Minggu, 31 Maret 2013

BELIEVE―THREE―[MAMA’S BOY]

THREE―MAMA’S BOY
“―Can’t run away and leave my mama alone
Cause I’m her boy, mama’s boy―”

DILAHIRKAN sebagai anak kembar. Cukup membuat Cakka sedikit frustasi. Bagaimana tidak? Ia selalu dibanding-bandingkan dengan kakak kembarnya itu. Padahal mereka adalah dua pribadi yang berbeda bukan? Kadang ia geli sendiri mengingat dulu waktu mereka masih kecil mamanya memakaikan baju dengan warna yang sama, motif yang sama, apapun selalu sama bahkan sampai underwear-nya pun sama. Tapi hebatnya mamanya selalu tahu mana Cakka dan mana Alvin, prok-prok.
Cakka mulai berontak tidak mau memakai sama lagi ketika ia mulai mengenal yang namanya ‘pacaran’ dan ajaibnya itu waktu kelas enam SD. Di saat Alvin masih bermain dengan mobil-mobilan. Apalagi ditambah kesukaan mereka yang berbeda. Cakka semakin jengkel ketika dia yang pecinta tokoh Spiderman bajunya Batman semua gara-gara kakak kembarnya itu suka Batman. Padahal Cakka paling benci kelelawar. Err.
Alvin tumbuh jadi anak yang berprestasi dalam bidang akademik. Dia selalu jadi bintang kelas dan membuat papanya selalu mengelu-elukannya. Cakka juga tidak mau kalah. Tentu saja dia juga menjadi anak yang berprestasi. Tapi berprestasi dalam menaklukan hati gadis-gadis. Dan tentu saja dia juga bintang. Bintang di hati banyak gadis di sekolahnya. Tidak hanya di sekolah tapi di luar sekolah juga banyak. Bukan membuat papanya mengelu-elukan namanya tapi malah membuat papanya mengoceh setiap hari untuknya. Karena hampir setiap bulan ada orang tua gadis-gadis yang datang untuk meminta pertanggungjawaban Cakka atas anak mereka. Ada yang hampir bunuh diri karena diputusin Cakka. Ada yang dirawat di-ICU karena minum baygon ketika mengetahui pacar Cakka tidak hanya dia. Ada yang nyilet-nyilet karena cintanya ditolak Cakka. Ada juga orang tua yang minta tanggung jawab supaya Cakka menikahi anaknya. Hellow gue masih SMA. Karena anaknya sudah tidak virgin gara-gara Cakka. Hellow dia yang mau, gue nggak minta, yang penting dia nggak hamil kan? Gue diajarin guru kok buat safe sex. Dan perkataan Cakka seperti itu selalu dihadiahi tamparan dari orang tua korban-korbannya. Whatever! Untungnya Cakka punya mama yang selalu membelanya. Jadinya setidaknya kalau papanya tidak berpihak padanya fine! Masih ada sang mama.
Pertama Cakka mengira Alvin gay. Secara sampai SMA, Alvin belum pernah yang namanya pacaran. Padahal ia saja sudah tak terhitung berapa kali pacaran. Mungkin pacaran sama kayak gonta-ganti underwear sana-sini. Makanya Cakka sedikit ‘agak’ menjauh dari Alvin. Tapi, semenjak kelas dua SMA ada seorang murid baru namanya Sivia dan membuat Alvin jadi tergila-gila padanya lebih dari orang gila. Kenapa Cakka bilang begitu? Karena Alvin memang benar-benar gila karena gadis bernama Sivia itu. Semua bukunya di belakangnya tertulis nama Sivia―yang menurut Cakka norak. Bahkan kalau malam ngigo nama Sivia. Mungkin juga wet dream gara-gara Sivia. Oops. Tapi hebatnya Alvin, walaupun ‘gila’ tak menurunkan prestasinya. Alvin minta tolong Cakka menyusun strategi untuk mendapatkan Sivia. Karena Cakka lebih berpengalaman dalam masalah menggait cewek. Dari situlah mereka baru benar-benar dekat sebagai saudara kembar.
