Sabtu, 25 Februari 2012

Gone With the Wind [One Shoot]

Gone With the Wind
Kau datang dan pergi secepat angin…


Dia seperti angin tak bisa dilihat, namun bisa dirasakan. Dia seperti angin laut, yang bertiup dari darat kelaut diwaktu siang. Juga seperti angin darat, yang bertiup dari darat kelaut diwaktu malam. Namun dia tak seperti angin fohn yang bisa mematikan tanaman. Diapun tak terkira, tak seperti angin munsoon. Tapi, dia selalu datang bersama angin dan pergi juga bersama angin. Angin yang membawa kesejukan, angin yang membawa ketenangan, angin yang membawa kehangatan, angin yang membawa kekuatan, bahkan angin yang menjadi candu.
Ya, candu. Canduku kepada angin. Bahwa, dimana ada angin disitupun dia berada.

***

Prolog

Kakinya kembali dijejakan diatas jembatan bambu sebuah sungai. Lembayung tengah merona, mengantarkan senja dan mulai menyibak tirai malam. Bulir kristal bening yang jatuh dipipinya belum mengering. Dia kemudian duduk ditepi jembatan bambu itu, mencelupkan kakinya dihamparan air sungai. Terasa dingin, namun tak membuat dia jerah, dan tetap bergeming mempertahankan posisinya itu.
“Kamu dimana Cakka? Kenapa hari ini tidak datang? Kamu sudah berjanji padaku,” Katanya pilu, suaranya terdengar setengah serak, bahkan terdengar seperti berbisik.
Angin sepoi malam membelai rambut hitam panjang miliknya. Sejenak matanya terpejam. Merasakan kesejukan diantara kesesakan didalam hatinya. Angin sepoi malam, mulai membelai indera penciumannya juga. Wangi yang dia kenali merasuki hidungnya. Segera dia berbalik seakan mengikuti belaian angin tadi.
“Aku takkan mungkin melupakanmu, aku bukan tipe orang pengingkar janji, aku pasti datang,” Sebuah suara menelusup ke indera pendengarannya. Suara yang menenangkan, suara yang ditunggunya sejak tadi.
“Selamat ulang tahun, Oik,” Katanya tersenyum hangat, anginpun terasa hangat. Puluhan fireflies berterbangan memecah senja yang telah berganti malam itu.

