TWO―HEARTACHE
“―Nothing can cure my headache
Cause I’m experiencing what they call heartbreak―”
SEMILIR angin malam itu terasa menenangkan. Tapi, tidak
cukup menenangkan untuk Cakka yang duduk di balkon kamarnya. Menatap bintang
yang menurutnya tak seindah biasanya. Sial! Sudah setahun belakangan ini ia stuck dengan yang namanya Shilla.
Apa-apan ini? Ia tidak pernah seperti ini. Wanita itu harusnya bertanggung
jawab dengan semua yang terjadi padanya. Bukannya gagal move on cuma buat cewek yang menye-menye?
Tiba-tiba saja Cakka merasakan sakit kepalanya.
Seharusnya sudah cukup sampai di sini. Shilla sudah bahagia dengan pasangannya.
Ia tidak boleh merasa menderita di bawah kebahagiaan orang. Apa lah namanya ini?
Sakit hati? Patah hati dan semacamnya? Cakka belum pernah merasakan yang
seperti ini.
Ia segera berjalan ke arah kamarnya. Menghempaskan
tubuhnya di atas masterbed. Menatap
langit-langit kamarnya. Bukannya membuat sakit kepalanya sembuh malah membuat makin
sakit kepalanya. Karena dalam keadaan tenang dan sendirian di kamar
mengingatkannya pada penghinaan Shilla di café itu.
“Arrrrgggghhhh,” teriak Cakka berdiri kembali langsung
menyambar jaketnya yang tersampir di sofa kamarnya.
Ia segera menuju pintu kamarnya membuka pintu kamarnya
lalu membantingnya dengan kasar. Cakka segera berjalan turun dari kamarnya
menuju lapangan parkir. Mengambil BRZ-nya lalu menyetirnya memecah jalanan
Jakarta malam itu.
Kembali pada kebiasaan lamanya. Kembali kepada dunia
lamanya. Ia terus menyetir sampai ke sebuah jalanan yang ramai oleh pemuda dan
pemudi dengan mobilnya masing-masing. Dari sinilah pertama kali ia bertemu
dengan Shilla. Dari dunia ini. Dan ia ingin mengakhirinya dari dunia ini juga.
Cakka segera memarkir BRZ-nya sejajar dengan
mobil-mobil yang sudah berjejer di situ. Ia kemudian turun dari situ. Beberapa
gadis menyambutnya. Gadis-gadis itu tampak liar dengan rok mini dan tubetop.
“Hai Kka, udah lama nggak kemari. Tumben kemari lagi,”
kata seorang gadis dengan make-up yang
lumayan tebal.
“Memangnya gue nggak boleh ya balik sini lagi?” tanya
Cakka dengan tatapan tajamnya ke arah tiga gadis yang ada di hadapannya.
“Boleh kok. Boleh banget malah,” kata gadis yang
rambutnya tergerai dengan antusias.
Seorang lelaki berjalan ke arah Cakka. Tiba di depan
Cakka dia segera menyunggingkan senyum setengahnya, “berani lo kemari lagi?”
tanyanya lebih terkesan menyindir.
“Gue nggak akan pernah takut sama lo Sion!” kata Cakka.
“Kalau begitu masih berani kan lo turun ke jalan?”
tantang Sion.
“Natuurlijk(*),” kata Cakka dengan tatapan penuh keyakinan.
“Oke! Taruhannya BRZ lo sama
CR-Z gue,” katanya.
“Okee. Tot ziens in de
auto(**),” kata Cakka tak kalah sinis.
Ia segera melangkah masuk ke
dalam BRZ-nya dan membawa BRZ-nya itu ke depan garis start. Banyak yang
sudah berkumpul di garis start. Mereka semua terlihat antusias.
Meneriaki nama jagoan mereka masing-masing. Sion baru tiba dengan CR-Z-nya di
samping BRZ Cakka. Seorang gadis yang mengenakan hotpants dengan tanktop
membawa sebuah bendera. Ia mulai mengibarkannya di udara tanda Cakka dan
Sion harus segera bersiap-siap. Sekali lagi gadis itu mengibarkan benderanya
sebelum ia menutupnya dan CR-Z dengan BRZ itu berlomba menyusuri jalan.
