Baby Proposal
Prolog
Bruumm... Bruumm... Cakka meramas kuat gas cagiva-nya yang menimbulkan kebisingan di sekitarnya. Asap knalpot membuat polusi udara, namun dia tak peduli. Cagiva itupun melaju menyusuri jalanan dengan kecepatan tinggi, dan semakin tinggi. Dia sangat kesal, amarah di dalam dirinya berada pada titik puncak, darahnya sudah mendidih. Cakka merasa percuma memperjuangkan gadisnya itu, setelah segala upaya dilakukannya meyakinkan kedua orang tuanya terhadap gadisnya itu, dia malah menemukan pemandangan yang tidak mengenakan mata tadi. Gadisnya sedang 'berdua' dengan musuh bebuyutannya. Okay, mungkin kalau hanya berdua, Cakka tak akan semarah ini, tapi... You know-lah.
Cakka menyelip kendaraan secara sembarangan, melewati jalan-jalan dengan kecepatan diatas rata-rata. Bahkan, dia melewati jalan-jalan yang belum pernah di lewatinya. Tiba-tiba seekor kucing hendak menyebrang di sebuah jalan, membuat Cakka refleks membanting stir cagiva-nya. Niat hati ingin menghindar agar tidak menabrak kucing... Tapi...
BRUUUUKKK!!
Cakka malah menabrak seorang wanita...
***
1. The Beginning of Disaster
Ponsel Cakka berdering saat melangkah menyusuri halaman kampusnya. Segera ditengoknya layar ponselnya tersebut. Tertera “Ayah memanggil” Cakka segera menekan tombol hijau pada ponselnya hendak mengangkat panggilan Ayahnya tersebut.
...Hallo...
...Hallo, Cakka cepat ke rumah sakit sekarang...
...Kenapa Yah? Sivia kritis lagi yah?...
...Bukan, dia sudah siuman, kamu cepat kemari...
...Oke, Cakka segera kesana...
Cakka segera mengakhiri sambungannya dan kembali ke M3 miliknya. Dia segera memacu M3-nya itu menuju sebuah rumah sakit yang letaknya tidak begitu jauh dari kampusnya. Dia bergegas menuju ruang intensif rumah sakit tersebut. Di depan ruang intensif, Bundanya Cakka terlihat sedang menunggunya. Cakka segera menghampiri Bundanya itu.
“Cakka,” sapa Bundanya yang nampaknya khawatir.
“Ada apa Bun?,”
“Gawat Kka...ehm, Sivia, itu wanita yang kamu tabrak, sudah siuman, tapi...,” kata-kata Bunda Cakka menggantung.
“Tapi kenapa Bun?,” tanya Cakka sambil mengerutkan alisnya, dalam hati dia khawatir akan apa yang akan Bundanya sampaikan.
“Tapi...dia mau menuntut kamu,” kata Bundanya semakin terlihat panik.
“APA?!,” mata Cakka terbelalak.
“Kamu tenang dulu Kka,”
“Gimana bisa tenang Bun, masa Cakka mau dituntut sih? Padahal Cakka kan sudah bertanggung jawab membiayai rumah sakitnya, Bunda sama Ayah juga sudah menyelesaikannya dengan keluarga Sivia kan? Trus? Dia tidak bisa seenaknya dong menuntut Cakka,”
“Iya makanya kamu tenang dulu, tadi kita sudah menjelaskan pada Sivia, trus dia berterima kasih, tapi dia tetap mau menuntut kamu kalau kamu tidak menerima satu persyaratannya lagi,”
“Persyaratan apa Bun?,”
“Bunda juga tidak tahu, dia mau bicara langsung sama kamu, ayo masuk,” ajak Bunda Cakka.
Merekapun masuk ke dalam ruang intensif tersebut. Di dalam sudah ada Ayahnya Cakka, beserta seorang gadis seumuran Cakka. Itu Oik, adiknya Sivia, wanita yang di tabrak Cakka. Oik mewakili keluarga Sivia, dan Oik adalah satu-satunya keluarga Sivia. Dua bulan lalu mereka baru kehilangan kedua orang tua mereka dan suami Sivia dalam sebuah kecelakaan, waktu mereka akan menjalankan bisnis di luar kota. Sivia dan Oik waktu itu tidak ikut makanya mereka bisa lolos dari maut. Cakka mendekat ke arah mereka, tampak Sivia masih dengan alat bantu pernapasan. Dia terlihat lemah, tapi dia membuka matanya tanda dia sadar, sesekali mengerjapkan matanya.
“Oik... Lola mana?,” tanya Sivia dengan suara lemah.
“Di rumah kak...aku titip sama Mbok Sanah...aku kan tak mungkin bawa Lola kemari kak, kakak kangen yah sama Lola?,” Sivia mengangguk perlahan bulir air matanya jatuh membasahi pipinya.
Cakka agak bingung dengan yang terjadi di hadapannya. Dia berbisik dan bertanya pada Bundanya.
“Bun... Lola itu siapa sih? Bukannya keluarganya Sivia tertinggal Oik yah?,”
“Tadi Bunda sempat ngobrol sama Oik, ternyata Sivia itu punya anak yang baru berusia tiga bulan, nah Lola itu anaknya,”
“Oh,” Cakka mengangguk-angguk.
“Orang yang nabrak aku sudah datang Ik?,” tanya Sivia.
Oik menatap Cakka, Cakka agak mendekat dengan takut-takut diiringi anggukan Oik.
“Saya , aduh maaf banget, saya tidak sengaja,” sesal Cakka.
Sivia menyunggingkan senyum sinis di sudut bibirnya, “Kamu pikir cukup hanya dengan minta maaf,”
“Saya rela melakukan apa saja yang anda mau, asal jangan depak saya ke penjara, plis jangan laporin saya ke polisi,” kata Cakka hopeless sekaligus takut.
“Kamu yakin? Mau melakukan apa saja?,” tanya Sivia nadanya terdengar melemah.
“Yakin...saya yakin,”
“Baiklah...,” Sivia terdiam sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya, “Oik, kamu segera panggil pengacara keluarga kita, Kakak mau mengajukan proposal untuk orang ini,” Sivia menatap Oik kemudian berpaling lagi menatap Cakka, “kamu mau kan kalau saya pakai proposal?,”
Dengan cepat Cakka mengangguk. Tidak ada pilihan lain selain setuju dengan apa yang Sivia katakan. Dia tak ingin masuk penjara. Apa kata dunia nanti? Cakka masih ingin menyelesaikan kuliahnya, Cakka masih ingin menikmati kebebasan hidupnya, Cakka masih ingin berlaku seperti pemuda pada umumnya. Dia tak mau terkekang di dalam penjara!
“Baiklah, nanti kalau sudah selesai proposalnya, kamu kembali lagi kemari,”
***
Sentakan kaki Cakka terdengar menyusuri koridor rumah sakit. Setelah beberapa hari yang lalu, sejak pertemuan Sivia dengan pengacara untuk mengatur proposal, tiba-tiba dia kritis lagi. Tadi Bunda Cakka telepon, bahwa Cakka harus segera ke rumah sakit. Walaupun sebenarnya tadi ada kelas, Cakka memutuskan untuk bolos. Dari nada Bundanya sepertinya dalam keadaan genting.
Tiba di depan ruang intensif, Cakka segera membuka pintu dan masuk ke dalamnya. Ruangan sepi, yang terdengar hanyalah isak tangis seorang gadis di samping tempat tidur Sivia yang terbujur kaku. Itu tangisan Oik, di samping Oik ada seorang wanita paruh baya yang mengelus-ngelus punggungnya seraya menenangkan Oik sambil menggendong seorang bayi. Cakka terdiam sesaat di depan pintu, mencoba menyerap apa yang terjadi di hadapannya saat ini. Perlahan-lahan terpekik dalam hatinya... ‘ya ampun’. Cakka bergeming di depan pintu, dia masih shock dengan apa yang terjadi. Ayah dan Bunda Cakka yang menyadari kehadiran Cakka segera berdiri dan mendekati Cakka. Ayahnya menepuk bahu Cakka.
“Be a gentleman, kamu harus bertanggung jawab dengan semuanya ini,” kata Ayahnya.
“Tenang sayang, ingat masih ada proposal, Bunda harap apapun yang ada di proposal almarhumah Sivia kamu harus menyanggupinya, Bunda tak mau anak Bunda jadi seorang pengecut,” lanjut Bundanya.
Cakka mencoba menetralisir keterkejutan yang ada pada dirinya. Dia mencoba melangkah mendekati Oik, perlahan....dan perlahan, hingga tiba di samping Oik. Dia menatap Sivia yang sudah terbujur kaku lalu duduk di samping Oik, dan menatap gadis yang ada di sampingnya itu.
“Maaf,” kata itu saja yang bisa meluncur dari mulut Cakka.
Oik memalingkan pandangannya ke arah Cakka dan menatapnya dengan tatapan nanar. Membuat nyali Cakka semakin ciut, dia pasrah dengan apa yang akan di lakukan Oik padanya. Oik bisa menamparnya sesuka hati, bisa memukulnya juga, memakinya juga silahkan. Oik bebas melakukan apa saja padanya. Karena Cakka pikir dia memang seorang pembunuh yang telah membunuh kakaknya. Dia memang kejam. Sebisa mungkin dia membalas tatapan Oik bukan dengan tatapan menantang, melainkan rasa bersalah dari dalam hatinya.
Air mata Oik luruh, dia merasa orang yang paling mengenaskan sedunia. Dua bulan lalu dia kehilangan orang tuanya dan kakak iparnya, dan hari ini dia kehilangan kakak tercintanya. Terkadang sebagai manusia dia merasa bahwa Tuhan itu tidak adil di dalam hidupnya, namun dia tetap yakin bahwa rencana Tuhan itu, beautiful in it’s time. Dia merasa sendiri di dunia ini, setelah kakaknya pergi apa yang harus di lakukannya? Ayah dan Bundanya boleh mewariskan kekayaan yang tak akan habis sampai tujuh turunannya, tapi bukan itu yang dia mau. Dia menyadari, bahwa setelah ini tak akan lagi kehangatan keluarga seperti dulu, saat mereka semua masih ada di dalam dunia ini. Oik menatap lelaki yang ada di sampingnya waktu itu, dalam hatinya dia marah semarah-marahnya pada lelaki di hadapannya itu. Dia ingin menjambak rambut lelaki itu, ingin memakinya, ingin melihat dia hidup mengenaskan di dalam penjara. Tapi, tatapan lelaki itu begitu teduh, namun penuh penyesalan. Kata-kata yang Oik akan luncurkan tertahan di mulutnya. Di luar kendalinya, dia malah meraih lelaki itu dan memeluknya, menaruh kepalanya di pundaknya dan menangis sejadi-jadinya. Oik memang sedang butuh a shoulder to cry on, dia tak mungkin menangis di pundak Mbok Sanah yang sedang menggendong Lola. Lelaki di sampingnya inilah yang mungkin bisa menjadi a shoulder to cry on. Meski lelaki ini adalah pembunuh kakaknya.
Cakka kaget ketika Oik bukan menamparnya, bukan memakinya, ataupun memukulnya tapi malah memeluknya dan menangis di pundaknya. Air mata Oik membasahi kemeja yang Cakka kenakan. Isak tangisnya semakin menjadi. Cakka jadi bingung apa yang harus dilakukan kepada gadis yang sedang memeluknya ini. Dia mencoba mengangkat tangan kanannya dan membelai rambut Oik, lalu tangan kirinya mengusap punggung Oik. Lidahnya kelu untuk mengeluarkan kata-kata. Mungkin, jika dia berbicara akan membuat situasinya semakin parah. Wangi sampo Oik menari-nari di hidung Cakka yang berada begitu dekat dengan rambutnya.
Beberapa menit menangis di pundak Cakka, Oik mengangkat kepalanya dan beristirahat di dada Cakka. Isak tangisnya sudah berhenti tapi dia masih membutuhkan ketenangan. Dan lelaki ini memberinya ketenangan itu. Oik merasakan tangan Cakka berhenti mengusap punggungnya, dan membalas pelukan Oik itu. Oik menutup matanya, menarik napasnya panjang-panjang, sensasi benetton sport terasa di indera penciumannya. Biasanya Oik paling tidak menyukai wangi parfum cowok-cowok yang sampai menyesakkan hidungnya, tapi entah kenapa tidak begitu dengan Cakka.
Cakka menekan dagunya di puncak kepala Oik, sebelum mengeluarkan sebuah kalimat...
“Jangan menangis lagi, maafkan aku,”
Oik membuka matanya kembali, seakan kesadarannya kembali, dia segera menjauhkan diri dari dadanya Cakka dan menghapus sisa-sisa air mata di tepi matanya dan di pipinya.
“Besok setelah pemakaman, kita bertemu di kantor pengacara, ku harap kau tidak lupa dengan proposal yang diajukan kak Sivia tempo hari,”
***
Cakka turun dari SUVnya tepat di halaman sebuah gedung lebih tepatnya di kantor pengacara keluarga Oik. Dia segera memasuki kantor tersebut, dan segera menuju ke ruangan kantor pengacara tersebut. Sesuai permintaan Sivia dahulu, Cakka harus datang ke kantor pengacara sendiri tanpa membawa orang tua. Di tuntun oleh seorang pegawai Cakka masuk ke dalam ruang pengacara tersebut. Di dalam Oik bersama Mbok Sanah yang sedang menggendong lola telah berada di dalam.
Cakka duduk di samping Oik tepat di hadapan sang pengacara. Sang pengacara mengambil sebuah map yang berisi proposal yang di buat Sivia sebelum dia meninggal. Membukanya, dan menatap Cakka dan Oik secara bergantian.
“Kalian siap?, bisa saya mulai membacakannya?,” tanya sang pengacara.
Cakka dan Oik mengangguk secara bersamaan.
“Pada hari ini Senin tanggal tujuh April dua ribu dua belas, berhadapan dengan saya Mario Stevano Aditya Haling, Sarjana Hukum, Magister Hukum, advokat di Jakarta, penghadap bersama saksi-saksi yang akan di sebutkan pada akhir akta ini. Satu, Sivia Azizah lahir di Jakarta pada tanggal empat belas Pebruari seribu sembilan ratus delapan puluh sembilan, Warga Negara Indonesia, Wiraswasta, bertempat tinggal di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jalan Pegangsaan Timur nomor tujuh puluh dua, Nomor Induk Kependudukan tujuh dua titik tujuh tiga dua enam titik lima empat kosong dua delapan tujuh kosong kosong dua satu, sebagai penghadap atau disebut juga pihak pertama menyatakan dengan ini mengajukan proposal kesepakatan kepada dua, Cakka Kawekas Nuraga, lahir di Bintaro pada tanggal delapan belas Agustus seribu sembilan ratus sembilan puluh dua, Warga Negara Indonesia, pelajar atau mahasiswa, bertempat tinggal di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jalan Imam Bonjol nomor delapan, Nomor Induk Kependudukan tujuh dua titik tujuh empat dua enam titik delapan belas kosong delapan sembilan dua titik kosong satu dua sembilan atau disebut juga pihak kedua, ada pun uraian proposal yang harus di penuhi oleh pihak kedua yaitu sebagai berikut, satu sehubungan dengan kritisnya dan tidak memungkinkannya pihak pertama, maka pihak pertama menghibahkan anaknya kepada pihak kedua untuk menjaga dan merawatnya selayaknya anaknya sendiri. Dua, apabila terjadi hal-hal yang tidak diingikan kepada pihak pertama atau meninggal maka pihak kedua berkewajiban mengurus, membiayai bahkan mengambil hak asuh atas anak dari pihak pertama dalam hal ini Lola Allison Sindhunata dikarenakan pihak pertama sudah tidak mempunyai keluarga lagi. Tiga, pihak kedua tidak diijinkan untuk memakai jasa baby sitter dalam hal mengurus dan membesarkan Lola. Empat, pihak kedua diharuskan menjamin Lola sama seperti anaknya sendiri. Lima, sepeninggal pihak pertama, pihak kedua harus mengurus dokumen-dokumen yang menyatakan Lola sah menjadi anaknya di mata hukum. Enam, dikarenakan keluarga adik pihak pertama dalam hal ini Oik Cahya Ramadlani tidak ada lagi selain pihak pertama dan Lola dan apabila pihak pertama sudah tidak ada dan Lola juga akan dialihkan hak asuhnya pada pihak kedua, maka Oik di wajibkan menggantikan pihak pertama sebagai Ibu dari Lola atau dengan kata lain menikah dengan pihak kedua...,”
“APA?!,” Cakka dan Oik sama-sama kaget, mereka melotot sejadi-jadinya lalu secara bersamaan berdiri.
