarkan pelukannya, kemudian menatap Oik, memiringkan kepalanya dan semakin mendekat kearah Oik. Oik memejamkan matanya. Angin berhembus membelainya. Cukup lama Oik memejamkan matanya tapi tak ada apa-apa. Saat Oik membuka matanya, Cakka sudah tidak berada dihadapannya. Oik panik…
“Cakka… Cakka…,” Panggilnya, “Cakka… jangan bercanda sama sekali tidak lucu,” Lanjut Oik.
Syurrrr, angin sekali lagi membelai Oik, saat seseorang mendekapnya dari belakang.
“Gimana kalau wedding kissnya dilakukan dalam posisi ini,” Ujar Cakka.
Oik memalingkan kepalanya kesamping, kepala Cakka sudah berada tepat dipundaknya. Sambil kedua tangannya melingkari pinggang Oik dan jemarinya menggenggam jari-jari Oik. Cakka mendekatkan kepalanya lebih dekat lagi kekepala Oik hingga akhirnya bibir keduanya bertaut.
Seperti pelangi sehabis hujan, itulah janji Tuhan. Bahwa, dibalik duka telah menanti harta yang tak ternilai dan abadi. Dibalik air mata yang tercurah, pasti ada kebahagiaan yang tak terhingga J

In places no one will find
All your feelings so deep inside
It was there that I realize
That forever was in your eyes
The moment I saw you cry

I think i saw you cry
The moment i saw you cry
I wanted to know you.

Recommended song: Cry-Mandy Moore.

Jumat, 10 Februari 2012

Something Like Fate (One Shoot)

Something Like Fate
“Selama dia bahagia, aku juga akan bahagia. Sesederhana itu.” – Autumn in paris

A
ku menutup sebuah novel indonesia Autumn in Paris yang baru selesai ku baca, seulas senyum terkembang dibibirku, tiba-tiba mataku terasa hangat, dan tanpa sadar sebuah cairan bening mengalir dipipiku. Bukan, ini bukan karena jalan ceritanya itu, melainkan kutipan kata-kata di epilog novel itu. Pembicaraan melalui e-mail antara Fujisawa Tatsuya dan Sebastien Giraudeau. Kata-kata itu sangat menyentuh hatiku, membuat aku harus kembali memutar memori belakang otakku, mengenang sebuah kisah yang sampai saat ini masih terekam jelas diotakku meski telah 3 tahun berlalu.

***

Cakka Kawekas Nuraga, 22 tahun, lumpuh, amnesia. Aku berjalan melangkahkan kakiku menyusuri koridor rumah sakit baru tempatku bekerja, ini pengalaman pertamaku menjadi seorang perawat setelah lulus dari akademi perawatan. Aku harap ini menjadi hari pertama yang menyenangkan. Ah, tadi aku baru saja membaca sebuah kertas yang ada ditanganku, itu data singkat pasien yang akan aku rawat. Sebelumnya, aku sudah berbincang-bincang dengan kepala rumah sakit ini. Dia menceritakan tentang pasien yang akan aku rawat itu. Dia korban kecelakaan mobil sebulan yang lalu. Mobil yang ditumpanginya bersama kedua orang tuanya di tabrak oleh sebuah truk. Akibatnya kedua orang tuanya meninggal, hanya dia yang selamat. Tapi, akibatnya dia hilang ingatan dan lumpuh. Parahnya lagi, dia adalah satu-satunya pewaris tunggal harta kekayaan milik orang tuanya. Jadinya, dia diminta pihak keluarganya untuk dirawat di rumah sakit ini sampai dia benar-benar sembuh dan bisa menjadi ahli waris. Nasib lelaki yang akan kurawat ini benar-benar seperti di sinetron-sinetron, mudah-mudahan saja tak ada peran antagonis seperti pihak keluarga yang dengan sengaja membiarkan dia dirawat disini agar bisa menikmati harta kekayaannya. Lagi-lagi aku mulai berfantasi dengan pikiranku sendiri, sampai sebuah suara mengagetkanku.

“Oik, kau tak apa? Apa kamu nervous?,” Tanya Sivia, seorang teman perawat yang baru kukenal beberapa menit yang lalu. Dia yang akan mengantarkanku ke tempat Cakka, pasienku itu.
Aku menggeleng ragu, Sivia tampak memperhatikan wajahku.

“Santai saja, akupun begitu saat pertama kali menghadapi pasien,” Katanya dengan senyum, sambil mengusap punggungku.

Aku mengangguk membalas senyumannya. Selain berfantasi, sebenarnya kalau boleh jujur aku benar-benar nervous menghadapi pasien pertamaku. Kami terus melangkahkan kaki menyusuri koridor rumah sakit, sampai kami tiba di depan pintu sebuah kamar VIP. Sivia berhenti, aku juga ikut berhenti. Dia membalikan badannya kearahku.

“Kau siap?,” Tanyanya.

Aku menghela nafas panjang, mencoba merelaksasi pikiranku dengan mata terpejam selama beberapa detik kemudian mengangguk.

“Ya, aku siap,” Kataku tegas.

“Baiklah, ini kamarnya, masuklah… kau bisa masuk sendiri kan? Aku masih punya tugas lain, ini daftar tugasmu selama kau jadi perawatnya,” Kata Sivia sambil menyerahkan sebuah map kepadaku. Aku segera mengambilnya.

“Iya, terima kasih,”

“Sama-sama, selamat bertugas,” Katanya menepuk pundakku kemudian berlalu dari hadapanku.

Aku menatap pintu kamar VIP rumah sakit ini, yang ada dihadapanku saat ini. Pintu kayu, catnya berwarna coklat dengan gagang pintu berwarna gold seakan menantangku untuk masuk kedalam. Perlahan akupun memutar gagang pintunya, menggeser, setelah punya sedikit ruang untuk tubuhku menyusup kedalam aku segera membuang langkahku dan menggerakkan tubuhku untuk menyusup melalui ruang kecil itu. Setelah tubuhku berada didalam kamar, aku dengan segera menutup pintunya kembali.
Ku lepaskan pandanganku menyusuri ruang tempat aku berdiri saat ini. Ini tidak terlihat seperti kamar rumah sakit, jika saja ruangan ini tanpa ‘bau khas rumah sakit’ dan ranjang tempat tidur pasien diganti dengan masterbed pasti terlihat seperti suite room hotel-hotel berbintang lima. Akupun melangkah mendekati ranjang, diatas terbaring seorang pria dengan pakaian khas pasien rumah sakit ini. Langkahku semakin dekat dengan ranjang tempat tidur pasienku itu. Ketika tepat berada disamping ranjang, ku tatap wajahnya lekat dan akupun terpekik. Oh My God!! Wajahnya tampak seperti dewa yunani. Alisnya yang membentuk sempurna, kelopak matanya tertutup dengan garis mata yang kentara, hidungnya yang mancung, bibirnya yang berbentuk dan membelah dibagian bawah, wajahnya oval agak berisi. Aku menggigit bibirku, tampang lelaki ini sangat menggoda iman. Ah, jangan sampai aku seperti tokoh Novi dalam novel here, after yang akhirnya jatuh cinta pada pasien gilanya dengan ending kisah yang tragis dimana pasiennya itu malah mati dan membunuh kepala rumah sakit tempatnya bekerja.

“Oke, Oik… berhenti berfantasi lagi, positive thinking please! Kamu disini untuk kerja, jangan selalu membayangkan adegan novel yang sering kamu baca… hupfh,” Aku berbisik pelan seolah menyugesti diriku sendiri mengendalikan detak jantungku yang entah kenapa berdebar kencang. Akupun segera membaca daftar tugas yang harus ku kerjakan selama menjadi perawat lelaki ini.

Sedikit tentang diriku, Namaku Oik Cahya Ramadlani cukup panggil aku Oik. Aku baru saja lulus dari akademi perawatan, dan tugas pertamaku menjadi perawat seorang lelaki bernama Cakka. Karena tugas pertama, jadi aku memang hanya merawat satu pasien dulu. Aku seorang booklovers terutama novel-novel romance. Aku suka karya-karya satra lama seperti Jane Austen (Pride and Prejudice), William Shakespeare (Romeo and Juliet), Vladimir Nabokov (Lolita) tapi, tetap juga suka dengan karya-karya sastra modern seperti Nicholas Sparks (The Notebook), Stephanie Meyer (Twilight all series) dan masih banyak lagi novel-novel luar yang kusukai. Di indonesia banyak karya juga yang kusukai, banyak meremehkan tulisan penulis-penulis dalam negeri karena ‘katanya’ tidak bermutu. Tapi menurut aku, banyak tulisan anak-anak bangsa tak kalah bagusnya. Yah, memang ada sebagian yang tidak memenuhi standar. Dan faktanya yang meremehkan tulisan-tulisan anak-anak bangsa itu orang indonesia sendiri, tapi tak dapat dipungkiri juga kan mereka ingin menjadi penulis juga. Bukankah karya kalian juga akan menjadi karya anak bangsa?
Aku melihat daftar kerjaanku selama aku menjadi perawatnya. Begitu banyak, mulai dari membawa sarapan untuknya, memastikan dia minum obat teratur, membawanya untuk terapi, memastikan dia beristirahat dengan cukup, menemaninya selama yang dia mau, dan lain sebagainya. Yak, pekerjaan pertama yang sepertinya akan membuat aku  menghabiskan waktu bersama lelaki ini. Hupfh.

