NINE—BOYFRIEND
“—Keep you on my arm girl
You’d never be alone—”
CAKKA mengernyitkan dahinya. Membaca
satu per satu kalimat yang tertera di atas kertas itu. Sesekali tertawa kecil.
Oik memandanginya sambil menggembungkan pipinya. Huh! Ini untuk yang keberapa
kalinya ia dipermainkan oleh lelaki ini.
Persyaratan:
1. Dilarang memindahkan barang-barang
yang sudah tertata rapi.
2. Dilarang memasuki area pribadi.
3. Dilarang grepe-grepe.
4. Dilarang kepo.
5. Cari makan masing-masing.
6. Urus diri masing-masing
7. Dilarang mengatur seenak jidatnya.
8. Jangan bilang kesiapapun tentang hal
ini!
9. Tidak boleh melakukan tindakan
senonoh.
10. Semua hal yang tidak baik, yang
tidak sesuai dengan moral dan budaya Indonesia. Tidak boleh dilakukan!
Oik menanti apa yang akan dikatakan
Cakka tentang persyaratannya itu. Semoga saja ia tidak menyanggupinya dan tidak
jadi tinggal di apartemennya. Tapi, lelaki itu malah mengambil sebuah pena dari
atas meja dan sepertinya sedang menulis sesuatu lalu menandatanganinya. Setelah
itu, ia menyodorkan kertas itu kembali kepada Oik.
N.B: Semua persyaratan di atas tidak
berlaku selama jam les.
Oik melotot melihat tulisan tersebut,
“Maksud kamu apa, Cakka?”
“Belum jelas? Jam les itu hakku! Jadi
terserah aku mau ngapain juga itu hakku,” kata Cakka.
“Lho? Nggak bisa begitu dong,” Oik
protes.
“Bisa saja. Kan sudah kubilang kita
bersimbiosis mutualisme. Jadi kita sama-sama diuntungkan. Sudah, aku mau taruh
barang-barangku di kamar dulu,” kata Cakka sambil menyeret kopernya.
Oik masih tidak terima. Ia mengekor di
belakang Cakka. Banyak yang ada dibenaknya yang ingin ia keluarkan. Namun,
seperti tertahan di mulutnya. Sedangkan Cakka berjalan menuju pertengahan
antara kamar tamu dengan kamar Oik. Ia membuka kedua tangannya. Sambil
mengangkat kedua bahunya.
“Aku di kamar yang mana?” tanya Cakka,
“Aku sih maunya di kamar yang ini,” lanjutnya menunjuk kamar Oik, “Tapi nggak
mau merepotkan kamu. Jadi aku mengalah di kamar yang ini,” Cakka memutar gagang
pintu kamar tamu dan masuk ke dalam.
Oik hanya bisa melongo menyaksikannya.
Mulai hari ini. Hidupnya bakalan lebih
runyam lagi. Dengan keberadaan lelaki gila itu di dalam apartemennya. Oik
mengembuskan napasnya. Kemudian melangkah pasrah masuk ke dalam kamarnya.
***
Oik terbangun dengan badan yang sangat
pegal. Membuatnya semakin malas beranjak dari tempat tidurnya. Setelah
perjanjian itu, ia dan Cakka memulai kegiatan les mereka. Hari ini sudah hari
yang keempat. Biasanya, les berlangsung sebelum Oik pergi ke kampus atau pun
sepulang Cakka dari kantornya. Tadi malam, ia baru tidur jam 12.00 malam.
Dikarenakan Cakka menyuruh ia menghafal 50 kosakata sampai lidahnya keriting.
Yang ia ingat terakhir adalah adegan Cakka marah-marah di ruang tamu. Karena ia
susah menyebutkan kosakata yang ia hafal. Setelah itu....
