ONE―THAT
SHOULD BE ME
“―You’re taking him where we used to go
Now if you’re trying to break my heart
It’s working ‘cause you know that―”
PASANGAN pengantin itu terlihat bahagia di atas
pelaminan. Kedua mempelai memakai pakaian adat. Nuansa tradisional sangat
terasa di ballroom hotel itu. Seorang
lelaki dari sudut menatap pasangan pengantin di atas pelaminan itu dengan
tatapan nanar. Kekesalan, kekecewaan dan sakit hati bercampur jadi satu. Tidak
boleh! Ia harus kuat. Ia tidak boleh terlihat lemah di sini. Walaupun
sebenarnya perasaannya sedang diuji tapi ia laki-laki bukan perempuan yang
lemah dan menangis dengan cengeng saat melihat mantan tunangan yang masih
dicintainya menikah dengan orang lain.
Seseorang menepuk bahunya menguatkan. Ia menatap ke
arah orang yang menepuk bahunya.
“Lo nggak apa-apa kan Bro?” tanya lelaki bermata sipit
disebelahnya.
Kalau dilihat-lihat lelaki itu mirip dengannya. Hanya
berbeda di matanya. Ia bermata almond dengan tatapan tajam. Sedangkan lelaki
disampingnya bermata sipit dengan tatapan lebih lembut.
“Gue nggak apa-apa tenang aja kok. Gue bukan cewek,
nggak perlu deh lo sok care kayak
gitu,” katanya.
“Sebagai saudara kembar lo, gue punya ikatan batin sama
lo. Dan... kata ikatan batin gue, hati lo hancur sekarang nggak usah pura-pura
deh depan gue,” katanya.
Ia tersenyum sinis, “lo nggak usah sok tahu deh Alvin,
gue tahu lo saudara kembar gue tapi lo nggak berhak masuk campur dalam
kehidupan gue,” katanya.
“Gue nggak masuk campur kok. Mungkin sifat lo kayak
gitu yang membuat Shilla―,” kata-kata Alvin dipotong Cakka.
“Halah bullshit,”
kata Cakka langsung meninggalkan Alvin berjalan ke arah meja dan mengambil sparkling wine.
Alvin menggeleng-gelengkan kepalanya. Seorang wanita di
sampingnya menenangkan Alvin.
“Sabar sayang, mungkin Cakka masih butuh waktu buat
menerima. Tapi aku salut sama Cakka, seenggaknya dia mau datang meski aku tahu
hatinya hancur,” kata Sivia.
“Ya mungkin saja,” kata Alvin sambil menatap saudara
kembarnya itu yang berada di sudut ruangan sambil menyesap sparkling wine di tangannya. Dalam hatinya ia juga sebenarnya
kasihan. Tapi apa yang ia bisa perbuat?
Cakka menghela napasnya sesak. Bahkan setiap tarikan
napasnya ia merasakan sesuatu menghimpitnya dalam hati. Ia segera menghabiskan
gelas kedua sparkling wine-nya.
Menatap lagi pengantin di atas pelaminan. Kini pengantin itu sedang memotong
sebuah kue tart di hadapan mereka.
Sang pria menggenggam erat tangan sang wanita, mereka bersama-sama memegang
pisau untuk memotong kue pernikahan itu. Kebahagiaan membungkus keduanya.
Kenapa sih Shil, lo
nggak bilang dari awal kalau lo nggak suka konsep pernikahan garden party?
Kenapa lo nggak bilang kalau lo mau indoor party dengan tatanan tradisional
kayak gini? Dan kenapa lo nggak bilang kalau lo mau juga ikut ambil andil dalam
menyusun pernikahan kita? Kenapa lo baru bilang saat itu juga?
Tatapan Cakka melembut menatap wajah wanita yang sedang
berada di pelaminan itu. Ia merindukan senyumannya itu. Setahun lalu senyum itu
masih menjadi miliknya. Tapi sekarang itu senyum itu bukan miliknya lagi.
Suap-suapan kue antara kedua mempelai pengantin membuat
Cakka semakin menggenggam erat gelas sparkling
wine-nya. Melihat kemesraan mereka rasa-rasanya Cakka ingin berteriak pada
mempelai pria saat itu juga ‘seharusnya
gue yang ada di posisi lo!’ tapi Cakka mengurungkan niatnya. Itu memalukan
dirinya sebagai lelaki.
Namun, saat sang MC mengatakan sebentar lagi akan ada wedding kiss membuat Cakka tidak tahan
lagi berada di ruangan itu. Ia menghempaskan gelas secara kasar di atas meja.
