Under the Marriage
Prolog
CEKRIIIKK... suara blitz berkoar-koar dimana-mana. Seorang gadis mungil memicingkan matanya. Kesadarannya belum pulih benar saat turun dari sebuah volvo SUV tadi. Tapi dia sudah disambut dengan kekagetan yang luar biasa. Sejak tadi, di bandara dia sangat kaget ketika dirinya disuruh untuk naik ke mobil mewah yang ada di hadapannya. Di kampung halamannya boro-boro naik mobil mewah, lihat mobil seperti itupun dia tidak pernah sama sekali. Mana dia di suruh Ujang untuk berdandan se-feminim mungkin lagi. Jadinya, dia harus memakai dress dan higheels yang membuat kakinya setengah mati sakitnya dan susah jalannya, ditambah lagi cincin yang teramat sangat mahal yang diberikan Ujang tadi untuk dipakainya, Oh God!. Sekarang apalagi ini?! Kenapa dia bisa tersasar seperti ini sih?!
Kepalanya celingak-celinguk mencari seseorang, tapi orang itu tak ditemukan juga. Dia merengut dalam hatinya. Bisa-bisanya Ujang meninggalkannya disaat seperti ini. Dia menyusup melalui celah-celah tubuh manusia yang berhimpitan dengan kameranya. Matanya benar-benar sakit sedari tadi disambar kilatan blitz. Dia tak terbiasa dengan kamera. Jika dia bisa menerobos kerumunan orang ini, hingga tiba di sebuah pintu di ujung sana yang tampaknya sepi, dia bisa terhindar dari serangan blitz yang memuakkan itu. Segera di bukanya higheels-nya kemudian dia mencoba menerobos kerumunan. Akhirnya setelah usaha yang cukup membuatnya tersiksa, dia berhasil tiba di depan pintu rumah mewah itu. Dia meletakan higheels-nya di bawah lalu kembali mengenakannya. Memperbaiki rambutnya yang tadi ditarik-tarik sembarangan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Kembali matanya menyusuri sudut-sudut halaman. DIMANA UJANG? Itu yang ada dipikirannya. Sungguh tidak bertanggung jawab!
Dia merengut kesal, kemudian hendak melangkah dari situ. Tapi... pintunya tiba-tiba terbuka dengan seseorang yang langsung menarik lengannya...
“Nah, ini dia!,” kata orang itu.
Gadis itu tak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Yang pasti, orang yang menariknya ini adalah seorang lelaki. Lelaki yang sangat wangi, hidungnya terbuai dengan wangi itu, sebelum akhirnya dia tersadar setelah lelaki itu bertanya lagi.
“Siapa nama kamu?,”
“Heh?!,” itu jawaban gadis mungil itu saking kagetnya dan kesadarannya belum pulih betul.
“Iya... nama kamu?,” katanya kemudian menyeret gadis itu kembali ke kerumunan orang-orang dengan kamera tersebut. Ah tidak! Bukan di kerumunannya melainkan sebuah meja di depan kerumunan tersebut.
“Oik...,”
“Nama lengkap,”
“O...Oik... Cahya Ramadlani,” katanya sedikit takut. Dia ingin mendongak ke atas melihat siapa lelaki itu? Tapi lehernya terasa kaku saat sudah berada di meja tersebut.
“Ayo duduk, tak usah takut... kau tak perlu berbicara apapun... cukup duduk dan ikuti!,” lelaki itu berbisik memerintah Oik.
Oik pun duduk di sebuah kursi di balik meja itu. Kali ini sengatan blitz bertubi-tubi yang di dapatinya. Membuat dia tak berhenti mengedip-ngedipkan mata. Matanya sudah agak kabur kepalanya pusing dengan semua itu. Lelaki itu sepertinya tahu, dia mengangkat tangannya menyuruh para wartawan itu berhenti mengambil gambar. Satu-satu blitz-nya mulai redup hingga tak ada sama sekali, pertanda wartawan paham dengan yang dimaksudkan oleh lelaki itu. Oik akhirnya bisa membuka matanya lagi walaupun masih kabur, tapi dengan kedipan-kedipannya lama kelamaan efek blitz itu hilang. Ketika dia sadar, ada sebuah tangan yang besar dan terasa hangat tersampir di pundaknya. Dia menengadah ke samping, lelaki itu. Lelaki dengan rambut kecoklatan –efek cat– yang agak berantakan, mata berbentuk almond berwarna kelabu, bibir peach-nya membelah di bagian bawahnya, hidungnya tidak terlalu mancung tapi seksi, kulitnya putih bersih.