Alvin akhirnya berhasil mendapatkan Sivia. Alvin tentunya berterima kasih kepada saudara kembarnya itu. Dan tanpa diminta Cakka, Alvin malah menawarkan diri mengerjakan seluruh PR-nya selama satu minggu. Sebenarnya Cakka bukan tipe anak yang bodoh banget dalam akademik. Ia termasuk dalam kaum yang sedang-sedang saja. Kalau cuma PR ia juga bisa mengerjakannya. Tapi… mumpung ada kesempatan dimanfaatkannya. Dan baru itu pula ia melihat kembarannya itu peduli sama yang namanya ‘cewek’. Ia terlihat begitu menyayangi Sivia. Melindunginya dari apapun. Tidak seperti Cakka yang ‘merusak’ dari segi apapun. Jujur saja, selama dia pacaran dari SD itu, awalnya cuma coba-coba. Pertama kali pacaran itu terasa biasa aja tidak ada yang istimewa dari jalan bareng, makan bareng di kantin, duduk dekat-dekatan. Apalagi ya… hm, mungkin cuma membuat Cakka rajin sekolah biar bertemu dengan pacarnya itu. Karena merasa biasa aja ia memutuskan pacarnya itu. Saat SMP semuanya terasa lebih berbeda, ia coba-coba lagi dengan kakak kelasnya. Dan tentu saja membawanya pada nuansa pacaran yang lebih berbeda, jalan berdua, duduk berdua, pengangan tangan, pelukan, first kiss. Ketagihan. Sampai jadi perusak. Oke, cukup sampai di situ. Karena sebanyak-banyaknya ia pacaran belum pernah merasakan yang namanya ‘jatuh cinta’ yang benar-benar cinta. Biasanya, ngomong cinta hanya sekadar rayuan belaka. Omong kosong dan sebagainya. Belum pernah benar-benar yang namanya tergila-gila seperti Alvin itu.
Saat kuliah, Alvin lebih memilih di Indonesia. Dimana lagi kalau bukan Universitas Indonesia. Apalagi alasannya kalau bukan karena tidak mau jauh dari Sivia. Sedangkan Cakka lebih memilih melanjutkan studinya di Erasmus University, Belanda. Sebenarnya waktu pertama kali hendak ke Belanda. Cakka juga agak berat meninggalkan sang mama tercinta. Secara, Cakka dekat dengan sang mama. Se-bad boy apapun Cakka, ia tetap tak bisa lepas dari mamanya. Dengan berat hati akhirnya mamanya juga mau melepas Cakka ke Belanda. Selama 5 tahun lebih ia menuntut ilmu di sana sampai meraih gelar master. Mamanya menyuruhnya kembali ke Indonesia. Padahal, kesepakatan awalnya Cakka yang akan mengurus perusahaan orang tuanya di Belanda. Tapi, karena menyayangi mamanya ia akhirnya kembali ke Indonesia.
Setahun kembali ke Indonesia, ia akhirnya bertemu dengan Shilla gadis yang berhasil membuatnya merasakan saat-saat Alvin tergila-gila dengan Sivia. Diusianya yang ke 24 tahun. Mungkin agak terlambat karena ia merasakan cinta baru diusia seperti itu. Bahkan lebih norak dari mencorat-coret halaman belakang buku. Cakka melakukan tindakan paling ia jauhi dulu. Menyingkat namanya dengan nama Shilla lalu dibuatkan kalung hati dengan nama mereka berdua. Hueek. Ternyata cinta memang norak, tapi Indah.
Alvin dan Sivia memutuskan menikah di usia 25 tahun. Tapi Cakka salut sama mereka karena berhasil mempertahankan hubungan dari SMA sampai nikah. Dan artinya, Alvin cuma butuh satu kali pacaran dan langsung menemukan jodohnya, prok-prok. Berarti cinta sejati benar-benar ada? Don’t know. Ia berusaha percaya dengan adanya Shilla di sampingnya. Tapi apa? Dia dibanting lagi dengan peristiwa setahun lalu!
