TWO―MESSAGE
IN A BOTTLE
“―Someday you'll find someone special
again.
People who've been in love once usually do.
It's in their nature.―”
TANAH itu masih basah. Daun-daun masih dipenuhi embun
pagi. Sisa-sisa hujan masih berjatuhan dari atas genteng. Aroma khas pagi hari
menari-nari di sekitar hidungnya. Oik melangkahkan kakinya menuju belakang
rumahnya. Digalinya tanah di belakang rumahnya itu. Kejadian beberapa tahun
lalu terputar di dalam benaknya.
Seketika ia tersenyum mendapati sebuah botol dengan
secarik kertas di dalamnya. Botol bekas vodka yang ia comot dari koleksi botol
minuman almarhum ayahnya dulu. Almarhumah bundanya boleh punya buku diari yang
memuat banyak rahasia. Tapi dia juga punya sebuah rahasia ah bukan rahasia tapi
sebuah keinginan yang dia kubur bertahun-tahun lalu. Ia segera membuka tutup
botol tersebut. Secarik kertas yang digulung rapi secara silinder itu
dibukanya. Tulisannya beberapa tahun lalu… tulisan yang sudah mulai luntur
dimakan usia.
A
message in a bottle…
Kata
orang, menulis pesan dalam botol kemudian menghanyutkannya disungai akan bisa
mengabulkan segala permintaanmu. Tapi aku tahu permintaan ini tak akan pernah
dikabulkan, makanya kutanam saja. Sebagai lambang aku harus mengubur segala
keinginanku ini.
Aku
ingin seseorang berada di sampingku. Bukan ayah yang pemabuk juga bukan bunda
yang penjudi. Setidaknya seorang kakak. Yang bisa menjadi penyelamatku.
Bukan ayah yang menurunkan penyakitnya
padaku. Yang bisa menjadi penjagaku. Bukan bunda yang mengekang segala
tingkah lakuku. Aku mau seseorang yang bangga dan menyebut dia adalah orang
yang paling beruntung karena memilikiku. Bukan ayah dan bunda yang selalu
bertengkar mempertentangkan siapa yang menurunkan atau siapa yang mempunyai gen
pembawa penyakitku. Dan bukan keluarga yang tanpa cinta…
Tuhan…
aku tahu ini tidak mungkin. Tapi, tidak bisakah seseorang yang sakit sepertiku
merasakan kebahagiaan walau hanya secuil?
Semenjak kepergian bundanya. Dia merasa sangat
melankolis. Ditinggalkan di rumah yang mewah. Oh… tapi kekayaan itu tidak ada
apa-apanya. Ayah yang pemabuk dan tukang main perempuan yang menduduki kursi
DPRD karena politik kotor. Ibunya yang setelah kepergian ayahnya menghambur-hamburkan
uang kotor ayahnya menjadi dua kali lipat lebih kotor lagi dengan menjadi bandar
judi terbesar. Oik merasa kotor untuk menikmati semuanya. Tapi… bukankah dengan
uang-uang itu dia dibesarkan?
Kenapa kenyataan hidupnya begitu tragis? Mulai dari
semenjak kandungan dibenci bundanya. Dilahirkan tanpa cinta. Melihat ayah dan
bundanya bertengkar setiap hari. Dikekang layaknya bayi yang baru berusia
beberapa bulan. Punya penyakit turunan yang akan dibawa seumur hidupnya. Dan…
kini ia sebatang kara di tengah sangkar emas.
Mungkinkah ia harus mencari jalan kebebasan dengan
mencari kakaknya? Kakak yang selama ini diimpikannya?
***
25 Juli 1999
PRANGGG!!!
Pecahan beling botol vodka terdengar berserakkan di lantai. Oik kecil takut ia
bersembunyi di belakang lemari. Tiba-tiba terdengar jeritan ayahnya. Kemudian
teriakan bundanya.
“Bodoh! Sudah kubilang kan jangan pecahkan botol vodka
itu! Bahaya! Nanti aku repot mengurusi darah-darahmu yang bertebaran
dimana-mana,” marah bundanya, “Ateeeeee!!! Ineeeeeemm!!!” teriak bundanya memanggil
kedua pembantunya.
“Jangan berteriak membuat kupingku sakit,” kata
ayahnya.
“Ini demi keselamatanmu, kamu mau mati kehabisan
darah?” kata bundanya.
“Bilang saja kamu ingin cepat-cepat aku mati kan
memang?” ayahnya tidak mau kala.