“Kamu tidak apa-apa?,” tanyanya berbisik di telinganya, ah bukan di telinga melainkan di bagian sensitif leher dekat telinga, membuat tubuhnya seperti disengat listrik dengan voltasi tinggi. Cepat-cepat Oik menggeleng dan lelaki itu tersenyum, “okay...,”
Seorang lelaki dengan tubuh gempal duduk di samping kiri lelaki itu, sedangkan seorang wanita dan pria –sepertinya sepasang suami-isteri– di samping kanannya. Wanita yang di sanggul dengan make-up yang tidak terlalu tebal itu tersenyum padanya. Oik membalas senyumannya itu, sebelum lelaki bertubuh gempal itu berkata-kata...
“Kita mulai konferesi pers-nya, okay silahkan Cakka...,” ucapnya.
“Apa benar Shilla itu mantan anda?,” ... “dan benar yang dikoar-koarkan Shilla di twitter itu anda?,” ... “apa benar anda sedang dekat dengan Prilly? Atau dua orang Nadya?,” ... “jadi bagaimana anda akhirnya memilih siapa?,” ... “Shilla atau Prilly?,” ... “atau mungkin diantara dua orang yang sama-sama bernama Nadya?,” ... “jadi apa keputusan final anda?,” ... “katanya diam-diam anda telah bertunangan? Dengan siapa?,” ... “siapa gadis di samping anda itu?,” ... “apa dia tunangan yang dimaksud?,” ... “terus bagaimana nasib dua kubu Shilla dan Prilly?,” ... “desas-desus yang di dengar dalam waktu dekat ini anda akan married?,” ... “kapan married?,” kira-kira seperti itu pertanyaan yang diluncurkan para wartawan, sebelum akhirnya blitz-blitz kembali menyala dan membuat Oik jadi mual.
“STOP!!!, kalian mau kan konferensi pers ini tetap berjalan? Mohon diam, biarkan Cakka yang menjelaskan satu per satu, ayo Cakka,” kata lelaki yang bertubuh gempal berhasil membungkam wartawan.
“Baik... selamat siang teman-teman, saya disini mengadakan konferensi pers ini untuk meluruskan segala sesuatu, pertama baiklah saya mencoba menjelaskan tentang Shilla, ya Shilla itu mantan saya, kami backstreet dulu untuk meniti karir masing-masing, supaya tidak ada pihak yang mengira kita saling dongkrak karir kita, tapi murni karena usaha kita masing-masing,” Cakka terlihat menghela napasnya kemudian melanjutkan, “kita dua tahun pacaran dan putusnya november tahun lalu,” terdengar suara kegaduhan wartawan dan Cakka kembali melanjutkan, “kalau soal yang di twitter itu, sepertinya kalian salah orang kalau menanyakan hal itu pada saya, silahkan tanya pada Shilla sendiri, trus yang soal Prilly yang katanya di serang Shilla karena dekat dengan saya, saya memang dekat dengan dia itupun secara tidak sengaja dan kita hanya berteman tidak kurang dan tidak lebih, soal Nadya dan Nadya? Aduuuhhh stop deh! Semua teman-teman saya, apa semua wanita yang dekat dengan saya selalu punya hubungan istimewa dengan saya?,” Cakka menatap sebentar Oik yang masih dirangkulnya sejak tadi. Gadis itu terdiam, bingung dan hanya menyaksikan apa yang sedang terjadi, “kalian juga bertanya kan siapa yang akhirnya saya pilih? Jawabannya adalah... gadis di samping saya ini, Oik Cahya Ramadlani,” kata-kata Cakka barusan berhasil membuat mata Oik melotot menatapnya yang sedang tersenyum penuh arti ke arah Oik, “dia tunangan saya, kami bertunangan di kampung halamannya Oik, soalnya Oik ini tidak mau dipublikasikan, dia anti kamera makanya tadi saya suruh wartawan sekalian berhenti mengambil gambar, karena Oik tidak mau, untuk mengadakan konferensi pers ini saja Oik harus saya bujuk dulu...,” Cakka terdiam sesaat sebelum berkata-kata lagi, “oh ya, tadi ada yang tanya kapan saya menikah? Hm, kami berdua sudah merencanakannya, bulan depan kami menikah, dan orang tua saya juga sudah setuju dan merestui, iya kan Mmy, Ddy?,” sepasang suami isteri yang berada di samping Oik mengangguk serempak.
