THREE―MAMA’S
BOY
“―Can’t run away and leave my mama alone
Cause I’m her boy, mama’s boy―”
DILAHIRKAN sebagai anak kembar. Cukup membuat Cakka
sedikit frustasi. Bagaimana tidak? Ia selalu dibanding-bandingkan dengan kakak
kembarnya itu. Padahal mereka adalah dua pribadi yang berbeda bukan? Kadang ia geli
sendiri mengingat dulu waktu mereka masih kecil mamanya memakaikan baju dengan
warna yang sama, motif yang sama, apapun selalu sama bahkan sampai underwear-nya pun sama. Tapi hebatnya
mamanya selalu tahu mana Cakka dan mana Alvin, prok-prok.
Cakka mulai berontak tidak mau memakai sama lagi ketika
ia mulai mengenal yang namanya ‘pacaran’ dan ajaibnya itu waktu kelas enam SD. Di
saat Alvin masih bermain dengan mobil-mobilan. Apalagi ditambah kesukaan mereka
yang berbeda. Cakka semakin jengkel ketika dia yang pecinta tokoh Spiderman
bajunya Batman semua gara-gara kakak kembarnya itu suka Batman. Padahal Cakka
paling benci kelelawar. Err.
Alvin tumbuh jadi anak yang berprestasi dalam bidang
akademik. Dia selalu jadi bintang kelas dan membuat papanya selalu
mengelu-elukannya. Cakka juga tidak mau kalah. Tentu saja dia juga menjadi anak
yang berprestasi. Tapi berprestasi dalam menaklukan hati gadis-gadis. Dan tentu
saja dia juga bintang. Bintang di hati banyak gadis di sekolahnya. Tidak hanya
di sekolah tapi di luar sekolah juga banyak. Bukan membuat papanya
mengelu-elukan namanya tapi malah membuat papanya mengoceh setiap hari
untuknya. Karena hampir setiap bulan ada orang tua gadis-gadis yang datang
untuk meminta pertanggungjawaban Cakka atas anak mereka. Ada yang hampir bunuh
diri karena diputusin Cakka. Ada yang dirawat di-ICU karena minum baygon ketika
mengetahui pacar Cakka tidak hanya dia. Ada yang nyilet-nyilet karena cintanya
ditolak Cakka. Ada juga orang tua yang minta tanggung jawab supaya Cakka
menikahi anaknya. Hellow gue masih SMA.
Karena anaknya sudah tidak virgin gara-gara
Cakka. Hellow dia yang mau, gue nggak
minta, yang penting dia nggak hamil kan? Gue diajarin guru kok buat safe sex.
Dan perkataan Cakka seperti itu selalu dihadiahi tamparan dari orang tua korban-korbannya.
Whatever! Untungnya Cakka punya mama
yang selalu membelanya. Jadinya setidaknya kalau papanya tidak berpihak padanya
fine! Masih ada sang mama.
Pertama Cakka mengira Alvin gay. Secara sampai SMA, Alvin belum pernah yang namanya pacaran. Padahal
ia saja sudah tak terhitung berapa kali pacaran. Mungkin pacaran sama kayak
gonta-ganti underwear sana-sini.
Makanya Cakka sedikit ‘agak’ menjauh dari Alvin. Tapi, semenjak kelas dua SMA
ada seorang murid baru namanya Sivia dan membuat Alvin jadi tergila-gila
padanya lebih dari orang gila. Kenapa Cakka bilang begitu? Karena Alvin memang
benar-benar gila karena gadis bernama Sivia itu. Semua bukunya di belakangnya
tertulis nama Sivia―yang menurut Cakka norak. Bahkan kalau malam ngigo nama
Sivia. Mungkin juga wet dream gara-gara
Sivia. Oops. Tapi hebatnya Alvin, walaupun ‘gila’ tak menurunkan prestasinya.
Alvin minta tolong Cakka menyusun strategi untuk mendapatkan Sivia. Karena
Cakka lebih berpengalaman dalam masalah menggait cewek. Dari situlah mereka
baru benar-benar dekat sebagai saudara kembar.