Oik terpekik kaget. Berarti, ia
tertidur dan Cakka yang memindahkannya ke kamar ini. Cepat-cepat ia mengecek
semuanya. Ia mengembuskan napasnya lega, saat mendapati dirinya yang masih
berpakaian sempurna. Ah! Bisa-bisanya Oik berpikiran seperti itu. Ia
menggeleng. Selama 4 hari ini, Cakka memang tidak pernah berlaku macam-macam
padanya. Mereka hanya bertemu pada waktu pagi dan petang. Setelah les, mereka
sibuk akan dunia masing-masing. Oik pun menyingkap selimut yang masih membalut
tubuhnya. Mencoba melawan rasa malas yang hinggap padanya. Ia pun berjalan
keluar dari kamarnya.
Aroma makanan tiba-tiba saja
menari-nari di indera penciuman Oik. Mencium aroma tersebut Oik cepat-cepat
pergi ke dapurnya.
Di dapur sudah sangat berantakan.
Peralatan masak sudah berserakkan di atas pantri. Sedangkan di atas kompor gas,
ada sebuah panci yang sedang merebus sesuatu. Di atasnya berasap tanda kalau
makanan itu sudah matang. Siapa yang harus bertanggung jawab akan kekacauan
yang terjadi di dapurnya ini?
Oik masih menganga melihat semua
kekacauan. Saat seseorang datang. Seseorang yang hanya menggunakan boxer dengan
rambut basah dan wangi musk yang menguar dari tubuhnya. Seakan menutupi aroma
yang ditimbulkan makanan.
“Wah, sudah masak,” katanya segera
menyambar panci itu dan membuka tutupnya.
Dengan lihai Cakka memotong sosis yang
ukurannya lumayan besar setelah mengangkat makanan itu dari panci. Makanan yang
berwarna hijau itu telah diletakkan di atas sebuah piring berwarna putih.
Kemudian, dihiasi dengan sosis yang baru dipotong tadi di atasnya.
“Oke, siap!” kata Cakka sambil memberi
sentuhan terakhir pada makanan yang dimasaknya itu.
Oik mengernyit menatap makanan yang
dibuat oleh Cakka. Makanan yang aneh. Sayurnya dihancurkan sedemikian rupa. Oik
tidak mengerti sama sekali. Entah apa jenis masakan yang dibuat Cakka itu.
“Makanan apa ini? Aneh banget,”
komentar Oik.
“Ini namanya stamppot, makanan
khas Belanda,” kata Cakka sambil mengangkat piring itu.
“Stamppot?” tanya Oik alisnya
dinaikan setengah seakan meminta penjelasan.
“Makanan yang terbuat dari kentang yang
direbus dan dihancurkan lalu dicampur dengan beberapa sayuran seperti wortel
atau sayuran hijau seperti boerenkool,” jelasnya sambil memasukkan
makanan yang ia masak ke dalam mulutnya.
Tiba-tiba perut Oik terasa keroncongan.
Ia pun melangkahkan kakinya ke arah kulkas. Membuka kulkasnya. Oh iya! Oik
lupa. Ia lupa untuk belanja bulanan. Di dalam kulkas kosong melompong. Yang
tersisa hanya beberapa cemilan beserta beberapa jus buah. Oik kembali menatap
Cakka yang sedang menghabiskan stamppot-nya. Kemudian ia ingat akan
perjanjiannya yang ia tulis sendiri.
Cari makan masing-masing.
Ia pun mengurungkan niatnya untuk
meminta makanan Cakka itu. Lagi pula ia tidak tahu jenis makanan itu juga.
Bagaimana kalau rasanya tidak enak? Ia mungkin bisa keluar berbelanja. Oh...
Oik lupa lagi, kalau terakhir ia belanja makanan bersama Cakka. Kalau sendiri,
ia akan kesulitan berbelanja bahan makanan lagi. Hupfh!
“Mau?” tawar Cakka pada Oik sambil
mengangkat piringnya ke arah Oik.
Oik menggeleng gengsi, “Nggak.”
“Nggak usah gengsi deh. Aku tahu stok
bahan makanan kamu habis, nih kalau mau makan,” kata Cakka sambil mengarahkan
sendoknya ke arah Oik.
