Sad Beautiful
Tragic
Prolog
SEBUAH
cafe di sudut kota Jakarta tampak sepi. Hanya seorang gadis yang duduk
menyeruput lemon tea di sudut
ruangan. Dia tampak bergulat dengan pikirannya sendiri. Sudah beberapa tahun
ini hidupnya seakan berubah. Semenjak trauma itu. Dia seakan berubah 180
derajat dari dirinya yang sebenarnya. Ini bukan dia. Tapi, untuk kembali
menjadi dirinya yang sebenarnya dia rasa itu tidak mungkin. Sudah cukup dirinya
di sakiti. Sudah cukup dirinya dipermainkan. Saatnya menjadi pemain bukan?
Dia
terus menyeruput lemon tea-nya sampai
tak bersisa. Setelah itu dia mengatur letak rambutnya dan membuka laptopnya.
Kebetulan di cafe tersebut menyediakan layanan wifi gratis. Dia lebih baik
memanfaatkannya, sambil memanggil seorang waitress
dan memesan gelas kedua lemon tea-nya.
Dia lalu sibuk dengan laptopnya.
Seorang
gadis berambut panjang yang di gerai masuk ke dalam cafe tersebut bersama
dengan seorang lelaki. Mereka duduk beberapa bangku dari gadis yang sedang
sibuk dengan laptopnya. Gadis itu berhenti sejenak melihat kedua orang yang
baru masuk tersebut. Matanya menyipit tertuju pada gadis berambut panjang yang
baru saja masuk itu. Ah! Wajah gadis itu familiar. Dia berhenti sejenak
memperhatikan kedua orang itu.
Kedua
orang itu tampak sibuk memilah-milah makanan di daftar menu. Sebelum seorang waiter datang menghampiri mereka.
Setelah memesan makanan pada waiter tersebut.
Mereka terlihat saling bercanda. Diselingi tawa dan lelucon. Sang lelaki
memperbaiki letak rambut sang gadis. Sebelum merangkulnya di pinggang. Pesanan
mereka akhirnya datang. Dua gelas avocado
juice dan satu piring cheese cake serta
satu piring brownies. Mereka pun
akhirnya makan.
Di
tengah acara makan mereka tiba-tiba sang lelaki menerima telepon. Dan dengan
segera pamitan pada sang gadis. Mengecup dahinya sebelum pergi meninggalkan
sang gadis sendirian. Sang gadis melanjutkan acara makannya sendiri.
Gadis
yang sedari tadi memperhatikan mereka sudah menghabiskan gelas kedua lemon tea-nya. Sebelum akhirnya dia
memasukan laptopnya kembali ke dalam tas dan memutuskan mendekati gadis
berambut panjang itu. Dia penasaran. Dia melangkahkan kakinya ke meja gadis
berambut panjang itu. Saat tepat di samping gadis itu, gadis itu memekik kaget.
Ah, benarkah yang ada di hadapannya ini...
“Rishaaaaa...,”
pekiknya.
Gadis
yang dipanggil Risha itu berbalik memandangnya. Dia menyipitkan matanya seolah
mencoba menganalisis memorinya. Kemudian gadis itu terlihat sama-sama
antusiasnya.
“Ya
ampun Bellaaaaa,” teriaknya sambil berdiri dan memeluk gadis yang bernama Bella
itu.
Mereka
terlihat senang sekali. Lama mereka berpelukan erat sebelum saling melepaskan.
“Nggak
nyangka banget kita ketemu di sini... Wow... kapan kamu balik kemari?,” tanya Bella.
“Iya
nggak nyangka juga, baru beberapa bulan yang lalu, lama nggak dengar kabar dari
kamu aku kangen tahu,” kata Risha.
Mereka
pun duduk di meja itu. Sambil terus berbagi cerita.
“Kamu
kenapa lost contact gitu sih? Nggak
pernah ngabarin aku,” kata Bella.