Lelaki ini, sedikit melakukan gerakan. Kemudian terdengar desahan, tak lama kemudian sepasang kelopak mata itu terbuka, mata berbentuk almond dan berwarna kelabu itu menatapku dengan tatapan aneh. Aku mengerti  tatapannya segera memperkenalkan diri.

“Selamat siang, aku Oik… perawat kamu yang baru,” Ucapku.

Matanya memandangiku dari ujung kepala sampai keujung kaki. Kemudian bergumam acuh tak acuh. “Oh,”

Okay Cakka, this is my first job, please be nice, dan jam sudah menunjukan pukul dua belas siang, saatnya makan siang,

“Dari mana kau tahu namaku Cakka?,” Tanyanya dengan mengangkat alis sebelahnya.

“Dari data pasien namamu Cakka Kawekas Nuraga,” Jawabku.

“Aku heran kenapa orang-orang tahu namaku Cakka, padahal aku saja tidak tahu siapa namaku, ckck,” Dia menggeleng frustasi.

“Tak penting, yang penting menjaga kesehatanmu dulu sekarang, waktunya makan siang, kamu harus makan karena sebentar lagi minum obat, aku mau menghubungi bagian kitchen rumah sakit kenapa belum membawakanmu makanan padahal ini sudah saatnya makan siang,” Kataku sambil melangkah sebuah meja kecil, diatasnya terdapat sebuah telepon, Aku segera mengangkat gagang telepon tersebut. Namun, sebelum aku memencet tombol telepon tersebut…

“Tak perlu, aku tak biasa makan makanan kitchen rumah sakit ini, tak ada yang enak, aku biasa makan diluar atau tidak dibawakan makanan dari luar,” Katanya.

Aku mengernyitkan dahi lalu menatap Cakka sambil menutup kembali gagang telepon, mana bisa pasien dengan seenaknya makan diluar? Peraturan dari mana itu? Bagaimana kalau diluar sana makanannya tidak higienis? Itu tanggung jawab dokter dan perawat yang merawat pasien itu bukan?

“Mana bi-----,” Sebelum aku melanjutkan kata-kataku telepon berdering. Akupun mengangkat gagang telepon dan mendengar suara kepala rumah sakit diujung sana.

“...Oik, tadi aku lupa memberitahu kamu…,”

“...Soal apa bu?...,”

“…Soal Cakka, gini kalau kamu mau bawa dia makan jangan makanan dari kitchen rumah sakit, dia tak akan suka, kamu tanya sama dia aja, dia mau makan diluar atau mau kamu yang belikan makanan…,”

“…Lho? Kok bisa gitu bu? Bukannya pasien harus makan makanan yang disediakan rumah sakit ? takutnya kalau diluar malah membahayakan pasien,”

“…Kalau Cakka tidak apa-apa Oik, lagi pula restoran yang kamu dan Cakka akan pergi ataupun yang kamu pergi untuk membeli makanan buat Cakka itu restoran milik keluarga Cakka jadi terjamin buat Cakka, Coba deh Oik kamu tanyakan dia mau makan diluar atau kamu belikan makanannya, supaya ibu bisa siap-siap menghubungi sopir pribadinya…,”

“…Baik bu, tunggu sebentar…,”

Aku menutup gagang telepon bagian bawah dengan tanganku, supaya suaraku tak menggema ditelinga kepala rumah sakit.

“Cakka, kamu mau makan siang diluar atau mau aku bawakan kemari?,” Tanyaku.

“Diluar aja, sudah lama aku tidak keluar dari kamar ini,” Katanya dengan pandangan mata lurus tanpa menoleh kearahku.

Akupun dengan segera membuka kembali gagang bagian bawah.

“…Bu, kata Cakka dia mau makan diluar…,”

“…Kalau begitu, kamu dan Cakka siap-siap, aku telepon supirnya dulu…,”

“…Baik bu…,” Telepon pun berakhir.

Akupun segera melangkahkan kakiku mengambil kursi roda yang tak jauh dari situ kemudian mendorongnya mendekat ke ranjang Cakka.

“Ayo siap-siap,” Kataku mengulurkan tanganku, dia menyambutnya lalu mengangkat kepala dan badannya, seketika dia dalam posisi duduk, namun kakinya tak dapat digerakan. Aku segera memegang kedua kakinya, mengangkat untuk menggerakannya keluar dari ranjang. Kakinya kini terjuntai kebawah. Aku segera memapahnya, tangan kanannya kuambil melingkari pundak dan leherku. Aku berusaha sekuat tenaga memindahkan Cakka dari ranjang ke kursi roda. Hampir berhasil, kini Cakka tinggal menjatuhkan bokongnya ketempat duduk kursi roda. Kedua tangannya kini melingkari leherku berusaha bertumpu pada leherku. Tapi, Cakka cukup berat sehingga akupun hampir terikut dengannya, hidungku dengan hidungnya terasa bersentuhan. Oh My God!! Dari posisi ini wajah Cakka yang seperti Dewa Yunani tampak jelas sekali dipandangan mataku. Aroma tubuhnya, Calvin Klein Euphoria tercium jelas membuat bulu kudukku merinding dalam posisi seperti ini. Akhirnya, Cakka bisa duduk sempurna dan membuatku bernapas lega, untuk tidak larut dalam pesonanya.

Thanks,” Ucapnya.

That’s my job,” Kataku berusaha biasa saja dihadapan Cakka.

“Apapun. By the way, boleh minta tolong ambilkan baju dan celanaku di lemari?,”

Akupun melirik sebuah lemari  yang ada disudut ruangan tersebut, dengan segera melangkahkan kakiku menuju lemari dan membukanya. Banyak sekali pakaian disini, pakaian lelaki tentu saja dan hampir semua ber-merk Calvin Klein. Wow, Cakka suka mengoleksi Calvin Klein? Dari parfum sampai pakaianpun semua Calvin Klein. Aku mengambil sebuah kaos berwarna kelabu sama seperti warna matanya Cakka dan sebuah celana kain yang agak gombrang 3/4 berwarna hitam, awalnya aku ingin mengambil skinny jeans tapi aku ingat dengan kondisi Cakka yang tidak memungkin jadi aku mengambil yang lain. Dengan segera aku menyerahkan pakaian itu kepada Cakka. Lalu berdiri agak jauh dari Cakka. Aku melihat Cakka satu per satu melepaskan kancingnya, namun dia terhenti ketika menyadari….

“Kenapa kamu masih berdiri di situ? Mau lihat aku ganti baju yah?,” Katanya dengan senyum diujung bibirnya dan alisnya yang diangkat setengah.

Aku terpekik mengutuki diriku sendiri, bodoh…bodoh…bodoh, kenapa aku tidak langsung keluar tadi? Malah dengan tololnya berdiri mematung ketika Cakka melepaskan kancingnya satu per satu.

“Eh… itu… hmm… anu, kau tak butuh bantuan?,” Tanyaku.

“Oh, kau ingin membantuku berganti pakaian?,” Katanya masih dengan ekspresi yang sama.

Ah… aku bodoh lagi kan? Salah bicara. Hupfh. Aku segera meralat perkataanku.

“Eh… itu, bukan begitu, maksudku kau bisa sendiri? Apa perlu aku panggilkan orang untukmu berganti pakaian?,”

“Owh, tak perlu, aku bisa sendiri thanks,” Katanya wajahnya berubah acuh tak acuh lagi.

Aku kemudian cepat-cepat membuka pintu dan keluar sebelum aku salah bicara lagi.

***

Aku mendorong kursi roda Cakka menyusuri koridor rumah sakit. Tadi aku mendapat telepon dari kepala rumah sakit kalau mobil yang akan mengantar kami telah siap dan menunggu didepan rumah sakit. Sekitar beberapa menit kemudian, aku dan Cakka tiba didepan rumah sakit. Kualihkan pandanganku mencari mobil yang akan mengantarkan kami itu. Tiba-tiba, sebuah Toyota Crown berhenti didepan kami, kacanya diturunkan sehingga terbuka. Seorang lelaki paruh baya berada dikemudi mobil tersebut.

“Sus, bawa naik tuan muda,” Katanya.

Barulah aku sadar kalau ini adalah mobil Cakka. Aku terpekik lagi, Toyota Crown? Bukankah ini mobil-mobil milik pejabat negeri? Aku jadi ingat novel here, after lagi pada kisah Ridzal yang rela membelikan selingkuhannya Diana mobil ini. Owh.
Supir itu turun dan kemudian membantuku membopong Cakka masuk kedalam mobil. Dia duduk didepan sementara aku dibelakang. Supirnya Cakka melipat kursi roda milik Cakka dan memasukannya kedalam bagasi. Tak beberapa saat kemudian mobil yang kami tumpangi ini melaju menyusuri jalan ibukota. Aku tak tahu tujuan kami ini, hanya mengikuti saja.

“Pak, tolong pinggirkan sebentar mobilnya, kita pergi kesana sebentar,” Kata Cakka sambil menunjuk sebuah butik pakaian ‘ladies only’.