***

Petir sore itu mengiringi langkah kaki seorang gadis. Meski hujan belum turun, namun bisa dipastikan hari ini akan terjadi badai. Tapi, tak mengurungkan niat gadis itu untuk menjauh dari rumahnya. Ah, itu bukan rumah, tapi neraka baginya. Perlahan langkah kecilnya mulai dipercepat sehingga dirinya setengah berlari. Sebenarnya dia tak tahu tujuannya kemana. Kemanapun angin membawanya, dia harap kesebuah tempat yang bisa membuat perasaan yang berkecamuk didalam hatinya itu tenang. Rinai hujan mulai turun, kala rinai cairan bening dari pipinya mengalir. Dia senang akhirnya hujan turun juga, agar tiada seorangpun yang tahu kalau dalam hatinya sedang menyimpan luka, dan matanya sembab karena tangis.
Dan anginpun membawanya kesebuah tempat. Tempat yang belum pernah dijejakannya. Dia bahkan tak tahu dimana ini, yang pasti perasaannya mengatakan disini bisa membawanya kedalam ketenangan. Diapun mengayunkan kakinya menjejaki jembatan bambu dipinggir sungai itu. Ya, dia kini berada disebuah sungai yang diatasnya terdapat jembatan bambu yang membentang sepanjang kurang lebih 20 meter. Kemudian, dia mencelupkan kakinya di air seiring rinai hujan yang berubah menjadi bulir hujan yang cukup membuat tubuhnya basah. Dia tetap bergeming, merasakan air hujan terus menyusup melalui kain yang membungkus tubuhnya. Merasakan dingin yang mulai membungkus. Namun, tak disangka gemuruh angin yang kencang menggoyangkan pohon-pohon disekitarnya. Nampaknya alampun tahu kesedihan hatinya, hujan dan angin seakan meneriakkan keadaannya saat ini. Tubuhnya mulai bergetar saat angin kencang itu menyapu seluruh bagian tubuhnya. Bulu kuduknya berdiri, saat angin menyentuh kulitnya dengan kasar.
“Bangunlah dari situ, menangis dan tetap bergeming seperti itu tak akan menyelesaikan masalahmu,” Sebuah suara mengejutkannya. Suara siapakah itu? Apa mungkin suara angin? Bukannya angin tak punya suara? Segera digerakannya kepalanya mengikuti arah angin yang mulai mereda dan membelai kepalanya.
Seorang lelaki dengan rambut agak berantakan –mungkin karena tertiup angin tadi– berdiri tak jauh dari tempat itu. Lelaki dengan kemeja berwarna dark brown yang kancingnya dibiarkan terbuka semua dan didalamnya ada T-shirt berwarna silver dengan celana selutut berwarna senada dengan kemejanya itu memegang sebuah payung. Anginpun mulai mereda. Namun hujan tak hentinya mengguyur.
“Dari mana kamu tahu kalau aku menangis?,” Tanya gadis itu.
“Kamu pikir hujan bisa menutupi kepiluan? Kamu salah tidak akan! Anginlah yang memberitahuku bahwa ada seorang gadis yang sedang bersedih ditempat ini,” Kata lelaki itu mendekat dan memayungi gadis itu.
Diusapnya tepi mata gadis itu sambil berkata, “Berhentilah menangis, masih banyak yang ingin melihat kamu tersenyum,” Itu… itu sentuhan pertama seorang lelaki selain ayahnya dibagian tubuhnya. Sentuhan itu masih terasa, bahkan terasa menenangkan, “Kamu mau kan berbagi cerita denganku, nampaknya angin sudah memaklumi walaupun hujan tak mau berkompromi, sepertinya dibawah sana kita bisa berlindung untuk sementara waktu,” Katanya sambil menunjuk sebuah pohon rindang yang berdiri kokoh cukup jauh dari hadapan mereka. Gadis itupun mengangguk lalu bergerak dari posisinya tadi. Tangan kiri lelaki itu melingkari pinggul sang gadis.
Deg----, Jantungnya.
Dia belum pernah diperlakukan lelaki seperti ini. Berlebihankah ini? Ataukah dia yang belum terbiasa?.
Mereka akhirnya melangkah, menuju ke pohon rindang itu yang siap menanti mereka.
“Oh ya, namaku Cakka, namamu?,” Kata lelaki itu memperkenalkan dirinya, tangan kanannya terulur dan tangan kirinya masih melingkar dipinggul gadis itu.
“Oik,” Dia membalas uluran tangan lelaki itu dengan senyum samar dibibirnya.
Tak terasa, akhirnya mereka tiba juga dibawah pohon rindang itu. Merekapun duduk dibawah pohon, Oik masih merasakan dingin menyelimuti tubuhnya. Cakkapun melepaskan kemeja yang dikenakannya dan menyelimutkannya kepada Oik. Oik tersenyum masih samar dan mengucapkan terima kasih. Hening untuk beberapa saat sebelum Cakka membuka pembicaraan.
“Sekarang, apa permasalahanmu? Bolehkan berbagi denganku? Tak baik kalau masalah itu disimpan sendirian,” Katanya.
Oik menghela nafas. Sanggupkah dia menceritakan kisah yang menyesakan ini lagi? Mungkin akan mengiris kalbunya lagi, tapi benar kata Cakka tak baik juga masalah disimpan sendiri. Bukannya ini masalah pribadi? Bahkan terlalu pribadi. Mampukah dia menceritakan kepada seseorang yang baru dikenalnya beberapa menit lalu? Amankah rahasia ini? Semoga. Yang pasti saat ini Oik butuh teman berbagi. Iapun mulai membuka mulutnya mengeluarkan kata demi kata.
“Orang tuaku baru saja bercerai kemarin, itu membuatku terpisah dengan kakakku, bahkan tadi saat ayah membawaku pulang kerumahnya, mereka bertengkar lagi, aku tidak tahan, hatiku sakit melihat semua ini, aku kini terpisah dengan kak Zahra, padahal aku sangat menyayangi kak Zahra, dia satu-satunya orang yang memahamiku dirumah,” Katanya berkaca-kaca.
“Aku tahu, perpisahan itu memang menyedihkan, aku pernah merasakannya, awalnya aku rapuh sepertimu, tapi akupun sadar untuk segera bangun dari keterpurukan dan melihat disekitar kita, perjalanan ini masih panjang,” Kata Cakka berusaha menenangkan Oik.
Namun, Oik malah menangis semakin tersedu-sedu. Melihatnya seperti itu, Cakka segera membawa Oik kedalam pelukannya mengusap punggungnya mencoba menguatkannya. Lama kelamaan dalam posisi ini, seperti ada ion positif yang masuk kedalam tubuh Oik, sehingga dia merasakan sebuah ketenangan, kenyamanan, kehangatan, dan kedamaian berada diposisi seperti ini. Kelopak matanya kemudian bergerak menutup. Perlahan tetapi pasti bola matanya mulai tak kelihatan. Garis melengkung matanya mulai kentara membatasi kelopak atas dan kelopak bawah matanya. Hingga diapun tertidur dalam posisi memeluk Cakka. Cukup lama. Sebelum Cakka melonggarkan pelukannya dan memindahkan posisi Oik. Meletakan kepala Oik dipahanya sebagai bantal dan membiarkan gadis itu tertidur lelap. Sambil bersenandung…
I'll always remember
it was late afternoon
It lasted forever
But ended so soon
You were all by yourself
Staring up at a dark gray sky
I was changed

In places no one will find
All your feelings so deep inside
It was there that I realized
That forever was in your eyes
The moment I saw you cry

***

Oik mengerjapkan matanya, ditatapnya sekeliling tempat dia berada. Ruangan ini dikenalinya, desain interior yang elegant namun tidak meninggalkan kesan cute. Tidak salah lagi, ini kamar kakaknya Zahra. Kenapa dia bisa berada ditempat ini? Bukankah dia tadi bersama Cakka? Apa yang tadi itu hanya halusinasi? Diapun berjalan keluar dari kamar kakaknya itu, memutar gagang pintu kamarnya yang berwarna campuran silver dan gold. Segera setelahnya, dia menjejaki kakinya dan mendapati kakaknya tengah berdiri diruangan tengah menyambutnya.
“Oik, sudah bangun?,” Tanya kakaknya itu.
Oik mengangguk, “Kak, kenapa aku bisa berada disini?,” Tanyanya.
“Tadi, temanmu yang membawamu kemari, katanya kamu ketiduran dan hampir malam, tapi dia takut membangunkanmu yang tertidur pulas jadi dia membawamu kemari, ” Kata Zahra.
Oik mengernyitkan dahinya bingung, “Siapa kak?,”
“Cakka, itu dia orang---,” Kata-kata Zahra tergantung, ketika dia tidak mendapati Cakka lagi, perasaan Cakka belum pamit dan perasaan baru beberapa menit yang lalu Cakka berdiri didekatnya.
“Cakka mana kak?,” Tanya Oik.
“Lho, tadi dia disini loh Ik, oh ya Ik tadi baju kamu basah, jadi kakak ganti,” Kata Zahra.
Sesaat setelah perkataan kakaknya itu, angin membelai mereka berdua, tirai jendelapun bergoyang. Sepertinya, seperti saat Cakka datang. Cakkapun pergi bersama angin. Tapi bagaimana Cakka tahu rumah ibundanya? Dan membawanya kemari? Belum sempat herannya terjawab, ponselnya berdering. Nada dering panggilan khusus untuk ayahnya. Artinya, ini darurat dia harus segera pulang sebelum ayahnya menyusul kemari dan bertengkar lagi bersama ibundanya. Zahrapun menghantarkan Oik pulang kerumah sang Ayah.