Dua orang pembantu perempuan datang bersama dua orang
pembantu laki-laki. Mereka menopang tubuh ayahnya agar bisa duduk. Mereka
segera mengambil tindakan meletakkan kaki ayahnya lebih tinggi. Kemudian Ate
membersihkan luka tuannya dengan alkohol. Inem mencoba meredam pendarahan yang
terjadi di kakinya dengan mengikat kaki tuannya itu. Bundanya hanya melihat
tanpa melakukan tindakan apapun.
“Idha!! Kita belum selesai!” kata ayahnya.
Bundanya tersenyum meremehkan, “kamu urus penyakitmu
itu dulu baru kita selesaikan,” katanya.
“Inem kamu sapu pecahan belingnya dan pastikan Oik
tidak main-main ke daerah ini. Karena kalau dia juga kena pecahan beling juga
rumah ini akan banjir darah. Gara-gara kamu anakku juga punya penyakit keparat
itu!”
Inem segera pergi ke belakang untuk mengambil peralatan
untuk membersihkan pecahan beling. Ayah dan bunda Oik masih dengan tatapan
perang.
“Asal kamu tahu ya hemofilia itu bukan jenis penyakit
yang mudah diturunkan. Kalaupun aku hemofilia, dan kalau kamu bukan carrier. Pasti Oik tidak akan terkena
hemofilia. Karena kamu tahu hemofilia itu jarang temurun pada perempuan. Bahkan
tidak pernah! Ingat kamu itu carrier-nya!”
“Oh… hahahaha tidak pernah? Oik itu memang hemofilia
terima saja kenyataannya kalau kamu yang menyebabkannya begitu juga,” bundanya
tertawa garing, “so funny you know!
Kalaupun aku carrier, tapi kamu yang
membawa penyakit itu pada Oik! Dan jangan mengalihkan kesalahan itu padaku,”
kata bundanya.
“Dan kalaupun kamu menikah dengan orang yang diabetes
melitus anakmu juga akan diabetes melitus juga. Karena bagaimana pun kamu
pembawa sifatnya!” ayahnya tak mau kalah.
“Yakin aku pembawa sifatnya?” bundanya meremehkan.
“Yakin! Seyakin-yakinnya! Sudah kubilang hemofilia pada
anak perempuan itu jarang kalau ibunya bukan carrier!”
“Tetap itu salahnya yang punya hemofilia!”
“Kalau bukan karena menghargai persahabatan Papa dengan
Ayahmu aku nggak akan menikah dengan kamu!”
“Kalau bukan karena menyelamatkan keluargaku aku juga
nggak mau menikah denganmu!”
“Dan kamu dan keluargamu akan hidup melarat dan miskin
di jalan karena kamu anak yang durhaka. Orang tua yang bersusah payah
membanting tulang untuk kuliah anak mereka. Tapi anaknya bukannya kuliah malah
menghambur-hamburkan uangnya?” sindir ayahnya.
“Jaga mulut kamu! Kenapa bawa-bawa keluargaku dalam hal
ini?”
“Kamu yang mulai duluan!”
“Kamu…”
“Kamu…”
“Kamu…”
Dan lagi-lagi Oik melihat orang tuanya bertengkar hanya
karena hal yang klasik di dalam kehidupan rumah tangga mereka. Oik kecil
menangis di belakang lemari. Setelah Inem membersihkan pecahan-pecahan beling.
Dia pun menghampiri Oik yang bersandar di belakang lemari. Berusaha menghibur
majikan kecilnya itu. Oik pun dibawa Inem kembali ke kamarnya.
Oik tidur tengkurap di atas kasurnya. Samar-samar masih
terdengar pertengkaran ayah dan bundanya. Ia masih kecil untuk mengerti akan
semuanya ini. Tapi ia lelah mendengar semua yang terjadi pada keluarganya.
Ia pun tertidur dengan air mata mengalir di pipinya…
***
6 April 2010
Oik sedang tidur tengkurap. Gulingnya diletakkan di
dekat dagunya sebagai penahan dagunya itu. Inem mengelus-ngelus kepala majikan kecilnya
itu. TV Plasma di hadapannya sedang memutar sebuah FTV yang mengisahkan kisah
cinta anak SMA. Sedari tadi Oik tampak menikmati scene demi scene FTV itu.
Terkadang ia tersenyum namun tatkala juga raut wajahnya berubah sedih.
“Bi kenapa Oik nggak boleh sekolah ya kayak mereka?”
tanya Oik, “kenapa Oik hanya diizinkan home-schooling
yah sama Ayah dan Bunda? Padahal Oik kan pengin juga punya banyak teman
seperti mereka,” keluh Oik.