Oik berdecak. Perutnya lagi-lagi keroncongan.
Oik menatap was-was ke arah Cakka, “Itu enak?” tanya Oik.
“Coba aja, enak atau nggak selera
pribadi. Yang pasti ini baik kok buat kesehatan. Soalnya perpaduan
sayur-sayuran. Kalau kamu nggak mau gemuk nggak usah makan sosisnya,” cerocos
Cakka.
“Tapi—”
Tanpa disangka Oik di tengah perkataan
Oik. Cakka malah memasukkan makanan itu ke mulut Oik. Ia dengan terpaksa
mengunyah makanan yang telah dimasukkan Cakka ke dalam mulutnya. Rasa
sayur-sayuran yang mendominasi. Serta keempukan makanan yang dihancurkan.
Ditambah bumbu-bumbu baru yang dikecapnya. Membuat sensasi baru di lidahnya.
“Sudah kubilang kan, kamu harus belajar
untuk cepat mengambil keputusan,” kata Cakka sambil memasukkan sendok makanan
ke dalam mulutnya.
Oik berpikir sebentar. Sepertinya perkataan
Cakka ini benar. Ia harus benar-benar belajar untuk cepat mengambil keputusan.
Dulu ia hampir terlambat mengambil keputusan. Dan sekarang ia tidak boleh
mengulanginya lagi.
Itulah yang membuat langkahnya mendekat
ke arah Cakka. Langsung menyambar piring Cakka dan tanpa memedulikan Cakka ia
segera memakan yang tersisa di atas piring itu. Cakka tersenyum melihatnya. Oik
juga tersenyum sambil memasukkan suapan selanjutnya ke dalam mulutnya.
“Kapan-kapan selain jadi guru les
Bahasa Belanda. Boleh juga jadi masterchef masakan Belanda buat chef amatir
kayak aku,” kata Oik.
Kemudian keduanya tertawa bersama.
Sebelum Cakka merampas sendok dari Oik dan memasukkan makanan itu ke dalam
mulutnya.
“Sepertinya sepiring berdua romantis
juga.”
***
Pulang dari kerja. Cakka langsung masuk
ke dalam apartemen Oik. Tanpa memencet bel atau mengetuk pintu. Karena ia tahu
kebiasaan buruk gadis itu. Ia selalu lupa mengunci pintu. Cakka segera melepas
dasi yang sedari tadi terpasang. Hendak menuju kamarnya untuk berbaring
sebentar. Tadi cukup melelahkan. Menandatangani berkas-berkas yang bahkan ia
sendiri tidak bisa menghitung banyaknya. Ia akan mengajar Oik setelah ia
mengistirahatkan dirinya sebentar. Jam sudah menunjukkan pukul 10.00 malam.
Namun, dirinya terhenti saat melihat
Oik tertidur dengan kepala yang ditenggelamkan di tangannya sendiri di atas
meja ruang tamu. Buku-buku banyak berserakkan di kiri dan di kanannya. Gadis
itu terlihat kelelahan. Cakka mendekat. Ada sebuah buku yang sepertinya sedang
di tulis Oik tapi ia malah tertidur.
Cakka memperhatikan tulisan Oik.
Tulisannya sangat rapi dengan huruf balok. Berbeda sekali dengan tulisannya
yang bersambung seperti tulisan dokter. Ia menyipitkan matanya membaca tulisan
yang ditulis Oik itu.
Goedemorgen.
Goedemiddag.
Ik ben Oik Santika.
Ik kom uit Indonesië.
Hoe gaat het je?
Ik houd van je,
(Selamat pagi.
Selamat siang.
Saya Oik Santika.
Saya berasal dari
Indonesia.
Apa kabar kamu?