Usia Cakka semakin bertambah. Kini menginjak 28 tahun. Dan… belum juga menikah membuat orang tuanya terkadang mendesaknya. Apalagi ketika Alvin dan Sivia punya anak. Huh! Makin-makin terdesak. Ya… seperti saat ini. Saat mereka semua berkumpul di rumah orang tua mereka. Ada papa, mama, Alvin, Sivia, anak mereka dan Cakka.
“Cakka, kayaknya kamu perlu cepat-cepat cari pengganti Shilla. Masa Shilla mendahului kamu,” kata Alons―papanya.
“Ck,” Cakka berdecak kesal dari tempat duduknya.
“Iya sayang, supaya Mama sama Papa nggak khawatir terus sama kamu,” kata Cayla―mamanya.
“Iya deh Kka, kayaknya lo butuh orang yang ngurus lo biar nggak kelayapan kemana-mana lagi,” komentar Sivia yang langsung diberi kode oleh Alvin, karena ia tahu saudara kembarnya itu not in a good mood.
“Nanti. Belum sekarang. Gue butuh waktu,” katanya membalas komentar Sivia, “Ma, Pa… Cakka mau bicara sama Mama dan Papa,” lanjutnya.
“Apa?” tanya Alons dan Cayla serempak.
Ia sedikit berpikir sebelum melanjutkan, “Cakka boleh nggak balik ke Rotterdam lagi? Balik ke kesepakatan awal kita lagi? Cakka ngurus perusahaan papa yang ada di sana aja ya. Cakka nggak cocok sama bisnis Papa di sini,” katanya.
Cayla terlihat kaget sedangkan Alons mengernyit sambil menatap anaknya itu.
Nee…Nee(*), jangan berpikiran negatif lagi tentang Cakka di sana. Tenang aja, Cakka masih di jalur aman kok di sana,” kata Cakka, ia pun memalingkan pandangannya ke arah Cayla, “Ma… ya, Cakka butuh waktu buat melupakan Shilla. Siapa tahu kan di sana Cakka bisa mendapat pengganti dia. Cakka janji di sana buat kerja, bukan buat senang-senang seperti di sini,” bujuk Cakka pada Cayla.
“Jangan percaya Ma, anak kayak Cakka tuh susah kalau nggak senang-senang,” kata Alvin sambil mengambil Shanta, anaknya yang masih bayi dari gendongan Sivia.
“Elah lo gitu banget Vin, bantu gue sedikit kek. Lo nggak mau kan lihat gue kayak gini terus. Lo mau tiap hari di suruh Mama nengokin gue ke apartemen gue, lihat gue udah pulang apa belum? Nggak mau kan? Kata lo kan mending lo ngurus isteri sama anak lo kan?” kata Cakka.
Alvin berpikir sejenak. Benar juga, kalau Cakka kembali ke Belanda dia tentu saja bebas dari tugasnya ‘mengawasi’ Cakka. Dan sok care sama Cakka. Padahal sih, ia benar-benar peduli pada saudara kembarnya itu. Hanya ia saja yang pura-pura ‘sok care’ agar Cakka tidak terlalu ke-GR-an. Tapi, dia juga lelah kalau Cakka keras kepala dan susah untuk diberi tahu.
“Ya… iya juga sih,” kata Alvin.
“Nah! Ayolah Ma, Pa. Cakka kan sudah dewasa, masa dua puluh delapan tahun masih dikekang Mama sama Papa kayak gini,” kata Cakka.
“Kalau kelakuan kamu seperti Alvin, Papa dan Mama nggak akan seperti itu sama kamu,” kata Alons.
“Mulai lagi deh dibanding-bandingin,” keluh Cakka.
“Mama sama Papa nggak maksud membandingkan. Kita cuma mau yang terbaik buat kamu,” kata Cayla.
“Kalau begitu balik ke Rotterdam adalah yang terbaik buat Cakka,” kata mantap.
Cayla dan Alons saling pandang-pandangan. Seberapa kerasnya mereka menghadapi anak mereka yang satu ini. Cakka tetap anak yang keras kepala. Apapun yang dimintanya tetap akan dikabulkan oleh mereka walaupun dengan berat hati.
Alons menghela napas berat sebelum akhirnya menyetujuinya, “baiklah, kalau itu yang kamu mau.”