***

“Kamu pergi dari sini!,” Usir ayah Oik.
“Tidak, aku tak akan pergi dari sini sebelum aku bertemu dengan Oik,”
“Oik milikku, kamu sudah punya Zahra, jangan egois untuk memiliki keduanya Shita,”
“Tidak, bukan begitu Pram. Zahra milikmu juga, Oik dan Zahra milik kita berdua, please Pram, aku tidak pernah melarangmu bertemu dengan Zahra, kumohon jangan larang aku juga untuk bertemu dengan Oik,”
“Tidak bisa! Kau tidak bisa bertemu dengan Oik,”
“Aku harus bertemu dengan Oik! Mana Oik… Oik… Oik,” Ibunya berteriak-teriak memanggil Oik.
Sengatan cahaya mentari yang baru terbit menembus jendela kamar Oik, kala telinga Oik menangkap kerusuhan yang terjadi. Ya, ayah dan ibunya bertengkar lagi. Oik yang tadinya hendak keluar tertahan didaun pintu mendengarkan pertengkaran kedua orang tuanya. Ia hanya dapat terdiam dan terpaku dibalik daun pintu. Disandarkannya tubuhnya didaun pintu itu, kakinya mulai tak kuat, tubuhnya mulai merosot kelantai bersamaan dengan cairan bening yang keluar dipelupuk matanya. Pagi yang muram. Dia tak tahan setiap hari begini.
Ia menarik nafas, menghapus airmata yang sedari tadi tak henti-hentinya mengucur. Kemudian menguatkan dirinya agar kakinya mampu menopang tubuhnya, membuka daun pintu secara perlahan dan mengendap-endap keluar dari rumahnya. Dia butuh ketenangan.
Langkah kaki Oik dipercepat setelah berhasil keluar dari rumahnya. Setengah berlari dan akhirnya mengambil langkah seribu. Entah kenapa Ia ingin pergi ketempat kemarin, dia tak memperhatikan jalan kemarin. Semoga dia bisa tiba disitu, dan bertemu Cakka.
Matahari mulai menyengat kulit, sedari tadi dia mencari tempat kemarin itu tapi tak ditemukannya. Syurrrr suara angin membelai kulitnya, seakan menyuruhnya untuk menengok kesamping kiri. Disana dia melihat jalan setapak. Disusurinya jalan setapak itu. Ketika melihat cahaya didepan, Oik mempercepat langkahnya. Dan, dia tiba ditempat kemarin. Jembatan bambu yang membentang diatas sungai, disana seorang lelaki duduk bersimpuh sambil memegang setangkai bunga matahari dan mencabut-cabut kelopaknya seolah menghitung, Oik datang tepat setelah kelopak terakhir dicabut. Dia kemudian membuang bunga matahari itu kearah sungai. Oik datang mendekat lalu duduk disampingnya.
“Sudah kuduga, pasti kamu datang lagi,” Katanya tersenyum penuh misteri kearah Oik.
“Aku tak tahu, kenapa aku datang lagi menemuimu disini,”
“Kamu pasti punya masalah,”
“Setiap hari masalah tak pernah lalu dari hidupku, hm by the way terima kasih kemarin telah mengantarkanku kerumah kakakku, aku heran dari mana kamu tahu rumah kakakku itu,”
Dia kembali tersenyum penuh misteri dan tak menjawab kata-kata Oik tadi, “Ada yang ingin kamu ceritakan?,”
Oik menarik nafasnya cukup panjang, “Ya, pagi yang suram,” Matanya mulai berkaca-kaca, “Ayah dan Ibuku bertengkar lagi, tadi pagi ketika aku baru bangun ada suara gaduh dan ternyata itu kedua orang tuaku yang bertengkar, aku… aku tidak sanggup dengan semua ini,” Kata Oik airmatanya sudah mengalir deras.
Cakka menenggelamkan Oik didadanya, membelai rambutnya. Berusaha agar gadis itu mendapatkan ketenangan.
“Satu yang ingin aku katakan padamu, masalah bukan untuk ditangisi, tapi untuk dihadapi,”