Alvin akhirnya berhasil mendapatkan Sivia. Alvin
tentunya berterima kasih kepada saudara kembarnya itu. Dan tanpa diminta Cakka,
Alvin malah menawarkan diri mengerjakan seluruh PR-nya selama satu minggu.
Sebenarnya Cakka bukan tipe anak yang bodoh banget dalam akademik. Ia termasuk
dalam kaum yang sedang-sedang saja. Kalau cuma PR ia juga bisa mengerjakannya.
Tapi… mumpung ada kesempatan dimanfaatkannya. Dan baru itu pula ia melihat
kembarannya itu peduli sama yang namanya ‘cewek’. Ia terlihat begitu menyayangi
Sivia. Melindunginya dari apapun. Tidak seperti Cakka yang ‘merusak’ dari segi
apapun. Jujur saja, selama dia pacaran dari SD itu, awalnya cuma coba-coba.
Pertama kali pacaran itu terasa biasa aja tidak ada yang istimewa dari jalan
bareng, makan bareng di kantin, duduk dekat-dekatan. Apalagi ya… hm, mungkin
cuma membuat Cakka rajin sekolah biar bertemu dengan pacarnya itu. Karena
merasa biasa aja ia memutuskan pacarnya itu. Saat SMP semuanya terasa lebih
berbeda, ia coba-coba lagi dengan kakak kelasnya. Dan tentu saja membawanya
pada nuansa pacaran yang lebih berbeda, jalan berdua, duduk berdua, pengangan
tangan, pelukan, first kiss.
Ketagihan. Sampai jadi perusak. Oke, cukup sampai di situ. Karena sebanyak-banyaknya
ia pacaran belum pernah merasakan yang namanya ‘jatuh cinta’ yang benar-benar
cinta. Biasanya, ngomong cinta hanya sekadar rayuan belaka. Omong kosong dan
sebagainya. Belum pernah benar-benar yang namanya tergila-gila seperti Alvin
itu.
Saat kuliah, Alvin lebih memilih di Indonesia. Dimana
lagi kalau bukan Universitas Indonesia. Apalagi alasannya kalau bukan karena
tidak mau jauh dari Sivia. Sedangkan Cakka lebih memilih melanjutkan studinya
di Erasmus University, Belanda. Sebenarnya waktu pertama kali hendak ke
Belanda. Cakka juga agak berat meninggalkan sang mama tercinta. Secara, Cakka
dekat dengan sang mama. Se-bad boy apapun
Cakka, ia tetap tak bisa lepas dari mamanya. Dengan berat hati akhirnya mamanya
juga mau melepas Cakka ke Belanda. Selama 5 tahun lebih ia menuntut ilmu di
sana sampai meraih gelar master.
Mamanya menyuruhnya kembali ke Indonesia. Padahal, kesepakatan awalnya Cakka
yang akan mengurus perusahaan orang tuanya di Belanda. Tapi, karena menyayangi
mamanya ia akhirnya kembali ke Indonesia.
Setahun kembali ke Indonesia, ia akhirnya bertemu
dengan Shilla gadis yang berhasil membuatnya merasakan saat-saat Alvin
tergila-gila dengan Sivia. Diusianya yang ke 24 tahun. Mungkin agak terlambat
karena ia merasakan cinta baru diusia seperti itu. Bahkan lebih norak dari
mencorat-coret halaman belakang buku. Cakka melakukan tindakan paling ia jauhi
dulu. Menyingkat namanya dengan nama Shilla lalu dibuatkan kalung hati dengan
nama mereka berdua. Hueek. Ternyata cinta memang norak, tapi Indah.
Alvin dan Sivia memutuskan menikah di usia 25 tahun.
Tapi Cakka salut sama mereka karena berhasil mempertahankan hubungan dari SMA
sampai nikah. Dan artinya, Alvin cuma butuh satu kali pacaran dan langsung
menemukan jodohnya, prok-prok. Berarti cinta sejati benar-benar ada? Don’t know. Ia berusaha percaya dengan
adanya Shilla di sampingnya. Tapi apa? Dia dibanting lagi dengan peristiwa
setahun lalu!