***

Sehari sebelum Cakka berangkat kembali ke Belanda. Ia diminta mamanya menginap di rumahnya. Cakka menyetujuinya. Daripada dia batal ke Belanda. Saat ini, ia sedang mengemasi barang-barangnya yang akan dibawa ke Belanda. Mamanya membantunya lagi. Cakka jadi ingat saat pertama kali mamanya melepasnya ke Belanda. Mamanya begitu panik mempersiapkan segala sesuatunya. Sekarang pun masih begitu. Mamanya tetap sama.
Setelah selesai mengemasi barang-barangnya Cakka dan Cayla duduk di ruang keluarga. Mereka sama-sama menyesap teh hangat yang dibuat Cayla.
“Mama nggak nyangka harus melepas kamu ke Negeri orang lagi,” kata Cayla.
“Santai aja Ma. Ini untuk yang kedua kalinya kan? Jadi nggak perlu khawatir,” kata Cakka.
“Mama selalu khawatir sama kamu. Because until whenever you always be mama’s boy,” kata Cayla.
“Ya… sampai Cakka kakek-kakek tetap aja boy,” canda Cakka.
Keduanya tertawa lepas. Sudah lama mereka tidak merasakan kehangatan seperti ini. Cayla menepuk ubun-ubun kepala Cakka. Seperti yang biasa ia lakukan waktu Cakka masih kecil. Waktu memperingatkan Cakka bahayanya main dekat kipas angin, kompor dan lain sebagainya. Ia tersenyum, matanya berkaca-kaca. Membuat Cakka juga tersentuh hatinya melihat mamanya seperti itu.
“Udah deh Ma, jangan buat Cakka ikutan sedih juga,” kata Cakka.
“Nggak kok. Mama terharu aja. Nggak nyangka banget anak-anak Mama udah besar-besar. Mama jadi Ibu sudah dua puluh delapan tahun dari anak yang ganteng-ganteng,” kata Cayla.
“Mama nyesel nggak punya anak kayak Cakka? Keras kepala. Bad boy-nya nggak ketulungan. Udah gitu gagal nikah lagi,” kata Cakka.
Cayla tersenyum ia membelai pipi Cakka, “nggak sayang, Mama selalu bangga punya kamu. Dan sampai kapanpun akan tetap bangga,” kata Cayla.
Cakka segera memeluk mamanya itu. Merasakan kembali hangatnya pelukan seorang mama. Ternyata ia salah, cinta sejati memang ada. Buktinya cinta mamanya kepadanya. Eit! Tapi ini tidak berlaku dalam love life-nya. Mungkin belum―entahlah.
“Mama buat Cakka berat lagi kan buat ninggalin Mama,” kata Cakka.
“Pergi saja sayang, kamu pantas mencari kebahagiaan kamu. Masa depan kamu dan semuanya. Lagi pula kamu kan masih bisa main-main kemari. Mama pun bisa main-main ke Belanda, kita kan masih bisa bertemu,” kata Cayla.
Dank u wel Ma, Mama memang Mama paling baik yang pernah ada di dunia,” kata Cakka, “walau kadang menjengkelkan, hahahaha,” lanjut Cakka diakhiri tawa.
Cayla juga tertawa.