Setelah pernyataan itu, pertanyaan bertubi-tubi kembali dilayangkan oleh para wartawan, “Anda bertemu Oik dimana?,” ... “kenapa bisa buru-buru melaksanakan pernikahan?,” ... “sudah pesan gaun pengantin?,” ... “bocoran waktu dan tempatnya dong?,” ... “apa Shilla sudah tahu?,” ... “trus Prilly... Prilly?,” ... “Nadya dan Nadya?,” ... “latar belakang Oik dong?,” itu membuat Cakka mengangkat tangannya dan menyuruh semua berhenti lagi, Cakka akan menjelaskan satu per satu pertanyaan mereka.
“Jadi, saya dan Oik itu teman main waktu masih kecil-kecil gitu, dulunya saya sempat tinggal di kampungnya Oik, tidak lama hanya sebulan, nah kemarin ada kan yang saya menghilang sebulan itu, sebenarnya saya ke kampungnya Oik, di sana saya bertemu dengan Oik, hm... sebulan cukuplah untuk menumbuhkan benih-benih cinta itu, nah saya langsung ajak Oik tunangan karena hati saya sudah berkata ‘KLIK’ dengan Oik, kita masih sementara fitting baju pengantin, tapi sudah menentukan waktu dan sudah menyewa gedung tempat pelaksanaan resepsi, untuk bocoran, maaf kami tidak bisa memberitahu anda sekalian, tunggu saja kejutan dari kami,” kata Cakka diiringi riuh kecewa wartawan, di tengah kericuhan yang terjadi seorang wartawan menyela...
“Apa buktinya kalau gadis di samping anda itu adalah tunangan anda?,”
Cakka mengangkat jemari Oik, yang memang telah tersemat cincin yang indah, “Ini cincin tunangan yang saya berikan untuk Oik,” Cakka melepaskan jemari Oik, lalu mengalihkan pandangannya ke arah wartawan-wartawan di hadapannya itu, “masih kurang lagi buktinya?,” kata Cakka mengangkat setengah alisnya, dan sepertinya masih ada wartawan yang tampak ragu, Cakka kemudian mengangkat kedua bahunya, “It’s okay, kayaknya perlu bukti tambahan,” kata Cakka kemudian pandangannya beralih lagi menatap Oik, gadis itu jadi takut dengan tatapan Cakka kali ini karena seperti hendak memakannya.
Cakka mendekatkan wajahnya ke wajah Oik, wangi vanilla-musk yang memang sedari tadi sudah menari-nari di hidung Oik, semakin merasuki indera penciumannya itu. Dia menyipitkan matanya, otot pipinya terangkat saat menyadari wajah Cakka kian dekat ke arahnya. Dia hanya bisa menutup matanya saat merasakan hembusan napas panas Cakka di atas hidungnya, sebelum sesuatu yang lembab, basah tapi lembut menekan di bibirnya. Cukup lama, sampai sekitar empat kali lumatan halus sebelum Cakka melepasnya. Oik masih belum 100% kembali ke bumi, shocked. Cakka yang menyadarinya segera menenggelamkannya ke dalam pelukannya, sebelum Oik sadar dan mengacaukan semuanya, dia pun berbisik pelan ke telinga Oik...
“Sorry, jangan marah... untuk meluruskan suasana,”
Oik perlu pasokan oksigen ke dalam tubuhnya, dia menarik napasnya sepanjang mungkin tapi yang terhirup hanyalah wangi tubuh lelaki yang sedang memeluknya itu. Perlahan Cakka melonggarkan pelukannya dari Oik, kemudian tersenyum lagi ke arah wartawan. Sepertinya wartawan sedang menahan napas mereka saat menyaksikan adegan tadi, karena pada detik ini sebagian besar sedang menghembuskan napasnya, sedangkan yang lainnya masih menganga.
“Okay, saya rasa cukup sampai disini dulu, saya dan Oik mau beristirahat, bye,” kata Cakka segera menggenggam jemari Oik di sela-sela jemarinya dan menariknya pergi dari situ bersama para security, sedangkan lelaki bertubuh gempal yang adalah manajernya bersama kedua orang tuanya masih tetap berada di situ menjawab pertanyaan-pertanyaan sisa dari wartawan, sebelum akhirnya mengikuti jejak Cakka dan Oik.
Dalam perjalanannya menuju pintu tadi dan masuk ke rumah, Oik mulai menyadari satu hal dan berteriak dalam hatinya...
ITU CIUMAN PERTAMA...
***
0 komentar:
Posting Komentar