Aku cinta kamu,)
Cakka tertawa. Dari sekian banyak yang
diajarkan Cakka. Oik hanya mengingat kata-kata itu? Cakka memang memberikan Oik
PR. Tanpa melihat catatannya, ia harus menulis kalimat yang diingatnya. Cakka
tertarik dengan kalimat Ik houd van je dengan koma di belakang. Berarti
Oik masih ingin menuliskan sesuatu. Dan kemungkinan besar ia akan menuliskan
nama “Obiet” pada akhir kalimat tersebut. Ck. Gadis ini masih belum bisa
melupakan lelaki itu.
Ia pun segera merapikan buku-buku yang
berserakkan. Membiarkan gadis itu tertidur pulas. Setelah selesai dengan
semuanya. Cakka segera menggendong Oik. Membawanya ke kamar Oik. Ini bukan
untuk pertama kalinya ia melakukan hal ini. Sudah beberapa kali semenjak ia
tinggal di apartemen ini. Sudah beberapa kali Oik tertidur di ruang tamu atau
dimanapun selain di kamarnya. Cakka yang akhirnya memindahkannya ke kamar.
Cakka meletakkan tubuh Oik di atas
ranjangnya. Ia tertahan dengan telapaknya bertumpuh pada ranjang. Sedangkan
dirinya beberapa cm di atas Oik. Memperhatikan cara gadis itu bernafas.
Memperhatikan setiap lekuk wajahnya yang sedang tertidur. Terasa damai. Wangi
floral yang menguar dari tubuhnya semakin membuat Cakka betah di posisinya. Ia
pun memberi kecupan kecil di bibir Oik. Sebelum beringsut dari posisinya.
Ia segera menyalakan penghangat di
kamar Oik. Sebelum melangkah hendak keluar. Belum sempat ia tiba di pintu.
Matanya terantuk di pintu kamar mandi Oik. Ia kemudian tertawa kecil, mengingat
pertama kalinya ia dan Oik bertemu di situ. Siluet Oik dengan gerakan sensual sedang
menyabuni badannya pun masih terbayang. Otak Cakka sepertinya memang sudah
terprogram untuk lebih cepat mengingat hal-hal seperti itu.
Langkah kaki Cakka, malah membawanya
mendekati pintu kamar mandi tersebut. Ia kemudian membuka pintu kamar mandi. Di
dalam terasa sangat feminim. Berbeda dengan punya Cakka dulu, kamar mandi ini
telah di renovasi menjadi lebih feminim. Warna broken white memenuhi setiap
sudut ruangan. Di dalam sebuah sliding door yang agak transparan
terdapat sebuah bathtub. Di samping luar bathtub ada sebuah shower
namun itu masih berada di dalam sliding door. Sebuah lukisan bunga
magnolia ada di dekat cermin di tengah-tengah kamar mandi. Wangi floral
pun tercium pekat di dalam. Sebuah handuk putih dan sebuah baju mandi
tergantung di over the door hanger. Cakka melangkahkan kakinya menuju shower
dan mengatur suhu air menjadi hangat. Lalu menyalakannya. Tiba-tiba saja, ia
ingin mandi di situ.
Ia pun melucuti satu per satu
pakaiannya. Dan bergelung di bawah guyuran air hangat. Melepaskan segala
kepenatannya seharian.
***
Tubuh Oik tiba-tiba saja terasa gerah.
Penghangat di dalam kamarnya sepertinya sudah keterlaluan. Ia pun bangun dan
segera mematikan penghangat. Ia segera mengganti pakaiannya dengan baju tidur
tipis. Karena masih kegerahan. Ponselnya yang berada di atas meja rias
tiba-tiba saja berbunyi. Oik segera meraihnya dan melihat pesan singkat yang
masuk.
From:
Ify
Ik, I miss you so much.
Skype yuk.
Oik segera mengetik pesan singkat
balasan untuk Ify.
To:
Ify
Mysdmtoo.
Yuk.
Ia pun segera melangkahkan kakinya.