Supir itu keningnya berkerut, seakan heran kenapa Cakka memintanya untuk singgah ditempat seperti itu, tapi ia tak mampu mengelak permintaan tuannya itu. Akupun bingung untuk apa kita singgah ditempat ini? Apa Cakka ingin bertemu dengan pacarnya yah direstoran dan ingin membelikan hadiah untuk pacarnya? Namun, untuk sesaat aku berpikir lagi ternyata aku juga amnesia, aku lupa kalau Cakka amnesia mana ada yang dia ingat. Hupfh.
Kamipun tiba di butik yang ditunjuk Cakka. Supir itu segera turun dan membukakan pintu untuk Cakka, namun…

“Aku tak usah turun, bapak saja dengan suster yang turun,” Katanya membuatku heran, dan dia masih melanjutkan kata-katanya. “Oik… hm, tak apa kan manggil kamu dengan nama tidak usah pakai embel-embel suster?”

“Iya, tak apa-apa kok… hm, by the way untuk apa aku juga turun?”

“Ganti baju kamu, tak enak melihat kamu masih berpakaian perawat diluar rumah sakit,” Katanya.

Aku kaget. Apa maksud Cakka? Mengganti pakaian kerjaku dengan membeli pakaian yang baru di butik ini? Ini sudah gila!

“Tapi, Cakk---,” Kata-kataku terhenti.

“Tak ada alasan,” Katanya dengan tatapan nanar terlihat dari kaca spion yang terletak dibagian middle depan mobil. Aku menelan ludah dan meng-iya-kan kata-kata Cakka lalu segera turun mengikuti supir Cakka.

Didalam banyak sekali pakaian-pakaian wanita dengan badget yang tidak sedikit tentunya harga-harga disini sangat mahal. Aku enggan membeli disini, terlalu mahal. Tapi, pak supir memintaku untuk menuruti kemauan Cakka. Akhirnya akupun mengambil sebuah kemeja katun baby blue kulihat brand diatas keraknya Giordano, kuharap ini tak semahal yang lain. Lalu mengambil skinny jeans berwarna tan. Tak berlama-lama aku segera meluncur ke kasir, disana pak supir telah menunggu. Setelah membayar –dibayar oleh supir Cakka–, aku segera menuju kamar ganti kemudian menggantinya lalu bergegas keluar dan kembali ke mobil. Mobilpun melaju meninggalkan butik itu.
Hupfh, ternyata pasienku ini tak hanya lumpuh dan amnesia ternyata dia juga gila! Ya Tuhan, semoga aku tahan menghadapi pasienku yang satu ini.

***

‘C~Restofoods’ itu yang kubaca digerbang sebelum masuk kedalam restoran ini. Restoran dengan arsitektur ke-Indonesia-an. Dengan ornamen-ornamen khas Yogyakarta, dan kain batik sebagai gordeng tiap jendela  restoran serta tumbuhan tropis yang tumbuh dipekarangan restoran. Namun, nuansa modern nan klasik juga kental didalamnya dengan adanya dua pencakar langit berdiri kokoh dibagian depan restoran dan pintu gerbang yang terbuka lebar bak kerajaan-kerajaan dieropa. Aku turun dari mobil, pak supir mengambil kursi roda Cakka yang berada dibagasi kemudian meletakannya dibagian depan mobil tempat Cakka turun. Aku segera membuka pintu mobil, pak supir membantuku menurunkan Cakka dari mobil. Ini tak sesulit tadi, jadi Cakka dengan cepat sudah berada diatas kursi roda. Kudorong kursi roda memasuki restoran itu. Kami disambut baik oleh pelayan-pelayan di restoran itu, ya mungkin karena Cakka pemilik restoran itu. Tiba disitu kami segera duduk dan pelayan langsung membawakan makanan tanpa kami pesan, sepertinya mereka sudah tahu dengan selera Cakka. Kamipun mulai makan siang.

“Cakka,” Seseorang mendekat kearah meja kami yang sedang makan.

Cakka menoleh, akupun menoleh kearah sumber suara tersebut, pria kira-kira berumur 40-an berdiri mengenakan kemeja blue pale dan setelan jas berwarna grey.

“Pak Dharma,” Ucap pak supir.

Cakka malah acuh tak acuh menanggapi pria itu. Aku menatap kearah supir Cakka seolah meminta penjelasan siapa-pria-ini?

“Oh ya, pak Dharma, kenalkan ini perawat Cakka, suster ini pamannya Cakka yang mengelolah restoran ini untuk sementara waktu,” Katanya memperkenalkan kepadaku. Aku menyalami tangan pak Dharma yang tampak heran melihatku, perawat tapi tak memakai baju kerjaku.

“Hm, maaf ya pak, saya pakaiannya kurang sopan yah? Soalnya tadi Cakka suruh saya ganti baju jangan pakai baju perawat,” Kataku menjelaskan.

“Iya pak, tuan muda yang menyuruh,” Sambung pak Supir.

“Kalau aku yang menyuruh memang kenapa?,” Tanya Cakka sambil berhenti mengunyah.

“Oh tak apa Cakka, om cuma heran saja, kalau kamu yang suruh ya tak apa, it’s okay, sus tolong jaga ponakan saya dengan baik sampai dia sembuh yah,” Katanya.

“Baik pak,” Jawabku.

***

Tap… tap… tap langkah kakiku terdengar menggema dikoridor rumah sakit. Aku harus bergegas menemui kepala rumah sakit yang dia memanggilku. Setelah membawa Cakka makan siang, memberinya obat dan mengajaknya tidur siang walaupun sangat sulit tapi akhirnya Cakka mau juga tidur dan sekarang sedang tertidur pulas. Sehingga, Aku bisa dengan leluasa pergi keruangan kepala rumah sakit. Aku tiba diruangan kepala rumah sakit, akupun memutar gagang pintunya sehingga pintu itu terbuka. Kemudian,  masuk kedalam. Didalam terlihat kepala rumah sakit sedang berada di mejanya dengan kacamata sambil membaca-baca sesuatu yang ada didalamnya. Dia terkaget dengan keberadaanku didalam ruangannya, barulah Aku menyadari kalau tadi aku tidak mengetuk pintunya. Aku lagi-lagi mengutuki diriku sendiri karena kebodohanku.

“Selamat sore bu… maaf tadi saya tidak ketuk pintu, maaf saya lancang,” Kataku sambil menundukan kepala, merasa bersalah.

Kepala rumah sakit tersenyum, dan berkata. “Ya sudah, tak apa lain kali jangan ulangi yah,”

“Iya bu, saya janji tidak akan mengulanginya lagi,”

“Baiklah silahkan duduk ada yang ingin aku bicarakan sama kamu tentang Cakka, apalagi sekarang kau telah bertemu dengannya,”

Akupun duduk didepan meja kepala rumah sakit dan siap mendengarkan apapun yang dikatakan kepala rumah sakit tentang Cakka.

“Pasti kau bertanya-tanya kenapa Cakka tidak dirawat di rumahnya saja? Kenapa Cakka tidak dirawat dirumahnya padahal lebih muda untuk mengingat masa lalunya disana,”

“Iya bu, memangnya kenapa?,”

“Jadi begini, Cakka itu setelah kecelakaan, pernah dibawa pulang kerumahnya, tapi disana tiap kali ditempat-tempat yang sepertinya punya kenangan dia malah sering kesakitan dibagian kepalanya sampai membuatnya pingsan, keluarganya yang lain khawatir, makanya dia dibawa kerumah sakit dulu, sampai dia siap untuk mengingat masa lalunya, dan sepertinya menurut perkembangan, Cakka sudah cukup siap untuk itu, kamu dapat pekerjaan ekstra lagi Ik,”

“Kerja ekstra?,”

“Iya Ik, nanti kamu harus membawa Cakka ketempat-tempat yang menurut keluarganya mungkin punya kenangan tersendiri, ini daftarnya,” Kata kepala rumah sakit sambil memberikanku secarik kertas. Aku mengambilnya dan membaca tulisan yang ada didalamnya, “Kamu bisa selipkan ini didaftar kegiatan?,”

“Baik bu, akan saya coba,”

“Oh ya Ik, usahakan mulai besok,”

“Baik bu,”

***

Aku dan Cakka sementara dalam perjalanan pulang setelah makan siang. Cakka lagi-lagi ingin makan diluar. Aku kemudian teringat akan sesuatu, pembicaraanku dengan kepala rumah sakit. Aku mengeluarkan secarik kertas didalam saku, kemudian membuka lipatan-lipatan kertas itu. Dan membaca sebuah tulisan dibaris pertama…
Cappucinno Café
Membaca itu,  Aku segera menyuruh pak supir menuju tempat itu. Cappucinno café. Tiba disana, sepertinya tidak memungkinkan keadaannya untuk kami turun. Aku membaca kembali tulisan yang ada dikertas itu, pada baris selanjutnya.
Taman Anggrek Buttersky
Tak berlama-lama aku segera menyuruh pak supir menuju tempat yang kusebutkan tadi. Mobil kamipun melaju menuju taman anggrek buttersky. Cakka tak banyak bertanya, sepertinya dia juga ingin berjalan-jalan, bayangkan saja Cakka lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit. Tiba di taman anggrek, aku segera turun dengan bantuan pak supir, kami membantu Cakka turun. Setelah Cakka berada diatas kursi roda, aku dan Cakka masuk kedalam, sedangkan pak supir menunggu diluar.
Aku mendorong kursi roda Cakka, suasana dikanan dan kiri nampak begitu indah, dikelilingi dengan berbagai jenis anggrek. Ada anggrek kirana, anggrek permata, anggrek kipas, anggrek meteor, anggrek bintang dan masih banyak lagi. Aku memang suka dengan bunga anggrek tapi aku tidak terlalu kenal begitu banyak jenis-jenisnya. Aku sangat menikmati pemandangan disekitarku, Cakka juga terlihat menikmati. Namun kemudian dia terhenti, dia memandang kearah bunga anggrek yang lidah bunganya berwarna hitam dengan dikelilingi oleh kelopak bunga berwarna hijau pekat dan membuat bunga itu nampak eksotik.