“Sabar dulu Pak Cakka, Bu Oik, proposal ini belum selesai dibacakan, bisa bertanya setelah proposal ini selesai dibacakan,” kata Pengacara menenangkan Cakka dan Oik.
Cakka dan Oik duduk kembali sambil sesekali mencuri pandang dan bergidik ngeri membayangkan yang tadi diucapkan oleh pengacara.
Pengacara pun melanjutkan membaca proposal tersebut, “Tujuh, apabila pihak kedua melanggar atau tidak mau menuruti proposal ini, maka sesuai kesepakatan pihak kedua harus menempuh jalur hukum karena perbuatannya pada pihak pertama, delapan proposal ini juga adalah wasiat terakhir dari pihak pertama apabila nantinya terjadi hal yang tidak diinginkan, demikian proposal ini dibuat dan diresmikan di Jakarta sesuai dengan tanggal yang tertera pada awal proposal dan dengan dihadiri oleh saksi-saksi yakni, Nona Alyssa Saufika Umari yang adalah pegawai kantor advokat beserta Nyonya Khasanah saksi dari pihak pertama, segera setelahnya berturut-turut penghadap, saksi-saksi selanjutnya advokat membubuhkan tanda tangan di atas proposal ini, di langsungkan dengan tanpa suatu perubahan apapun, tertanda penghadap Nyonya Sivia Azizah, saksi satu Nona Alyssa Saufika Umari, saksi dua Nyonya Khasanah, dan advokat saya Mario Stevano Aditya Haling, selesai, ada yang mau bertanya?,” Pengacara itu selesai membacakan proposal yang diajukan Sivia, dan menghadapkan map itu kepada Cakka dan Oik untuk dilihat dan dibaca.
“Pak, kenapa Kak Sivia mewasiatkan saya untuk menikah dengan dia?,” tanya Oik sambil menunjuk Cakka.
“Saya tidak tahu hanya almarhumah yang tahu, yang pasti ini adalah wasiat terakhir sepatutnya dipenuhi oleh anda berdua,” kata Pengacara.
Cakka membaca berulang kali proposal yang ada dihadapannya itu, dia shock berat. Sekarang dia berhadapan dengan dua pilihan yang sangat sulit. Mengabaikan proposal ini yang pasti dia akan masuk penjara dengan rentang waktu yang sangat lama, atau menerima proposal ini menjadi ayah sekaligus mempunyai calon isteri yang ada di sampingnya itu diusianya yang masih muda? Dia belum 20 tahun. Kuliahnya belum selesai dan harus menjadi ayah? Yang benar saja?
Dua-duanya sama-sama akan mengekang kebebasan masa mudanya. Dan dua-duanya tetap akan merusak nama baiknya. Cakka si pembunuh atau Cakka yang punya anak di luar nikah haduh. Dua-duanya sangat membingungkan. Kenapa Sivia memberinya proposal seperti ini? Ini sangat konyol. Tapi dia telah berjanji pada Sivia dan Sivia sudah meninggal, dia berhutang pada Sivia.
“Bagaimana Pak Cakka? Jika setuju silahkan tanda tangan persetujuannya di bawah sini, beserta anda Bu Oik,” kata Pengacara.
“Hah? Dengan saya?,” tanya Oik sambil mengerenyit.
“Ya, soalnya nama anda tercantum di sini,” kata Pengacara.
Cakka dengan ragu mengambil pena dari dalam sakunya. Tangannya terasa kaku hanya untuk menorehkan tinta hitam di atas proposal tersebut. Setidaknya, kalau pembunuh sampai mati dia akan dicap orang-orang sebagai pembunuh, tapi kalau seseorang yang punya anak di luar nikah sekarang sudah agak lazim dan apabila dia menikah dengan Oik nanti cap itupun hilang. Tapi dia tak bisa membayangkan kalau harus menikah dengan Oik, seseorang yang tidak dikenalinya secara pribadi, bahkan tanpa cinta dan diusianya yang masih muda seperti ini. Cakka menarik napasnya sebelum akhirnya menorehkan tanda tangannya di atas materai 6000 pada proposal tersebut.
Pengacara itu menyodorkan proposal itu kepada Oik untuk ditandatangani, Oik meraih pena dan menandatangainya dengan hati-hati, setelah selesai Oik menghela napasnya dalam-dalam. It's gonna be a disaster...
***
2. What a Crazy Life!
Cakka bolak-balik, dia tak bisa duduk diam saat sedang di sebuah cafe bersama Oik. Lain halnya dengan Oik dia tampak tenang menyesap cappuccino-nya.
“Aduh, aku harus bilang bagaimana yah sama orang tuaku?,” tanya Cakka, “tak mungkin kan tiba-tiba aku datang trus berkata seperti ini Ayah, Bunda, Cakka datang bawa anak dan calon isteri, haaa, it's disaster for me,” lanjut Cakka.
“Kamu bisa duduk tenang? Aku pusing lihat kamu bolak-balik kayak seterikaan seperti itu, kita memikirkan jalan keluarnya bersama dengan tenang, kalau panik tidak akan ada jalan keluar,”
Cakka menatap kursi di hadapannya, kemudian duduk dan langsung menyambar cappuccino yang ada di meja menyesapnya dengan cepat-cepat, lalu kembali meletakannya.
“Kamu punya pacar?,” tanya Cakka tiba-tiba kepada Oik.
Oik dengan tenang menggeleng setelah menyesap cappuccino, “Aku tak punya pacar, memangnya kenapa?,”
“Ya, kalau kamu punya pacar aku mau menghadap sama pacarmu itu,”
“Buat apa?,”
“Buat bilang sesuai dengan wasiat terakhir kakakmu kamu bakal jadi isteriku, jadi kalian harus putus sekarang juga,” kata Cakka.
“Kamu sendiri? Aku tidak mau tiba-tiba ada seorang gadis datang ke rumahku, menjambak-jambak rambutku, memakiku, gara-gara kamu akan menikahiku ehem sesuai dengan wasiat kakakku,”
“Aku tidak punya pacar, kita putus sehari setelah aku menabrak kakakmu,” kata Cakka.
Terdiam sesaat, sebelum...
“Jadi bagaima---,” kata keduanya bersamaan.
“Ladies first,” Cakka mempersilahkan Oik bertanya duluan.
Oik menghela napasnya, “Jadi bagaimana selanjutnya? Kamu akan mengatakan hal ini kepada orang tuamu?,”
Cakka nampak berpikir, “Aku tidak akan memberitahu mereka kalau aku harus menjadi ayahnya Lola dan harus menikahimu, mereka akan shock dengan isi proposal itu, orang tuaku pasti tidak akan mengizinkanku menerima hibah itu, dan menikah denganmu tanpa...ehm cinta,”
“Lalu?,”
Cakka kembali memutar otaknya, “Begini saja, aku akan bilang kepada orang tuaku, kalau isi proposalnya adalah aku harus merawat dan menjaga kamu dan Lola, karena kalian tidak punya keluarga lagi, dan kamu tidak mungkin mengurus Lola sendirian,”
“Ada pembantuku,”
“Iya sih, tapi pokoknya begitu saja, nanti antara kamu yang pindah ke rumahku atau aku yang pindah ke rumahmu,”
“Kamu saja yang pindah ke rumahku,”
“It's okay, terserah kamu trus sekitar sebulan gitu, baru aku kembali dengan meminta restu kepada orang tuaku, menikahimu, setidaknya dengan alasan aku cinta kamu setelah sebulan, aku rasa mereka akan percaya, baru setelah itu kita urus dokumen-dokumen yang menyatakan bahwa Lola itu anak kita,” kata Cakka.
Oik agak risih mendengar Cakka menyebut “anak kita”. Dia tak bisa membayangkan di usianya yang baru menginjak 20 tahun, dia akan menjadi orang tua karena hibah dari kakaknya itu. Dia tak habis pikir kenapa Sivia memberinya tanggung jawab itu bersama orang yang tidak benar-benar dikenalinya ini. Oik menghela napasnya lalu menghembuskannya lagi sebelum dia mengangguk.
***
“Cakka, duduk,” orang tua Cakka menyuruhnya duduk saat dia menginjakan kaki di ruang keluarganya.
Cakka segera melangkah mendekat ke arah kursi da vinci code. Lalu menghempaskan pantatnya dan duduk.
“Apa isi proposalnya?,” tanya Bundanya sambil mengerenyitkan dahinya.
“Isinya Cakka diberikan tanggung jawab untuk menjaga Lola dan Oik, karena mereka tidak punya keluarga lain lagi,” kata Cakka.
“Ya sudah bawa saja Lola dan Oik ke rumah ini,” kata Ayahnya.
“Tapi Oik tidak mau meninggalkan rumahnya, jadi Cakka yang harus pindah ke sana,”
“Jadi artinya kamu akan meninggalkan kami?,” tanya Bundanya.
Cakka berjalan mendekat ke arah Bundanya mengecup pipi Bundanya, “Cakka tidak akan meninggalkan kalian kok, Cakka tetap akan sering kemari atau Ayah dan Bunda yang main ke rumah Oik, lagi pula kan masih ada Mas Elang di sini yang bisa jaga Ayah dan Bunda, ya, kalau mau Cakka masuk penjara sih, Cakka akan menolaknya,” kata Cakka.
Ayah dan Bundanya saling tatap-tatapan, “Ya sudah, kapan pindahnya?,” tanya Ayah.
“Hari ini juga,”
***
Oik membantu Mbok Sanah merapikan kamar yang akan di tempati Cakka. Itu kamar tamu di rumah mereka. Setelah selesai, mereka keluar dari situ dan menunggu Cakka di ruang tamu.
Bell rumah Oik berbunyi, Mbok Sanah segera berlari membuka pintu disusul Oik mengekor di belakang. Setelah tiba di daun pintu, Mbok Sanah membuka pintu rumah itu.
Cakka berdiri di depan pintu rumah bersama kedua orang tuanya. Mbok Sanah mempersilahkan mereka semua masuk ke dalam rumah. Oik tersenyum menyambut mereka segera menyalami kedua orang tua Cakka.
Sementara Mbok Sanah mengantar Cakka ke kamarnya, Oik dan kedua orang tua Cakka berbincang-bincang di ruang tamu.
“Kamu anaknya Dave dan Winda yah?,” tanya Ayah Cakka.
“Iya Pak, Bapak kenal dengan almarhum dan almarhumah orang tua saya?,”
“Aduh Oik, tak usah memanggil kita Bapak dan Ibu panggil Om dan Tante aja, iya kita kenal, kenal banget malah,” kata Bunda Cakka.
“Maaf, Om, Tante,”
“Pantas saja wajahmu dan almarhumah kakakmu familiar, kenapa tidak bilang dari awal kalau kalian anak mereka,”
“Saya tidak tahu kalau Om dan Tante ini kenal sama almarhum Ayah dan almarhumah Bunda saya,”
Cakka terlihat datang menghampiri mereka. Dia duduk tepat di samping Oik.
“Kalian tahu tidak, dulu Ayah dan Bunda serta Dave dan Winda berencana menjodohkan anak-anak kita, tapi kata Bunda kamu anaknya namanya Azizah, nah Azizah itu mau dijodohkan sama Elang, tapi setahun yang lalu kami membatalkannya, karena Azizah malah memperkenalkan calon suaminya mereka jadi tidak enak, Elang juga sepertinya tidak mau dijodohkan, maka dari itu kita putuskan kalau memang sebuah pernikahan itu harus dilaksanakan dengan cinta, terus dimana Azizah?,” jelas Bundanya Cakka.
“Azizah itu Kak Sivia Tante, dia memang sering dipanggil Ayah dan Bunda dengan nama keduanya Azizah,” kata Oik.
“Oh pantes, sebenarnya Om dan Tante mau datang ke pernikahannya Azizah, maksud Tante Sivia, tapi mendadak ada urusan, jadi tidak sempat datang, coba saja kita datang yah Yah, kita pasti tahu,” kata Bunda Cakka, Ayahnya pun mengangguk.
“Coba saja Dave dan Winda masih ada, pasti kita bisa mengatur lagi, perjodohan kalian,” Ayah Cakka tersenyum.
Mata Cakka dan Oik terbelalak, kemudian saling pandang memandang, keduanya sama-sama kaget.
“Hahaha, bercanda, tentukan jodoh kalian saja, tidak perlu perjodohan, sekarang kan jamannya Anang-Ashanty jadi pilihlah jodoh kalian masing-masing,” kata Ayah Cakka.
Merekapun melakukan perbincangan, sebelum Ayah dan Bundanya Cakka pamit pulang.
***
Oik mengambil Lola dari kamarnya, kemudian membawa Lola kepada Cakka yang berada di ruang tamu.
“Lola belum kenalan yah sama Papa Cakka, kenalkan Papa namaku Lola Allison Sindhunata panggil saja Lola,” kata Oik.
“Oik,” panggil Cakka sambil menatapnya dengan tatapan aneh sedunia.
“Kenapa?,” tanya Oik dengan wajahnya yang innocent.
“Aku berasa aneh di panggil Papa,”
“Lho? Kamu kan yang bakalan jadi Papanya, jadi pengganti Kak Alvin,”
“Alvin?,” Cakka mengerenyit.
“Alvin itu nama Papanya Lola, suaminya Kak Sivia,” kata Oik.
“Ya...ya...ya tapi kamu jangan lupa, kamu juga yang akan mengganti Sivia jadi Mamanya Lola,” kata Cakka, “Lola, sekarang jangan panggil Tante Oik lagi yah, panggil Mama Oik,” lanjut Cakka sambil menatap Lola di gendongan Oik.
Lola mungil itu tertawa, dia terlihat sangat lucu, dia seperti tidak punya beban apapun.
“Cakka kamu coba deh gendong Lola,” kata Oik menyerahkan Lola, tapi Cakka ragu-ragu mengambilnya.
“Aku tidak tahu cara gendong bayi,” kata Cakka.
“Makanya belajar, Papa yang baik harus tahu merawat anaknya, ingat proposal!,” kata Oik dengan hati-hati menyerahkan Lola ke tangan Cakka.
Cakka menggeleng frustasi, menerima Lola di gendongannya, “Baby proposal is killing me,” ucap Cakka pelan.
“Nah itu bisa, hati-hati,” kata Oik.
“Iya Mama,” kata Cakka memutar-mutar bola matanya.
“Cakka, don't call me like that, so funny,”
“Lho? Kenapa kan kamu tetap akan menjadi isteriku,” Cakka membalas Oik, dengan pernyataannya, sambil mengerling ke arah Oik.
Oik bergidik ngeri kemudian berlalu dari hadapan Cakka. Sedangkan, Cakka berusaha menahan ketawanya, geli melihat sikap Oik tadi.
Sesuatu yang hangat mengalir membasahi kemeja Cakka. Tangannya juga mulai basah dengan cairan hangat yang mengalir itu dan ternyata...
“Oiiiikkkkkk... Lola tidak memakai pampers ya tadi?,” tanya Cakka setengah berteriak membuat Oik menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Cakka.
“Kenapa?,”
“Lola ngompoooooooolll, haduh kemejaku....,” kata Cakka dengan tatapan paling mengenaskan sedunia.
“Hahahahaha,” Oik terkekeh melihatnya.
***
“Oik...,” Cakka membangunkan Oik. Mereka tertidur di samping box Lola. Tadi malam Lola rewel, dia terus-terusan menangis. Cakka dan Oik terus-terusan membujuknya tapi dia tidak mau tenang. Makanya mereka secara bergantian menjaga Lola sampai tertidur. Lola baru bisa tenang jam 03.00 pagi. Dan terakhir yang menjaga adalah Oik, karena Cakka sudah duluan tertidur dari jam 02.30 pagi tadi. Mungkin, Oik kecapean.
Oik menggeliat, “Hm,” hanya itu jawabannya, tapi matanya masih tertutup, kepalanya masih menelungkup dengan dua tangannya sebagai bantal di atas box Lola.
Cakka mendekatkan bibirnya kearah telinga Oik dan berbisik karena takut Lola terbangun, “Aku mau siap-siap pagi ini aku ada kelas, jadi harus ke kampus, kamu jaga Lola yah? Oh ya kamu ngampus jam berapa?,”
Oik menggerakan kepalanya, ke arah Cakka tapi tetap enggan membuka matanya. Matanya sangat lelah, “Hoaaayeem, jam satu,”
“Aku pulangnya jam sebelas, nanti kita gantian ya?,”
Oik cuma mengangguk membalas pertanyaan Cakka itu.