***

Hosh…hosh… Nafas Oik memburu, dia berlari mencoba menjauh dari kejaran pengawal ayahnya. Hari ini dia ada janji dengan kakaknya Zahra untuk bertemu memang nanti sore, tapi siang itu dia sudah mencoba kabur dari rumahnya. Akibatnya, pengawal ayahnya mengejarnya. Oik kemudian melihat sebuah gedung tua tak jauh dari situ. Dia segera mengambil langkah seribu kearah gedung tua tersebut dan bersembunyi disitu. Oik melihat pengawal ayahnya celingak-celinguk didepan gedung tua tempatnya bersembunyi saat ini.
Angin berhembus, membuat bulu kuduk Oik merinding berada ditempat ini. Angin disini terasa beda dari angin-angin biasanya. Tiba-tiba mulutnya dibekap oleh sebuah tangan dari belakang bersamaan dengan sebuah suara.
“Tenang,” Katanya.
Tangan itu menyeret Oik menaiki anak tangga gedung tua itu. Menyeretnya keatas gedung. Setelah berada tepat diatas gedung. Tangan itu membuka bekapannya dari mulut Oik. Oik segera berbalik dan mendapati seorang lelaki berdiri dihadapannya. Lelaki itu…
“Cakka,” Ucap Oik.
“Kenapa kamu seperti dikejar-kejar orang?,”
“Aku memang sedang dikejar pengawal ayah,” Kata Oik, Cakka mengernyitkan dahinya meminta penjelasan yang lebih dari Oik, “Hari ini aku punya rencana bertemu dengan kak Zahra, tapi ayah sudah pasti tak mengizinkan, makanya aku kabur, dan ketahuan pengawalnya, jadi aku dikejar-kejar,” Kata Oik.
“Kita duduk disana yuk,” Kata Cakka menunjuk tepi atap gedung sambil menggandeng tangan Oik.
“Ah, Cakka tidak… aku belum mau mati,”
“Tenang, selama ada aku disampingmu, kamu aman,” Kata Cakka.
Oikpun dengan ragu membuang langkah, tangannya masih dalam gandengan Cakka. Oik menatap bawah ketika mereka tiba tepat diatas gedung. Dia menelan ludahnya melihat aktifitas yang terjadi dibawah gedung. Jalanan. Kalau dia jatuh kebawah sudah dipastikan tidak akan selamat. Cakka duduk ditepi gedung menjuntaikan kakinya menggantung diudara tepat diatas jalanan.
“Ayo, ada aku disini,” Kata Cakka.
Oikpun duduk, dengan perlahan ikut menjuntaikan kakinya. Tangan kiri Cakka melingkari pinggang Oik. Mata mereka menyipit, karena sinar matahari yang lumayan pekat menghalangi pandangan mereka. Walaupun begitu, diposisi seperti itu, angin terasa menyejukan.
“Kamu tahu Cakka, sejak aku lahir orang tuaku tidak pernah akur. Setiap hari aku mendengar mereka bertengkar, dan tiap hari pula aku menangis, kalau aku menangis kak Zahra yang menenangkanku, aku heran kenapa ayah dan ibu menikah kalau setiap hari kerjaannya bertengkar terus. Belakangan baru aku tahu, ayah dan ibu menikah karena dijodohkan, dan ibu punya kekasih saat menikah dengan ayah dan ternyata sampai sekarang mereka masih berhubungan, itu yang membuat ayah marah dan menceraikan ibu,”
“Memang, tak semua pernikahan diawali dengan cinta dan tak semua cinta diakhiri dengan pernikahan. Terkadang harus ada yang mengalah, ayah dan ibuku begitu juga, aku tahu mereka juga tidak saling mencintai, ah lebih tepatnya mencintai materi, mereka menikah hanya untuk kepuasan materi, aku dan kakakku memang dipuaskan oleh materi, tapi tidak dengan kasih sayang, terkadang orang tua itu egois, tapi tak bisa dipungkiri, tanpa mereka kita tak akan ada,”
Keduanya terlibat percakapan tentang keluarga mereka masing-masing dan tak menyadari, hari mulai sore. Oikpun sadar kalau dia harus cepat-cepat bertemu dengan kakaknya. Setelah dirasa aman merekapun turun dari gedung tua itu.
Langkah kaki keduanya sejajar menyusuri jalan-jalan menuju tempat Oik dan Zahra janjian untuk bertemu. Mereka menuju taman kota, Oik mendapatkan pesan singkat kalau kakaknya telah menunggu disana. Beberapa menit kemudian mereka telah tiba ditaman kota. Zahra terlihat menunggu disebuah bangku taman. Kala Oik menghampirinya, Zahra menyambut dengan pelukannya. Angin mulai berhembus lagi, Oik dan Zahra melepaskan pelukan mereka. Tepat! Ketika Oik menatap kesamping Cakka telah lenyap.

***

“Oik, ayo siap-siap, kemasi barang-barangmu,” Kata ayahnya secara tiba-tiba kepada Oik yang sedang menonton dikamarnya. Oik mengernyitkan dahi kebingungan.
“Lho? Memangnya Oik mau kemana Yah?,”
“Ke Puncak, kamu butuh liburan sekaligus supaya kamu tidak bertemu dengan Zahra dan juga Shita,” Kata ayahnya lalu berjalan hendak keluar, “Bergegaslah, ayah tunggu sekarang!,”

Oik menuju puncak dengan perasaan sedih dihatinya. Ayahnya memang tak pernah mengerti apa yang diinginkannya. Sudah sejak kemarin Oik berada dipuncak, disana ia hanya ditemani sepasang suami isteri paruh baya yang menjaga villa milik ayahnya itu dipuncak. Disini dia sangat kesepian, tak ada ayahnya… tak ada ibunya… tak ada Zahra… dan juga tak ada Cakka… bisakah dia bertahan selama seminggu di Puncak kalau keadaannya seperti ini?.
Oik menjejakan kaki dikebun teh milik ayahnya, yang dikelolah oleh dua orang kepercayaan ayahnya. Kebun teh itu terhampar luas, warna hijau menyejukan penglihatannya. Udara sejuk diiringi kicau burung membuat perasaannya, setidaknya bisa tenang untuk beberapa saat. Angin sepoi-sepoi membelai kulitnya. Angin… angin… angin selalu mengingatkannya pada Cakka.
Ya Tuhan… semoga itu Cakka… Oik membatin sambil menutup matanya menikmati belaian angin.
“Bolehkah aku menemanimu?,” Sebuah suara mengagetkan Oik, Dia segera membuka matanya dan cepat-cepat menoleh kearah sumber suara. Matanya terbelalak kaget mendapati…
“Cakka, kenapa kamu bisa---,” Belum selesai Oik melanjutkan kata-katanya, Cakka mengulurkan tangannya.
“Bolehkah?,” Tanyanya tersenyum.
Oikpun mengangguk, menyambut uluran tangan Cakka dan tersenyum. Merekapun melangkahkan kakinya menyusuri kebun teh yang sangat indah itu. Saling membagi senyum, hingga mentari mulai kembali ketempat peristirahatannya. Cakka sedang membantu Oik menyeberangi sungai yang sangat jernih dengan menjejakan kaki diatas batu-batu besar yang menjadi jembatan penyeberang di sungai itu. Namun mereka terhenti tepat dibatu besar ditengah sungai.
“Kita duduk disini dulu yah Kka, aku capek,” Kata Oik duduk menyilangkan kakinya dibatu besar, Cakkapun ikut duduk disamping Oik. Suara aliran air menjadi musik ditelinga mereka. Oik menyandarkan kepalanya dibahu Cakka sambil bersenandung…
It was late in September
And I'd seen you before
You were always the cold one
But I was never that sure
You were all by yourself
Staring up at a dark gray sky
I was changed