Balapan liar. Setelah pulang
dari menuntut ilmunya di Negeri kincir angin. Dulu Cakka hidup di sini. Ia
sering ikut taruhan balapan liar setiap malam. Sebelum ia bertemu Shilla di
situ. Shilla adalah satu diantara gadis-gadis yang menggunakan rok mini dan tubetop
atau tanktop. Menemani para jokey malam itu. Dari one
night stand, hubungan mereka berlanjut. Dan memutuskan untuk keluar dari
dunia malam nan liar itu. Untuk menjalani cinta mereka. Ya… cinta yang bullshit
itu.
Cakka fokus pada jalanannya
berusaha melupakan Shilla. Tujuannya hanya satu. Memenangkan pertarungan ini!
CR-Z Sion masih berada di depan BRZ Cakka. Ia tersenyum sinis.
Tidak semudah itu Sion…
Cakka kembali memacu BRZ-nya meninggalkan CR-Z Sion di
belakangnya. Terjadi kejar-kejaran antara keduanya. Pertarungan sangat sengit.
Keduanya tidak mau saling mengalah. Sorak-sorai penonton terdengar riuh.
Adrenalin keduanya terpacu. Mereka semakin menjadi di jalanan. Sedikit lagi
tiba di garis finish. Cakka segera
menginjak gasnya dan membuatnya menjadi yang pertama tiba di garis finish.
Semua langsung berkerumun di depan BRZ-nya. Banyak yang
bersorak mengelu-elukan namanya. Cakka segera turun dari BRZ-nya. Menghampiri
Sion yang juga baru turun dari CR-Z-nya dengan tatapan tidak terima.
“Verliezer(***),”
kata Cakka menatapnya sinis sambil mengulurkan tangannya menuntut kunci
CR-Z-nya Sion.
Dengan terpaksa Sion menyerahkan kunci CR-Z itu ke
tangan Cakka. Kemudian dengan geram berlalu dari situ. Cakka tertawa menyindir.
Setidaknya, seperti ini bisa membuatnya sejenak
melupakan Shilla.
***
Cakka membuka pintu apartemennya. Ia sempoyongan
berjalan masuk ke dalam. Jam sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi. Cakka baru
pulang, semalam setelah ia memenangkan balapan. Ia mentraktir semua temannya di
bar. Alhasil, ia akhirnya pulang pagi.
Ini untuk pertama kalinya ia pulang pagi semenjak tiga tahun lalu.
“Cakka! Astaga! lo mabuk lagi?” tanya Alvin saat Cakka
memasuki ruang tamu.
“Hou je mond!
Je geen zorgen(****),”
kata Cakka.
“Gue nggak ngarti lo pake bahasa Belanda kayak gitu.
Mentang-mentang lo kuliah di sana trus lo pake bahasa sana melulu. Kan percuma
Mama sama Papa kuliahin lo jauh-jauh ke sana tapi kelakuan lo nol kayak gini,”
kata Alvin.
“Gue bilang lo diam aja. Nggak usah khawatir sama gue.
Lagipula kan dulu gue bilang gue nggak mau pulang ke Indonesia lagi tapi Mama
maksa kan gini jadinya. Gue kan kuliah di sana buat ngurus perusahaan Papa yang
ada di sana bukan balik ke Indonesia kayak gini, ik niet bevalt(*****),” kata Cakka.
“Sebenarnya sih gue nggak khawatir sama lo. Dih ngapain
gue ngurusin orang keras kepala kayak lo. Mending gue ngurusin anak dan isteri
gue. Cuma Mama nerima laporan dari pembantu lo katanya lo nggak pulang tadi
malam. Mama khawatir sana! Mama tuh sayang banget sama lo makanya dia nggak mau
lo ada apa-apanya di Negeri orang makanya dia suruh lo pulang kemari.”
“Tapi gara-gara gue pulang kemari gue malah ada
apa-apanya kan? Mending gue di sana nggak pernah ngerasain yang namanya cinta bullshit. Senang-senang sama cewek siapa
aja. Daripada di sini gini kan jadinya?”
“Gue rasa Shilla nggak bakalan nyesel ninggalin lo! Lo
perlu pembelajaran Cakka untuk menghargai bentuk cinta yang sebenarnya.”