“Oke, aku siap-siap dulu,” kata Cakka sebelum berdiri dan pergi, dia menatap gadis di hadapannya itu. Ternyata Oik lumayan telaten menjaga bayi. Cakka menyunggingkan senyum di sudut bibirnya, lalu mengecup pipi Oik, menunggu reaksi Oik akan apa yang dilakukannya tadi. Tapi, Oik bergeming, sepertinya gadis ini benar-benar kelelahan. Cakka segera melangkahkan kakinya dari kamar tersebut dan bersiap-siap untuk pergi ke kampus.
Oik bangun pukul 10.00, tadi malam dia benar-benar kelelahan. Lola sepertinya merindukan kedua orang tuanya. Oik baru merasakan betapa repotnya menjaga bayi saat ini. Gimana nanti kalau Oik punya anak? Dia segera menjauhkan pikirannya itu. Pipinya terasa basah, tadi sepertinya ada yang menekan pada pipinya. Mungkin sebuah kecupan. Tapi tidak mungkin, Bundanya kan sudah tidak ada. Padahal dulu setiap Oik terlambat bangun untuk ke sekolah, bahkan hingga saat dia kuliah, Bunda selalu membangunkannya dengan sebuah kecupan. Mungkin itu hanya perasaannya saja karena kangen pada Bundanya.
Oik pun menatap Lola, bayi mungil itu masih terlelap, dia capek sepertinya. Oik membelainya dengan hati-hati agar Lola tidak terbangun.
“Kasihan kamu Nak, masih bayi sudah jadi yatim piatu,” Oik tersenyum pahit, “Mama Oik sama Papa Cakka janji tidak akan meninggalkanmu dan membuatmu merasa sendirian, kami akan selalu ada untukmu,”
Tiba-tiba perut Oik terasa lapar. Late breakfast. Oik pun segera keluar dari kamar Lola, menuju ruang makan untuk sarapan.
***
“Woiii!!!,” Ray menepuk pundak Cakka saat dosen sedang keluar. Tadi Cakka hampir saja tertidur di dalam kelas, “kamu kenapa sih Bro? Kayak orang yang tidak tidur semalaman?,”
“Aku memang tidak tidur semalam,” kata Cakka yang kaget bangun karena tepukan ray pada pundaknya itu.
“Memang semalaman kamu ngapain? Perasaan hari ini tidak ada tugas, free,” kata Ray.
“Aku jaga Lola,”
“Lola itu siapa?,”
“Anakku,”
“APA?! Ya ampun Cakka kamu sudah punya anak? Kapan nikah?,” Ray berteriak saking kagetnya, membuat seluruh mahasiswa di dalam kelas menatap ke arah mereka penuh tanya, ada juga yang menatap Cakka dengan tatapan menyelidik.
Cakka membungkam mulut Ray dengan kedua tangannya, “Bukan begitu Ray, ehm...e maksudku, tadi malam aku baca novel yang judulnya Lola and the boy nextdoor sambil jaga anaknya tanteku yang masih bayi,” alibi Cakka.
“Tante? Emang kamu punya tante yang baru melahirkan ya Kka?,” Ray mengerenyit sambil menatap Cakka.
“Ada, itu tanteku yang baru datang dari Yogyakarta,”
“Kenapa bukan tante kamu yang jagain?,”
“Soalnya...itu...tanteku kemarin ada urusan gitu, pulangnya baru hari ini anaknya yang bayi dititipkan di rumah, iya...begitu Ray,”
Ray masih menatap Cakka dengan penuh kecurigaan, sebelum dosen masuk kembali menyelamatkan Cakka. Cakka menghembuskan napasnya 'sedikit' lega.
Jam 11.00 Cakka sudah menyelesaikan mata kuliahnya, dia segera mengambil kunci SUV dari dalam sakunya, dan segera menuju parkiran. Tapi sebelum tiba di parkiran Cakka sudah di cegat oleh kawan-kawannya.
“Kka...katanya mau latihan nge-band,” kata seseorang yang berambut mohawk.
“Iya, Kka mana janjimu? Katanya aku mau dipinjamkan pick guitar yang keren itu loh, yang kamu pake tempo hari,” kata seorang lagi yang berambut spike.
“Oh ya ampun, lupa! Latihannya di studio rumahku saja yah, nanti sekalian pilih deh pick guitar yang kamu mau,” kata Cakka, ”yuk naik ke mobilku aja,” kata Cakka mengajak keduanya.
SUV Cakka melaju menuju rumahnya. Setiba di sana Cakka segera mengajak teman-temannya itu menuju kamarnya untuk mengobrak-abrik koleksi pick guitar-nya. Lama mereka di situ, setelah mendapat apa yang mereka inginkan, Cakka mengajak mereka ke studio di dalam rumahnya. Studio milik kakaknya sih tapi dia biasa memakainya. Soalnya, studio punyanya sedang di perbaiki karena ada beberapa alat yang rusak.
Merekapun memainkan beberapa lagu, sebelum Cakka terpekik kaget, melihat arlojinya yang menunjukan pukul 12.00...
“Ya ampuuuun,” kata Cakka sambil menepuk jidatnya.
“Kenapa Kka?,” tanya teman-temannya tersebut menatap Cakka heran.
“Aku...aku harus pergi sekarang, ada urusan, hm gini aja...kalau kalian masih mau latihan silahkan, nanti aku bilang sama pembantuku biar kalau Mas El datang kalian diizinin tetap main di studio ini, nanti kalau mau pulang...,” Cakka mengeluarkan sebuah kunci dari dalam sakunya, “pake aja M3-ku yang ada di garasi,” Cakka melempar kunci tersebut kepada seorang yang berambut spike.
“Memangnya ada urusan apa sih Kka?,” tanya yang berambut mohawk.
“Penting! Udah ya aku cabut dulu,” kata Cakka segera membuka pintu studio dan keluar dari rumahnya dengan bergegas.
Dia segera naik ke dalam SUVnya dan memacu SUVnya dengan kecepatan tinggi. Sialnya, Jakarta sedang macet dan Cakka terjebak di tengah kemacetan tersebut. Cakka segera meraih ponselnya, dan melihat GPS, semoga ada jalan dekat sini yang bisa membuatnya tiba di rumah Oik dengan cepat.
Cakka tiba di rumah Oik pukul 12.37 menit. Dia segera memarkir SUV di garasi dan bergegas masuk ke dalam rumah. Mencari Lola di kamarnya tapi Lola tidak ada, dia pun memutuskan untuk mencari Oik. Tapi sepertinya Oik juga sudah berangkat ke kampusnya. Tapi dimana Lola?
Cakka kembali mengitari rumah Oik, mencari-cari Mbok Sanah, siapa tahu Lola ada bersama Mbok Sanah.
“Mbok, Lola ada sama Mbok?,”
“Aduh Tuan, Lola tidak ada sama saya, saya juga dari tadi nyari Lola, kan tadi saya ke pasar, pas balik Non Oik sudah berangkat ke tempat kuliahnya, kata pembantu yang lain Oik juga tidak bilang-bilang waktu dia berangkat kuliah, makanya Mbok takut ini, tapi mobilnya Non Oik sama Mojo tidak ada di tempat, jadi kemungkinan Non Oik diantar Mojo ke sekolahan,” jelas Mbok Sanah.
Tiba-tiba ada suara mobil. Itu mobil Oik, Cakka dan Mbok Sanah bergegas ke garasi. Di garasi hybrid inside bertengger dan Mojo supir keluarga Oik keluar dari dalam mobil. Dia langsung dicegat Cakka dan Mbok Sanah.
“Jo, dari mana?,” tanya Mbok Sanah.
“Aku habis antar Non Oik ke kampus,” kata Mojo.
“Kamu tahu tidak Lola ada dimana? Oik tidak cerita apa-apa soal Lola?,” tanya Cakka.
“Ah itu, tadi Mojo kaget juga Tuan, masa Non Oik ke kampusnya bawa Non Lola, soalnya tadi katanya Tuan Cakka belum datang, Mbok Sanah lagi ke pasar dan yang lain entah kemana dari tadi Non Oik nyari tidak ada orang sama sekali, jadi Non Oik panggil Mojo suruh antar ke kampus,” kata Mojo.
“Jadi maksud kamu Oik bawa Lola ke kampus gitu?,” tanya Cakka, matanya membelalak.
“Iya Tuan,” kata Mojo.
“Dimana kampus Oik?,”
“Universitas Atmajaya,”
Cakka segera masuk ke dalam SUVnya dan memacu SUVnya ke kampus Oik.
Tiba di kampus Oik, Cakka celingak-celinguk mencari Oik. Gadis itu entah apa yang dipikirkannya, kenapa membawa Lola ke kampus? Apa bisa seorang bayi berada di lingkungan kampus?
Cakka pun memberanikan diri bertanya pada orang-orang disekitarnya. Tapi, belum ada petunjuk tentang Oik dan Lola.
“Misi, tahu Oik? Oik Cahya Ramadlani, mahasiswa semester 4, saya lupa dia jurusan apa, tapi pokoknya dia bawa-bawa bayi gitu,”
“Tadi saya lihat yang bawa bayi memang ada mahasiswa yang bawa bayi, tapi dia di kantin kayaknya,”
“Kantin sebelah mana yah?,”
“Lurus trus belok kanan mentok di ujung tengok kiri nah ada tulisan kantin, disitu,”
“Oke, makasih yah,” kata Cakka segera bergegas pergi ke kantin seperti yang ditunjukan orang tadi.
Cakka melihat Oik sedang menggendong Lola dan berbincang dengan penjaga kantin. Cakka segera mendekat.
“Oik,”
“Cakka, kok bisa di sini?,”
“Kenapa bawa Lola kemari?,”
“Habis kamunya lama, aku tungguin, udah tahu aku ada kelas jam satu, jadi harus datang sebelum jam satu, terus tadi Lola tak mau minum susu, dia rewel, kayaknya dia butuh ASI, soalnya umurnya baru tiga bulan, aku ingat Ibu kantin baru melahirkan, jadi aku mau minta tolong kasih Lola ASI gitu, kasihan kan Lola kelaparan tapi tidak mau minum susu kaleng, eh Ibu kantin yang baru melahirkan itu tidak masuk,” jelas Oik.
“Ya sudah sini Lola sama aku, nanti kamu selesai kelas kita cari sama-sama siapa yang bisa kasih Lola ASI,” kata Cakka.
Oik melirik arlojinya 5 menit lagi jam 1, dengan hati-hati dia menyerahkan Lola ke dalam gendongan Cakka.
“Cakka kamu tunggu di kantin sini aja yah, nanti di temani sama Acha, anak Ibu penjaga kantin, jangan kemana-mana yah,” kata Oik sambil menyampirkan tas bayi di bahu Cakka, “popok, bedak bayi, baju, celana dan lain-lain ada di dalam, kalau Lola ngompol, kegerahan tolong di tangani yah, nanti minta bantuan Acha aja kalau kamu ribet, aku kembali satu jam lagi, dada Lola, Mama Oik pergi dulu, jangan nakal yah sama Papa Cakka,” kata Oik mengecup pipi Lola dan hendak beranjak pergi.
“Oik,” panggil Cakka.
Oik berbalik ke arah Cakka, “Ya?,”
“Aku?,” tanya Cakka dengan tampang polos.
Oik kebingungan dengan maksud Cakka, kemudian akhirnya mengerti maksudnya, Oik melihat kiri-kanan di kantin lumayan banyak orang karena jam makan siang, tapi...
Cup. Oik mengecup pipi Cakka dengan cepat, “Makasih sudah mau jagain Lola,” kata Oik langsung melengos pergi.
***
Oik melangkahkankan kakinya bergegas kembali ke kantin. Setelah satu jam mata kuliahnya tadi, dia tidak bisa berkonsentrasi karena memikirkan keadaan Lola dan Cakka di kantin. Tiba di kantin, Oik mendapati Cakka sedang berdiri menggendong Lola, nampaknya dia sedang bermain dengan Lola.
Oik mendekat, Lola juga sudah tampak rapi, dia sudah berganti baju, hanya bedaknya yang agak belepotan.
“Tadi Lola ngompol Ik, jadi aku gantiin dia baju, dibantu Acha sih, hehehehe,” kata Cakka sambil menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
“Kamu sudah kasih susu formula buat Lola belum?,”
“Udah tadi, dia tetap menolak, kan kasihan Ik, Lola belum ngisi perutnya dari tadi pagi,” kata Cakka.
“Iya nih, makanya ayo cepat kita cari ibu-ibu yang bisa nyusuin Lola,” kata Oik.
“Ya udah, ayo,” kata Cakka mendahului Oik bersama Lola yang masih ada dalam gendongannya.
“Ehm, Kka,” Panggil Oik, Cakka menoleh sambil mengangkat kedua alisnya, “aku yang gendong Lola yah, kamu duluan yang ke tempat parkir aku sama Lola tunggu di depan kampus, nanti kamu jemput kita di sana yah,” kata Oik.
“Lho? Kenapa? Ayo bareng aja Ik,”
“Kita jadi kayak keluarga berencana Kka,”
“Hahahaha...keluarga berencana semboyannya dua anak cukup, ini cuma bawa satu anak berarti harus nambah lagi,”
“Cakkaaaaa...,”
“Kenapa?,”
“Sudah pokoknya Lola aku yang gendong,”
“Iya deh...iya,” kata Cakka sambil menyerahkan Lola ke tangan Oik.
“Oke, duluan aja Kka,” kata Oik.
Cakka bukannya pergi, malah menaruh tangan kirinya di pundak Oik, “Acha, makasih ya sudah bantu tadi, aku sama Oik pergi dulu, daaaa,” ujar Cakka sambil melambaikan tangan kanannya ke arah gadis penjaga kantin.
“Iya sama-sama,” jawab Acha.
“Yuk kita pergi,” kata Cakka tangannya masih melingkar di pundak Oik, langsung menyeret langkah dan dengan terpaksa Oik ikut membuang langkahnya.
Oik ingin menutup dan membenamkan wajahnya. Dia merasa jadi pusat perhatian mahasiswa yang lalu lalang. Ini ide yang sangat gila, gimana sih rasanya jalan gendong bayi di samping ada cowok yang megang tas bayi, di koridor kampus? Beginilah rasanya, serasa jadi miss universe yang sedang melenggak-lenggok, sehingga semua mata tertuju padamu. Kalau ketahuan dosen bisa berabe!
Oik menatap Cakka di sampingnya yang seakan tidak peduli dengan tatapan aneh orang-orang di sekitar mereka. Oik pun menarik napasnya dan mencoba berlaku sesantai mungkin, seperti halnya Cakka.
***
“Cakka, kenapa balik ke rumah?,” tanya Oik ketika SUVnya Cakka berhenti di halaman rumah Oik, “kita kan mau cari ibu-ibu yang bisa menyusui Lola, di sini mana ada?,”
“Kita ambil keretanya Lola, jalan-jalan di taman, pasti ada ibu-ibu yang bawa bayinya jalan-jalan di sana, nah supaya kamu tidak capek gendong Lola terus, kita pakai kereta, kamu tunggu di sini saja, biar aku yang turun dan ambil keretanya Lola, oke,” kata Cakka mengacak poni Oik lalu bergegas turun dari SUVnya.
Tak lama kemudian Cakka kembali dengan Mojo yang membawa kereta Lola dan segera menaruhnya di bagasi. Setelah semuanya siap, Cakka kembali memacu SUVnya menuju taman kota.
Tiba di taman kota, banyak manusia yang lalu lalang. Cakka segera menurunkan kereta bayi dari dalam bagasinya kemudian mendorongnya tepat di samping pintu depan mobil di mana Oik dan Lola akan turun. Cakka membukakan pintu mobilnya kemudian Oik segera turun dan meletakan Lola di dalam kereta bayi tersebut. Oik menyampirkan tas yang berisi perlengkapan Lola di bahunya. Lola kelihatan sangat lemas, dia kelihatan sakit, tidak riang seperti biasanya. Cakka dan Oik jadi khawatir.
“Kka, kayaknya kita harus cepat-cepat nyari ibu-ibu buat nyusuin Lola deh, aku kasihan lihat dia,” kata Oik.
Cakka segera mendorong kereta bayi itu, Oik menyamakan langkahnya dengan langkah Cakka. Mereka berdua celingak-celinguk memperkirakan ibu-ibu mana yang bisa mereka minta tolong. Mereka tentu harus hati-hati.
“Oik, ibu yang sana, yang pake baju merah sambil gendong bayinya,” tunjuk Cakka.
“Jangan deh Kka, lihat aja tuh di sekitarnya anak-anaknya banyak banget, kasihan ibunya kan,” kata Oik.