Black orchid, Coelogyne Pandurata,” Kata Cakka seperti menguluarkan mantra, aku mengernyitkan dahi mendengar perkataan Cakka. Bingung, “Iya, nama anggrek ini black orchid  kalau dalam bahasa inggris, kalau dalam bahasa ilmiahnya coelogyne pandurata,” Jelas Cakka akhirnya.

Aku hanya bisa mengangguk-ngangguk mendengar penjelasan Cakka. Sepertinya bunga ini begitu berkesan buat Cakka, sampai walaupun amnesia dia mengenal nama bunga ini.
Cukup lama kami berputar-putar ditaman anggrek ini, melihat berbagai macam anggrek yang menawan. Kamipun puas dan hendak pulang ke rumah sakit. Aku bisa melihat dari mata kelabu milik Cakka, kalau dia menyimpan sebuah kejanggalan, mungkin saja dia akan ketempat ini lagi nantinya?

***

Hari ini, adalah jadwal full Cakka untuk terapi berjalan. Jadi hari ini juga aku sudah mencegah Cakka untuk tak bisa keluar kemanapun. Aku juga sudah menyuruh pak supir membelikan makan pagi, siang, dan malam untuk Cakka dari restorannya. Pagi-pagi aku sudah membangunkan Cakka dan mendorong kursi rodanya menuju ruang terapi. Disana sudah ada seorang dokter dan seorang perawat, aku tahu perawat ini namanya, Ify. Dia yang menjadi perawat Cakka sebelum aku, namun entah kenapa dia berhenti merawat Cakka sehingga digantikan denganku. Dokter itu memberikan pengarahan untukku, bagaimana cara supaya terapinya berjalan lancar sehingga pasien cepat sembuh, dan lain sebagainya. Setelah cukup, dokter itu menyuruhku mempraktekannya dibantu oleh Ify. Akupun menuntun Cakka menuju sebuah track yang dibuat khusus untuk melatih pasien yang lumpuh, di track itu ada besi yang melintang tempat tumpuan. Aku dan Ifypun mulai melatih Cakka, selama beberapa jam sebelum akhirnya kami beristirahat dan akan kembali melanjutkan setelahnya.

Sudah beberapa minggu ini, Cakka mengikuti terapi. Dan sudah beberapa hari ini aku melatih Cakka sendiri tanpa bantuan dokter dan Ify. Kata dokter saatnya aku harus mempraktekan sendiri, dan mereka rasa sudah cukup ilmu yang mereka berikan untukku. Sesungguhnya ini sangat sulit, tapi demi profesionalitas pekerjaan aku harus melatih Cakka dengan maksimal. Cakka harus sembuh! Harus! Aku harus berhasil merawat pasienku yang pertama ini dengan baik. Apalagi melihat perkembangan yang cukup signifikan dari Cakka. Sekarang dia sudah bisa berdiri sendiri diatas besi yang melintang itu tanpa bantuanku dan sudah bisa menggerakan kakinya walau baru tiga-empat langkah.
Aku sedang mengawasi Cakka yang sedang mencoba berjalan lebih dari tiga-empat langkah. Dia terlihat berusaha sangat keras untuk itu.

“Oik, aku… mau … cepat … sembuh,” Ucap Cakka, kata-katanya terbata-bata, dia mencoba mengeluarkan energinya.

“Sudah Cakka, jangan bicara dulu nanti kamu---,” Belum sempat aku melanjutkan kata-kataku. Aku melihat Cakka oleng. Dengan cepat aku menahan tubuh Cakka agar tidak jatuh kelantai. Namun sialnya, tubuh Cakka lebih berat dari padaku. Aku hilang keseimbangan juga dan ikut oleng bersama Cakka.
Bruuuuk…terdengar bunyi yang lumayan kuat ketika kami jatuh kelantai. Hm, bukan kami sih, tapi Cakka. Karena aku jatuh tepat diatas Cakka. Mata almond kelabu milik Cakka kini nampak semakin jelas. Deg--, Calvin klein euphoria tercium sangat jelas. Dadaku tiba-tiba sesak pada posisi seperti ini. Cakka terlihat mulai medekatkan kepalanya kearahku, mataku melotot tajam, namun entah kenapa aku tidak mau bergerak dari posisi ini sedikitpun.
2 sentimeter lagi…
You’ll be the prince and I’ll be the princess, It’s a love story baby just say yes
Ringtone handphoneku terdengar menggema, membuat kesadaranku pulih. Aku segera merogoh handphoneku dari dalam saku. Ternyata dari Sivia, aku segera menekan tombol hijau dihandphoneku itu.

“...Hallo, ada apa vi?...,”

“...Ik, tadi aku ketemu kepala rumah sakit, katanya supirnya Cakka sudah menunggu, saatnya makan siang, bu kepala suruh aku nelpon kamu…,”

Aku segera melihat jam tanganku. 12.00. Benar, saatnya Cakka makan siang.

“…Baiklah vi, aku akan segera membawa Cakka makan siang…,”

“…Eh, satu lagi Ik…,”

“…Apa?...,”

“…Kasihan Cakka, kamu berat tahu, betah amat sih diatas Cakka kayak gitu, Oh ya sori yang tadi aku ganggu kalian, kalau tidak kan kalian udah…… hihihihi, bye Oik…,”

Sivia segera memutuskan sambungannya. Sivia ada dimana sih? Kok dia bisa melihat adegan tadi? Aku segera mengedarkan pandanganku kesekeliling ruangan terapi ini. Tapi, tak ada Sivia. Aku sadar perkataan Sivia tadi, aku masih berada diatas Cakka. Huaaaa. Aku bergegas berdiri dan membantu Cakka berdiri juga. Menuntunnya ke kursi roda kemudian membawanya keluar dari ruangan itu dengan jantungku yang berdebar tak karuan.

***

Sudah tiga bulan berlalu. Akhirnya, Cakka sudah bisa berjalan kembali meski belum sempurna, dan masih agak pelan. Itu membuatku senang, akhirnya pasien pertamaku ini bisa berjalan lagi. Namun kemudian aku menyadari lagi, masih ada satu hal lagi selain ini yaitu mengembalikan ingatan Cakka. Aku sudah membawa Cakka ketempat-tempat yang ada didalam daftar yang diberikan kepala rumah sakit tempo hari. Memang setiap kali pulang dari tempat-tempat yang ada didaftar itu, Cakka terlihat seperti membawa pulang sesuatu dari tempat-tempat itu. Mungkinkah potongan-potongan ingatannya?.
Malam telah tiba, Aku dan Cakka segera kembali kekamar. Setelah seharian ini Cakka memintaku menemaninya berjalan keliling area rumah sakit. Kata Cakka sekalian melatih otot-otot kakinya agar kuat dan dia bisa berjalan dengan sempurna. Sungguh melelahkan mengitari area rumah sakit yang hampir mencapai 1 hektar ini. Hupfh.
Tiba dikamar, seperti malam-malam sebelumnya, aku membacakan Cakka sebuah novel. Ini terjadi dua bulan lalu ketika Cakka mengetahui kegemaranku yang suka membaca novel, Cakka jadi menyuruhku membacakan novel sebelum dia tidur bak seorang ibu yang mendongeng kepada anaknya. Aku segera mengambil novel yang tergeletak diatas kursi, sedangkan Cakka sudah bersiap-siap ditempat tidurnya. Dia terlihat excited mendengarkan kelanjutan kisah Noah Calhoun dan Allison Nelson, yeah one of my favorite books The Notebook by Nicholas Sparks.

“Kemarin sudah sampai dimana Kka?,” Tanyaku ingin mengetes seberapa ingatkah Cakka dengan kisah dalam novel ini.

“Sudah sampai di surat-surat Noah yang tak dibalas Allie, dan Noah memutuskan untuk berhenti menulis surat kepada Allie,”

Ternyata Cakka masih mengingatnya itu pertanda baik bukan dengan ingatannya?, “Oh, oke… kamu mau dengar kelanjutan kisahnya?,”

“Tentu saja, aku sangat penasaran dengan kisah cinta Noah dan Allie,”

Akupun segera membuka novel tersebut dan mulai membaca ditempat yang kubatasi dengan pembatas. Setelah lumayan lama membaca, mataku sudah mulai berat, bahkan novel yang kubaca ini pronounciationnya sudah tidak jelas lagi sepertinya –maklum novel ini memakai bahasa inggris.