In places no one will find
All your feelings so deep inside
It was there that I realized
That forever was in your eyes
The moment I saw you cry

***

Oik sedang menikmati makan siangnya, diruang makan yang ada diteras villanya. Udara siang itu cukup dingin menembus kulit. Tirai-tirai mulai bergoyang, angin lagi-lagi mulai menyapa Oik. Senyum mengembang dibibir Oik.
“Aku tahu itu kamu, Cakka,” Kata Oik.
Seikat mawar putih muncul tepat didepan mata Oik. Oik mendongakkan kepalanya keatas nampak Cakka sedang tersenyum kearahnya.
For you,” Ucap Cakka. Oik mengambil bunga mawar putih itu.
“Waw, thanks, padahalkan ini bukan hari ulang tahunku, ulang tahunku nanti bulan Januari, kau sudah repot-repot memberiku bunga ini,”
“Aku hanya ingin memberikannya padamu, seperti warna bunga itu putih, akupun begitu, memberikanmu itu bukan untuk suatu tujuan, murni aku memberikan ini karena aku mau,” Kata Cakka sambil duduk disamping Oik, “Makanlah, habiskan dulu makananmu baru kita lanjutkan pembicaraan kita,” Kata Cakka.
Oikpun melahap sisa makanan yang ada dipiringnya. Meneguk segelas air minum lalu mengelap mulutnya dengan serbet.
“Besok aku akan kembali ke Jakarta, makasih ya Kka, sudah menemaniku disini, padahal awalnya aku pikir ini akan menjadi liburan yang sangat menyedihkan untukku, karena ada kamu pikiranku itu tidak terjadi,” Ucap Oik.
“Ya, sama-sama, kalau begitu sampai ketemu di Jakarta,”

***

Sekembalinya Oik dari liburannya dipuncak, ayahnya menjadi overprotective padanya. Oik tidak bisa keluar kemana-mana, Ia harus tinggal dirumah terkurung didalam sangkar emas bagaikan burung yang tidak berdaya. Sebulan sudah dia terkurung, tanpa menemui ibunya, tanpa menemui Zahra, juga tanpa menemui Cakka. Dia sangat-sangat kesepian, memang airmata yang menghiasi hidupnya sudah berkurang, namun yang terjadi kini hampa. Ayahnya sedang pergi keluar negeri , kala itu dia sedang menonton sebuah siaran. Siaran itu sedang meliput tentang keluarga-keluarga pengusaha sukses. Ada Oik dan keluarganya, keluarga Rahardja serta heboh perceraian ayah dan ibu Oik. Mereka juga memprediksikan kalau Oik Putri Rahardja akan menggantikan tahta kepemimpinan ayahnya. Setelah liputan tentang keluarga Oik. Ada juga liputan tentang keluarga Negara yang merupakan rival ayahnya. Ayahnya dan juga Arwana Negara merupakan musuh bebuyutan dari dulu. Saling menjatuhkan, saling tindih menindih, saling bersaing. Awalnya, Oik tak tahu kenapa ayahnya sangat tidak suka dengan Arwana Negara, ternyata masalah itu. Arwana Negara adalah kekasih ibunya dulu dan masih saja berhubungan dengan ibunya yang juga merupakan pemicu perceraian ibunya dengan ayahnya. Diberita itu, memperbincangkan tentang putra Arwana Negara yakni Alvin Rainer Negara, yang mulai menjejaki dunia bisnis seperti ayahnya.
Tiupan angin mulai menyapu tubuh Oik, saat telepon rumahnya berdering. Oik segera mengangkat gagang telepon yang berada tepat disampingnya itu.
…Hallo…
…Hallo, nona Oik, didepan ada seorang pemuda yang ingin bertemu dengan nona…
…Siapa?...
…Dia tak mau menyebutkan namanya…
… Hm, Oke, aku segera turun, tunggu disitu…
Oik menutup gagang teleponnya. Mematikan televisi, kemudian mengambil jaketnya lalu berjalan keluar rumahnya.
Tiba di gate, dia melihat seorang lelaki bersama pengawalnya. Lelaki yang mengenakan jaket tebal berwarna hitam menoleh kearahnya. Dia mengenalinya, bahkan sangat mengenalinya. Oik segera menghambur memeluk lelaki itu.
“Aku… kangen kamu… Cakka,” Ujar Oik.
“Aku juga…,” Kata Cakka sambil mengecup ubun-ubun kepala Oik.
“Ayo masuk, temani aku didalam,” Kata Oik.
Cakka menggeleng, “Aku kemari hanya untuk memastikan kalau kamu baik-baik saja,”

***

La…la…la…la senandung Oik, dia tampak girang hari itu. Tujuannya satu, ketempat Ia pertama kali bertemu dengan Cakka. Dia sangat berharap Cakka ada disitu. Supaya bisa memberikan undangan ulang tahunnya kepada Cakka. Kali ini dia yakin pasti angin akan membawanya ketempat itu, meski dia belum hafal jalan kesana. Entah kenapa, jalan itu sulit sekali dihafal Oik.
Dan benar saja, Oik tiba dijalan setapak yang akan menghantarkannya menuju tempat itu. Seperti biasa, Cakka duduk bersila dijembatan yang membentang diatas sungai itu. Oik mendekat kearahnya dan langsung mengulurkan undangan kedepan mata Cakka.
“Apa ini?,” Tanya Cakka sambil mengambil undangan itu.
“Undangan ulang tahunku,” Kata Oik, kemudian duduk disamping Cakka dan mencelupkan kakinya disungai, “Kau harus berjanji datang keacara ulang tahunku,” Lanjut Oik.
“Baiklah… aku berjanji akan datang,” Kata Cakka.
“Janji?,” Ucap Oik sambil mengulurkan jari kelingkingnya.
Cakka tersenyum sambil menautkan jari kelingkingnya dijari kelingking Oik, “Janji… aku akan datang dengan caraku sendiri,”