Mereka lagi-lagi celingak-celinguk.
“Gimana kalau ibu yang sana?,” tanya Oik sambil menunjuk ibu-ibu yang mendorong kereta bayi hanya mengenakan tanktop dan celena pendek.
Cakka bergidik ngeri, “Ihhhh....ngeri deh Ik, ibu-ibu itu kayak wanita panggilan, jangan-jangan ada AIDS lagi, Lola kena kan berabe,”
“Hush! Kka don't judge someone, if you don't know inside,”
“Ya elah Ik, kan jaga-jaga buat kebaikannya Lola,” kata Cakka, “hmmm...ibu yang sana gimana?,” tanya Cakka sambil menunjuk ibu yang pake daster.
“Ih Cakka! Itu ibunya belum melahirkan juga,” kata Oik.
“Yah, tapi kan ASI-nya sudah diproduksi,” kata Cakka.
Oik menggeleng, “Jangan yang itu Kka,”
“Haduh, susah juga yah,” kata Cakka sambil mengacak rambutnya sendiri.
“Ya udah, yuk jalan lagi, kita cari lagi,” kata Oik berjalan mendahului Cakka.
Cakka menyusulnya sambil mendorong kereta bayi Lola.
“Oik,” panggil Cakka.
Oik menoleh, ”Hm?,”
“Ibu yang sana pasti cocok,” kata Cakka sambil menunjuk seorang ibu yang duduk di bangku taman sambil menggendong bayinya.
Oik menyunggingkan senyum di bibirnya, “Pasti! Ayo,” kata Oik.
Mereka pun mendekati ibu itu.
“Bu Darwi,” sapa Oik.
“Eh Non Oik,” balas ibu itu sambil tersenyum dan menatap Cakka dan kereta bayi Lola di samping Oik.
“Lho? Oik? Ini siapa? Kamu sudah menikah?,” tanya orang yang dipanggil Bu Darwi oleh Oik itu.
“Hahahaha...tidak Bu, kapan Oik menikah coba?,”
“Trus ini anak siapa?,”
“Oh, ini anaknya almarhumah Kak Sivia Bu, kakak saya yang baru meninggal beberapa hari lalu, oh ya Ibu tadi tidak jaga kantin kenapa?,”
“Iya, nih anak Ibu rewel kayaknya dia minta jalan-jalan,”
“Oh ya Bu, Oik bisa minta tolong?,”
“Minta tolong apa?,”
“Gini, Lola kan dari tadi pagi tidak mau minum susu formula, sepertinya dia mau minum ASI tapi kan Ibu tahu sendiri mamanya sudah pergi, jadi Oik mau minta tolong Bu Darwi bisa nyusuin Lola? Kasihan Bu, dia tidak minum dari pagi, nanti dia sakit, Oik khawatir,” kata Oik.
“Oh nama bayi cantik ini Lola yah, ya sudah sini,” kata Bu Darwi sambil mengangkat Lola dari dalam kereta bayinya.
“Cakka! Balik badan!,” kata Oik.
“Lho? Kenapa?,” tanya Cakka dengan tampang super duper polos.
“Ya iyalah, Bu Darwi kan mau nyusuin, mau lihat?,”
“Ck, iya deh, kalau begitu aku beli minuman dulu yah haus,” kata Cakka lalu melengos pergi.
***
3. Faster Plan
Cakka bingung apa yang harus dilakukannya. Hari ini dia sendirian di rumah. Oik pergi mengerjakan pekerjaan kelompok di rumah teman kampusnya. Mbok Sanah dan ketiga pembantu lainnya pergi ke supermarket. Mojo pergi ke tempat servis mobil sedangkan tukang kebun tentu saja sibuk dengan kebunnya. Lola terlihat tertawa-tertawa saja dengan permainan baru yang dibelikan Cakka.
Tiba-tiba rasa kantuk menyergap Cakka, diangkatnya Lola dari dalam box-nya tentu saja bersama permainan yang baru Cakka belikan, khusus untuk bayi yang baru 3 bulan seperti Lola. Kemudian menggendong Lola menuju kamarnya dan meletakan di atas springbed Cakka.
Cakka mengambil koleksi fabel dari dalam lemari kecil di dekat springbed-nya itu. Cakka memang gemar mengoleksi buku-buku jenis apapun, termasuk fabel, cerita dongeng, dan lain sebagainya. Dia memang tidak membawa semua koleksinya ke rumah Oik ini. Hanya sebagian yang dia rasa akan berguna, seperti cerita untuk anak-anak punyanya semasa kanak-kanak.
Dibukanya buku tersebut, ada cerita tetang harimau dan gajah, tikus dan untah, laba-laba dan kecoa, dan lain sebagainya. Tapi sepertinya Lola tidak cocok dibacakan cerita semacam ini. Dia mengurungkan niatnya dan membuang buku itu secara sembarangan. Lalu menelungkup di samping Lola, kedua tangannya digunakan untuk menahan dagunya.
“Lola, kamu tahu tidak kenapa Mama kamu menyuruh Papa Cakka nikah sama Mama Oik? Padahal kita kan belum saling mengenal baik, terus ya, kamu mau gitu kalau Papa Cakka sama Mama Oik menggantikan mama dan papamu yang asli?,” Cakka seperti orang gila yang mengobrol pada boneka. Tentu saja Lola seperti boneka, dia tak bisa menjawab Cakka, dia hanya menatap Cakka dengan tatapan paling tidak berdosa sedunia. Sesekali membuka mulutnya, menunjukan gusinya yang tanpa gigi.
Cakka menyentuh pipi Lola, kulit bayinya terasa begitu lembut di kulitnya, “trus ya Lola, nama kamu tuh ingatin Papa sama sebuah novel, tahu tidak Papa Cakka baca novel itu karena...hoaaayeeem,” tiba-tiba Cakka menguap, matanya terasa berat sekali. Tadi malam tugas dia menjaga Lola sampai tertidur dan Lola baru tertidur pukul 03.30, jadinya Cakka tidur jam segitu juga, “Lola, Papa Cakka ngantuk, Papa bobo tidak lama yaaaa...setengah jam aja, jangan nakal, Lola bobo juga kalau bisa, yah,” kata Cakka dan plek... Dirinya langsung tertidur pulas.
...
Hanya beberapa saat sepertinya yang terasa, saat Cakka dibangunkan kembali dengan sebuah teriakan yang membuat dirinya kaget setengah mati dan refleks membuka matanya bergerak.
Sebelum menyadari ada sesuatu yang berat yang jatuh di atas tubuhnya dan membuat dirinya terkulai kembali di atas springbed-nya lagi. Cakka mencium aroma apple di atasnya. Yang ada di atasnya cukup berat, sehingga membuatnya bergerak menukar posisinya menjadi di atas.
Sebuah desahan keluar sebelum sebuah suara, “Cak...ka, berat,”
“Haha,” suara gelak tawa Lola.
Sepertinya dia senang melihat mereka dalam posisi seperti itu.
“Makanya jangan teriak, aku sedang tidur, kamu membangunkanku dari mimpi indah,” kata Cakka masih betah di posisi seperti itu.
“Kamu sih, enakan tidur tidak menjaga Lola, tadi aku baru pulang, cari Lola di kamarnya tidak ada, jadi ku putuskan kemari, tapi apa yang aku lihat, kamu seenaknya tidur dan membiarkan Lola sendirian, dasar Papa yang tidak bertanggung jawab,”
“Aku hanya tidur tidak lama saja, mengistirahatkan mataku, lagi pula aku sudah bilang Lola untuk tidak nakal selama aku tidur,”
“Ck, gila!,”
“Haha,” gelak tawa Lola terdengar lagi dia menatap Cakka dan Oik sambil membuka mulutnya mempertontonkan gusinya diikuti suara-suara tawa.
“Sepertinya Lola senang lihat kita begini,” kata Cakka sambil tersenyum jahil.
“Aku keberatan, berdiri dong Cakka,” kata Oik berusaha mendorong badan Cakka dari atas tubuhnya tapi usahanya di-block Cakka.
“Tuh lihat Lola ketawa-ketawa,” kata Cakka mengalihkan perhatian Oik.
“Cakka!,”
“Oke-oke,” kata Cakka hendak berdiri, tapi sebelumnya dia menatap Oik, entah apa yang ada dipikirannya, dia malah menyapu sudut bibir Oik dengan bibirnya sebelum berdiri.
Oik terdiam sejenak. Dia belum beranjak berdiri dari springbed Cakka. Sesuatu mulai merasuk ke telinganya, seperti alarm yang menyuruhnya untuk segera berdiri. Itu suara tangisan Lola...
Dengan panik Oik berdiri dan mendekati Lola. Cakka juga sudah berada di samping Lola.
“Hoeeeeek...hoeeeeek,” Lola menangis sejadi-jadinya.
“Lola kenapa nangis? Cup...cup...cup,” bujuk Oik sambil menepuk-nepuk pantatnya.
“Pasti gara-gara kamu menyuruhku berdiri,” kata Cakka.
“Ish, pasti Lola lapar, sekarang buat susu untuk Lola, ayo!,” perintah Oik.
“Ck, oke-oke, siap bos,” kata Cakka segera melangkah.
“Sabar ya Lola, susunya dibuatin Papa Cakka dulu yah,”
***
Sudah sebulan Cakka berada di rumahnya Oik, dia belajar banyak hal dalam mengurus bayi. Mulai dari menggendong bayi, membuat susu bayi, mengganti popok kalau Lola pipis atau pup, menenangkan bayi, bahkan tidak tidur hanya untuk menjaga bayi yang rewel. Perlahan tapi pasti Cakka sudah mulai akrab dengan Lola, begitupun Oik.
Hari ini mereka akan membawa Lola ke posyandu, untuk memantau perkembangan kesehatan Lola dan untuk diimunisasi.
Cakka telah selesai memandikan Lola. Dia meletakan Lola di tempat box-nya yang pinggir-pirnggirannya telah dibuka. Dan mulai menaburi bedak di tubuh Lola, menggosok minyak telon. Lola terlihat tertawa...
“Lola senang Kka, kalau kamu yang memakaikan dia baju,” kata Oik, “kalau aku, dia tidak pernah tertawa seperti itu,” lanjutnya.
“Mungkin Lola sedang gembira hari ini, makanya dia tertawa, Ik, boleh minta tolong ambilkan popok Lola,” kata Cakka.
Oik segera melangkah dari tempatnya berdiri mengambil sebuah popok yang tak jauh dari situ.
“Kamu yang pakaikan yah Ik,” suruh Cakka berdiri dan menyerahkan tempatnya kepada Oik.
Oik membuka lipatan popok tersebut. Mata Oik melotot mendapati sebuah tulisan di dalam popok tersebut.
Will you be my wife and Lola's mom?
Itu tulisan di dalam popok tersebut, saat Oik membuka lipatan terakhir popok itu, ada sebuah cincin emas bertengger di situ.
Oik segera memalingkan pandangannya melihat Cakka yang tersenyum ke arahnya.
“Yah, walaupun tanpa begini juga kamu harus menjadi isteriku, tapi setidaknya aku ingin melamar seseorang yang menjadi isteriku dengan cara yang berbeda walaupun kami menikah karena sebuah keharusan,”
Oik menatap Cakka lebih dekat lagi, “Aku bahkan sudah lupa kalau ada perjanjian ini,” Oik menganga.
“So? Aku tetap menunggu jawabanmu,” kata Cakka.
Oik bergeming. Dia masih tidak menyangka di balik popok tadi ada sebuah lamaran. Dia pun teringat kakaknya Sivia. Pesan terakhir kakaknya, amanat terakhir kakaknya untuk menikah dengan lelaki di hadapannya ini dan menjadi ibu bagi Lola.
“Oke, I will be your wife and Lola's mom,” kata Oik, setelah berkata seperti itu dia menghembuskan napasnya yang sedari tadi dia tahan.
Kali ini Cakka yang menatap Oik, tatapannya beda, dirinya semakin mendekat ke arah Oik, membuat tatapan Oik berubah was-was.
“Can I do it?,” tanya Cakka.
“Kamu mau ngapain Cakka?,” tanya Oik sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.
Cakka tertawa, “Mau memasangkan cincin itu di jarimu Oik,”
“Oh,” Oik jadi salah tingkah. Dia menyerahkan cincin itu kepada Cakka.
Cakka pun menyematkannya di jari manis Oik.
“Besok aku bawa kamu menghadap orang tuaku,” bisik Cakka.
Kemudian, keduanya terdiam saling menatap sambil bergelut dengan pikiran masing-masing, sebelum keduanya terpekik sadar.
“LOLA!,”
***
Oik gugup saat turun dari SUV Cakka di rumah Cakka. Cakka mengajaknya untuk ke rumahnya bertemu dengan orang tuanya hari ini. Cakka menggandengnya masuk ke dalam. Jantungnya dag-dig-dug tak karuan menghadapi calon mertuanya. Dia baru menyadari kalau secepat ini akan mengakhiri masa lajangnya? Di usia 20 tahun dan lebih gilanya lagi tanpa cinta dan dengan seseorang yang baru dikenalnya kurang lebih satu bulan. Oh, kakaknya apa-apaan sih? Meninggalkan proposal yang sangat aneh itu.
Cakka menyadari kegugupan Oik. Dia segera merangkulnya.
“It will be fine,” kata Cakka kemudian mengecup ubun-ubun Oik sebelum dia membuka pintu dan mereka masuk ke dalam.
Tentang ciuman-ciuman Cakka untuknya baik di ubun-ubun, pipi, kening, sudut bibir, eits di bibir seutuhnya belum pernah, Cakka cukup menghormatinya. Entah kenapa Oik tidak menolaknya, marah atau pun memukulinya seperti yang dia lakukan 'biasanya' jika ada orang-orang dengan gelagat akan menciumnya (kecuali orang tua dan kakaknya dulu). Dia pernah melempar Obiet teman sekelasnya waktu SMA yang hampir menciumnya di pipi dengan semua isi tasnya. Pernah menapar lalu memukul kemudian menendang di bagian sensitifnya saat mendorong tubuhnya ke dinding dan hampir menciumnya dan banyak lagi sehingga membuat orang-orang tidak berani melakukan hal itu pada Oik. Tapi, dia malah melakukan hal yang sama pada Cakka, jika diingat-ingat lagi, Oik yang memulainya duluan bukan? Dan kenapa waktu itu Oik...argh... Dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Are you okay?,” tanya Cakka.
“Heh? Ya, I'm okay,” kata Oik.
Mungkin bagi Cakka ciuman-ciuman itu tidak ada artinya. Tapi, bagi Oik itu hal yang sakral, sebuah step membina hubungan jadi lebih intim. Dia dan Cakka hubungannya tidak jelas. Tidak temanan, sahabatan, pacaran atau tunangan, tapi langsung mau nikah hanya karena sebuah proposal? HAH!
Cakka membalikkan posisi Oik menghadapnya. Menyelipkan rambut Oik di belakang daun telinganya. Memegang kepala Oik dengan kedua telapak tangannya di pipi kanan dan kiri Oik, kemudian tersenyum, “kamu tunggu di sini yah, aku panggil Ayah sama Bunda, duduk saja di situ, everything's gonna be okay,” kata Cakka mendekatkan wajahnya, Oik menutup matanya sebelum merasakan sesuatu yang geli di hidungnya dan telapak tangan Cakka lepas dari pipinya, dia membuka matanya melihat Cakka berlalu dari hadapanya.
Ck, lelaki memang tahu cara berurusan dengan perempuan.
Oik melangkahkan kakinya menuju sofa da vinci lalu duduk di sana. Dia resah, pandangannya ke teredar keseluruh ruangan, tapi pikirannya tidak di sana.
Cakka kembali bersama kedua orang tuanya. Yang langsung menyapa Oik dan Oik pun segera menyalami kedua orang tua Cakka itu. Cakka dan Oik kemudian duduk di hadapan kedua orang tuanya.
“Tadi, di telepon katanya ada hal penting kamu ingin bicarakan dengan kami Cakka,” kata Ayah Cakka.
“Iya Yah, ada yang Cakka ingin bicarakan penting, mengenai masa depan Cakka,” kata Cakka.
“Masa depan kamu? Kenapa? Kamu mau kuliah di luar negeri?,” tanya Ayahnya.
“Bukan...bukan itu, tapi...ehm, Cakka mau...menikah,”
Butuh beberapa saat orang tuanya menyerap perkataan Cakka sebelum terpekik bersama, “APA?! MENIKAH?,”
“Iya Ayah, Bunda,”
“Dengan siapa?,” tanya Bundanya dengan mulut terbuka lebar.