“Halah! God
vermond! Gue nggak perlu tuh belajar begituan. Dan sekali lagi gue
peringatin sama lo, jangan sebut-sebut Shilla lagi di hadapan gue. Gue muak!”
kata Cakka langsung berjalan masuk ke kamarnya dan membanting pintu.
Alvin menghela napasnya. Menggeleng-gelengkan
kepalanya. Sebelum mengambil langkah keluar dari apartemen saudara kembarnya
itu.
***
Botol vodka dimana-mana. Kamar itu berantakan. Asap
rokok membuat ruangan itu terasa semakin sesak. Cakka duduk di atas masterbed kamarnya. Sambil menyesap
rokok yang ada di tangannya. Kemeja putih yang dikenakannya terbuka semua
kancingnya. Memperlihatkan badannya yang kekar. Seorang gadis yang kepalanya
dipangkuan Cakka. Tangannya menelusuri setiap lekuk otot-otot Cakka. Seperti
melukiskan setiap keindahan yang ada di hadapannya itu.
Tadi malam Cakka baru menghadiri pernikahan temannya. Sebenarnya
semenjak pernikahan Shilla. Ia sudah muak menghadiri pernikahan-pernikahan yang
lain. Namun, karena ini teman baiknya. Ray temannya itu, seorang musisi yang
terkenal dan mempunyai nama di Indonesia. Temannya sejak kecil. Jadi walau bagaimana
pun ia menghadirinya.
Dari situ, ia bertemu lagi dengan teman lamanya. Merasa
nyaman berbagi dengannya lagi. Mereka mengakrabkan diri lagi di apartemen
Cakka. Bernostalgia sebagai kawan lama. Minum-minum dan berakhir di ranjang.
Kembali pada kebiasaan lamanya lagi.
“Lo lagi stress ya Kka?” tanya gadis itu.
“Udah deh Cha, lo nggak usah banyak tanya,” kata Cakka.
“Ya, nggak gue heran aja,” katanya masih dengan aktivitas
pada otot-otot Cakka, “soalnya, bukannya tahun lalu gue dengar lo mau nikah
gitu, tapi pas gue lagi di Aussie itu sih, gue dengar dari Gita katanya lo udah
nyebar undangan, waktu Gita bilang itu ke gue, sumpah gue ketawa, lo mau nikah?
Yang benar aja, lo kan paling nggak percaya sama yang namanya cinta itu, cinta
satu malam mah iya,” katanya diakhiri tawa, “emang lo cinta sama dia?” tanyanya
kemudian.
Cakka menghembuskan asap rokoknya, “Ik houd van haar, I love her, gue cinta dia. Lo pasti pikir lucu. Tapi memang itu
kenyataannya. Tapi dia ninggalin gue waktu sebulan sebelum pernikahan gue sama
dia, dan beberapa minggu lalu dia nikah sama orang lain,” kata Cakka.
“Lo heartache ya?
Astaga seorang Cakka heartache, hebat
banget cewek itu,” katanya lebih terkesan menyindir.
“Udah deh, lo nggak usah nyindir gue,” kata Cakka.
“Itu karma kali Kka, lo nggak tahu seberapa banyak kan
cewek-cewek yang heartache karena lo
dulu? Termasuk gue, tapi itu dulu ya,” katanya.
“Mau heartache kek,
heartbreak kek atau apapun
semacamnya. Gue janji ini yang terakhir kali gue kayak gini. Berikut nggak ada
lagi yang kayak gini, dan gue nggak percaya sama yang namanya karma, gue
percayanya hukum tabur-tuai,” kata Cakka.
“Oh c’mon Kka,
lo udah dua puluh delapan tahun saatnya jalani sesuatu dengan serius. Nggak
apa-apa kali kalau lo heartache. Itu
normal kok,” katanya.
“Gue udah pernah jalani dengan serius, tapi toh nggak
ada hasilnya. Jadi mendingan gue balik lagi kayak dulu,” kata Cakka kemudian
menyulutkan rokoknya ke dalam asbak. Lalu beringsut dari masterbed-nya. Mengunci kembali satu per satu kancing kemejanya.