Usia Cakka semakin bertambah. Kini menginjak 28 tahun.
Dan… belum juga menikah membuat orang tuanya terkadang mendesaknya. Apalagi
ketika Alvin dan Sivia punya anak. Huh! Makin-makin terdesak. Ya… seperti saat
ini. Saat mereka semua berkumpul di rumah orang tua mereka. Ada papa, mama,
Alvin, Sivia, anak mereka dan Cakka.
“Cakka, kayaknya kamu perlu cepat-cepat cari pengganti
Shilla. Masa Shilla mendahului kamu,” kata Alons―papanya.
“Ck,” Cakka berdecak kesal dari tempat duduknya.
“Iya sayang, supaya Mama sama Papa nggak khawatir terus
sama kamu,” kata Cayla―mamanya.
“Iya deh Kka, kayaknya lo butuh orang yang ngurus lo
biar nggak kelayapan kemana-mana lagi,” komentar Sivia yang langsung diberi
kode oleh Alvin, karena ia tahu saudara kembarnya itu not in a good mood.
“Nanti. Belum sekarang. Gue butuh waktu,” katanya
membalas komentar Sivia, “Ma, Pa… Cakka mau bicara sama Mama dan Papa,”
lanjutnya.
“Apa?” tanya Alons dan Cayla serempak.
Ia sedikit berpikir sebelum melanjutkan, “Cakka boleh
nggak balik ke Rotterdam lagi? Balik
ke kesepakatan awal kita lagi? Cakka ngurus perusahaan papa yang ada di sana
aja ya. Cakka nggak cocok sama bisnis Papa di sini,” katanya.
Cayla terlihat kaget sedangkan Alons mengernyit sambil
menatap anaknya itu.
“Nee…Nee(*),
jangan berpikiran negatif lagi tentang Cakka di sana. Tenang aja, Cakka masih
di jalur aman kok di sana,” kata Cakka, ia pun memalingkan pandangannya ke arah
Cayla, “Ma… ya, Cakka butuh waktu buat melupakan Shilla. Siapa tahu kan di sana
Cakka bisa mendapat pengganti dia. Cakka janji di sana buat kerja, bukan buat
senang-senang seperti di sini,” bujuk Cakka pada Cayla.
“Jangan percaya Ma, anak kayak Cakka tuh susah kalau
nggak senang-senang,” kata Alvin sambil mengambil Shanta, anaknya yang masih
bayi dari gendongan Sivia.
“Elah lo gitu banget Vin, bantu gue sedikit kek. Lo
nggak mau kan lihat gue kayak gini terus. Lo mau tiap hari di suruh Mama
nengokin gue ke apartemen gue, lihat gue udah pulang apa belum? Nggak mau kan?
Kata lo kan mending lo ngurus isteri sama anak lo kan?” kata Cakka.
Alvin berpikir sejenak. Benar juga, kalau Cakka kembali
ke Belanda dia tentu saja bebas dari tugasnya ‘mengawasi’ Cakka. Dan sok care sama Cakka. Padahal sih, ia
benar-benar peduli pada saudara kembarnya itu. Hanya ia saja yang pura-pura ‘sok care’ agar Cakka tidak terlalu
ke-GR-an. Tapi, dia juga lelah kalau Cakka keras kepala dan susah untuk diberi
tahu.
“Ya… iya juga sih,” kata Alvin.
“Nah! Ayolah Ma, Pa. Cakka kan sudah dewasa, masa dua
puluh delapan tahun masih dikekang Mama sama Papa kayak gini,” kata Cakka.
“Kalau kelakuan kamu seperti Alvin, Papa dan Mama nggak
akan seperti itu sama kamu,” kata Alons.
“Mulai lagi deh dibanding-bandingin,” keluh Cakka.
“Mama sama Papa nggak maksud membandingkan. Kita cuma
mau yang terbaik buat kamu,” kata Cayla.
“Kalau begitu balik ke Rotterdam adalah yang terbaik buat Cakka,” kata mantap.
