PROLOGUE
“—And we were dancing, dancing
Like we’re made of starlight…starlight—”
DINGIN pekat merasuk kulit. Bau sparkling wine menari-nari di sekitar hidungnya. Gadis itu
melepaskan pandangannya ke sekeliling ruangan. Tampak para tamu menikmati pesta
yang begitu megah itu. Kecuali dia.
Long-Flowy dress berwarna
merah yang dikenakannya adalah salah satu gaun terbaiknya. Namun, gaun yang ia
kenakan tidak sama dengan warna hatinya. Warna hitam masih menyelimuti hatinya.
Ketika teman-temannya sudah turun di lantai dansa. Dan berdansa dengan
pasangannya masing-masing. Gadis itu hanya menontonnya dari sebuah sudut
ruangan. Dari sebuah bangku tanpa ada seorang pun yang menemaninya. Ia baru
saja kehilangan seseorang. Seseorang yang membuat hidupnya terasa hancur
belakangan ini.
Gadis itu masih larung dalam pikirannya sendiri.
Sebelum akhirnya ia menyadari bahwa ada seseorang lelaki dengan setelan tuxedo berwarna putih duduk di sampingnya
sambil meminum sparkling wine. Apakah
lelaki itu sudah dari tadi di situ? Apakah lelaki itu menyadari pikirannya
sedang tidak berada di pesta ini?
Lelaki itu tersenyum ke arah gadis itu. Ah, satu
senyumannya bisa membuat gadis itu merinding—entah mengapa. Dahinya berkerut sambil mata sayunya menatap
gadis itu. Gadis itu segera memalingkan pandangannya ke arah yang berlawanan.
“Wanna dance with
me?” tanyanya tiba-tiba.
Dengan refleks gadis itu berbalik menatapnya. Tangannya
telah terjulur ke arah gadis itu. Ia menatap lelaki itu dengan tatapan heran.
“Sepertinya, tinggal kita berdua yang belum turun ke
lantai dansa,” lanjutnya.
Pandangannya mengedar ke seluruh ruangan. Ya, para
pasangan telah turun ke lantai dansa. Tapi, apa-apaan ini? Ia dan lelaki itu
sama sekali bukan pasangan!
“Aku rasa kau datang sendiri, jadi nggak ada salahnya
kan kalau aku mengajakmu turun ke lantai dansa?” tanyanya seakan membaca
pikiran gadis itu.
Oke, mungkin ini bukan ide yang buruk. Gadis itu
menghela napasnya sebelum mengulurkan tangannya menyambut tangan lelaki itu. Ia
menuntun gadis itu berjalan ke lantai dansa, sambil tangannya melingkari
pinggang gadis itu. Ah, lelaki ini terlalu berani. Padahal baru saja beberapa
menit lalu mereka bertemu. Tapi, tangannya sudah bertengger di sekitar pinggang
gadis itu.
Musik waltz mengiringi
mereka turun di lantai dansa. Sejujurnya gadis itu tidak terlalu mahir
melakukan ballroom dance.
“Aku nggak terlalu mahir,” bisiknya pada lelaki itu
saat tangannya menyentuh bahu lelaki itu.
“Ikuti irama saja. Kamu pasti bisa,” katanya.
Mereka pun memulai langkah yang pertama. Dan yang
selanjutnya cukup mengalir dengan sendirinya. Tapi aneh, berdansa dengan lelaki
itu membuatnya lupa dengan sakit hati yang dirasakannya. Membuatnya lupa akan
segalanya. Bahkan lupa waktu. Dan ketika musik pengiring dansa slow foxtrot di putar barulah mereka
sadar.
“Aku nggak tahu dansa jenis ini,” bisiknya pada lelaki
itu.
Lelaki itu melihat jam tangannya, “sepertinya sudah
larut, nggak baik perempuan pulang selarut ini,” katanya.
“Ya, memang. Aku juga sudah mau pulang.”
“Aku antar?” tawarnya.
“Oh… nggak usah, aku bawa mobil sendiri,” kata gadis
itu sambil melepaskan tangannya dari bahu lelaki itu.
“Ya sudah, hati-hati di jalan,” kata lelaki itu sambil
tersenyum.
“Oke, terima kasih ya,” kata gadis itu berlalu dari
hadapan lelaki itu yang masih berdiri di lantai dansa.
Gadis itu mempercepat langkahnya. Tapi suara lelaki itu
menghentikannya kembali, “hei,” teriak lelaki itu.
Gadis itu segera berbalik menatap lelaki itu lagi.
“Kamu suka warna merah ya?” tanya lelaki itu.
“Darimana kamu tahu?” gadis itu mengernyit.
Lelaki itu tersenyum simpul, “karena setiap kali
menatap matamu aku selalu melihat warna merah di sana.”
Gadis itu semakin bingung. Ia memutuskan untuk tidak
bertanya lagi melainkan tersenyum kepada lelaki itu. Sebelum ia berbalik dan
mengambil langkah untuk pergi dari situ.
Lelaki itu tersenyum penuh misteri sambil matanya yang
sayu menatap kepergian gadis itu. Sebuah tangan tersampir di bahunya. Lelaki
itu segera berbalik hendak melihat siapa pemilik tangan itu. Seorang gadis
cantik berambut ikal panjang dengan gaun berwarna hitam mengkilap tersenyum ke
arahnya.
“Lama menunggu ya sayang?”
***