“Ya… itu sih terserah lo ya, pilihan lo, cuma kalau
menurut gue lo butuh seseorang yang membuat lo percaya kalau cinta itu
sebenarnya nggak bullshit,” katanya
sambil ikut berdiri mengambil gaunnya dan memakainya.
“Lo suruh gue buat percaya cinta itu nggak bullshit, tapi lo sendiri juga nggak
percaya kan?”
“Gue percaya kok. Cuma gue belum nemu aja sekarang,”
katanya.
“Trus maksud lo orang yang bisa buat gue percaya kalau
cinta itu nggak bullshit lo gitu?”
tanya Cakka sambil mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu. Matanya yang tajam
menatap kedua bola mata cokelat gadis itu.
“No… no, bukan
gue. I’m not a good girl and you know that. Lo butuh orang yang benar-benar baik.
Yang kehidupannya seratus delapan puluh derajat dari lo,” katanya.
“Maksud lo gadis-gadis kampungan begitu? Gue harus cari
gadis kampung? Buat ngobatin sakit hati gue?”
“Ya nggak gitu juga kali. Ah! Susah deh bicara sama
orang kayak lo. Ganti topik,” katanya sambil duduk di sofa kamar Cakka, “Alvin
apa kabar?”
“Kenapa? Lo kangen sama dia?” Cakka balik bertanya dan
duduk di sampingnya.
“Ck, gue tanya lo malah balik tanya,” keluhnya.
“Baik dia. Apalagi kan sekarang dia udah settle down. Kenapa lo nggak datang
waktu dia nikah?”
“Gue kan udah bilang tamat SMA gue di Aussie, sampe
sebulan lalu baru gue balik ke sini,” katanya.
“Hm,” respon Cakka singkat.
“Ketemu lo sama Alvin, gue sadar kembar itu nggak
selalu sama, Alvin good boy banget,
tipe-tipe warm yang bikin cewek melted, kalau lo bad boy di atas playboy,
tipe-tipe hot yang bikin cewek―,”
“Horny,” potong
Cakka cuek.
“Cakka boleh nggak pikiran lo sedikit aja jauh dari
yang seperti itu, gue belum selesai,” protesnya.
“Habisnya lo bilang hot.
Lo sendiri juga kan horny waktu sama
gue. Jadi gue nggak salah kan?”
Perkataan Cakka itu sukses membuat pipi gadis itu
merona, “okay, I think that’s over. I
should go now, gue mau ke kantor bokap dulu. Lo nggak ngantor?”
Cakka menatap arlojinya, “iya bentar lagi,” katanya.
Gadis itu beringsut dari tempat duduknya mengambil tas
dan kembali memakai stiletto-nya.
Merapikan rambutnya kembali lalu berjalan membuka pintu kamar Cakka. Sebelum ia
keluar. Ia berbalik menatap Cakka yang kembali memasang rokoknya.
“Tapi bener deh Kka, pikirin yang gue bilang tadi.
Kalau lo mau ngobatin heartache lo
bukan dengan cara balik ke kehidupan lama lo. You must try to find someone who can make you believe again in love.
Good girl who deserve to accept your love
with all her heart and life,” katanya sebelum berjalan hendak keluar.
“Acha,” panggil Cakka.
Gadis itu menoleh mengangkat setengah alisnya.
“I don’t understand,”
kata Cakka.
“Ask your heart,
by the way thanks for the last night.
Nice to see you again,” kata Acha sebelum benar-benar keluar meninggalkan
Cakka di kamar apartemennya.
Cakka mengangkat kedua bahunya kemudian
menggeleng-gelengkan. Menghembuskan asap rokok dari mulutnya memenuhi ruangan
itu kembali.
Tanya hatinya? Kalau hati yang sakit apa bisa ditanya?
Ya apapun itu. Mulai hari ini Cakka benar-benar akan melupakan Shilla. Mungkin
dengan sebuah rencana yang sudah ada di dalam benaknya.
***
(*) Tentu saja
(**) Baiklah. Sampai jumpa di mobil
(***) Pecundang
(****) Diam! Tidak usah khawatir
(*****) Aku tidak menyukainya
0 komentar:
Posting Komentar