Bahkan hempasannya terdengar di seluruh sudut ballroom. Membuat semua mata tertuju padanya yang sedang berjalan
keluar dari ballroom itu.
THAT SHOULD BE ME!
Teringat kembali kejadian setahun yang lalu...
***
Suasana cafe itu terasa asing. Kedua manusia yang
berada dipojok cafe sedang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Cakka
sedang sibuk dengan laptonya sedangkan Shilla sibuk dengan pikirannya sendiri.
Suara penyanyi cafe yang sedang melantunkan lagu swing menggema di seluruh sudut ruangan. Jemari sang gadis
diketuk-ketukan di atas meja. Dengan sabar ia menunggu Cakka sampai
menghentikan kesibukannya dengan laptopnya.
“Lieve(*),
pokoknya aku sudah siapkan semuanya. Wedding
organizer kan kemarin udah bilang oke semua. Udah booking venue, udah pesan cincin, semuanya udah, kamu nggak usah
pikirin apa-apa lagi, jadi bulan depan kita nikah semuanya sudah siap,” katanya
sambil menghentikan aktivitasnya dengan laptopnya menatap gadis cantik dengan
rambut lurus panjang menjuntai menutupi punggungnya.
Shilla tidak merespon. Ia terlihat gelisah dari tempat
duduknya mempertimbangkan yang ada di dalam pikirannya. Cakka memperhatikan
gadisnya itu. Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal dipikiran gadisnya itu.
“Lieve, kamu
kenapa?” tanyanya, “kayaknya dari tadi kelihatan gelisah.”
Shilla berusaha fokus dan menatap mata almond Cakka. Ia
sudah memikirkan matang-matang dengan keputusannya. Sudah selama beberapa bulan
belakangan ini. Dan sekarang saatnya mengutarakannya. Sebelum semuanya
terlambat.
Shilla meraih tangan Cakka, menggengamnya erat.
Kemudian menatapnya sedalam mungkin dengan tatapan penyesalan.
“Cakka...” Shilla menghela napasnya, “ada yang aku mau
omongin sama kamu, tapi kamu tenang aja dulu ya, dengar aku sampai selesai dulu
baru kamu ngomong ya. Aku cuma minta satu kali ini aja, kan selama ini aku
selalu dengarin kamu. Kali ini kamu dengarin aku dulu ya,” kata Shilla.
Cakka membalas tatapan Shilla dengan tatapan tajamnya.
Pandangannya menyimpan pertanyaan. Tapi ia memberikan kesempatan Shilla untuk
melanjutkan perkataannya.
“Makasih banget Kka, karena selama ini kamu sudah
repot-repot mengurus pernikahan kita. Tanpa aku ikut campur sedikitpun. Tapi
kamu nggak pernah tahu kan betapa aku sebagai perempuan ingin ikut ambil andil
dalam pernikahanku nanti. Betapa aku ingin banget merancang gaun pernikahanku
sendiri. Bukan sepenuhnya kerjaan desainer,” kata Shilla.
“Lho? Kenapa kamu baru bilang sekarang?” tanya Cakka.
“Kamu nggak pernah kasih kesempatan aku Kka. Selama ini
aku selalu sabar Kka. Kamu mau atur hidup aku bagaimana pun aku terima. Bahkan
saat kamu terlalu overprotective sama
aku. Selama pacaran sampai tunangan sama kamu, dengan perhatian kamu yang
berlebihan itu aku bukannya merasa spesial tapi, aku malah lebih merasa seperti
bayi yang dikekang dalam box. Aku
nggak bisa gerak sama sekali. Kamu larang aku hang-out sama teman-teman aku. Kamu suruh aku berhenti jadi model
padahal kamu tahu kan itu seperti sebagian dari nyawaku. Tapi semuanya aku
ikutin karena aku cinta sama kamu Kka. Selama tiga tahun kita pacaran, aku
berusaha bertahan karena cinta. Tapi... aku sadar aku cinta sama kamu aja itu
nggak cukup. Karena setiap hubungan butuh kepercayaan. Dan dengan kamu tidak
mempercayakan aku buat ngurus pernikahan kita. Aku jadi mikir dua kali untuk
melanjutkan hubungan kita ke jenjang pernikahan,” kata Shilla.
Cakka tersentak. Matanya yang tajam menatap Shilla
semakin tajam lagi, “maksudnya?” tanya Cakka mencoba mencari kejelasan dari
pernyataan Shilla tadi.
“Aku mau batalin pernikahan kita,” kata Shilla.
“WAT(**)?”
mata Cakka tiba-tiba melotot mendengar perkataan Shilla barusan ia segera
melepaskan genggaman tangan Shilla dari tangannya.