“Ngantuk ya?,” Tanya Cakka.

Aku mengangguk sambil membuka mulutku lebar-lebar –menguap. Aku segera menelungkupkan kepalaku ditempat tidur Cakka, sementara posisiku masih duduk disebuah kursi disamping tempat tidur Cakka. Sungguh, mataku sudah tidak berkompromi lagi.

“Ya sudah tidur saja, besok baru kita lanjutkan.” Kata Cakka, kemudian aku merasakan sebuah sentuhan dikepalaku, sepertinya Cakka sedang membelai kepalaku. Dan ini terasa sangat nyaman, “Aku nyanyikan sebuah lagu yah biar kamu bisa tidur nyenyak,”

I'll be seeing you 
In every lovely summer's day; 
In every thing that's light and gay. 
I'll always think of you that way
.

I'll find you 
In the morning sun 
And when the night is new. 
I'll be looking at the moon, 
But I'll be seeing you
.

Sayup-sayup terdengar sebuah penggalan lagu mengalun.

***

Aku terbangun dari tidurku, sepertinya kesadaranku masih belum pulih sepenuhnya. Mataku masih terasa kabur, akupun mengedip-ngedipkan mataku. Rasa kantuk masih belum sepenuhnya pergi dariku. Aku mengedarkan pandanganku kearah jam dinding ternyata masih menunjukan pukul 05.00. Masih pagi ternyata, aku sebenarnya berniat untuk tidur lagi. Tapi… sepertinya ada yang ganjal. Apa yah? Aku mengedarkan pandanganku lagi. Melihat sebuah selimut menutupi tubuhku. Kemudian menghempaskan pandangan kesekitarku, kamar ini terasa tidak asing… ini seperti kamar… CAKKA. Aku segera berbalik kearah kiri. Kudapati, seorang lelaki yang tidur disampingku artinya aku tidur seranjang dengan lelaki ini, yang tak lain dan tak bukan adalah Cakka. Aku panik, apa yang kulakukan bersama Cakka semalam? Sampai bisa tidur seranjang seperti ini? Kuputar kepalaku, seingatku, aku hanya membacakan novel, setelah itu aku mengantuk dan tertidur tapi menelungkup disamping tempat tidurnya Cakka bukan diatas tempat tidur Cakka seperti ini. Aku segera menenangkan pikiranku, semoga bukan berita buruk dibalik selimut ini. Perlahan aku melihat kebalik selimut, untuk mengetahui apa yang terjadi dibalik selimut ini!
Hupfh, aku menarik nafas lega, untungnya bukan berita buruk. Aku masih berpakaian lengkap. Oke, mungkin aku terlalu banyak membaca novel metropop yang kebanyakan menampilkan hal-hal seperti ini. Pengaruh baby proposal yang baru kubaca kemarin pagi sebelum membawa Cakka makan pagi. Aku segera merubah  posisiku menjadi duduk namun masih tetap diatas tempat tidur Cakka. Cakka terlihat melakukan gerakan sebelum menoleh kearahku. Aku menatapnya seakan meminta penjelasan mengapa aku bisa berada diatas tempat tidurnya seperti ini?

“Tadi malam tuh kamu ketiduran disitu, aku takut pas bangun nanti badan kamu sakit, apalagi tidur dengan posisi seperti itu, makanya aku memindahkan kamu ke tempat tidurku, awalnya aku saja yang tidur disofa, namun mataku sudah berat juga, jadinya aku tidur aja disini… dan tenang aja, aku tak melakukan apa-apa sama kamu,” Kata Cakka seakan membaca pikiranku.

“Kamu? Mengangkat aku dari kursi kesini?,” Tanyaku seolah tak percaya, pasalnya kaki Cakka belum kuat betul.

“Iya, sudah tak usah khawatir, kakiku sudah kuat kok, nih liat aja,” Kata Cakka sambil menggerak-gerakan kakinya.

Akupun tersenyum dan mengangguk.

***

Aku membasuh wajahku diwastafel. Wajahku tampak sangat kusut ketika aku memandangi cermin yang ada dihadapanku. Cakka sedang keluar, katanya dia ingin berjalan-jalan sebentar tanpa ada aku dan tanpa ada yang mengawalinya. Aku awalnya tak memberinya izin, namun setelah kupikir-pikir siapa tahu dengan memberi Cakka ruang bebas sedikit padanya perlahan dia mungkin bisa mengumpulkan memori-memorinya kembali. Aku berbicara maksud Cakka kepada kepala rumah sakit, dan dia menyetujuinya. Well, karena kepala rumah sakit sudah memberinya izin, untuk apa aku harus menahannya?
Namun bukan itu masalahnya sekarang! Aku mulai merasa seperti Novi dalam novel here, after. Aku mencintai Cakka? Oh tidak! Ini hal bodoh, tapi kenapa bisa? Aku menutup mataku, flashback kejadian aku dari pertama kali melihat sosok dewa yunani yang terperangkap dalam sangkar emas, namun tak bisa melakukan apa-apa itu telah membuatnya terbuai dengan pesonanya. Ah! Aku mengatur nafasku. Kembali membasuh wajahku dengan air yang mengalir dari wastafel. Kuharap bayangan Cakka hilang dari pikiranku, namun entah kenapa bayangannya malah semakin pekat.

Sudah hampir 2 jam Cakka belum kembali, aku khawatir terjadi apa-apa pada Cakka, aku ingin segera menyusulnya. Namun, kuurungkan, aku harus percaya pada Cakka kalau dia bisa menjaga dirinya. Lagipula dia bukan seorang anak kecil yang harus dijaga dan diawasi selama 24 jam penuh kan?.
Creek….
Suara gagang pintu diputar, kualihkan pandanganku. Cakka masuk kedalam, hupfh, akhirnya dia datang juga. Tunggu-tunggu, dia terlihat begitu girang, senyumnya melengkung, mata kelabunya berbinar seperti baru selesai menang lotre. Dia segera menuju kearahku dan segera memelukku kencang sampai aku susah bernafas. Ada apa ini? Dia segera duduk disampingku, masihku lihat binar matanya.

“Ik, aku senang banget hari ini,” Katanya dengan semangat.

Aku mengernyitkan dahi seakan bertanya penyebab kesenangannya itu. Aku yakin Cakka bisa membaca ekspresiku.

“Aku tadi bertemu dengan seorang putri cantik tadi Ik,” Kata Cakka.

Deg---, jantungku. Sebuah rasa sakit dari dalam menghampiriku mendengar kata-kata Cakka.

“Tadi, waktu aku balik lagi ke taman anggrek buttersky, aku ketemu dia lagi melihat-lihat black orchid. Dia tahu banyak tentang bunga kesukaanku itu ternyata,” Kata Cakka dengan senyum yang tak pudar dari wajahnya.

Aku berpura-pura ikut senang dan tersenyum, namun senyumanku terasa tawar.

***

“Acha,”

“Oik,”

Seorang gadis seumuranku, dia tampak modis dengan sweater berwarna baby pink, black skinny jeans, wedges devict blue denim dan dengan sebuah syal berwarna senada dengan sepatunya. Dia tersenyum padaku sejak tadi memperkenalkan namanya. Acha. Dia gadis yang dikatakan Cakka sebagai putri cantik. Hari ini Cakka mengajakku untuk berkenalan dan menemui Acha saat makan malam. Awalnya, aku tak mau ikut, namun karena bujukan Cakka, akupun luluh dan mengikuti kemauannya. Walaupun aku tahu ini akan menyakitiku. Pertemuan ini terjadi di cappuccino café, tempat pertama yang tak jadi kukunjungi dengan Cakka tempo hari, padahal café ini berada di list pertama. Kamipun makan malam di cappuccino café. Aku belum pernah melihat Cakka sebahagia ini berbicara dengan seseorang yang baru saja dia kenal.

Tadi malam cukup melelahkan, aku dan Cakka pulang jam 12 malam dari cappuccino café, Cakka terlihat begitu enjoy berbincang dengan Acha, mereka nampaknya lupa waktu, sampai aku seperti dijadikan obat nyamuk saja. Cakka terlihat masih kelelahan, makanya aku tak tega untuk membangunkannya pagi-pagi. Kuputuskan untuk membiarkan dia beristirahat, sedangkan aku ingin menemui Sivia. Namun, ditengah jalan tanganku ditarik oleh seseorang. Aku menoleh kearah orang yang menarikku itu.

“Acha,” Pekikku.

“Boleh kita bicara sebentar?,”

Aku memperhatikan dikanan dan kiri semua tampak sibuk dengan kesibukannya masing-masing. Akupun mengangguk. Acha menarikku kesebuah bangku ditaman rumah sakit tak jauh dari situ. Kamipun duduk disitu.