***

Disebuah hotel mewah berbintang lima, tampak mobil-mobil mewah berjejer memenuhi parkiran. Di Ballroom hotel itu, sedang ada pesta. Itu pesta ulang tahun Oik. Oikpun nampak cantik dengan gaun putih panjangnya. Dengan make-up minimalis kecantikan alami Oik memancar. Namun sedari tadi tak ada gurat ceria sedikitpun diwajahnya. Dipandanginya tamu-tamu yang sedang lalu lalang, sebagian besar adalah kerabat bisnis ayahnya. Tak ada ibunya… Tak ada Zahra… dan tak ada tamu istimewanya… Cakka. Ayahnya memang sengaja menutup akses untuk ibunya dan Zahra masuk. Tapi, tidak dengan Cakka. Cakka punya undangan dan Cakka sudah berjanji untuk datang dihari ulang tahunnya. Tapi kenapa sampai sekarangpun Cakka belum datang?
Acara ulang tahun Oik berlangsung sangat mewah dan meriah banyak artis-artis yang dibayar mahal oleh ayahnya untuk ikut memeriahkan ulang tahun Oik. Tamu-tamupun mulai larut didalam pesta. Oik semakin gelisah menunggu Cakka yang belum datang. Padahal dia punya rencana memberikan potongan kue ulang tahun pertama untuk Cakka.
Rasa kecewa Oik, mulai pada puncaknya ketika pada saat memotong kue ulang tahunnya Cakka tak tampak batang hidungnya. Oik akhirnya memberikan potongan kue ulang tahun pertama untuk ayahnya.
Acara baru saja selesai, cepat-cepat Oik berlari meninggalkan hotel berbintang lima itu. Didepan sudah tak dijaga security dan tepat didepan pos penjagaan itu. Oik menemukan sebuah kotak yang berisi kue ulang tahun namun telah hancur tergeletak dijalan. Oik mengambilnya dan membukanya, didalam ada sebuah surat.
Oik sayang,
Ini kue ulang tahun buatan Ibu dan Zahra untukmu. Kamu masih ingatkan, dulu ketika kamu ulang tahun kita bertiga membuat kue ulang tahunmu bersama? Ibu harap kamu tak akan pernah lupa. Semoga kue ini bisa menjadi hadiah sepesial untukmu.
Selamat ulang tahun putriku…
Airmata Oik tumpah kembali membaca surat itu. Ini benar-benar ulang tahun terburuk didalam hidupnya. Belum pernah selama ini, disaat ulang tahunnya ia merasa sehancur ini.
Oikpun berlari bersama angin menuju sebuah tempat…

***

Cakka mendekat kearah Oik ditemani fireflies, kemudian menghapus airmata yang mengalir dipipinya dengan tangannya, “Jangan menangis lagi yah, aku sudah bilang padamu, aku akan datang dengan caraku sendiri,” Kata Cakka.
Oik langsung menghambur kepelukan Cakka fireflies mengelilingi mereka, “Aku… pikir… kamu… tak… akan… datang…,” Kata Oik terbata-bata karena tangisnya yang tersedu-sedu.
“Sudah jangan menangis lagi, sudah kubilang masalah bukan untuk ditangisi,” Kata Cakka.
“Tapi… bagaimana kalau dengan menangis… aku bisa mendapatkan… kelegaan?,” Tanya Oik, Cakka membelai rambut Oik.
“Yakinlah, ada cara lain untuk menemukan kelegaan itu, bukan hanya dengan menangis,” Ucap Cakka, dia melonggarkan pelukannya kemudian memegang kedua pipi Oik, sekali lagi menghapus airmata Oik dengan jari ibunya, “Aku ingin melihatmu tersenyum,” Ucap Cakka.
Oik menguatkan dirinya, menarik nafasnya panjang. Dan mulai mencoba membentangkan busur dibibirnya. Ia akhirnya tersenyum.
“Nah, seperti itu… kamu terlihat lebih cantik kalau seperti itu,” Kata Cakka. Oik jadi tersipu mendengarkan perkataan Cakka barusan. Pipinya memerah, wajahnya tertunduk. Cakka memegang dagu Oik lalu mendongakkan keatas.
“Maaf Ik, aku… tak punya hadiah yang berarti untukmu,” Kata Cakka.
Oik menggeleng, “Tak apa, kamu datang saat ini aku sudah sangat senang, apalagi waktu itu kamu telah memberikanku mawar putih, anggap saja itu hadiah darimu,” Ujar Oik.
“Aku ingin sekali memberimu hadiah… tapi hadiah yang akan dikenang selamanya,” Kata Cakka.
Oik mengernyitkan dahinya bingung, Cakka yang masih dalam posisi memegang dagu Oik. Mendekatkan kepalanya kearah Oik.
Sorry,” Ujar Cakka sebelum kepalanya semakin mendekat kearah Oik. Mata Oik kemudian membesar ketika bibirnya disentuh oleh sesuatu yang basah. Bibir Cakka. Ciuman pertamanya tepat diulang tahunnya. Awalnya, dia kaget. Namun kemudian matanya terpejam menikmatinya. First kiss last forever…
I wanted to hold you
I wanted to make it go away
I wanted to know you
I wanted to make your everything
Alright