Cayla dan Alons saling pandang-pandangan. Seberapa
kerasnya mereka menghadapi anak mereka yang satu ini. Cakka tetap anak yang
keras kepala. Apapun yang dimintanya tetap akan dikabulkan oleh mereka walaupun
dengan berat hati.
Alons menghela napas berat sebelum akhirnya
menyetujuinya, “baiklah, kalau itu yang kamu mau.”
***
Sehari sebelum Cakka berangkat kembali ke Belanda. Ia
diminta mamanya menginap di rumahnya. Cakka menyetujuinya. Daripada dia batal
ke Belanda. Saat ini, ia sedang mengemasi barang-barangnya yang akan dibawa ke
Belanda. Mamanya membantunya lagi. Cakka jadi ingat saat pertama kali mamanya
melepasnya ke Belanda. Mamanya begitu panik mempersiapkan segala sesuatunya.
Sekarang pun masih begitu. Mamanya tetap sama.
Setelah selesai mengemasi barang-barangnya Cakka dan
Cayla duduk di ruang keluarga. Mereka sama-sama menyesap teh hangat yang dibuat
Cayla.
“Mama nggak nyangka harus melepas kamu ke Negeri orang
lagi,” kata Cayla.
“Santai aja Ma. Ini untuk yang kedua kalinya kan? Jadi
nggak perlu khawatir,” kata Cakka.
“Mama selalu khawatir sama kamu. Because until whenever you
always be mama’s boy,” kata Cayla.
“Ya… sampai Cakka kakek-kakek tetap aja boy,” canda Cakka.
Keduanya tertawa lepas. Sudah lama mereka tidak merasakan
kehangatan seperti ini. Cayla menepuk ubun-ubun kepala Cakka. Seperti yang
biasa ia lakukan waktu Cakka masih kecil. Waktu memperingatkan Cakka bahayanya
main dekat kipas angin, kompor dan lain sebagainya. Ia tersenyum, matanya berkaca-kaca.
Membuat Cakka juga tersentuh hatinya melihat mamanya seperti itu.
“Udah deh Ma, jangan buat Cakka ikutan sedih juga,”
kata Cakka.
“Nggak kok. Mama terharu aja. Nggak nyangka banget
anak-anak Mama udah besar-besar. Mama jadi Ibu sudah dua puluh delapan tahun
dari anak yang ganteng-ganteng,” kata Cayla.
“Mama nyesel nggak punya anak kayak Cakka? Keras
kepala. Bad boy-nya nggak ketulungan.
Udah gitu gagal nikah lagi,” kata Cakka.
Cayla tersenyum ia membelai pipi Cakka, “nggak sayang,
Mama selalu bangga punya kamu. Dan sampai kapanpun akan tetap bangga,” kata
Cayla.
Cakka segera memeluk mamanya itu. Merasakan kembali
hangatnya pelukan seorang mama. Ternyata ia salah, cinta sejati memang ada.
Buktinya cinta mamanya kepadanya. Eit! Tapi ini tidak berlaku dalam love life-nya. Mungkin belum―entahlah.
“Mama buat Cakka berat lagi kan buat ninggalin Mama,”
kata Cakka.
“Pergi saja sayang, kamu pantas mencari kebahagiaan
kamu. Masa depan kamu dan semuanya. Lagi pula kamu kan masih bisa main-main
kemari. Mama pun bisa main-main ke Belanda, kita kan masih bisa bertemu,” kata
Cayla.
“Dank u wel Ma,
Mama memang Mama paling baik yang pernah ada di dunia,” kata Cakka, “walau
kadang menjengkelkan, hahahaha,” lanjut Cakka diakhiri tawa.
Cayla juga tertawa.
***
Keberangkatan internasional Bandara Soekarno-Hatta
terlihat ramai oleh turis-turis. Cakka menyeret kopernya mendekati pintu check-in. Namun sebelumnya ia pamitan
dulu pada keluarga yang mengantarnya. Ada Alons, Cayla, Alvin, Sivia dan Shanta
di situ. Cakka menyalami Alons lalu memberikan pelukan ala lelaki. Kemudian
menyalami Cayla dan langsung dihadiahi pelukan lembut seorang ibu. Kemudian
menyalami Alvin.