“Oik, karena kamu perawat Cakka, I will tell you something about me and Cakka,” Kata Acha membuatku memalingkan wajahku kearahnya dan siap mendengarkan apa yang akan diceritakannya. Acha menarik nafasnya, “Cakka itu calon tunanganku, Cakka kecelakaan tepat seminggu sebelum kami bertunangan, sehingga semuanya gagal karena Cakka lumpuh dan amnesia,”

Aku kaget mendengar penuturan Acha ini, hatiku seperti ditusuk-tusuk seribu jarum, ketika mengetahui Cakka mempunya seorang calon tunangan. Tapi kenapa dia baru muncul sekarang? Kenapa disaat aku telah melewati hariku bersama Cakka dia baru hadir? Kenapa disaat aku sudah terlanjur memakai hati dia baru kelihatan?. Aku berusaha mencoba bertanya pada Acha tentang hal yang sedari tadi ada dipikiranku, “Trus kenapa kamu baru muncul? Kemana kamu saat Cakka membutuhkanmu?,”

“Aku sudah pernah menemui Cakka selama ini, ketika beberapa hari setelah kecelakaannya, namun hasilnya Cakka malah kesakitan dan pingsan ketika melihatku, setelah itu, aku dilarang menemui Cakka, katanya untuk menenangkan pikirannya sampai dia siap kembali dengan memori-memori lamanya,” Jelas Acha, dia kembali menghela nafas, “Sekarang setelah Cakka dapat berjalan, dan itu tak lepas dari usahamu, aku muncul kembali merasa Cakka sudah mulai siap menerimaku dalam memorinya, sekalian mau mengucapkan terima kasih sama kamu,” Kata Acha kemudian.

Never mind, That’s my job,” Aku berusaha biasa saja menghadapi keadaan seperti ini.

“Tapi, aku mohon, rahasiakan ini dulu dari Cakka, aku tak mau memaksakan dia untuk ingat sepenuhnya tentangku, tapi aku juga minta tolong sama kamu untuk tetap berusaha mengingatkan dia tentang kisah kita,”

***

Kemarin adalah hari terakhir aku membacakan novel The Notebook pada Cakka, kisah itu berakhir menyedihkan. Tapi perjuangan cinta tokoh-tokohnya luar biasa, membuat yang membacanya akan percaya dengan keajaiban cinta. Aku tidak akan bosan pernah membaca novel itu walau sudah berulang kali. Cakka memintaku membacakan sebuah novel lagi. Aku membuka tasku, didalamnya ada sebuah novel karya Susane Colasanti judulnya ‘Something like fate’. Aku hendak mengambilnya tapi tanganku tertahan mengingat perkataan Acha. aku juga minta tolong sama kamu untuk tetap berusaha mengingatkan dia tentang kisah kita. Sebuah ide terlintas dipikiranku mengambil buku tersebut kemudian membukanya.

Something like fate,” Kata Cakka membaca judul novel cover depan.

“Yeah,” Ucapku singkat.

Aku mulai membaca. Sebenarnya bukan membaca, aku mulai bercerita tentang semua yang diceritakan Acha tadi siang. Tadi siang, Acha sempat menceritakan beberapa kisahnya dengan Cakka, tentang bunga anggrek kesukaan Cakka black orchid tentang pertemuan mereka pertama kalinya. Tentang kisah mereka, dan membuatku menitikan airmataku, sesuatu dari dalam diriku berontak menolak menceritakan kisah itu. Tapi, sebagai seorang perawat aku harus bekerja secara profesional, merawat pasienku hingga sembuh, bukannya membuatnya semakin bertambah parah.

Hampir tiap malam kuceritakan ‘something like fate’ yang kukarang sendiri berdasarkan cerita Acha. Sosok Cakka ternyata romantis yah, aku sangat iri pada Acha mendapat perlakuan seperti yang Cakka lakukan padanya. Andai saja itu aku… Oke, aku mulai lagi dengan imajinasiku.
Sama seperti halnya waktu aku membacakannya The Notebook, Cakka juga begitu antusias mendengarkan cerita yang satu ini, namun nampaknya dia merasa seperti benar-benar masuk kedalam ceritanya.

Malam ini, Aku kembali membaca novel untuknya, namun Cakka memintaku untuk tidak pulang, dia ingin aku menemaninya sampai besok pagi. Aku menyetujuinya asalkan aku tidak kembali seranjang dengannya. Dia juga menyetujui persyaratanku. Karena lebih baik aku tidur menelungkup disamping Cakka, asalkan tidak mengulang untuk hal itu. Bukannya parno dengan novel-novel yang kubaca tapi… aku takut membuat perasaanku pada Cakka bertambah dalam. Aku tak tahu bagaimana aku jika suatu saat, sesuatu yang kutakutkan itu terjadi.

***

Aku terbangun dari tidurku, kali ini jam sudah menunjukan pukul 07.00, aku tertidur dengan posisi menelungkup disamping tempat tidur Cakka. Aku segera melangkahkan kakiku membuka gordeng kamarnya Cakka. Sinar matahari sudah masuk kedalam kamar ini. Saatnya Cakka untuk mandi dan makan pagi, semoga hari ini dia tidak terlambat lagi minum obat. Akupun membangunkannya, Cakka menampakkan gerakannya tapi…

“Siapa kamu?,” Tanya Cakka kaget melihatku seperti orang asing kemudian melanjutkan, “Dimana aku sekarang?,”

Oh Tuhan, cobaan apalagi ini? Kenapa Cakka malah tidak mengenaliku? Apa Cakka amnesia diatas amnesia?.

“Aku, perawat … yang merawat kamu dirumah sakit ini,” Kataku.

“Loh? Emangnya aku kenapa? Trus mana Acha? Tanggal berapa ini?,” Tanyanya terlihat panik sambil mengambil sebuah kalender yang tergeletak diatas meja dekat tempat tidur Cakka. Matanya melotot dan membulat, “Apaaaaa???! Seharusnya enam bulan lalu aku sudah bertunangan dengan Acha, dimana Acha sekarang?,”

Aku jadi bingung harus memulai dari mana menjawabnya. Sesuatu yang kusadari, ingatan Cakka sudah kembali. `Mungkinkah setelah ingatannya kembali, dia tidak akan mengingat kisah selama dia amnesia?

“Hei suster, aku bertanya padamu?,” Kata Cakka membuatku kembali ke alam nyata.

“Eh, hm kamu sakit jadi kamu dirawat disini,” Jawabku seadanya.

Cakka segera beranjak dari tempat tidurnya. Dia melangkahkan kakinya menuju lemari dan tanpa mempedulikanku dia langsung membuka kemeja rumah sakit yang dipakainya, dadanya yang bidang membuatku hanya bisa menelan ludah . Dia segera menggantinya dengan T-shirt berwarna indigo, kemudian dia hendak menurunkan celananya.

Aku terpekik, “Eh, Cakka, jangan… aku… aku keluar dulu,” Kataku panik dan segera melangkahkan kakiku keluar dari ruangan itu. Jantungku sudah tak karuan, walaupun aku tahu pasti Cakka mengenakan boxer, tapi situasinya beda. Dia pribadi Cakka yang sebenarnya, bukan pribadi Cakka selama dia amnesia.
Kulangkahkan kakiku menuju ruangan kepala rumah sakit mengabarkan berita baik –mungkin buruk untukku– padanya. Mendengar ceritaku kapala rumah sakit segera menelepon keluarga Cakka.
Tak beberapa lama setelah kepala rumah sakit itu menelepon, muncul beberapa orang, itu sepertinya keluarga Cakka. Ada 4 orang, dan hanya Om Dharma yang kukenali, mungkin yang ada disamping Om Dharma itu isterinya. Kamipun berjalan menuju kamar Cakka dan menemukan Cakka sedang mengemas pakaiannya.

“Cakka, sudah tak usah dikemas, biarkan barang-barangmu disini, kamar ini tetap milikmu,” Kata Om Dharma.

Cakka meninggalkan apa yang dia kerjakan tadi kemudian mendekat ke arah Om Dharma.

“Om, apa sih yang terjadi sama Cakka? Trus ayah sama bunda mana? Acha?,” Tanya Cakka kepada Om Dharma.

“Kamu tenang dulu, kita pulang nanti om jelaskan dirumah,” Kata Om Dharma menenangkan Cakka, “Ayo,” Om Dharma segera merangkul Cakka dan berjalan keluar dari ruangan. Kami semuapun mengekor.
Tiba didepan pintu,
“Cakka…,” Suara teriakan seorang gadis, kami semua menoleh dan mendapati Acha. Dia segera berlari memeluk Cakka dan Cakkapun membalas pelukannya, mengecup keningnya…
Sreeeeet ---, hatiku seperti diiris melihat adegan dihadapanku ini.

“Aku kangen kamu,” Rengek Acha manja masih dalam pelukan Cakka.

“Aku juga kangen,”

Ini sudah membuat remuk jantungku. Aku menahan agar cairan bening tak mengalir dari pipiku.

“Ya sudah, syukurlah Cakka sudah mengingat semuanya lagi, ayo kita pulang,” Kata om yang satunya.

Sebelum pulang Om Dharma mendekat kearahku. “Makasih ya suster, suda merawat dan menjaga Cakka selama ini,”

“Sama-sama pak,” Jawabku.

Acha juga mendekat kearahku dan dia segera memelukku erat.

Thanks ya Ik, berkat kamu Cakka kembali lagi,”

Aku tersenyum kecut, Om Dharma sepertinya membisikan sesuatu pada Cakka, kemudian Cakka berjalan kearahku dan Acha.