Menuju Macbook yang memang sudah terbuka di atas meja belajarnya. Ia segera
memulai koneksi Skype-nya. Menghubungi Ify. Ia hendak mencari-cari dimana
headset-nya namun tak di temukan. Dengan terpaksa ia membesarkan volume
Macbook-nya.
Tak beberapa lama kemudian. Muncul
seorang gadis di layarnya. Gadis itu sedang mengenakan kacamata dengan
buku-buku berserakkan.
“Ik, aku capek nih. Belajar melulu.
Nggak ada hiburan, makanya aku hubungin kamu,” kata Ify sambil melepas kacamatanya.
“Aku juga, Fy. Banyak tugas. Ada
cerita-cerita seru nggak di sana? Udah dapet boyfriend belum di sana?” tanya
Oik antusias.
Ify tertawa, “Ik, aku kan di sini buat
belajar bukan buat cari pacar. Belum dapet yang pas. Oh ya, baju tidur kamu
boleh juga,” kata Ify.
“Ya, cari dong, Fy. Jangan belajar
terus nanti kamu gila. Selama ini, kamu bahkan belum pernah ngenalin
pacar-pacar kamu sama aku. Aha! Ia nih gerah makanya pake yang ini,” kata Oik.
“Ya, mentang-mentang udah ada Cakka
jadi kayak gitu,” Ify tertawa menggoda Oik, “Takut ah ngenalin sama kamu. Nanti
mereka berpaling sama kamu,” canda Ify.
“No! Cakka bukan pacar aku!” Oik
membantah, “Ya, kalau dia sayang kamu pasti dia nggak akan berpaling kok,”
lanjut Oik.
“Oh! No! Ik, udah mulai nakal ya,” kata
Ify yang tiba-tiba berteriak kaget dan menutup matanya.
“Apaan, Fy?” Oik bingung sendiri
melihat kelakuan sahabatnya itu.
“Di belakang...” kata-kata Ify
menggantung.
Oik pun menoleh ke belakang. Berdiri di
depan pintu kamar mandi yang berada di arah jam enam dari tempatnya duduk,
seorang laki-laki yang hanya mengenakan handuk putih terlilit di pinggangnya.
Rambutnya yang basah dikibas-kibaskan. Ketika melihat Oik yang sedang melongo
menatapnya, ia tersenyum. Melangkah mendekati Oik yang masih shock melihat,
kenapa lelaki gila ini bisa mandi di kamar mandinya?
“Sudah bangun? Tadi kamu tidur nyenyak
banget. Kamu kelelahan ya?” kata-kata itu malah keluar dari mulut Cakka setelah
tiba di hadapan Oik. “Eh... Hai, Ify,” sapa Cakka.
“Hai, Cakka,” Ify balik menyapa.
“Fy, yang kamu lihat nggak seperti yang
kamu bayangin,” kata Oik tiba-tiba.
“Emang aku bayangin apa sih, Ik? Nggak
kok,” kata Ify tapi dari perkataannya ia malah seperti menggoda Oik.
“For God's sake, Cakka! Ngapain kamu
mandi di sini?” Oik menggeram kesal.
“Shower di kamar mandi aku macet. Aku
baru suruh ngecek petugas. Kayaknya lama. Jadi aku mandi di sini,” alibi Cakka.
“Kamu kan bisa mandi di apartemen
kamu!” kata Oik.
“Jauh ah, butuh waktu. Kalau di kamar
kamu tinggal lewat conecting door nyampe,” kata Cakka, “Udah ya, aku mau ganti
baju dulu. Nggak lama. Setelah itu baru kita lanjutkan belajarnya,” lanjut
Cakka yang langsung membuang langkahnya menuju conecting door dan menghilang di
baliknya.
Oik menatap Ify dengan tatapan shock.
Ify menunggu Oik menjelaskan.
“Fy, jangan berpikir yang aneh-aneh,”
kata Oik.
“Gimana aku nggak mau berpikir yang
aneh-aneh, Oik? Kamu nggak cerita apa-apa sama aku. Kamu... tinggal satu
apartemen dengan Cakka. Trus kalian belajar apa sampai tinggal satu apartemen
begitu, Ik?” tanya Ify.