“Dengan Oik,” kata Cakka segera menggenggam tangan Oik.
“Tapi kalian baru saling mengenal, kenapa bisa...?,” Ayahnya Cakka heran.
“Kita sudah satu bulan saling kenal, tinggal sama-sama dan Cakka rasa sudah cukup mengenal Oik dan Cakka mau menikahi Oik karena Cakka cinta sama Oik,”
“Kalian mau menikah bukan karena sebuah kecelakaan saat kalian tinggal bersama kan?,” tanya Bunda Cakka waspada.
“Tidak Tante, boleh kok bawa saya tes kehamilan atau tes keperawanan, saya masih suci, Cakka tidak melakukan hal yang macam-macam kok selama kami tinggal bersama,” kata Oik mencegah pikiran negatif Bunda Cakka.
“Oik, kamu cinta sama Cakka?,” tanya Ayahnya Cakka.
Oik menatap Cakka sejenak, “Iya Om, Oik cinta sama Cakka,”
“Tunggu, kalian masih muda kan? Cakka baru mau menginjak dua puluh tahun Agustus nanti, kamu Oik,” tanya Bundanya Cakka.
“Saya dua puluh, Januari lalu,”
“Artinya Oik lebih tua tujuh bulan dari Cakka, artinya juga kalian sama-sama masih muda, apa kalian sanggup di usia kalian yang seperti ini menjalani biduk rumah tangga yang berliku-liku? Apalagi kalian masih belum menyelesaikan kuliah kalian,” kata Bundanya Cakka.
“Kami tanggung resikonya,” kata Cakka mantap.
Ayah dan Bunda Cakka terdiam sejenak, saling pandang-pandangan, sebelum Ayah Cakka akhirnya buka mulut.
“Oke, kami sebagai orang tua hanya bisa merestui kalau kalian sudah saling cinta dan mantap melangkah ke jenjang pernikahan,” kata Ayah Cakka.
“Kapan rencana pernikahan kalian?,” tanya Bunda Cakka.
“Next month, tanggal tujuh,”
“Apa? Tujuh Juni?,”
“Yap,” kata Cakka.
***
4. A Shocking Wedding
Pernikahan Cakka dan Oik dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 2012. Pernikahannya cukup sederhana, awalnya orang tua Cakka mau membuat secara mewah di hotel berbintang. Tapi Cakka dan Oik tidak mau, mereka risih. Alibinya nanti saja, masih ada Mas Elang. Nanti kalau Mas Elang menikah mereka bisa merayakannya secara besar-besaran.
Bunda Cakka menyewa event organizer yang cukup handal, walaupun persiapannya mendadak. Setelah mengucapkan janji suci masing-masing. Resepsi pernikahannya dilaksanakan malam hari di taman rumah Cakka yang di sulap menjadi kebun buah. Dengan tema pesta kebun, resepsi itu dilaksanakan cukup sederhana mungkin, baik Cakka maupun Oik tidak mengenakan bridal couple atau pakaian adat, hanya sepasang pakaian pernikahan yang di rancang khusus oleh Bundanya Cakka sendiri.
Lumayan banyak tamu yang datang pada resepsi pernikahannya itu. Tamu dari kerabat orang tuanya Cakka tentunya. Baik Cakka maupun Oik tidak mengundang satupun teman kampus mereka. Bisa berabe urusannya.
“Well, kita masuk pada pemotongan kue pengantin,” kata sang MC, “Cakka dan Oik silahkan mengambil tempat di samping kue pengantin,” lanjutnya.
Cakka berdiri mendahului Oik menuju kue pengantin.
“Cakka,” panggil sang MC.
Cakka menoleh kearahnya sambil membuka mulutnya seperti mengucapkan kata “Hah,” tanpa suara.
“Digandeng dong Isterinya,” kata sang MC.
Cakka pun kembali dan menggandeng Oik menuju ke samping kue pengantin. Kue pengantin hanya ada dua tingkat berwarna putih dengan hiasan bunga dan buah dan patung pengantin berada di paling atas kue tersebut.
“Baiklah kita akan melihat pengantin baru ini akan memotong kue pengantin sebagai lambang biduk rumah tangga mereka akan segera dimulai, dan untuk pertama kalinya mereka akan melayani satu dengan yang lainnya, Cakka dan Oik siap?,” tanya sang MC.
Cakka dan Oik mengangguk bersamaan, sedangkan tangan Oik memegang pisau dan di atasnya ada tangan Cakka memegang tangan Oik.
“Kita hitung mundur ya... 3... 2... 1,” sang MC menghitung mundur, setelah hitungan kesatu Cakka dan Oik mulai menggerakan pisaunya memotong kue pengantin itu. Setelah itu, Cakka mengambil piring kecil dan Oik mengambil potongan kue meletakan di atas piring yang di pegang Cakka.
“Nah, sekarang saling melayani, jangan suap-suapan deh, cari yang seru, Cakka ambil garpunya trus tusuk kuenya dan angkat, nanti Cakka sama Oik makan di garpu itu bersama yah,” kata sang MC. Cakka dan Oik melongo menatap sang MC, sang MC hanya tersenyum lalu berkata lagi, “ayo,”
Dengan ragu Cakka mengambil garpu lalu melakukan seperti apa yang diperintahkan sang MC.
“Kita hitung lagi yah, 3... 2... 1 ayo makan,”
Cakka dan Oik menatap kue yang ada di atas garpu tersebut saling pandang memandang. Lalu pandangan mereka sama-sama terpaku pada kue tersebut. Mereka memiringkan kepala mereka ke samping kiri bersama dan mulai memakan kue itu. Hembusan napas Cakka terasa di pipi Oik, begitupun sebaliknya. Sampai kue itu habis dan...
“Stop di posisi itu,” kata sang MC.
Cakka dan Oik berhenti, jarak antara bibir Cakka dan Oik hanya setengah sentimeter.
Oik menggigit bibir menatap Cakka dari posisi yang lebih dekat seperti ini. Matanya ternyata ada tiga campuran warna hitam untuk pupilnya kelabu untuk bola matanya dan coklat tua di tepi bola matanya.
Cakka melihat kegugupan Oik di posisi seperti ini. Oik tampak lucu dan imut, matanya bening dan berbinar.
“Nah, sekalian yah dilanjut wedding kiss kata sang MC, nanti jangan dulu dilepas loh kalau MC belum menyuruhnya, okay, kita hitung lagi... 3... 2... 1,”
Cakka menatap mata Oik, dan melihat Oik mulai mengatupkan matanya sebelum menutup jarak setengah senti itu. Kemudian dia mulai merasakan kembali manis coklat dan krim di atas kue tadi. Ini lebih manis dan lembut dari kue pengantin tadi.
“If you're a bird, I'm a bird itu kutipan salah satu novel romantis sepanjang masa, dan kita semua berharap pengantin baru kita ini seperti itu se-ia se-kata dan sepenanggungan,” MC melanjutkan cuap-cuapnya membiarkan Cakka dan Oik masih di posisi yang tadi.
Cakka sudah menggerutu dalam hatinya, jangan salahkan dia kalau ciuman yang manis ini tiba-tiba berubah liar gara-gara MC-nya lama sekali! Silahkan gorok dan bunuh sang MC! Merasakan aroma apple Oik dan tekanan lembut manis coklat bercampur krim di bibirnya ini bisa membuatnya gila kalau tanpa melahapnya. Tapi untunglah sang MC berbaik hati menyudahinya.
“Sip, cukup, it's so sweet, aaaaaa,” sang MC gila sendiri.
Cakka dan Oik segera menjauhkan diri dari posisinya tadi. Dan mereka pun kembali ke singgasana mereka.
What a crazy day!
***
5. Life After Married
Setelah pernikahan Cakka dan Oik tak banyak yang berubah. Cakka tetap tidur di kamarnya, tentu saja di rumah Oik. Begitu pula sebaliknya. Mereka hanya tidur di kamar yang sama kalau sedang menjaga Lola yang rewel di malam hari.
Tidak ada bulan madu atau apalah semacamnya. Padahal orang tua Cakka sudah merancangkannya. Tapi mereka membatalkannya dengan alasan sedang ujian akhir semester.
Urusan pengalihan hak Lola menjadi anak Cakka dan Oik di urus oleh Mario, pengacara keluarga Oik. Jadi Cakka dan Oik juga disibukan bolak-balik kantor pengacara untuk melengkapi kelengkapan data-datanya.
Sekitar 6 bulan mereka bolak-balik kantor pengacara dan keputusan pengadilan, akhirnya Lola resmi menjadi anak mereka secara hukum yang berlaku di Republik Indonesia.
Cakka menggendong Lola yang sudah berusia 10 bulan, dia sudah mulai lincah bergerak dan mulai bisa mengucapkan Papa dan Mama walaupun masih terbata-bata. Oik di samping Cakka, mereka berjalan keluar dari kantor pengacara tadi mereka baru saja mengambil surat-surat pengalihan hak. Cukup ribet dalam kepengurusannya, dan cukup molor dalam pelaksanaannya karena pada bulan awal harus menunggu Cakka dan Oik selesai ujian. Bulan selanjutnya memang libur, tapi di bulan kemudian Cakka dan Oik harus mengurus pendaftaran ulang semester baru mereka, di tambah lagi bulan selanjutnya Mario, pengacara keluarga Oik baru mempersunting sekertarisnya. Pernikahan ditambah bulan madu mereka membuat Cakka dan Oik menunggu lagi. Tapi akhirnya bisa selesai juga.
Sebelum tiba di parkiran, Cakka menyerahkan Lola di pelukan Oik sebelum membukakan pintu SUV buat Oik dan Lola kemudian dia ikut naik di balik kemudi SUVnya.
“Oik, kita singgah makan dulu yah, aku belum makan dari tadi pagi,” kata Cakka.
Oik mengangguk. SUV itupun melaju menyusuri jalan ibukota sebelum berhenti di sebuah restoran. Cakka segera membuka pintu SUVnya kemudian berjalan ke arah pintu Oik, membukakannya dan mengambil Lola dari gendongan Oik kemudian berjalan memasuki restoran tersebut.
“Kka, biar Lola di pangkuanku saja,” kata Oik.
Cakka mengangguk dan menyerahkan Lola di pangkuannya Oik. Seorang waitress menghampiri mereka dan memberikan menu makanan. Setelah memesan, dia berlalu dari hadapan Cakka dan Oik.
“Popok Lola kayaknya sudah penuh deh, aku ke toilet dulu yah buat mengganti popok Lola,” kata Oik sambil menggendong Lola dan berjalan ke toilet.
Cakka mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan restoran tersebut, orang-orang nampak sibuk melahap makanannya masing-masing. Kemudian matanya terantuk pada seseorang yang baru memasuki restoran. Seorang gadis berambut ikal panjang, tingginya semampai, berjalan menuju mejanya.
“Hai babe, lama tak jumpa,” katanya langsung duduk di kursi tempat duduk Oik tadi.
“Untuk apa kamu di sini?,” tanya Cakka dengan tatapan dingin.
“Calm down babe, ke sini untuk apa? Ya makan-lah, ini kan restoran masa aku datang kemari untuk creambath?,”
“Maksudku kenapa kamu dengan berani menampakan dirimu dan duduk di hadapanku?,”
“Lho? Memangnya kenapa? Aku masih belum tahu apa penyebab kamu memutuskan hubungan kita dulu,” katanya.
“It's so simple...kamu tidak perlu tahu apa penyebabnya, yang penting hubungan kita telah berakhir dan aku sudah menyuruhmu untuk pergi jauh dan jangan pernah kembali lagi di hadapanku,” kata Cakka.
“Tapi...tapi...aku masih cinta sama kamu,” katanya.
“Hahahaha, cinta? Lucu...sudah kamu pergi saja kamu membuang waktuku,” kata Cakka.
“Tapi Cakka aku---,” belum selesai gadis itu berkata-kata...
“Cakka, Lola rewel kayaknya dia tidak mau kalau aku yang gendong dia maunya kamu,” Oik muncul tiba-tiba.
Oik menyipitkan matanya melihat seseorang yang duduk di hadapan Cakka.
“Siapa mereka?,” tanya gadis yang bersama Cakka itu.
Cakka segera berdiri mengambil Lola dari dalam gendongan Oik.
“Kamu benar-benar mau tahu kenapa aku mutusin kamu? Karena aku mencintai orang lain dan aku menikahinya, kenalkan ini Isteri dan anakku,” kata Cakka.
“Jadi kau?,” Gadis di hadapan Cakka terlihat berkaca-kaca.
Cakka menyunggingkan senyumnya, “Ya! Jadi mulai sekarang jangan ganggu hidupku dan keluargaku lagi, ayo kita cari restoran lain saja,” Cakka menggandenga tangan Oik dan menyeretnya keluar sebelum benar-benar berlalu dari hadapan gadis itu Cakka mengeluarkan kata perpisahannya, “selamat tinggal Ashilla!,”
Cakka dan Oik beserta Lola berlalu dari hadapan gadis itu yang hanya bisa terdiam dan terpaku.
***
Sebuah koran terjatuh dari tangan Cakka ke lantai. Tangannya gemetaran melihat apa yang tertera di dalam koran tersebut. Oik yang sudah bersiap untuk kuliah pagi ini, langkahnya terhenti melihat Cakka yang tiba-tiba terduduk lemah di sofa ruang tamu. Oik segera mendekatinya, matanya tertuju pada sebuah koran yang terjatuh di atas lantai. Oik memungutnya.
“Aku pembunuh,” kata Cakka dengan suara bergetar.
Oik mengerenyit, kemudian matanya menelusuri kata demi kata dan kalimat demi kalimat yang ada di dalam koran tersebut.
SEORANG GADIS DITEMUKAN TEWAS SETELAH MABUK-MABUKAN, MENYAYAT NADINYA.
Kemarin, seorang gadis berinisial AZ ditemukan tewas di rumahnya di daerah pondok indah. Sebelum menyayat-nyayat dirinya lalu memotong urat nadinya sendiri, AZ di duga mengkonsumsi minuman keras sebanyak 6 botol. Karena di TKP ditemukan botol-botol minuman keras. Dari catatan-catatan kecil yang ditinggalkan sebelum meninggal, diduga AZ frustasi karena orang yang dicintainya menikah dengan orang lain, makanya dia mabuk-mabukan dan nekat mengakhiri hidupnya.
“Aku pembunuh Oik, dua kali! Pertama aku membunuh kakakmu, sekarang aku membunuh Shilla, aku pantas kena karma,” kata Cakka.
Oik dengan tenang meletakan koran itu di atas meja. Lalu duduk di samping Cakka.
“Kamu tidak boleh berkata seperti itu,” kata Cakka.
“Tapi memang begitu, kenyataannya aku ini pem---,”
“Ssssst...don't say it again...,” kata Oik.
Oik menatap Cakka yang ketakutan di hadapannya itu. Baru kali ini dia melihat Cakka seperti ini. Terkadang, peran seorang isteri adalah menggantikan peran ibu sang suami. Oik pun berusaha menenangkan Cakka. Dia membelai pipi Cakka, menelusuri garis wajahnya dengan tangannya. Kemudian meraihnya dan memeluknya.
“Ini bukan salahmu, semua yang terjadi adalah takdir yang memang telah di gariskan Tuhan untuk manusia, jadi jangan pernah menyalahkan dirimu,” kata Oik.
“Tapi, dia begitu karena aku,”
“Kau masih mencintainya?,”
“Tidak! Dia sudah ku buang jauh-jauh dari dalam hidupku,”
”Aku boleh tahu kenapa kamu membuang jauh-jauh dia dari dalam hidupmu?,”
Cakka menghela napasnya, “Hari dimana aku menabrak kakakmu itu, itulah hari dimana aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri dia sedang berduaan dengan seorang lelaki di rumahnya, kalau berduaan saja tak masalah bagiku, tapi kau tahu kan apa yang ku maksud, sebenarnya bukan hari itu saja, aku melihatnya bersama lelaki itu, tetapi aku pikir hanya teman biasa, sampai puncaknya hari itu, aku frustasi, dan sialnya aku membahayakan nyawa orang lain yaitu kakakmu,”
“Berarti itu bukan salahmu,” kata Oik melepaskan pelukannya, “Itu karma buatnya,” lanjut Oik.
“Tapi Ik---,”
“Sssst, aku tidak mau dengar kata-kata itu keluar dari mulutmu, berjanjilah padaku kamu tidak akan pernah menyebut dirimu lagi dengan kata-kata itu,” kata Oik sambil menatap Cakka.