I'll always remember...
It was late afternoon......
in places no one will find

***

Oik sedang diruangan kerja ayahnya. Kala itu, ayahnya sedang sibuk dengan laptopnya. Oik sengaja menemani ayahnya, mulai saat ini dia akan mencoba mengakrabkan diri dengan ayahnya. Dia tahu ayahnya baik, mungkin selama ini dia cemburu karena anak-anaknya lebih dekat dengan ibunya ketimbang dirinya. Makanya, dia mengekang Oik. Dan Oik berusaha, untuk merubah sifat ayahnya itu.
Oik duduk disebuah sofa tak jauh dari meja kerja ayahnya, diatas meja tepat didepannya ada sebuah majalah yang tergeletak diatasnya. Oik mengambil majalah tersebut. Ternyata itu majalah khusus yang memuat profil-profil keluarga pengusaha. Tanggal terbitnya sudah setahun yang lalu, tapi Oik penasaran dan membukanya. Halaman demi halaman dibukanya, kemudian dia terpaku kala melihat sebuah halaman. Matanya terbelalak melihat foto yang ada dimajalah itu. Foto Cakka bersama keluarga Negara? Oik membaca tulisan disamping foto tersebut…
Keluarga Negara.
Arwana Negara dan Ramona Nugrah
Putra Pertama: Alvin Rainer Negara
Putra Kedua: Cakka Windson Negara
Jadi? Cakka keluarga Negara? Rival ayah Oik?
“Yah, lelaki yang difoto ini siapa?,” Tanya Oik. Ayahnya mengalihkan pandangannya kearah foto didalam majalah yang ditunjuk Oik.
“Itu Cakka, putra kedua Arwana,” Jawab ayahnya kemudian.
Deg---, Jantung Oik.

***

Siang ini, Oik sedang ingin makan diluar. Belakangan ini, ayahnya sudah tidak terlalu mengekangnya, jadi dia sudah lumayan bisa bebas pergi kemanapun termasuk bertemu ibunya dan Zahra. Hanya, semenjak kejadian di ulang tahunnya itu, angin sudah tak pernah lagi menyapanya. Tepatnya, Cakka sudah tak pernah lagi muncul dihadapannya. Itu juga disebabkan, belakangan ini Oik sudah mulai terjun kedunia perbisnisan ayahnya. Akhirnya, dia tak ada waktu untuk pergi ketempatnya bersama Cakka. Padahal, Oik sangat ingin bertanya tentang apa yang dilihatnya dimajalah tempo hari.
Oik makan siang disebuah restoran tak jauh dari kantornya. Sebuah televisi terletak dipojok kiri restoran mempertontonkan wawancara dengan semua keluarga Negara, ada Arwana Negara, Ramona Nugrah, dan Alvin Rainer Negara. Aneh? Kenapa hanya mereka bertiga? Bukannya kata ayahnya dan menurut majalah yang Oik baca, kalau Cakka juga adalah putra keluarga Negara. Kenapa selalu hanya Alvin yang ditunjukan? Merasa tertarik Oik menghentikan sejenak acara makannya dan terpaku pada televisi itu.
Tiba-tiba sendok dan garpu yang dipegang Oik jatuh ketika pembawa acara ditelevisi itu menanyakan…
Katanya, ada yang ingin anda sekalian sampaikan mengenai almarhum Cakka?
Apa? Almarhum Cakka? Cakka sudah meninggal? Oik bagaikan disambar petir disiang bolong. Bergegas dia berlari meninggalkan restoran itu. Menuju kesebuah tempat…

***

Tap.. tap… tap… Langkah kaki Oik menjejaki jembatan itu kembali, sambil meneriakkan nama Cakka. Tapi, angin tak kunjung datang, angin tak kunjung menyapanya.
“Cakka… Cakka… Cakka… Kamu dimana? Bilang kalau yang aku dengar tadi bohong, kumohon,” Suara Oik menggema.
Tiba-tiba cuaca buruk menyapa, tadinya cerah matahari menyengat dengan sempurna kini kilat, guntur, petir dimana-mana kabut menutup sinar mentari. Angin yang sangat kencang menyambut Oik dan seakan menyeretnya kesebuah tempat. Oik hanya bisa mengikuti angin tersebut. Semoga bukan berita buruk.
Oik tersungkur tepat didepan sebuah batu nisan, dan membaca apa yang terukir diatas batu nisan tersebut…
Cakka Windson Negara
18 Agustus 1990 – 09 September 2011
Oik kaget melihat tulisan tersebut, airmatanya kembali tumpah seiring hujan yang mulai mengguyur membasahi tubuhnya. Ia tak menyangka, Cakka ternyata meninggal tepat disaat dia bertemu dengan Cakka pertama kalinya.
Angin kembali membelai Oik, kali ini lebih lembut. Wangi tubuh Cakka seakan tercampur dengan angin itu. Dan angin itupun mulai menjauhinya.
Cakka datang disaat yang tak terduga seperti angin, diapun pergi disaat yang tak terduga bersama angin…

Gone with the wind: End

Epilog

“Kenapa angin selalu bersamamu?,”
“Karena aku lahir dibulan Agustus, tepat ketika angin berhembus begitu kencangnya, bisa dikatakan aku ini anak angin, maka dari itu nama Windson diletakan ditengah namaku,”

***

Bridal Couple sedang berbaring diatas jembatan bambu yang membentang diatas sebuah sungai. Pria dan wanita itu nampak sangat bahagia mereka bertatapan tersenyum, kemudian mengangkat jari-jarinya keatas. Menerawang. Sepasang cincin pernikahan berwarna gold diatasnya ada diamond berwarna bening berbias rainbow. Ini saat-saat yang bahagia bukan?. Sang pria kemudian dengan gemas mencubit hidung sang wanita.
“Cakkaaaaa… sakit tahu!!!!!,”
Cakka malah berdiri dan hendak berlari, “Kalau bisa kejar aku, Oik sayang,” Kemudian mengambil langkah seribu. Oik memanyunkan bibirnya, mencoba berdiri dengan bridal dressnya yang nampak amat sangat ribet. Melepas higheels setinggi 9cm yang sedari tadi dipakainya. Mengangkat bridal dressnya itu sehingga setinggi lutut lalu mengejar Cakka yang sudah berlari didepannya menuju pohon rindang.
Hosh…hosh… Oik kelelahan berlari sampai dipohon rindang itu. Apalagi mengenakan bridal dress sungguh amat konyol.
“Kasihan isteriku, sini…,” Kata Cakka kemudian membenamkan Oik kedalam pelukannya.