“Orang tuanya Non nggak mau kalau Non kenapa-kenapa di
sekolah, soalnya di sekolah menurut mereka terlalu ekstrim buat Non,” kata
Inem.
“Memang separah itu ya penyakit hemofilia sampai-sampai
Oik nggak bisa sekolah kayak mereka?” kata Oik.
“Nggak tahu Non kalau soal parah nggak-nya. Yang pasti
Bibi pernah dengar pembicaraan Tuan dengan Nyonya yang mengenai sekolah Non.
Katanya disekolah kalau Non luka siapa yang mau ngobatin? Trus kan Non sudah
dibuat daftar yang nggak boleh dikerjain sama Non. Kalau di sekolah nggak ada
yang ngontrol makanya Nyonya takut,” jelas Inem.
“Tapi kan Oik
juga pengin Bi punya teman-teman, bahkan punya sahabat. Dan Oik kan pengin
ngerasain punya pacar kayak si Kintan di FTV itu,” kata Oik polos.
“Nanti juga Non punya teman-teman, punya sahabat juga,
Non juga punya pacar. Non kan cantik pasti banyak yang mau sama Non,” kata
Inem.
“Bahkan kalau mereka tahu aku pengidap hemofilia?”
tanya Oik.
Inem tidak menjawab. Dia bingung mau menjawab apa pada
majikannya ini. Seketika hening menyergap ruangan itu. Yang terdengar hanyalah
percakapan para aktor dan aktris yang sedang memainkan perannya di layar plasma
yang terpasang di hadapan mereka.
“Bi… jatuh cinta itu gimana sih rasanya?” tanya Oik
memecah keheningan.
Inem bingung bagaimana menjelaskan definisi cinta untuk
anak umur 17 tahun tapi belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta. Dia
memutar otaknya mencari kata-kata yang tepat. Dia tidak ingin penggambaran
seperti jantung berdebar kencang, hati bergetar hebat, napas tiba-tiba tak
terkendali, dan lain sebagainya. Karena dia tahu Oik berbeda dari anak-anak
seusianya.
“Jatuh cinta itu… seperti gula,” kata Inem akhirnya.
Oik terlihat bingung ia mengernyit, “kok gula?”
tanyanya heran.
“Iya… gula, Non tahu kan rasanya gula?” tanya Inem.
Oik mengangguk, “manis,” kata Oik.
“Seperti itulah jatuh cinta… manis, tapi Non pasti
nggak tahu kan cara pembuatannya?”
Oik menggeleng sambil menunggu Inem melanjutkan
kata-katanya.
“Gula itu harus melewati banyak proses seperti
ekstraksi, pemurnian, pemanasan dan evaporasi, kristalisasi, sentrifugasi,
serta pengeringan sebelum tebu yang keras itu menjadi butir-butir gula. Jadi
jatuh cinta itu nggak instan, dia harus melewati berbagai proses dulu sebelum
menghasilkan sesuatu yang manis,” kata Inem.
Oik mengangguk-angguk.
“Tapi…” Inem menyambung lagi.
“Tapi apa Bi?” tanya Oik penasaran.
“Jatuh cinta itu juga seperti kopi, Non tahu kan
rasanya kopi?” tanya Inem lagi.
Oik mengangguk, “pahit,” jawabnya.
“Kopi itu memang pahit. Tapi banyak manfaat untuk
kesehatan juga dari mulai mencegah penyakit jantung sampai mengatasi perubahan
suasana hati dan depresi. Begitu pula cinta kadang nggak selalu manis, kadang
juga pahit. Tapi lihatlah pelajaran yang diberikan cinta untuk kita ke
depannya, agar kita bisa melangkah lebih baik di masa depan,” kata Inem lagi.
Lagi-lagi Oik mengangguk-angguk.
“Tapi cinta juga seperti kembang api,” kata Inem lagi.
Oik kembali mengernyit, “kembang api?”
Inem mengangguk, “iya kembang api, kadang meletup
kadang redup tapi menghasilkan sesuatu yang indah sampai kamu tak ingin kembang
api itu berakhir. Begitu pula cinta kadang meletup kadang redup tapi percayalah
itu membawamu kepada sebuah tujuan. Sebuah tujuan yang indah dan abadi ataupun
hanya hilang di telan masa,” kata Inem.
Kali ini Oik benar-benar tidak mengerti dengan
perkataan inem itu, “maksud Bibi?” tanya Oik.