Cakka terdiam sesaat, sebelum tersenyum lalu mengangguk, “Ya, aku janji,”
“Good!, itu baru Cakka,” Oik melihat arlojinya, dia hampir terlambat pergi ke kampusnya. Oik berdiri dari tempat duduknya, “kayaknya aku harus pergi sekarang, nanti telat, aku pergi dulu ya Kka,” pamit Oik dan hendak berjalan pergi.
Tapi tangannya ditahan oleh Cakka, dan Cakka pun ikut berdiri dari tempat duduknya, “Makasih ya Ik,”
Oik berbalik dan tersenyum, “sama-sama,” matanya dengan mata Cakka ketika dia merasakan ada yang menyapu sudut bibirnya.
“Hati-hati di jalan,” ucap Cakka kemudian.
Oik jadi salah tingkah, dia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan itu, dan mendapati Mojo berdiri di salah satu sudut ruangan. Menyadari majikannya itu mengetahui keberadaannya dengan cepat dia berkata, “Nyonya mobilnya sudah siap,”
Oik menatap Cakka sekali lagi, lalu mengambil langkah mendekati Mojo, ketika tepat di samping Mojo dia membuka telapak tangannya dan Mojo menyerahkan kuncinya.
***
Oik duduk di kamarnya, memandangi lekat foto keluarganya, sebenarnya selama hampir setahun belakangan semenjak kepergian keluarganya, Oik selalu memandangi foto itu kalau sedang tak ada seorangpun di rumah. Dia selalu menyendiri, mengenang kisah-kisah ketika keluarganya masih utuh. Dia selalu merindukan masa-masa itu. Sekarang, dia hanya bisa memandangi foto mereka saja. Takdir memang kejam untuknya, tapi dia berusaha untuk menjalaninya.
Bulir air matanya perlahan jatuh dari pelupuk matanya. Dia menutup matanya, di dalam otaknya masih terekam jelas saat-saat bersama dengan keluarganya itu. Dia menonton kembali flashback kehidupannya di masa lampau, sebelum pintu kamarnya terdengar dibuka secara tergesa-gesa. Sial! Oik lupa mengunci pintu kamarnya.
“Oik Lola dima...,” kata-kata Cakka terhenti saat melihat Oik menangis dia mendekat, “Oik, kamu menangis?,”
Oik menyeka air matanya, “tak apa,” katanya.
Cakka langsung menyadari penyebab Oik menangis ketika melihat sebuah bingkai foto di tangannya, “semua karena aku, aku yang salah Ik,”
Oik tersenyum, “berhenti menyalahkan dirimu Cakka, ini bukan salahmu,”
“Tapi aku yang mem---,”
“Ssssttt...you've promise to me,” kata Oik.
“Kamu pasti merindukan keluargamu,”
“Ya...itu pasti,” kata Oik, matanya kembali panas dan air matanya mulai mengucur lagi.
Cakka duduk di samping Oik, dia segera meraih gadis itu, meletakan kepalanya di pundaknya, “you need somebody to be a shoulder to cry on, here I am,”
Oik menangis sejadi-jadinya di pundak Cakka, ini untuk yang kedua kalinya dia melakukan hal yang sama. Cakka masih terasa menenangkan seperti dulu. Di dalam tangisannya Oik masih sempat bertanya, “tadi kamu tanya apa sebelum masuk?,”
“Aku tanya Lola dimana?,”
“Lola ada sama Bunda kamu, katanya dia mau jalan-jalan sama Lola,” kata Oik sudah mulai tenang tapi pipinya masih penuh dengan air mata dan kepalanya masih berada di pundak Cakka.
“Oh,” hanya itu respon Cakka.
Mereka bergeming di posisi itu cukup lama. Kemudian Cakka menjauhkan pundaknya, dan kepala Oik ikut menjauh dari pundak Cakka. Kedua tangan telapak tangan Cakka memegang kedua pipi Oik. Jari ibunya menyeka air mata yang hendak jatuh dari pelupuk mata Oik. Dia sudah tidak tahu lagi cara menghentikan gadis di hadapannya ini agar tidak menangis lagi, sudah cukup tadi.
Cakka mendekat dan mengecup keningnya, “sudah cukup,”
Oik menutup matanya kala kecupan hangat itu mendarat di keningnya, kemudian di matanya, “simpan air matamu,” di jalur air matanya mengalir, “and give me a smile,” di sudut bibirnya.
Cakka berhenti sejenak membuat Oik membuka matanya, “please smile,” kata Cakka menarik senyumnya ke arah Oik, dan meminta Oik melakukan hal yang sama.
Oik mencoba menyunggingkan senyum di bibirnya, awalnya terasa sulit. Tapi melihat senyum Cakka, akhirnya dia juga ikut tersenyum.
“Good, I love it,” kata Cakka dan langsung menciumnya.
Pada waktu selanjutnya, Oik baru tahu bagaimana rasanya dipuja dan disanjung oleh seorang lelaki.
***
6. One More Disaster
Oik mengerjapkan matanya, dan melihat arlojinya. Jam sudah menunjukan pukul 21.00, apa Bundanya Cakka belum membawa Lola kembali? Ini kan sudah malam, sudah seharusnya Lola berada di rumah atau Lola sudah kembali hanya Oik saja yang ketiduran dan ternyata Lola sudah ada di kamarnya.
Setelah kesadaran dari tidurnya pulih, dia hendak melihat Lola. Di singkapkannya selimut yang menyelimuti tubuhnya, kemudian turun dari springbednya dan berjalan. Saat berjalan melewati cerminnya, sepertinya ada sesuatu yang aneh. Dia kembali bercermin dan mematut dirinya di depan cermin. Tiba-tiba pipinya terasa panas, semburat pink mulai nampak di kedua pipinya dan tersenyum malu-malu.
Rupanya yang tadi itu benar-benar terjadi? Bayangan Oik di cermin hanya mengenakan kemeja Cakka yang kedodoran membuatnya seperti tenggelam di dalam kemeja itu.
Dirinya baru menyadari bahwa sedari tadi dia tidak tidur sendiri, saat suara ponsel berbunyi dan seseorang dengan nada setengah mengantuk mengangkatnya.
...Ya Bun...
...Oke Cakka sama Oik segera kesana...
...Oke, bye Bun...
Pandangan Oik berpaling pada Cakka yang baru saja meletakan ponselnya di nightstand.
“Hei, sudah bangun duluan,” sapa Cakka.
Cakka segera menyingkap selimutnya dan berdiri. Dia tidak mengenakan apapun di atas, dan hanya mengenakan boxer brief di bagian bawahnya.
“Oik, Bunda suruh kita ambil Lola di rumahnya,” kata Cakka sambil kepalanya celingak-celinguk mencari celananya yang entah kemana, “kamu siap-siap,” katanya setelah menemukan celananya tergeletak di lantai dekat sofa kamar Oik. Dia bergegas memakai celana tersebut. Sekarang giliran dia mencari belt-nya, “Oik, lihat belt-ku dimana?,” tanya Cakka.
“Kayaknya di bawah meja rias,” kata Oik.
Cakka menundukkan badannya dan meraih belt di bawah meja rias, dan memakainya. Sekali lagi dia celingak-celinguk mencari-cari sesuatu.
“Cari apa?,” tanya Oik.
“Kemeja,” Jawab Cakka.
“Look at me,” kata Oik.
Cakka memalingkan pandangannya ke arah Oik, lalu berjalan mendekatinya. Setelah berada di dekat Oik, Cakka seperti menahan tawanya.
“Kenapa?,” tanya Oik polos.
“Kamu...lucu begitu,” kata Cakka.
Oik mendesah kesal, kemudian membuang langkahnya, membuka lemari pakaiannya dan mengambil pakaian dari dalam lemarinya. Saat dia mencopot kancing pertama kemeja Cakka yang dikenakannya, dia menyadari sesuatu... Cakka masih ada di dalam kamarnya, sangat tidak lucu mengganti pakaiannya di depan Cakka. Ya walaupun Cakka suaminya tapi...
Oik melangkah lagi menuju kamar mandi. Cakka menahan tangannya.
“Mau kemana?,” tanya Cakka.
“Mandi,”
“Yaudah bareng,”
“APA?!,”
***
SUV Cakka memasuki pekarangan rumah orang tuanya. Kemudian berhenti tepat di depan teras utama. Cakka dan Oik turun dari dalam SUV dan langsung mengambil langkah untuk masuk ke dalam rumah. Saat tiba di ruang tamu, Ayah dan Bunda Cakka terlihat duduk sambil menunggu mereka.
“Hai Ayah, hai Bunda, Lola mana?,” tanya Cakka.
“Lola tidur di kamar, di temani sama Bi Sumi,” kata Bunda Cakka.
“Di kamar siapa?,”
“Kamarmu,” kata Ayahnya.
Cakka segera menggandeng Oik dan hendak melangkah menuju kamarnya tapi...
“Cakka! Oik! Duduk!,” perintah Bunda Cakka.
“Tapi Bun...,”
“Tidak ada tapi-tapian, ayo duduk,”
Cakka dan Oik mengikuti perintah dan duduk di hadapan kedua orang tua Cakka.
“Ayah sama Bunda menginginkan sesuatu dari kalian,” kata Ayah Cakka.
“Kalian sudah menikah hampir setahun, tapi Oik belum berisi juga! Kalian harus memberi kita cucu,” kata Bunda Cakka.
“Lho? Lola kan cucu Ayah sama Bunda juga,” kata Cakka.
“Iya, dia cucu kita, tapi Bunda mau cucu dari kalian! Bukan hasil adopsi atau apalah semacamnya,” kata Bunda Cakka.
“Tapi, kita masih kuliah Bun, kan kasihan Oik kalau dia hamil saat-saat seperti ini,”
“Cakka, kamu tahu kan, kakak kamu belum menikah-menikah juga sampai sekarang, padahal dia anak tertua, dan otomatis dia belum bisa memberi keturunan untuk kami, dan kamu walaupun yang bungsu tapi sudah menikah berarti kamu sudah harus memberi keturunan pada kami, karena kami sudah tua tapi belum punya cucu, dan untuk alasanmu itu, Ayah rasa Oik tak apa-apa jika nanti ambil cuti kuliah,” kata Ayah Cakka.
“Tapi...,” Ucapan Cakka tertahan saat melihat Bundanya menyodorkan sebuah map di atas meja.
“Baca itu! Dan harus ditandatangani di atas materai,” kata Bunda Cakka menekankan kata harus.
Cakka dan Oik saling tatap menatap, sebelum Cakka mengambil map tersebut dari atas meja. Cakka membuka map itu dan melongo, Oik yang penasaran juga mencoba melihat isinya.
“Proposal”
Mata Cakka dan Oik kembali terbelalak kaget mendapati tulisan tersebut. Kemudian sekali lagi saling tatap menatap dan mulut mereka seperti mengatakan “HAH?”
Pihak Pertama menginginkan adanya keturunan dari Pihak Kedua, maka dari itu untuk mendukungnya Pihak Pertama mengajukan syarat sebagai berikut:
1. Pihak kedua harus mau berbulan madu selama 1 (satu) minggu di Raja Ampat, Papua Barat.
2. Keberangkatan ke tempat bulan madu adalah 1 (satu) minggu setelah ditandatanganinya proposal ini.
3. 1 (satu) minggu sebelum keberangkatan Pihak Kedua tidak diizinkan untuk tinggal di rumah mereka melainkan di rumah Pihak Pertama.
4. Sekembalinya dari bulan madu, Pihak Kedua harus tinggal kembali di rumah Pihak Pertama sampai Pihak Kedua memenuhi keinginan Pihak Pertama.
5. Bila dalam jangka waktu 2 (dua) bulan dari pulang berbulan madu Pihak Kedua belum bisa memenuhi keinginan Pihak Pertama, maka hak asuh Lola Allison Nuraga (anak angkat Pihak Kedua) jatuh ke tangan Pihak Pertama.
Demikian proposal ini dibuat dan disetujui dengan sebenar-benarnya dan tanpa paksaan dari pihak manapun.
“APA?!,” Cakka dan Oik sama-sama kaget melihat poin nomor 5 dari isi proposal yang diajukan kedua orang tua Cakka.
“Kenapa? Tidak boleh keberatan, harus ditandatangani sekarang!,” perintah Bunda Cakka.
“Tapi Bun, di kalimat penutupnya tanpa paksaan, ini namanya paksaan,” protes Cakka.
“Memangnya kalian tidak merencanakan punya baby gitu? Tidak usah banyak protes ayo ditandatangani,” kata Bunda Cakka sambil menyodorkan pena ke atas proposal tersebut.
Dengan ragu Cakka mengambil pena tersebut, sebelum membubuhkan tinta hitam di atas materai 6000, dia menatap Oik yang juga sedang menatapnya was-was. Kemudian memalingkan pandangannya ke arah kedua orang tuanya yang bukan hanya menatapnya tapi juga ingin menerkamnya. Dengan gerakan cepat Cakka menandatangani proposal tersebut dan langsung menyerahkannya pada Oik untuk ditandatangani juga.
Oik terlihat ragu, dia bimbang. Tentu saja dia tidak mau kehilangan Lola sebagai anaknya. Tapi, dia juga tidak mau mengecewakan kedua “mertua”-nya ini. Di sisi lain, dia juga berpikir, apakah dia dan Cakka mampu memenuhi kemauan orang tua mereka ini? Oik menahan napasnya, kala menorehkan tinta hitam itu di atas materai setelah selesai dengan cepat dia melepas pena dan proposal itu di atas meja.
“Bagus, Ayah dan Bunda akan ikut kalian pulang ke rumah kalian dan mengemasi barang Oik untuk pindah kemari sampai kalian berangkat, kalian tidak usah khawatir dengan Lola, dia akan aman bersama kami,”
Double, triple, super, duper disaster.
***
7. The People at the Past
Cakka terduduk lemas di sofa kamarnya, di rumah orang tuanya tentunya. Oik juga ikut duduk di sampingnya. Wanita itu terlihat kelelahan, tadi setelah mengemasi barang-barangnya. Dan kembali lagi ke rumah Cakka.
“It's crazy, kita sekarang tidak hanya punya satu proposal tapi dua Ik, dan kedua-duanya kenapa berhubungan dengan bayi? Oh, it's make me crazy,” keluh Cakka.
“Me too, ternyata orang tuamu sebegitu inginnya punya cucu sampai niat membuat proposal seperti itu,”
“Mereka memang nekat, apa yang harus kita lakukan?,”
“Turuti saja, tidak enak membantah mereka,”
“Memangnya kamu mau kalau...,” Cakka segera meralat perkataannya, “memangnya kamu siap punya bayi?,”
“Siap, kan sudah belajar dari Lola,” kata Oik.
“Jadi kamu mau....?,”
“Mau apa Kka?,”
“Hm, tidak, tidak apa-apa, hm, aku ngantuk mau tidur dulu,” kata Cakka kemudian beranjak dari sofa dan tidur di atas springbed-nya.
Dia menarik selimutnya, dan ketika hendak menutup matanya, dia menyadari sesuatu dan langsung berdiri lagi.
“Ik, kamu tidur di sini kan malam ini?,”
“Aku tidak punya pilihan lain,” kata Oik.
“Kamu biasa tidur sebelah kiri atau kanan?,”
“Aku sih terserah,” kata Oik.
“Oh, okay, kamu belum mau tidur?,”
“Sebentar lagi,”
Cakka beranjak dari tempat tidurnya mendekati Oik dan langsung mengecup dahinya, “aku tidur duluan, selamat malam,” setelah itu, Cakka segera kembali ke tempat tidurnya dan menarik selimut untuk tidur.
Oik melihat Cakka yang mulai tertidur. Dia akan tidur dengan Cakka dalam satu ranjang setiap harinya, setelah malam ini dan entah selama beberapa lama. Padahal selama pernikahan, mereka belum pernah tidur seranjang, kecuali accident tadi sore.
Oik mulai menjejaki kakinya, berjalan mengelilingi kamar Cakka. Kamar ini memang kesannya “cowok banget” berbanding terbalik dengan kamarnya. Mata Oik kemudian terantuk pada sebuah pigura yang terletak di bupet kamar Cakka. Oik berjalan mendekati pigura tersebut lalu mengambilnya. Di dalam pigura tersebut ada foto dua anak kecil yang berebutan mainan.
Foto Elang dan Cakka.
***
“Kayaknya di antara kita ada yang perlu diluruskan,” kata Oik.
Kala itu, mereka hanya berbagi selimut untuk menutupi tubuh mereka. Tangan kanannya Cakka memainkan rambut Oik, tangan kirinya memeluk Oik agar lebih rapat dengannya.