“Jaga diri di sana Bro,” kata Alvin kemudian memeluk
saudara kembarnya itu.
“Perkataan lo itu kayak perkataan orang tua ke anak
perawannya tahu nggak,” kata Cakka sambil melepas pelukannya.
“Dih… mulai lagi. Gue bakal kangen deh sama keras
kepala lo kayak gini,” kata Alvin.
Cakka berjalan mendekati Sivia kemudian menyalaminya, “Siv,
jagain kembaran gue. Jangan biarin dia ngelirik wanita lain. Kalau dia kangen
gue, lo keras-kerasin kepala lo aja kayak gue, biar kangennya sedikit terobati,”
kata Cakka.
Sivia tertawa, “iya sip itu,” katanya.
“Lo kira gue kayak lo tukang lirik-lirik. Jangan
sayang, jangan keras kepala kayak dia kelakuan buruk nggak boleh ditiru,” kata
Alvin.
“Ya deh yang good
boy,” kata Cakka. Ia kemudian melihat Shanta yang ada di atas kereta bayi.
Bayi perempuan mungil itu sedang tertawa mempertontonkan gusinya pada Cakka.
“Shanta, Om Cakka pergi dulu ya. Kamu baik-baik. Tumbuh
jadi gadis yang cantik. Trus kalau cari pacar jangan cari yang kayak Om Cakka
ya, nggak bagus,” kata Cakka.
“Kalau ada cowok tipe lo yang ngedekatin Shanta nanti
gue udah bunuh cowok itu duluan,” komentar Alvin.
“Galak amat sih lo Vin,” kata Cakka langsung berdiri
lagi dan beringsut dari tempat Shanta.
“Demi kebaikan anak gue, nggak apa-apa dong gue basmi
virusnya terlebih dahulu,” kata Alvin.
“Ya… terserah deh,” kata Cakka. Ia menatap arlojinya, “semua
Cakka pamit, sampai ketemu lain waktu,” kata Cakka.
“Oke Cakka, hati-hati di jalan sayang, Mama selalu
berdoa buat kamu,” kata Cayla.
Cakka mengangkat jari jempolnya kemudian berjalan menyeret
kopernya memasuki hendak memasuk ruang check-in.
Akhirnya, ia akan kembali ke Belanda.
Sebelum ia benar-benar masuk ke ruang check-in. Ia diperiksa kelengkapannya
dulu oleh petugas. Dari tempatnya berdiri terdengar perkataan seorang ibu
kepada anaknya beberapa langkah di sampingnya.
“Jaga diri baik-baik ya di sana ya sayang, nggak boleh
ikut-ikutan budaya di sana. Ingat di sana kamu buat menuntut ilmu bukan untuk
bersenang-senang,” kata ibu itu.
Cakka memalingkan pandangan ke arah sumber suara. Ternyata
seorang ibu dan suaminya bersama anak gadisnya. Gadis berambut ikal panjang itu
memeluk ibunya. Tanda perpisahan. Cakka hanya bisa melihat punggung gadis itu.
Punya anak perempuan itu ribet. Makanya Cakka tidak mau
punya anak perempuan nanti. Harus menjaganya dengan baik seperti halnya menjaga
kristal, takut pecah. Apalagi kalau ketemu lelaki seperti Cakka. Oh no!
Cakka segera menggeleng-gelengkan kepala. Menyingkirkan
pikirannya itu. Suer! Selama ini, ia baru memikirkan soal ‘anak’ tadi. Dan itu
refleks hanya karena melihat gadis itu dengan orang tuanya.
Petugas bandara mengagetkan Cakka. Ia menyerahkan
kelengkapan Cakka setelah di periksa dan menyuruh Cakka masuk ke dalam ruang check-in. Cakka menghembuskan napasnya
sebelum masuk ke dalam.
Dag, tot ziens Indonesië.(**)
***
(*) Tidak… Tidak
(**) Sampai jumpa Indonesia
2 komentar:
Lanjuuut kak ! Gak sabar caiknya dipertemukan (?)
Lanjut eyyyyyy! :D
Posting Komentar