Oik menangis tersedu-sedu melihat makam yang ada dihadapannya. Angin tadi begitu menyesakan. Dia tak pernah menyangka, Cakka yang dikenalinya adalah Cakka yang telah tiada. Ia larut didalam kesedihan, baru saja hidupnya berangsur bahagia kini kesedihan dan kesesakan itu kembali menghimpit. Dia membiarkan airmatanya terus tumpah, walaupun kata Cakka ‘masalah itu tidak untuk ditangisi’ tapi kali ini Oik perlu menangis. Diapun mengelus batu nisan Cakka.
“Yah, menangis lagi,” Sebuah suara berasal dari belakang Oik. Suara yang dikenalinya. Cepat-cepat Oik menoleh kebelakang.
“Cakka,” Kata Oik sambil mengucek matanya. Jangan-jangan dia sedang berhalusi nasi. Namun beberapa kali dia coba mengucek matanya. Dia tetap mendapati lelaki dengan rambut basah yang memegang sebuah payung dan mata almondnya sedang menatap kearahnya. Perlahan Oik berdiri mendekat kearah Cakka. Kemudian memegang pipi Cakka, herannya Cakka malah tertawa.
“Kau pikir aku ini hantu?,” Kata Cakka setelah menyelesaikan tawanya.
Oik mengangguk polos.
“Oke, baik dengar sini Oik Putri Rahardja, aku memang Cakka Windson Negara, dan ya itu memang makam dengan namaku, tapi dengar ceritaku ini yah,” Kata Cakka sambil menyerahkan sebuah album foto. Oik mengambilnya, dan membukanya dialbum foto itu terdapat potret dirinya dengan kegiatan sehari-harinya. Tapi bagaimana bisa?
“Kamu tahu, aku memperhatikanmu sejak dulu, lebih tepatnya aku menyukaimu sejak pertama bertemu denganmu disebuah acara perkumpulan anak pengusaha, kamu mungkin tidak mengetahuiku, yang pasti aku memperhatikanmu dari kejauhan, ya aku tahu kamu anaknya Pramudya Rahardja, rival ayahku maka dari itu aku tak berani mendekati, dengan menjadi pengagum rahasiamu aku diberi kepuasan, namun suatu saat ayah tahu kalau aku menyimpan rasa padamu, dia amat marah dan langsung menyuruh aku memilih, kamu dan dicoret dari daftar keluarga Negara atau tetap tinggal dan tetap menjadi keluarga Negara. Dan aku memilihmu, sehingga aku diusir dari rumahku. Tak mau publik tahu dan mencoreng nama baiknya kalau ayah mengusirku dari rumah dia membuat skandal ini. Skandal yang ada dihadapanmu. Makam dengan namaku. Mereka semua mengatakan kalau aku telah meninggal dan telah tiada. Begitulah, jadi kamu jangan menangis lagi yah, aku tak benar-benar meninggal,” Kata Cakka.
Oik memeluk Cakka dengan erat, seolah dia tak ingin Cakka meninggalkannya.
“Kemarin, ayah datang menemuiku meminta maaf atas semua yang terjadi, katanya dia sadar kalau dia salah, dia tak seharusnya bersikap seperti itu kepadaku, katanya juga semuanya telah membaik hubungan bisnisnya dengan ayahmu, makanya dia memintaku kembali, tapi aku tidak mau, karena kupikir ayah hanya pura-pura agar aku dan kamu terpisah. Ternyata ayah tak lantas menyerah, dia membuktikan kesungguhannya tadi, meminta maaf kepadaku lewat siaran televisi dan mengatakan pada publik kalau semua tentangku selama ini hanya rekayasa, aku merasa menjadi anak yang berdosa, sepertinya aku bukan ayah yang harus minta maaf tapi aku,” Lanjut Cakka.
“Aku juga, sepertinya aku harus meminta maaf pada ayahku,”

“Terima kasih yah Cakka,”
“Untuk apa?,” Tanya Cakka bingung.
“Karena kamu, kita semua bisa saling memaafkan, karena kamu aku kuat dan karena kamu airmata ini berubah menjadi airmata kebahagiaan, karena kamu keluargaku bisa utuh lagi, ayah dan ibu bisa bersatu kembali aku bisa bersatu dengan kak Zahra juga,” Kata Oik masih dalam dekapan Cakka.
Cakka menggeleng, “Ini bukan karena aku, tapi karena Tuhan, ini semua rencanaNya. Berterima kasihlah kepada Tuhan atas semuanya ini,” Kata Cakka.
Oik mengangguk mengerti dan berterima kasih kepada Tuhan dalam hatinya. Cakka melonggarkan pelukannya, kemudian menatap Oik, memiringkan kepalanya dan semakin mendekat kearah Oik. Oik memejamkan matanya. Angin berhembus membelainya. Cukup lama Oik memejamkan matanya tapi tak ada apa-apa. Saat Oik membuka matanya, Cakka sudah tidak berada dihadapannya. Oik panik…
“Cakka… Cakka…,” Panggilnya, “Cakka… jangan bercanda sama sekali tidak lucu,” Lanjut Oik.
Syurrrr, angin sekali lagi membelai Oik, saat seseorang mendekapnya dari belakang.
“Gimana kalau wedding kissnya dilakukan dalam posisi ini,” Ujar Cakka.
Oik memalingkan kepalanya kesamping, kepala Cakka sudah berada tepat dipundaknya. Sambil kedua tangannya melingkari pinggang Oik dan jemarinya menggenggam jari-jari Oik. Cakka mendekatkan kepalanya lebih dekat lagi kekepala Oik hingga akhirnya bibir keduanya bertaut.
Seperti pelangi sehabis hujan, itulah janji Tuhan. Bahwa, dibalik duka telah menanti harta yang tak ternilai dan abadi. Dibalik air mata yang tercurah, pasti ada kebahagiaan yang tak terhingga J

In places no one will find
All your feelings so deep inside
It was there that I realize
That forever was in your eyes
The moment I saw you cry

I think i saw you cry
The moment i saw you cry
I wanted to know you.

Recommended song: Cry-Mandy Moore.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...