“Apa itu?,”
“Aku ingin tanya sesuatu padamu,”
“Tanya saja,”
“Kamu pernah tinggal di perumahan Pondok Aren?,”
“Ya, dulu, kenapa?,”
“Kau Eka?,” tanya Oik.
“Eka?,“ Cakka mengerenyit, “aku kan Cakka, sejak kapan namaku berubah Eka? Eka itu nama saudara aku, memangnya kenapa?”
“Tidak...eh cuma aku dulu pernah tinggal di Pondok Aren juga, apa Eka itu pernah tinggal di rumahmu waktu di Pondok Aren?,”
“Sering banget, kau kenal Eka?,”
“Ku kira kau Eka,”
“Ku kira kau Ayi,”
“Aku Aya, Ayi itu nama panggilanku ke Kak Sivia waktu masih kecil, begitu pun sebaliknya, aku dipanggil Aya sama Kak Sivia, itu panggilan khusus kami berdua, Aya diambil dari nama tengahku Cahya kalau Ayi diambil dari Azizah nama belakangnya Kak Sivia,”
“Jadi my girl next door itu Sivia? Oh may...gat,” kata Cakka.
“Kenapa?,”
“Jadi dulu aku punya tetangga yang baru pindah, terus aku sering main-main dengannya, tapi aku harus pindah rumah dan aku berpisah dengannya, dan setahuku dia sering dipanggil dengan nama Ayi,”
“Aku juga dulu punya teman, setahuku dia tetanggaku tapi aku tidak tahu rumahnya yang mana, karena aku baru pindah, dia berkenalan denganku dengan nama Eka, kami main-main di kompleks perumahan tapi beberapa minggu kemudian dia tidak muncul lagi, setiap aku tanya teman-teman kompleks tak ada seorang pun yang tahu tentang Eka,”
“Mungkin benar Eka yang kamu maksud saudaraku, dia kan memang tidak dikenal sama anak-anak kompleks soalnya, dia kan cuma main-main ke rumah,”
“Oh ya apa maksudmu tadi menyebut Kak Sivia your girl next door?,”
“Soalnya...yang bernama Ayi itu...cinta pertamaku, jadi? Aku membunuh cinta pertamaku, oh may...,” Cakka terlihat shock.
“Jadi Kak Sivia?,” Oik membulatkan mulutnya.
Cakka mengangguk, “terus apa yang perlu diluruskan dengan Eka?,”
“Ehm, cuma itu...iya, aku cuma mau tanya itu...,” kata Oik kemudian menyunggingkan senyum aneh di bibirnya.
Cakka mengecup hidung Oik singkat, “kita tidur saja, pillow talk sampe disini yah, hampir pagi, nanti Ayah dan Bunda memarahi kita jika kita terlambat bangun,”
Cakka menutup matanya, Oik juga.
Karena Eka itu cinta pertamaku juga, dan aku harap Eka itu kamu Cakka...
***
8. The Honeymoon
“Cakka! Oik! Bunda punya satu penawaran buat kalian,” Cakka dan Oik yang hendak duduk di meja makan untuk makan siang terhenti sejenak.
“Apa itu Bunda?,”
Bunda memberikan sesuatu kepada Oik, “tes sekarang, kalau hasilnya positif, kalian tidak harus pergi berbulan madu, karena akan membahayakan Oik, tapi kalau hasilnya masih negatif, ya kalian harus tetap mengikuti aturan proposal,” kata Bunda Cakka.
Oik mengambil benda yang di sodorkan Bunda Cakka. Dan segera mengambil langkah menuju kamar mandi.
“Bunda kenapa jadi sensitif sama Cakka dan Oik?,”
“Bunda tidak sensitif, Bunda cuma mau cucu memang tidak boleh?,”
“Tapi, jangan dipaksakan juga kan Bunda, kapan waktunya Tuhan, Cakka dan Oik juga sudah berusaha memenuhi kemauan Bunda, mungkin Tuhan yang belum mempercayakannya,”
Oik kembali tertunduk sambil menyerahkan benda itu ke tangan Bunda Cakka, “negatif Bun,”
“Oke, berarti proposal tetap berlanjut, selamat makan siang,” kata Bunda Cakka berlalu meninggalkan Cakka dan Oik di meja makan.
Cakka membelai kepala Oik, kemudian mengacak sedikit poninya, “sudah, tak usah di pikirkan, kita makan siang, habis itu siap-siap besok berangkat,” kata Cakka.
***
Cakka dan Oik pamitan kepada Lola serta Ayah dan Bunda Cakka. Hari ini mereka akan melaksanakan apa yang diinginkan oleh Ayah dan Bunda mereka. Dan untuk satu minggu ke depan bahkan untuk satu bulan ke depan dan tak tahu sampai kapan lagi.
Cakka segera menuntun Oik duduk di belakang, sedangkan Jono di balik kemudi dan Cakka duduk di samping Oik.
“Kka, kita singgah supermarket sebentar yah,”
“Lho? Buat apa? Kemarin kamu belum belanja memang?,”
“Aku lupa...kayaknya aku haid deh Kka, mau beli pembalut yang banyak takutnya sampai di sana tidak ada toko-toko, Raja Ampat kan pulau jauh dari kota,”
“Oh, okay,”
Cakka menyuruh Jono mencari supermarket terdekat. Setelah membeli keperluan Oik mereka melanjutkan perjalanan mereka ke bandara.
Hari sudah sore kala Cakka dan Oik tiba di Bandara Dominik Eduard Osok, Sorong, Papua barat. Mereka menginap di salah satu hotel di dekat bandara sebelum melanjutkan perjalanan mereka ke Raja Ampat. Sebenarnya mereka akan langsung menuju Pelabuhan Rakyat yang hanya memakan waktu 5 menit dari bandara dengan menggunakan taxi bandara tapi sangat tidak memungkinkan soalnya tadi Oik sempat mabuk udara, makanya Cakka memutuskan untuk menunda perjalanan besok pagi.
Ayah Cakka memang sudah menyewa local guide untuk menuntun mereka. Tapi, Cakka sudah menelepon local guide untuk datang besok saja di hotel tempat mereka menginap malam ini.
Keesokan paginya, Cakka dan Oik baru dijemput seorang local guide untuk memandu mereka. Ini untuk pertama kalinya mereka datang ke pulau Papua, khususnya Raja Ampat. Yang mereka tahu Raja Ampat merupakan kepulauan dengan rangkaian empat gugusan pulau yang berdekatan dan berlokasi di barat bagian vogelkoop papua dan sering menjadi tujuan para penyelam yang tertarik akan keindahan pemandangan bawah lautnya. Makanya mereka cukup excited karena ternyata orang tua Cakka juga memilih daerah yang sepertinya bagus untuk bulan madu mereka.
Cakka dan Oik dibawa guide itu kembali ke bandara dan naik ke taxi bandara yang berupa mobil mini bus yang membawa mereka ke Pelabuhan Rakyat hanya dalam waktu 5 menit.
Kapal feri berjejeran di pelabuhan tersebut. Kata guide ada beberapa alternatif untuk menyeberang ke Waisai yang adalah ibu kota Raja Ampat, terletak di Pulau Waigeo salah satu dari 4 pulau utama di kepulauan Raja Ampat selain Misool, Salawati dan Batanta. Dan Cakka memutuskan untuk memakai speed boat dengan waktu tempuh sekitar satu jam, dan walaupun harganya “wah”.
Oik agak takut untuk naik spead boat tapi Cakka meyakinkannya. Sehingga merekapun melakukan perjalanan ke Waisai dengan menggunakan speed boat. Tiba di Waisai mereka lagi-lagi harus melanjutkan perjalanan mereka menuju resort yang akan mereka tempati. Minsool Eco Resort adalah pilihan Cakka dan Oik. Jadi dari pulau Waigeo Cakka dan Oik harus menyeberang ke pulau Minsool menggunakan speed boat, tentu saja bersama tour guide-nya.
Oik menatap kagum apa yang ada di sekitarnya, tadi Oik sempat mual bahkan muntah di baju Cakka saat di atas speed boat. Tapi rasa pusing, mual, muntah itu hilang seketika kala menatap apa yang ada di depan matanya. Menakjubkan, Raja Ampat ternyata di penuhi jejeran pulau dengan tipikal bukit-bukit berhutan lebat terbingkai oleh pasir-pasir putih dan lautnya yang jernih. WOW.
Cakka dan Oik segera dibawa guide-nya menuju resort yang ditempatinya sebelum mereka memulai perjalanan mereka.
***
Selama seminggu masa bulan madu mereka, hanya dihabiskan dengan jalan-jalan tanpa “melakukan apa-apa” dikarenakan kata Oik dia sedang haid jadi tidak mungkin untuk melakukan apapun di saat seperti itu.
Petualangan dengan liveboard mereka di mulai dari Pulau Mangkur Kondon, sebenarnya tujuan utama mereka ke sana untuk diving tapi karena Oik tidak bisa karena sedang halangan. Cakka ingin sekali ikut diving karena kata orang-orang suasana bawah laut Raja Ampat itulah yang dicari kalau kemari, tapi dia lebih memilih menemani isterinya mengelilingi suasana tenang Mangkur Kondon dan crystal waternya yang mempesona. Mereka menghabiskan waktu mereka di sana sampai melihat sunset dan setelah sunset berlalu, langit melakukan pertunjukan episode berikutnya, hamparan bintang-bintang dengan background langit hitam bersih tanpa awan. Entah mengapa bintang-bintang di sini terasa lebih bersinar lebih terang dari biasanya.
Oik menatap bintang-bintang tersebut dia tersenyum. Senyumnya hangat, senyumnya terlihat lepas. Cakka tak pernah melihat Oik tersenyum begitu lepas semenjak dia bertemu sampai saat ini. Mungkin dulu dia sering tersenyum saat ini. Mulai malam itu, Cakka berjanji pada Tuhan dan dirinya sendiri, akan mempertahankan dan tak akan pernah membiarkan senyum Oik itu pergi darinya.
Pulau lain yang dikunjungi Cakka dan Oik adalah Pulau Way. Pulau Way juga tak kalah indahnya dengan yang lain. Lekukan dan landainya pantai di sini adalah nilai tambah lukisan alam yang ditawarkan, ada juga sebuah rumah tradisional di bibir pantai juga menjadi aksen kental yang menjadi ciri khas pulau ini.
Selanjutnya mereka ke Pulau Sanggkriwai untuk melihat burung cendrawasih yang ada di pulau itu. Burung cendrawasih adanya pagi-pagi sekitar jam 6 di pulau itu dan selalu bermain di pohon yang sama. Jadi Cakka dan Oik harus menginap di kapal agar tiba di Pulau itu pagi-pagi sekali.
Ketika tiba di dermaga sekitar pukul 05.25 pagi, Cakka dan Oik melihat indahnya sunrise dari dermaga itu. Langit biru gelap, awan kelabu dan siluet dermaga. What a beautiful morning. Cakka dan Oik sampai sulit melukiskan indahnya pagi itu.
Mereka segera menuju pendopo pengamatan burung, dan banyak orang yang berjejer menirukan suara-suara, agar cendrawasih itu keluar. Burung cendrawasih sangat cantik, berwarna coklat muda kemerahan dengan kepala kuning dan ciri yang unik.
Di Sanggkriwai Cakka dan Oik juga mengelilingi perkampungannya. Ternyata penduduk disitu ramah-ramah. Walaupun di situ perkampungan airnya tetap bersih dan jernih.
Dilanjutkan dengan pergi ke kepulauan Kabui, di Kabui Cakka dan Oik melihat kumpulan pulau-pulau kecil dengan bentuk yang aneh dan jarak dekat. Liveboard mereka hanya mengitari antara pulau-pulau kecil itu. Sesekali melihat gua-gua kecil di bibir-bibir pulau. Suasana di situ sangat tenang.
Dan terakhir mereka ke Pulau Wayang yang merupakan icon dari Raja Ampat. Di sana berkumpul pulau-pulau kecil yang topografi yang unik hampir mirip di Kabui. Tapi ditambahkan dengan pantai-pantainya yang putih dan lautnya yang dangkal.
Oh my God, It's really a beautiful nature painting from God.
***
Tak terasa seminggu sudah Cakka dan Oik berada di Raja Ampat, Papua Barat. Waktunya untuk pulang, perasaan was-was yang hilang kemarin tertutupi indahnya Raja Ampat kini datang kembali menyergap. Bagaimana ini? Ayah dan Bundanya pasti menagih ketika mereka tiba di sana. Hupfh, takdir sepertinya belum berpihak, ketika datang kesempatan malah ada yang menghalangi.
Cakka dan Oik menyiapkan mentalnya sebelum kembali bertemu kedua orang tua Cakka.
***
9. Eka is?
Cakka mondar-mandir tidak jelas. Dia panik, besok adalah 2 bulan tepat saat proposal orang tuanya dicetuskan, artinya besok Cakka harus memastikan bahwa besok Oik sudah harus mengandung anaknya. Tapi bagaimana bisa? Selama 2 bulan ini mereka tidak melakukan apapun. Bukannya Cakka tidak mau berusaha, tapi setiap kali Cakka mau mencobanya lagi. Selalu ada saja halangan, entah pintu yang lupa dikunci dan Bi Sumi masuk, Bundanya yang tiba-tiba memanggilnya atau bahkan Lola yang tiba-tiba merengek kencang. Sebulan belakangan, Cakka juga melihat Oik seperti kurang sehat, dia terlihat agak pucat. Dikarenakan mungkin dia terlalu stress memikirkan proposal itu sekaligus ujian dan tugas kampus yang menumpuk karena mereka izin seminggu. Cakka jadi tak tega melihat Oik.
Oik masuk ke dalam kamar dan segera menghampiri Cakka yang terlihat resah dan gelisah.
“Kenapa Kka?,” tanya Oik.
“Duh, Ik kamu sadar tidak besok itu tanggal apa?,”
“Tanggal apa? Tanggal sembilan belas kan?,”
“Bukan itu! Tapi, besok dua bulanan proposal Ayah dan Bunda, jadi kita harus memenuhi proposal, kalau tidak Bunda akan mengambil hak asuh Lola,”
Diluar dugaan Oik terlihat lebih tenang dan pasrah, sehingga membuat Cakka heran, “yaudahlah Kka, kayaknya juga Lola lebih terjamin sama orang tua kamu dari pada sama kita,” kata Oik langsung duduk di sofa kamar.
“Oik, ingat proposal sekaligus wasiat Sivia,” kata Cakka lalu duduk di samping Oik.
“Oh! Jadi kamu mempertahankan Lola hanya karena proposal wasiat Kak Sivia?,”
“Bukan begitu Oik, sama sekali bukan karena itu, karena aku sayang Lola, Lola itu anakku juga, anak kita, aku tidak mau dia jatuh ke tangan orang lain sekalipun itu Ayah dan Bundaku,”
“Kau masih sayang Kak Sivia yah? Dia kan cinta pertamamu makanya kau melihat Sivia di dalam diri Lola,”
“Tidak begitu Oik, aku sayang Lola, karena Lola itu anak kita, anakku dan anakmu,” kata Cakka dan langsung mencium Oik, “karena aku sayang kamu,” kata Cakka di sela-sela ciumannya.
Oik menyadari ciuman dengan jenis seperti ini, biasanya di lakukan sebelum mereka... Oh! Oik harus segera mengakhirinya! Sudah saatnya dia mengatakan yang “sebenarnya” pada Cakka.
“Kka, stop it!,” kata Oik.
Karena Cakka tidak menghiraukan, Oik mendorong tubuh Cakka menjauh darinya.
“Why?,”
Oik berusaha mengatur pernapasannya sebelum menatap Cakka serius. Dia meraih tasnya dan menyerahkan sebuah benda ke tangan Cakka. Cakka memperhatikan benda tersebut, 2 garis merah bertengger di atas benda tersebut. Cakka menatap Oik dan benda itu secara bergantian, mencoba meresapi apa pesan yang dimaksudkan Oik.
“Itu hasil tes dua bulan lalu, sehari sebelum kita berangkat, yang Bunda menyuruhku tes itu,”
“Tapi katamu negatif,” kata Cakka serasa tidak percaya.
“Itu...aku bohong, aku takut kalau tespack itu rusak dan salah, makanya aku tidak mau mengecewakan Bunda kalau hasil tes itu salah, jadi aku memberinya hasil tes aku saat pertama kali kita...ehm melakukannya,”
“Tapi kamu menyuruh singgah beli pembalut sebelum berangkat, katamu lagi haid,”
“Itu aku takut aja, kalau tesnya salah, tiba-tiba aku haid saat di sana dan tidak ada pembalut, karena seharusnya hari itu jadwalku,”
“Ya ampun Oik, jadi...waktu itu kamu pusing, mual dan muntah-muntah bukan karena mabuk udara, darat, maupun laut, tapi karena kamu...,” Cakka masih serasa tidak percaya.