“Terima kasih suster, walaupun aku tak tahu apa yang terjadi selama aku disini, tapi terima kasih untuk semuanya,” Kata Cakka, mata kelabunya yang sayu nampak teduh, menatap kearahku.
Cakka memanggilku suster? Jujur saja aku lebih nyaman apabila Cakka memanggilku dengan namaku bukan dengan panggilan suster seperti ini. Terasa asing.

“Iya, sama-sama… Cakka,” Kataku.

Mereka semua berlalu dari hadapanku yang hanya bisa terpatung menghadapi kenyataan ini.

***

Pasien pertamaku berhasil kurawat sampai dia sembuh, walaupun dengan ending sungguh mengenaskan untukku. Ini jadi terasa klise, jatuh cinta denga seorang pasien? Oh no! aku pikir cuma ada difiksi yang kubaca.
Cakka sudah bahagia, aku harus melanjutkan tugasku sebagai perawat, tapi sangat tidak bisa kalau dirumah sakit ini, kenanganku sangat banyak dengan Cakka. Akupun membuat permohonan pindah tugas, tapi belum ada jawaban sampai sekarang, aku ingin pergi sejauh mungkin dari sini. Meninggalkan segala sesuatu tentang Cakka.
Dan sementara menunggu persetujuan permohonan pindah tugasku, aku ditugaskan untuk merawat seorang anak lelaki kecil yang terkena penyakit leukimia. Membacakan dongeng untuknya tiap malam, mengingatkanku pada Cakka, dimana aku membacakan novel untuknya. Miris. Mungkin aku sebenarnya akan lebih sulit merawat anak kecil ini. Tapi, ternyata lebih sulit merawat Cakka, karena aku terlanjur bermain dengan perasaanku.

Sebuah undangan manis berwarna merah jambu tergeletak didepan pintu tumahku, ketika aku baru saja menyelesaikan tugas-tugasku untuk hari ini. Aku mengambilnya ingin mengetahui isi dalam undangan ini. Walaupun aku sudah tahu apa isinya, tapi aku berusaha tersenyum namun nyatanya tak bisa.
Ya, itu undangan pertunangan Cakka dan Acha. Aku harus mengelus dadaku untuk menguatkan diriku sendiri. Tak beberapa lama kemudian, handphoneku berdering. Sivia. Aku segera mengangkatnya.

“…Hallo vi…,”

“…Ik, udah dapet---…,”

“…Undangannya? Udah kok vi…,”

“…Kamu tak apa-apa kan Ik?...,”

Memang, hanya Sivia yang selama ini tahu tentang perasaanku pada Cakka.

“…Tak apa Vi…,”

“…Kamu mau pergi kesana?...,”

Aku tersenyum, walaupun aku tahu Sivia tak akan melihatnya, “…Pasti, selama dia bahagia, aku juga bahagia…,”

“…Sesederhana itu?...,”

“…Ya, tentu saja… sederhana…,”

***

Kini sudah 3 tahun berlalu semenjak saat itu. Aku memang datang ke pertunangannya Cakka dan Acha. Saat itu Cakka masih memanggilku dengan sebutan suster. Dia terlihat lepas, gelak tawanya juga terlihat bebas.
Jadi kuputuskan untuk benar-benar menghilang dari kehidupan Cakka. Permohonan pindah tugasku disetujui dan aku pindah ke rumah sakit dikawasan pinggiran kota. Sampai 5 bulan kemarin, aku kembali lagi ke Ibukota. Rasa itu akan selalu ada dihati. Aku memang berusaha membuang jauh Cakka, tapi terkadang aku masih berpikir tentang bagaimana Cakka sekarang? Mungkinkah dia telah menikah dengan Acha? Atau mungkin mereka sudah mempunyai anak-anak yang lucu-lucu? Entahlah, tapi setahuku Cakka bahagia disana.

“Oik… sudah banyak yang menunggumu, saatnya pers conference,” Kata editor novelku.
Akupun mengangguk. Menghapus sisa-sisa cairan bening yang telah mengering. Kemudian mengikuti langkahnya keluar dari tempat itu.

Something Like Fate. Itu judul novel yang kutulis. Cerita yang kuceritakan pada Cakka, kuputuskan untuk membukukannya. Luckily, diterima oleh penerbit dan langsung dijadikan novel. Dan entah keberuntungan apa yang ada padaku. Novelku menjadi best seller sampai berulang kali dicetak. Itu membuatku sibuk dan akhirnya harus mengambil keputusan. Memilih satu dari dua. Tetap menjadi perawat atau menjadi penulis? Karena kecintaanku pada sastra sejak dulu, aku memutuskan untuk menjadi penulis, dan itu terjadi 5 bulan lalu, artinya aku harus pindah kembali ke Ibukota.

Aku sangat kelelahan setelah pers confference dan memutuskan untuk bersantai sejenak disebuah café tak jauh dari tempat diadakannya pers confference tadi. Akupun melangkahkan kaki kearah pantry café.

“Mas, avocado juicenya satu,” Ucapku berbarengan dengan seorang lelaki. Aku menengok kesamping. Lelaki dengan pakaian casual, sweater v-neck, dengan kemeja didalamnya, serta celana skinny jeans berada disampingku. Dia juga menatap kearahku betapa kagetnya aku melihat mata almond kelabu dengan tatapan teduh itu lagi. Cakka. Mataku terbelalak kaget. Kenapa bisa bertemu dengan Cakka ditempat seperti ini?

“Oik… ini benarkan kamu Oik?,” Tanya Cakka. Sepertinya dia juga sama kagetnya denganku. Wait… wait Cakka mengenaliku? Bukan dengan panggilan suster?

“Oh, thanks God, aku mencari kamu kemana-mana,” Katanya yang membuatku semakin bingung.

“Kamu mengenaliku?,”

“Ya iyalah, siapa yang tidak mengenali Oik Cahya Ramadlani, seorang penulis novel yang lagi booming dan best seller,” Kata Cakka.

Aku mengutuki diriku sendiri yang sudah terlanjur GR. Ternyata Cakka mengenalku hanya sebatas itu?.

“Oh…,” Jawabku datar mengambil avocado juice yang diberikan pelayan café dan hendak melangkah…

“Dan juga suster yang merawatku, membacakan novel yang sama dengan novel best seller ini bahkan sebelum novel ini diterbitkan,” Katanya mengedipkan sebelah matanya, sambil mengangkat sebuah novel, itu novelku. “Suatu kehormatan menjadi orang pertama yang mengetahui kisah didalam novel ini,” Kata Cakka membuatku tidak jadi melangkah pergi. What? Cakka? Oh Tuhan kenapa begini?, “Boleh bicara sebentar?,” Lanjut Cakka.

Aku mengangguk, kami melangkah kesebuah meja yang tak jauh dari situ lalu duduk berhadapan.

“Kau… ingat?...,” Tanyaku gantung.

“Yeah, banyak yang kuingat, saat diruang terapi bahkan ekspresimu saat kaget bangun seranjang denganku,”

“Tapi bagaimana?,” Tanyaku gantung lagi.

“Ini terjadi 5 bulan lalu,” Cakka terlihat menarik nafas sebelum melanjutkan, “Aku sedang mengantar Shilla membeli novel yang katanya bagus, sebuah novel best seller dan ternyata itu novelmu, iseng-iseng kubaca. Kepalaku seperti memutar kembali adegan didalam novel ini, semakin cepat sampai aku tak sadarkan diri, setelah itu hal pertama yang kuingat adalah kau. Kata dokter ternyata aku belum pulih sepenuhnya dulu. Masih ada memori yang terhapus yaitu bersamamu, dan sekarang aku dinyatakan benar-benar pulih,” Kata Cakka.

“Tapi, Cakk---,”

“Kamu masih ragu? Ayo,” Cakka menarikku menuju Toyota Crown miliknya. Masuk kedalam dan melaju ke… Rumah sakit tempat aku dan Cakka pertama kali bertemu. Cakka membawaku kekamar VIP tempatnya dirawat dulu. Membawa ke banyak tempat yang mempunyai banyak kenangan tentang kami terutama diruang terapi. Mengelilingi kembali hampir 1 hektar luasnya. Bertemu Sivia lagi, ah sudah hampir 3 tahun juga aku tidak bertemu dengan Sivia. Bernostalgia. Setelah itu, aku dan Cakka pergi ketaman rumah sakit dan duduk disana.

“Kabarmu dan Acha bagaimana?,” Tanyaku hati-hati.

“Acha? Dia lebih memilih lelaki lain dari padaku,”

Aku mengernyitkan dahi, “Kok bisa?,” Tanyaku.

“Sudahlah, tak usah membahas soal itu,” Katanya kelihatannya dia begitu sensitif dengan hal ini, “Hm, yang aku sesalkan kenapa kamu baru muncul sekarang?,” Aku masih tidak mengerti apa yang Cakka bicarakan, dia melanjutkan, “Kemana kamu saat aku mencari cinta, kenapa kamu tak muncul juga saat itu,” Sungguh aku tidak mengerti dengan perkataan Cakka. Masih sulit dicerna oleh otakku saat ini, “Dan kenapa juga aku harus menyadari perasaan ini, setelah kupilih dia,” Oke Cakka sepertinya semakin ngawur. Dia kemudian memberikanku sebuah undangan berwarna broken white, menghela nafasnya, “kau pasti bingung. Ini mungkin bisa menjelaskanmu,”

Aku mengambil undangan itu, perasaanku sudah tidak enak semenjak melihat undangan itu, yap benar.