“Maafin aku Kka, tapi aku nggak tahan aja dengan
kelakuan kamu yang kayak gini,” kata Shilla.
“Shilla, tapi pernikahan kita tinggal satu bulan kamu
nggak bisa ngebatalin gitu aja, ini nggak cuma urusan kamu sama aku tapi dua
keluarga kita,” kata Cakka.
“Aku tahu kok Kka, aku sudah memikirkannya. Aku yang
bakalan tanggung jawab atas semua kerugiannya. Aku yang bakalan ganti uang yang
telah keluar untuk pernikahan kita pokoknya semuanya,” kata Shilla.
“Tapi Shil―,”
“Keputusan aku sudah bulat Kka, maafin aku. Aku nggak
bisa melanjutkannya. Terima kasih Kka, gara-gara kamu aku jadi menyadari bahwa
cinta aja nggak cukup untuk bisa melanjutkan ke jenjang pernikahan,” kata
Shilla kemudian berdiri dari tempatnya menyampirkan tasnya ke bahunya.
Berjalan mendekati Cakka lalu memberikan ciuman
perpisahan pada Cakka di dahinya sebelum pergi meninggalkan Cakka, “good bye,” katanya sebelum keluar dari
cafe tersebut.
Cakka menghela napasnya menatap Shilla yang semakin
menjauh. Ini benar-benar awkward.
Bagaimana mungkin pernikahannya yang tinggal sebulan lagi tiba-tiba saja batal?
Dan tunangannya meninggalkannya di cafe begitu saja?
***
Cakka menghempaskan tubuhnya ke atas sofa di apartemennya.
Ia menyalakan sebatang rokok yang ia ambil dari dalam sakunya. Ingin
menetralisir pikirannya. Menghempaskan segala kekesalan yang ada di dalam
hatinya.
Pintu apartemennya berderit, sebelum seseorang masuk ke
dalam. Alvin berjalan mendekati Cakka dan duduk di sofa tak jauh dari tempat
Cakka duduk.
“Ngapain lo buat keributan dipestanya Shilla sama
Gabriel? Lo childish banget tahu
nggak kalau begitu,” kata Alvin.
Cakka menghembuskan asap rokok ke udara, “gue cuma
nggak tahan berada di situ, lagi pula gue cuma banting gelas, emang ngefek
begitu?”
“Ngefek banget Kka, lo nggak tahu semua mata tertuju
pada lo saat lo keluar dari ballroom,”
kata Alvin.
“Lo cuma nggak tahu gimana rasanya jadi gue. Lo nggak
tahu kan tekanan yang gue dapat sekarang? Papa nyuruh gue cepat-cepat nikah
gara-gara lo udah nikah duluan sedangkan gue sampai dua puluh delapan tahun gue
belum nikah,” kata Cakka.
“I know,”
kata Alvin.
“Gue capek sama yang namanya cinta kalau ujung-ujungnya
gue cuma merasa kayak banci seperti ini! Gue merasa kayak cewek-cewek lebay di
sinetron yang sering Mama nonton tahu nggak! Gue nggak mau percaya sama yang
namanya cinta lagi! Bullshit,” kata
Cakka kemudian melempar rokoknya ke dalam asbak di atas meja dan beranjak dari
situ.
Alvin menatap saudara kembarnya itu. Terkadang ia
sendiri hopeless dengan saudara
kembarnya itu. Seharusnya dia sadar kalau sifatnya yang membuat Shilla
membatalkan pernikahan mereka dulu. Bukannya malah menyalahkan cinta seperti
itu.
Cakka memutar pintu kamarnya. Sebelum ia benar-benar
masuk ke dalam ia menatap Alvin kembali.
“Lo pulang aja deh, isteri dan anak lo kayaknya lebih
membutuhkan lo. Gue nggak apa-apa lo nggak usah khawatir berlebihan kayak gitu.
Dan makasih gara-gara sumpah lo waktu di Keong Mas waktu itu, gue benar-benar
ditinggal Shilla, ik ben in orde(***),”
kata Cakka kemudian masuk ke dalam dan membanting pintu kamar kencang-kencang.
Alvin menggeleng-gelengkan kepalanya. Cakka masih ingat
candaannya waktu itu? Asli, itu bukan sumpah. Itu hanya joke ceplas-ceplos darinya. Ia tidak bermaksud menyumpahi Cakka
agar Shilla meninggalkannya.
***
(*)
Sayang
(**)
Apa?
(***)
Aku baik-baik aja
0 komentar:
Posting Komentar