Oik mengangguk dia mencium bibir Cakka singkat, “kita berhasil,”
“Ohmaygat, pantasan kamu terlihat pucat belakangan ini, napsu makanmu bertambah, ya ampun suami macam apa aku tidak menyadari keadaan isterinya,”
Baru kali ini Oik mendengar Cakka mengakui mereka adalah “sepasang suami-isteri”. Dia menarik senyum di bibirnya mendengar kata-kata Cakka itu.
Cakka menarik Oik ke dalam pelukannya. Kebahagian melingkupi mereka. Ya Tuhan, mereka akan punya anak sendiri di usia yang masih muda? Apa mereka sanggup?
“Oik...,”
“Hm...,”
“I love you,”
“Sejak kapan?,”
“Sejak kamu menjadi milikku seutuhnya, do you love me too?,”
“Yes... I love you more,”
“Sejak kapan?,” Cakka juga ingin tahu.
“Entahlah, tapi ku rasa sejak lama, tak tahu kapan persisnya,”
“Kau mau bertemu dengan Eka?,” pertanyaan Cakka tiba-tiba melancong.
Oik melepaskan pelukan mereka.
“Lho? Kenapa bahas soal ini?,”
“Kalau kamu mau, aku bisa mempertemukan kalian...ya, untuk memastikan saja kalau kamu tepat mencintaiku, atau masih mengharapkan Eka,”
“Tapi---,”
“Sssssttt...I will tell you,”
***
Oik memandang sebuah cafe yang terhampar di depannya. Kata Cakka, jika dia mau bertemu dengan Eka hari ini, dia akan bertemu di cafe dengan Eka di cafe ini, sore ini. Oik tadinya tidak mau datang, toh untuk apalagi dia mencari tahu tentang Eka, sudah ada Cakka di dalam relung hatinya. Dan sudah ada benih Cakka di dalam rahimnya.
Tapi, entah kenapa Oik penasaran dengan Eka yang dimaksud Cakka. Dia juga penasaran bagaimana sosok Eka yang sekarang. Apa dia masih seperti Eka yang dulu?
Oik melangkah masuk ke cafe tersebut. Saat Oik berada di dalam cafe, ponselnya berbunyi. Dia segera merogoh ponsel dari dalam kantongnya dan melihat sms yang masuk.
From: Hubby <3
Cari meja nomor 48 ya :)
Eka menunggumu.
Oik mengedarkan pandangannya lagi mencari-cari meja nomor 48, tapi dia belum menemukannya. Dia pun berjalan mengelilingi cafe itu. Akhirnya menemukan meja nomor 48 tepat di depan stage tempat manggung penyanyi cafe.
Di sana telah duduk seorang lelaki, sambil meneguk lemonade. Sepertinya lelaki itu begitu familiar buat Oik. Saat dia tiba di hadapan lelaki itu...
“Eh, hai Oik, sudah datang, ayo duduk,”
“Hm, hai juga Mas Elang, terima kasih,”
“Mau minum apa? Biar aku yang pesan,”
“Avocado juice saja Mas,”
Elang memanggil salah satu waitress dan memesan minuman Oik.
Apa maksud semua ini? Kenapa Mas Elang yang ada di hadapannya saat ini?
Oik mulai menyerap, mencoba mencari tahu apa sebenarnya pesan yang ingin di sampaikan Cakka tentang Eka. Kenapa foto Eka ada di kamar Cakka? Kenapa Cakka bilang kalau Eka itu saudaranya? Apa jangan-jangan Eka itu? Oh tidak!
Eka... Eka... Eka... Eka artinya satu atau pertama, jika semua di gabungkan, Eka itu saudara Cakka yang pertama atau mungkin saudara Cakka satu-satunya.
Jadi Eka = Elang?
HAH?! Oik memekik kaget dalam hatinya, setelah dirinya menarik kesimpulan seperti itu.
“Selamat sore semua, saya akan menghibur anda semua dengan menyanyikan sebuah lagu dari Boby Brown yang judulnya girl next door, enjoy it!,” Oik segera memalingkan pandangan ke arah stage karena suara sapaan itu tidak asing baginya.
Di atas stage ada seorang lelaki membawa dengan gitar hitamnya menyanyikan sebuah lagu...
This is crazy, I mean, I meet the most beautiful girl,
come to find out she lives right next door to me
I don't know what I'm gonna do
This is tough on me
I just gotta
I just gotta talk to somebody
Hey fellows, gather round
Let me tell you bout a girl
Who's blowin' my mind
She's really new in town
Fresh and lovely
And ever so fine
I said, "How do you do?
There's never been another girl like you
My heart just skips a beat
Whenever you're near to me"
She let me walk with her
I thought it couldn't get any better
But there was even more
I found out she's the girl next door
I want to be with her forevermore
The girl next door, yeah
I need to be with her
Now since I've been with her
I found my whole world
is furnin around
She never rocks the boat
Yes she keeps it
From runnin' aground
Sometimes I can't believe
That she only wants to be with me
It seems like such a crime
Not to share such a lovely find
I never get too much
I'm livin' every moment for her touch
(But I get all I need)
Because she lives next door
(Girl next door) Next to me (Scat) baby
(Girl next door) The girl next door
(Girl next door) (Scat)
I wanna be be be be with you
(Girl next door) Together yeah
Hey yeah yeah, now tell me, baby
(Girl next door)
What could she have in store
The girl next door
Her very essence, her presence
I do adore
And bein' this close
Is drivin' me wild
I love her personality
Her style, her smile
My life is bright
Once more again
Our lives are hot
Our souls will blend
I love that girl
More than all the world
She's like priceless diamonds
Curltured pearls
She took me by surprise
Right before my eyes
She came to me
Like a vision on earth
I didn't have to lock
I didn't have to search
I'll never bore
My girl next door
Each other's body
We'll explore
Our love will grow
Forevermore
Girl next door, she caught me peekin'
Oh, you naughty boy!
Girl next door
***
Setelah bernyanyi, Cakka turun dari panggung mendekati Cakka dan Elang di meja nomor 48 itu.
Cakka tersenyum ke arah mereka berdua.
“Kau sudah tahu kan siapa Eka?,”
“Maksudmu apa Cakka? Aku malah semakin bingung,”
Cakka tersenyum, “kau pasti sudah tahu Eka itu dari dalam sini,” kata Cakka menunjuk dada Oik.
Oik menutup matanya, cukup lama, sebelum dia meraih Cakka untuk di peluk.
“Aku sudah tidak peduli Cakka, Eka itu siapa! Aku pilih kamu, hatiku memilihmu, dari dulu aku yakin kamulah Eka! Entah benar atau tidak kamu tetap Eka untukku,”
Cakka tertawa kecil, dia membalas pelukan Oik.
“Good choice, Oik, kayaknya kamu memang benar memilih menggunakan hati dari pada logika, hah Cakka! Sudah akhiri saja permainan ini, kasihan Oik,” kata Mas Elang.
Oik melepaskan pelukannya, “maksud Mas?,” Oik mengerenyit.
“Jadi begini loh Ik, Cakka minta tolong sama Mas untuk ngetes kamu, hm kamu betul-betul cinta dia sebagai Cakka atau masih sebagai Eka, dia tuh sebenarnya Eka loh Ik, Eka itu nama yang aku beri buat Cakka diambil dari nama tengahnya Kawekas jadi aku panggil Eka, tapi waktu kecil, nah Cakka tuh udah sadar kamu itu girl next door-nya lama, ya pokoknya intinya tadi Cakka cuma mau bimbangin kamu, kalau kamu pake logika, pasti kamu akan mengira akulah Eka karena statement yang di buat Cakka itu, tapi kalau kamu pake hati kamu, kamu tahu kalau Cakka itu Eka,”
Oik menatap Cakka dengan tatapan agak galak, membuat Cakka membentuk jari-jarinya menyerupai huruf “V”.
“Lagu tadi...tentangmu, aku bohong...hehehe, aku tahu kamu Aya, dan aku tahu kalau kamu punya saudara namanya Ayi, makanya waktu itu aku bilang kalau cinta pertamaku, Ayi, mau mengetes kamu,”
“Ish Cakkaaaaaa,” Oik mencubit lengan Cakka gemes.
“Iya deh, damai Ik, kita kan satu sama,”
“Aku satu apaan coba?,”
”Soal kehamilanmu, lupa yah?,”
“Oh iya yah,”
Kemudian Cakka dan Oik saling tatap-menatap, cafe hanya diiringi musik klasik yang indah. Perlahan Cakka mendekatkan kepalanya ke arah Oik belum sempat melakukan apa yang dia rencanakan, bibirnya di bekap oleh jari-jari Elang.
“Cakka! Adikku yang paling ganteng, sadar ya, ini tempat umum, jangan lakuin itu di sini, lakuinnya di ruangan privasi kalian saja, lust,”
“Masku yang ganteng juga, Oik itu isteri Cakka, jadi Cakka bebas dong cium dia kapan dan dimana saja, makanya Mas cepat cari isteri biar bisa juga,” Cakka secepat kilat mencium bibir Oik supaya tidak diprotes kakaknya lagi.
“Ish, nyindir,”
“Memang, ya sudah, makasih atas bantuannya kakakku sayang, yuk Ik balik ke rumah,” ajak Cakka.
***
10. Happy Ending?
Seorang gadis kecil kerepotan membawa kotak kue. Dia di suruh Bundanya untuk memberikan kue-kue itu kepada tetangganya sebagai tanda perkenalan, mereka orang baru di kompleks itu. Bundanya menyuruh dia dan kakaknya berbagi tugas. Kakaknya ke tetangga-tetangga belakang dan kiri. Dia ke tetangga-tetangga depan dan kanan.
“Kau kerepotan yah? Boleh aku bantu membawakannya?,” tanya seorang lelaki kecil.
“Iya...boleh deh,” gadis kecil itu menyerahkan beberapa kotak kue ke tangan lelaki kecil itu.
“Ini mau dibawa kemana?,”
“Ke tetangga-tetangga, soalnya aku dan keluargaku orang baru disini,”
“Oh pantas belum pernah lihat, oh ya kenalin, aku....panggil Eka saja,” lelaki itu mengulurkan tangannya.
“Aya,” gadis itu membalas uluran tangannya.
Merekapun mengantarkan kotak-kotak kue itu ke tetangga-tetangga.
“Jadi kau tinggal di sini?,” tanya lelaki kecil saat mengantar gadis kecil itu pulang.
“Iya,” kata gadis kecil itu, “Kak Ayiiiii,“ gadis kecil itu memanggil ke dalam rumah, “aku masuk dulu yah, dadaaa,” kata gadis kecil itu kemudian masuk ke rumah.
Lelaki kecil itu menatap gadis kecil itu sampai benar-benar masuk ke dalam, setelahnya mengambil langkah memasuki rumah tepat di samping rumah gadis kecil itu.
***
Usia kandungan Oik sudah mencapai 9 bulan. Perutnya sudah besar. Selama dalam masa kehamilannya Cakka dan Bundanya berusaha memenuhi segala kebutuhan Oik. Mulai dari minum susu, mengkonsumsi vitamin, dan pola makan yang sehat. Bundanya sama sekali tidak mengizinkan Cakka dan Oik untuk kembali ke rumah keluarga Oik. Dengan alasan tidak ada yang menjaga Oik serta Lola di sana. Jadinya mereka harus tinggal bersama orang tua Cakka.
Tanggal 13 November, tiba-tiba bayi di dalam perut Oik itu seakan ingin keluar. Oik meraung-raung karena kesakitan. Cakka panik, sedangkan Bundanya langsung menelepon ambulans untuk membawa Oik ke rumah sakit.
Tiba di rumah sakit, Oik segera di larikan ke dalam ruangan bersalin. Selama beberapa jam proses melahirkan Oik. Akhirnya Oik melahirkan bayi laki-laki secara normal dengan berat 3,25 kilogram dan tinggi 52 sentimeter.
Bayi tersebut diberi nama Noah Cricket Nuraga. Sepertinya bentuk namanya sejenis Lola. Lola dan Cricket adalah pasangan dalam novel Lola and the boy next door. Noah dan Allison adalah pasangan dalam novel The Notebook.
Cakka yang menggendong Lola, mendekat ke arah Oik yang berbaring lemah. Di sebelahnya terbaring Noah yang tertidur pulas.
“Sayang, kakak kamu suka baca novel yah? Namain Lola kayak nama tokoh novel,”
“Tidak, kakakku tidak suka baca novel, aku yang suka, nama Lola Allison aku yang usulkan dan di setujui Kak Sivia,”
“Jadi menular deh ke anak kita,” kata Cakka.
“Tapi kan bagus,”
“Iya, bagus banget, aku suka banget,”
“Kayaknya kita perlu berterima kasih pada baby proposal yang di ajukan Kak Sivia sama orang tuamu, tanpa itu semua, kita tidak akan sebahagia sekarang, punya dua anak yang cantik dan ganteng,” kata Oik.
“Dan tidak akan menemukan isteri secantik kamu dan suami seganteng aku,” Cakka narsis.
“Ish pede banget,”
“Tapi sayang kan,” kata Cakka langsung mengecup Noah.
“Awas sayang, Noah bangun nanti,” kata Oik.
“Bilang aja mau dicium juga,” kata Cakka langsung menyambar bibir Oik yang masih pucat.
“Kebiasaan kamu...sini aku juga mau cup Lola,” kata Oik.
Cakka mendekatkan Lola ke arah Oik dan Oik pun mengecup Lola di dahinya.
A happy family :)
End
Epilog
Oik menabur bunga di sebuah nisan. Air matanya mengalir lagi. Dia masih tak bisa merelakan. Kenapa semua begitu cepat?
Cakka memegang kedua pundak Oik. Dia berusaha tersenyum, walaupun sebenarnya pahit. Dia juga masih berusaha merelakan.
“Sudah Oik, kita pergi, Lola sudah tenang di alam sana bersama Sivia dan Alvin,” ajak Cakka.
Oik mencium batu nisan Lola sebelum akhirnya pergi bersama Cakka yang mendorong kereta bayi Noah. Dia berusaha menyamakan jejak Cakka dan mencoba melepaskan Lola, mengikhlaskannya untuk pergi bersama keluarganya yang lain.
Dia harus bisa bangkit setelah kepergian Lola. Masih ada Cakka, masih ada Noah, masih ada keluarga Cakka yang menjadi keluarga barunya. Dia menghapus bulir air matanya, Cakka merangkulnya dan mereka sama-sama mendorong kereta Lola keluar dari area pemakaman tersebut.
Lola meninggal setelah sakit, perutnya kembung setelah dia tidak mau makan dan hanya minum-minum saja. Terlalu banyak cairan di dalam tubuhnya. Sehingga menyebabkan Lola drop dan harus di-opname. Mereka sudah berusaha agar Lola sembuh, tetapi Tuhan berkata lain. Lola hanya dititipkan sementara untuk mereka yang menjadi penyambung tali cinta antara Cakka dengan Oik.
“Terima kasih Tuhan benar ternyata rencana-Mu memang indah pada waktunya, terima kasih Kak Sivia berkat proposal Kakak aku mendapatkan keluarga baru dan suami yang sangat mencintaiku, terima kasih Lola sudah pernah menjadi bagian dalam keluarga kecil Mama Oik, menjadi malaikat buat kami yang mempersatukan cinta kami,” Oik mengulum senyum hangatnya lagi, kala melihat keluarganya. Ayah dan Bunda, Mas Elang serta Cakka yang menggendong Noah tertawa di bawah sinar bulan purnama malam itu.
“Sayang, ayo ikut gabung,” ajak Cakka.
Oik pun berlari mendekati Cakka dan segera menyambar memeluknya.
***
“Apa sih sayang, ini kan masih pagi,” kata Cakka.
Oik tak menghiraukannya, dia menyingkap selimut Cakka dan menarik bantal suaminya itu.
Cakka segera berdiri dan menatap Oik, walaupun penglihatannya masih kabur.
Oik menyodorkan sebuah kertas ke hadapan Cakka yang membuat matanya tiba-tiba terbelalak kaget melihat tulisan tersebut.
Proposal pembagian tugas mengurus Noah.
Cakka membuka mulutnya menganga sebelum mengeluarkan sebuah suara yang cukup kencang.
“APA?! PROPOSAL LAGI?!,”