***

Keberangkatan internasional Bandara Soekarno-Hatta terlihat ramai oleh turis-turis. Cakka menyeret kopernya mendekati pintu check-in. Namun sebelumnya ia pamitan dulu pada keluarga yang mengantarnya. Ada Alons, Cayla, Alvin, Sivia dan Shanta di situ. Cakka menyalami Alons lalu memberikan pelukan ala lelaki. Kemudian menyalami Cayla dan langsung dihadiahi pelukan lembut seorang ibu. Kemudian menyalami Alvin.
“Jaga diri di sana Bro,” kata Alvin kemudian memeluk saudara kembarnya itu.
“Perkataan lo itu kayak perkataan orang tua ke anak perawannya tahu nggak,” kata Cakka sambil melepas pelukannya.
“Dih… mulai lagi. Gue bakal kangen deh sama keras kepala lo kayak gini,” kata Alvin.
Cakka berjalan mendekati Sivia kemudian menyalaminya, “Siv, jagain kembaran gue. Jangan biarin dia ngelirik wanita lain. Kalau dia kangen gue, lo keras-kerasin kepala lo aja kayak gue, biar kangennya sedikit terobati,” kata Cakka.
Sivia tertawa, “iya sip itu,” katanya.
“Lo kira gue kayak lo tukang lirik-lirik. Jangan sayang, jangan keras kepala kayak dia kelakuan buruk nggak boleh ditiru,” kata Alvin.
“Ya deh yang good boy,” kata Cakka. Ia kemudian melihat Shanta yang ada di atas kereta bayi. Bayi perempuan mungil itu sedang tertawa mempertontonkan gusinya pada Cakka.
“Shanta, Om Cakka pergi dulu ya. Kamu baik-baik. Tumbuh jadi gadis yang cantik. Trus kalau cari pacar jangan cari yang kayak Om Cakka ya, nggak bagus,” kata Cakka.
“Kalau ada cowok tipe lo yang ngedekatin Shanta nanti gue udah bunuh cowok itu duluan,” komentar Alvin.
“Galak amat sih lo Vin,” kata Cakka langsung berdiri lagi dan beringsut dari tempat Shanta.
“Demi kebaikan anak gue, nggak apa-apa dong gue basmi virusnya terlebih dahulu,” kata Alvin.
“Ya… terserah deh,” kata Cakka. Ia menatap arlojinya, “semua Cakka pamit, sampai ketemu lain waktu,” kata Cakka.
“Oke Cakka, hati-hati di jalan sayang, Mama selalu berdoa buat kamu,” kata Cayla.
Cakka mengangkat jari jempolnya kemudian berjalan menyeret kopernya memasuki hendak memasuk ruang check-in. Akhirnya, ia akan kembali ke Belanda.
Sebelum ia benar-benar masuk ke ruang check-in. Ia diperiksa kelengkapannya dulu oleh petugas. Dari tempatnya berdiri terdengar perkataan seorang ibu kepada anaknya beberapa langkah di sampingnya.
“Jaga diri baik-baik ya di sana ya sayang, nggak boleh ikut-ikutan budaya di sana. Ingat di sana kamu buat menuntut ilmu bukan untuk bersenang-senang,” kata ibu itu.
Cakka memalingkan pandangan ke arah sumber suara. Ternyata seorang ibu dan suaminya bersama anak gadisnya. Gadis berambut ikal panjang itu memeluk ibunya. Tanda perpisahan. Cakka hanya bisa melihat punggung gadis itu.
Punya anak perempuan itu ribet. Makanya Cakka tidak mau punya anak perempuan nanti. Harus menjaganya dengan baik seperti halnya menjaga kristal, takut pecah. Apalagi kalau ketemu lelaki seperti Cakka. Oh no!
Cakka segera menggeleng-gelengkan kepala. Menyingkirkan pikirannya itu. Suer! Selama ini, ia baru memikirkan soal ‘anak’ tadi. Dan itu refleks hanya karena melihat gadis itu dengan orang tuanya.
Petugas bandara mengagetkan Cakka. Ia menyerahkan kelengkapan Cakka setelah di periksa dan menyuruh Cakka masuk ke dalam ruang check-in. Cakka menghembuskan napasnya sebelum masuk ke dalam.
Dag, tot ziens Indonesië.(**)

***
(*) Tidak… Tidak
(**) Sampai jumpa Indonesia

2 komentar:

Yessi Anggraeni mengatakan...

Lanjuuut kak ! Gak sabar caiknya dipertemukan (?)

Anonim mengatakan...

Lanjut eyyyyyy! :D

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...