“Sori
Bell, bukannya aku nggak mau ngabarin kamu, hanya saja beberapa hari setelah
tiba di Yogyakarta ponselku dijambret orang, semua kontakku otomatis hilang dan
aku nggak hafal nomor kamu... kamu kan tahu aku paling susah ngafalin nomor
ponsel orang,” jelas Risha.
“Oh
gitu ya, padahal aku sudah berpikir kamu jahat banget nggak ingat sahabat lama,
mentang-mentang sudah banyak teman-teman baru di sana,” kata Bella.
“Nggak
kok Bell, nggak mungkin aku lupain kamu, kamu kan sahabat terbaikku,” kata Risha
sambil menggenggam tangan Bella.
Bella
tersenyum ke arah Risha, “aku tahu kok... aku kangen banget tahu sama kamu,”
kata Bella membuka kedua tangannya dan mereka sekali lagi berpelukan, “oh ya Rish,
tadi itu siapa? Kok dia pergi sih ninggalin kamu?,” tanya Bella.
Risha
tampak acuh tak acuh sambil menyeruput avocado
juice-nya menjawab, “itu... dia Christo,” kata Risha.
“Christo?
Pacar kamu?,” tanya Bella mengernyit.
“Bukan,”
Risha segera menampik perkataan Bella, “haha... dia hanya seorang anak kecil
yang perlu diajarkan cara bercinta,” kata Risha.
Bella
melotot mendengar perkataan Risha. Seperti inikah Risha sekarang?
“Eit...
jangan pikiran negatif dulu ya, bercinta bukan dengan tanda petik ya,” kata Risha.
Bella
tertawa sejenak, “ckckck... Risha... Risha, jadi dia bukan pacarmu? Aku kira
pacarmu,”
“Bukan...
pacar orang mah dia,” kata Risha dengan santai.
Bella
jadi agak kurang paham. Tapi lama-lama dia mengerti Risha sementara berada di
posisi mana. Astaga. Risha berubah. Sama seperti dirinya. Tidak berbeda jauh.
Apa karena trauma mereka yang sama?
“Kamu
sendiri pacar kamu mana?,” tanya Risha kemudian.
“Ada
kok... tapi jauh... long distance,”
jawab Bella datar.
Risha
memandang Bella dengan tatapan menyelidik, “yakin kamu bisa long distance? Kamu sayang sama dia?,”
tanya Risha.
Ah!
Risha tahu kalau Bella tidak bersungguh-sungguh sayang pada pacarnya itu. Tidak
mungkin jawabannya sedatar itu.
“Jujur
nih... nggak... aku kan sekarang PHP hahaha,” kata Bella diakhiri tawa khasnya.
Kedua
sahabat itu tertawa bersama. Ternyata keduanya sama-sama berubah. Memang
kehangatan persahabatan mereka tidak berubah. Tapi cara menyikapi kehidupan mereka
berubah total.
“Apa
mungkin karena kita sama-sama gagal move
on?,” tanya Risha.
“Gagal
move on? Berarti kamu belum bisa
melupakan Dilan ya Rish?,” tebak Bella.
Risha
menghela napasnya panjang. Rasa sesak di dalam hati ketika mendengar nama tersebut.
Luka itu kembali lagi. Risha berusaha untuk tegar. C’mon Rish kamu wanita tangguh. Risha menyugesti dirinya dalam
hati.
“Sama
seperti kamu belum bisa melupakan Justian bukan?,”
Bella
tercekat. Kenapa Risha mengingatkannya lagi sih? Nama yang ingin dilupakannya.
Nama yang selalu ingin dia buang jauh-jauh dari kehidupannya. Nama atas segala
trauma itu.
Bagian
dari masa lalu mereka yang tidak dapat dipisahkan dari perjalanan kehidupan
mereka. Entah apa maksud takdir mempertemukan kedua sahabat lama itu kembali di
sini. Semoga bukan untuk sama-sama disakiti lagi.
***
0 komentar:
Posting Komentar