Cakka Kawekas Nuraga
&
Ashilla Zahrantiara
Undangan pernikahan Cakka dengan seseorang yang bernama Ashilla Zahrantiara, aku tersenyu miris.

“Ku tunggu kedatanganmu,”

***

Hari ini tepat hari pernikahan Cakka, aku melihat undangan itu tergeletak diatas meja ruang tamuku. Aku sungguh tak berniat datang, sudah cukup berpura-pura bahagia melihat Cakka dan Acha waktu itu. Aku tidak mau semakin terjebak dalam perasaanku pada Cakka.
Sehingga aku hanya berbaring ditempat tidurku sambil membaca novel sekaligus mendengarkan musik, dan sialnya kenapa lagu yang terputar adalah lagunya Taylor Swift, Speak now sih? Oh God!
You’ll be the prince and I’ll be the princess, It’s a love story baby just say yes
Suara ringtone ponselku berdering. Sivia. Aku segera mengangkatnya. Dia langsung berkata-kata tanpa memberi salam.

“…Ik, gawat…gawat…,”

“…Gawat apanya vi?...,”

“…Gawat, Cakka membatalkan pernikahannya, trus dia pergi begitu saja, sepertinya dia mau menemuimu, tapi di tengah jalan dia kecelakaan, dan kata dokter, Cakka amnesia lagi…,” Kata Sivia.

Aku sangat kaget sekali mendengar penuturan Sivia itu.

“…Vi, jangan main-main…,”

“…Beneran Ik, aku tidak main-main, kalau kamu tak percaya datang saja kerumah sakit sekarang Cakka lagi disini…,”

Tanpa banyak bicara aku segera memutuskan sambungan dan mengambil tasku, segera mencari taksi menuju rumah sakit.

Tap…tap…tap… langkah kakiku terdengar menggema disepanjang koridor rumah sakit. Aku tergesa-gesa. Tiba-tiba, seorang perawat dan sepertinya dia perawat yang menyambutku ketika aku baru akan bekerja disini.

“Saudara Oik?,” Tanyanya persis seperti pertama kali aku bertemu dengannya. Hei, tidakkah kau mengenaliku. Aku mengangguk. “Anda ditunggu kepala rumah sakit di ruangannya,” Lho? Kenapa DeJaVu begini sih? Aku yang bingung hanya mengikuti perawat ini dari belakangnya.

Tiba diruangan kepala rumah sakit, Bu kepala rumah sakit menyambutku sama persis seperti pertama kalinya aku akan bertugas. Memberi tahuku tentang Cakka, pasien yang akan kurawat. Dan pengarahan-pengarahan lainnya. Setelah itu memanggil Sivia dan menyuruh mengantarkanku ke kamar Cakka. Aku segera memandang kearah kalender. Tanggal yang sama dengan saat aku pertama kali masuk kerja. Kenapa aku mulai kembali ke masa lampau seperti ini?
Aku dan Sivia berkenalan dan Sivia mengantarkanku menemui Cakka, terjadi pula percakapan yang sama persis dengan saat itu. Tentang kegugupanku. Hupfh. Setelah tiba didepan kamar VIP Cakka, aku menatap pintu yang seakan berdiri didepanku sama persis. Ah… benarkah waktu ini diputar kembali? Kenapa bisa? Ini bukan novel 7 hari menembus waktu karya Charon kan? Waduh.
Akupun memutar gagang pintu dan masuk kedalam. Kulihat dewa yunani itu tertidur tepat seperti saat itu. Aku mendekat kearah tempat tidur Cakka, Cakka tertidur nyenyak mengenakan pakaian rumah sakit. Eh, tunggu, ada yang berbeda, sebuah novel tergeletak diatas perut Cakka. Itu the notebook. Perasaan waktu itu tak ada novel diatas Cakka. Aku mengambilnya, membukanya sambil duduk diujung samping tempat tidur Cakka. Ada halaman-halaman yang dilipat dan ditandai dengan spidol berwarna pink.

“I am nothing special, of this I am sure. I am a common man with common thoughts and I’ve led a common life. There are no monuments dedicated to me and my name will soon be forgotten, but I’ve loved another with all my heart and soul, and to me, this has always been enough.”

“So it’s not gonna be easy. It’s going to be really hard; we’re gonna have to work at this everyday, but I want to do that because I want you. I want all of you, forever, everyday. You and me… everyday.”

“I love you. I am who I am because of you. You are every reason, every hope, and every dream I’ve ever had, and no matter what happens to us in the future, everyday we are together is the greatest day of my life. I will always be yours.”

Diakhir buku tersebut tersebut ada secarik kertas yang terselip. Aku mengambilnya dan membaca isi kertas tersebut.

Aku memang bukan Nicholas Sparks, sang maestro romance, yang bisa mengolah alur cerita biasa menjadi luar biasa, aku bukan Noah, karakter sweet yang diciptakannya, aku juga tak pandai merangkai kata seperti kata-kata yang tadi kugaris bawahi.
Tapi, jika aku bisa meminjam kutipan-kutipan itu, aku ingin sampaikan kutipan-kutipan itu padamu, mewakili perasaanku yang paling dalam.
Oik, jika orang-orang melambangkan kasih sayang itu dengan valentine….

Kata-katanya tergantung, aku membalik secarik kertas tersebut ada sebuah tulisan yang lebih besar dari yang lainnya.

Would you be my valentine?
Dibawahnya ada pula tulisan:
I promise, you always be my valentine until the rest of my life.

Tiba-tiba seseorang memelukku dari belakang, wanginya kukenali. Mendekatkan bibirnya kearah telingaku dan berbisik, “I’m waiting for your answer,”

Bunga sakura sepertinya berterbangan disekitarku. Aku tak percaya dengan semua ini. Mungkinkah ini mimpi???!!!

***

Aku bergerak diatas sebuah danau, memandang sekitarku dengan rasa kagum. Black orchid dimana-mana. Indah dan eksotik sekali. Aku sedang berada diatas sebuah perahu, bersama seseorang, ya dia Cakka. Ternyata hari itu bukan mimpi, buktinya Cakka masih disini bersamaku dan kini dia berstatus suamiku. Kami menikah baru saja kemarin, dan sekarang kami sedang berbulan madu di pulau kalimantan, kesebuah tempat yang banyak ditumbuhi black orchid. Cakka mendayung perahunya. Sesuatu yang ingin kutanyakan sejak dulu…

“Kka, kamu masih ingat tidak saat kamu menyanyikanku lagu sewaktu aku ketiduran selesai membacakanmu novel?,”

“Pasti,”

“Itu kan yang kamu nyanyikan untukku lagu I’ll be seeing you, soundtrack the notebook movie, kok kamu bisa tahu?,”

“Aku pernah menontonnya, ternyata membaca bukunya lebih seru daripada menonton filmnya, apalagi kalau dibacakan oleh susterku sayang,” Kata Cakka menggodaku. Aku memanyunkan bibirku, Cakka mencubit hidungku.

“Jelek tahu kalau begitu,”

“Biarin,” Aku makin ngambek.

“Sekarang, aku yang ingin bertanya, kenapa novelmu endingnya gantung?, banyak orang penasaran,”

“Karena kisahnya belum berakhir,”

“Sekarang juga belum berakhir?,” Tanyanya menaikan setengah alisnya.

“Akhirnya berada ditangamu,” Kataku, aku berhenti sejenak, “Karena kamu yang membuatku menulis kisah itu,” Lanjutku.

Cakka nampak berpikir, kemudian, “Bolehkan seperti ini?,” Tanyanya lalu mendekatkan wajahnya ke wajahku, memiringkan dan menyentuh bibirku dengan bibirnya, aku merasakan kelembutan dan kehangatan kemudian hanyut didalamnya. Perahu kami terdiam ditengah danau, black orchid bagaikan autumn bertebaran dimana-mana. Wangi black orchid yang khas tercium jelas. Jika ini akhir… indah bukan?
….
….
Tapi ditengah keasyikan kami, perahu hilang keseimbangan dan oleng…
Byuuuuurrrrr…

Aku dan Cakka jatuh setelah bertaut selama beberapa menit. Kami basah total, tak ada satupun yang kering. Kami tertawa bersama sambil bermain air saling percik-percik. Tiba-tiba ketika masih didalam danau –kebetulan danaunya tidak terlalu dalam– Cakka menarikku mendekat kearahnya, meringkuk kedalam pelukannya, wangi tubuhnya bersama wangi black orchid berpadu.

I love you,” Bisiknya.

I love you too,” balasku.

Cakka mengangkatku, walaupun kami masih didalam air. Sehingga aku menjadi lebih tinggi dari kepalanya, kutatap lekat matanya. Akhirnya, aku bisa menemukan serpihan bagian ending novelku. Kupegang kepala Cakka dengan kedua telapak tanganku. Kudekatkan wajahku dengan wajahnya menautkan bibirku dengan bibirnya dan mulai menjalani ritual cinta bersamanya, seseorang yang menjadi takdirku.

Something like fate: End
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...