“Jawabannya ada di dalam hatimu sayang,” kata Inem.
Oik masih sibuk memikirkan perkataan Inem. Ia
menghiraukan FTV yang telah selesai dengan happy
ending itu. Ia mencoba memahami apa yang pembantunya katakan itu. Kemudian
telepon rumahnya berdering membuatnya berhenti dari pikirannya itu dan
menyaksikan pembantunya berjalan ke arah telepon di kamarnya lalu
mengangkatnya.
Inem terlihat kaget mulutnya menganga. Matanya
berkaca-kaca. Ia terlihat shock
sebelum menutup teleponnya dan kembali berjalan ke arah ranjang Oik.
“Non… Non kuat ya,” katanya menghibur membelai Oik.
Padahal Oik bingung apa maksud pembantunya itu.
“Kuat kenapa Bi?” tanya Oik.
“Tuan… Tuan baru saja meninggal di rumah sakit.
Pendarahan di dalam otaknya akibat benturan waktu jatuh di tangga kantornya.”
Oik shock.
Ayahnya telah berpulang.
***
Oik mengemasi barang-barangnya di dalam sebuah koper
dibantu oleh Inem dan Ate. Besok ia akan berangkat ke Yogyakarta menemui
kakaknya yang dikatakan bundanya. Rumah keluarga Oik akan dijaga oleh Farah dan
keluarga. Farah adalah adik dari bundanya Oik. Seperti yang dikatakan pada
surat wasiatnya, bahwa Farah yang akan menempati rumahnya. Aneh saja Oik
sebagai anaknya bahkan tidak mendapat sepeserpun dalam peninggalan bundanya―dan
memang Oik tidak mau sepeserpun karena sebagian besar harta mereka adalah
haram.
Inem dan Ate serta pembantu-pembantu yang lain juga
akan pulang ke kampung halaman mereka. Jadi bagi Oik, tidak ada hal yang
membuatnya bisa bertahan tinggal di rumah itu. Bundanya mau kan ia dijaga?
Kalau Inem dan Ate serta yang lainnya tidak ada siapa yang mau menjaganya? Ia
tidak yakin dengan keluarga-keluarga orang tuanya itu. Jadi ia lebih baik
mencari kakaknya itu bukan?
“Non yakin mau pergi ke Yogyakarta sendirian?” tanya
Inem.
“Yakin Bi,” kata Oik sambil memasukan kaosnya ke dalam
koper.
“Tapi Non belum pernah berpergian jauh. Kalau Non ada
apa-apanya bagaimana? Nanti Bi Ate dan Bi Inem merasa bersalah membiarkan Non,”
kata Ate.
Oik berhenti menatap kedua pembantunya itu, “Oik nggak
apa-apa kok Bi. Cukup doa dari Bi Ate dan Bi Inem saja sudah cukup kok. Yakin
Oik sampai Yogyakarta dengan selamat,” katanya meyakinkan.
Ate dan Inem saling pandang-pandangan. Mereka berat
melepaskan majikannya itu.
“Kalau begitu Non pulang ke Solo bareng Bi Inem aja
dulu, nanti baru Bi Inem antar ke Yogyakarta,” kata Inem.
Oik menggeleng, “Oik bisa kok. Oik nggak mau ngerepotin
Bi Inem atau pun Bi Ate. Makasih ya sudah mau bantu bunda menjaga Oik dari
kecil. Oik bakalan kangen banget sama kalian berdua,” kata Oik.
Keduanya segera memeluk Oik. Mereka sudah menganggap
Oik seperti anak mereka sendiri. Karena dari kecil Oik bersama-sama dengan
mereka. Kedua wanita itu berkaca-kaca. Seakan mereka akan kehilangan putri
mereka yang akan merantau.
“Bibi juga akan kangen sama Non,” kata Ate.
Inem menghapus air matanya menggunakan jemarinya, “nanti
kalau sudah ketemu kakaknya Non janji ya bakal selalu ingat kita,” kata Inem.
Oik mengangguk, “Oik sayang Bi Inem dan Bi Ate, pasti
Oik akan selalu ingat,” kata Oik sambil melepaskan pelukannya.
“Kalau kakaknya Non Oik ganteng, nggak boleh jatuh
cinta ya sama dia, dia kan kakaknya Non,” kata Inem berusaha bercanda di
tengah-tengah keharuan yang ada.
Seketika mereka bertiga tertawa bersama.
***
2 komentar:
lanjut kak.........
Great. Bikin mata sedikit berkaca-kaca :)
Posting Komentar