Oik menghela napasnya. Ini akan menjadi
penjelasan yang panjang. Hupfh.
***
Hari ini weekend. Oik sudah
memasak. Kemarin, Cakka berbaik hati mengantarnya belanja. Sekalian melatihnya
menggunakan bahasa Belanda yang ia pelajari. Sedikit ada kesulitan kemarin.
Tapi bisa diatasinya—dengan bantuan Cakka tentu saja. Selama tiga minggu
belajar bahasa Belanda dengan Cakka. Dengan tiap hari pertemuan. Ia setidaknya
sudah bisa sedikit-sedikit berbahasa Belanda. Meski kadang lupa-lupa ingatnya
masih sering kambuh.
Sepertinya Cakka masih tidur. Padahal
sudah jam 09.00 pagi. Tapi, Cakka sama sekali belum menampakkan batang
hidungnya. Biasanya, pagi-pagi seperti ini Cakka sudah membuat keributan—apapun
itu. Termasuk menelepon saudara kembarnya sambil berteriak-berteriak. Atau
membangunkan Oik dengan desahan-desahan dari film unrated yang sering Cakka
tonton—dan itu ick banget.
Setelah menghabiskan makanannya. Oik
berjalan ke arah ruang nonton. Hendak menonton sesuatu. Sebenarnya, di kamarnya
juga ada home teather tapi ia ingin mencari beberapa DVD yang ia simpan lemari
ruang nonton. Ia pun berjalan ke arah sebuah lemari kaca yang ada di sudut
ruang nonton. Di dalam ada tatakan DVD tempat Oik meletakkan beberapa koleksi
filmnya. Oik pun mengambil semua DVD itu dan meletakkannya di atas meja.
American Pie The
Series
American Wedding
American Reunion
American Gigolo
American Beauty
Porky's
The Virginity Hit
Miss March
Lovelace
Fifty Shades of Grey
Project X
Sex and The City
Sex and The City 2
Sleeping Beauty
Turkish Delight
Sex Drive
Hot Moves
Coming soon
Road Trip
Sex Tape
Oik hampir senewen melihat koleksi DVD
romannya berubah menjadi erotis seperti ini. Kemana semua koleksi DVD-nya?
Kenapa jadi banyak DVD retrieved dan unrated di dalam sini? Di tengah emosinya,
mata Oik terantuk pada beberapa buah DVD yang disatukan dan diikat dengan pita
berwarna merah. Seperti hadiah. Oik mengambilnya. Membaca sebuah tulisan di
atas kertas yang diikat di pita merah tersebut.
For ur wedding.
Oik segera membuka ikatan pita merah
tersebut. Kemudian melihat satu per satu judul film yang tertera di sampul DVD
itu.
Steel Magnolias
Love Actually
Romeo + Juliet
Mama Mia!
Breaking Dawn
The Vow
The Wedding Date
Setidaknya, judul-judul film ini lebih
baik daripada yang tadi. Tapi aneh, kenapa Cakka bisa mengoleksi film seperti
ini? Karena dipikirnya selain Obiet, jarang ada lelaki yang suka menonton film
roman. Pasti dikatakan banci oleh sesama lelaki. Apalagi jenis laki-laki
seperti Cakka.
“Ehm, ngapain bongkar-bongkar?” sebuah
suara mengagetkan Oik.
Ia pun membalikan badannya menatap
lelaki yang sudah berdiri di depannya. Lelaki yang hanya mengenakan kaos putih
dan boxer berdiri sambil menatap Oik meminta penjelasan tentang apa yang sedang
terjadi.
“Kemana koleksi film aku?” tanya Oik.
“Ada di lemari bagian bawah kok,” kata
Cakka.
“Tapi kan di persyaratan dilarang
memindahkan barang yang sudah tertata rapi!” kata Oik.
“Barang yang sudah tertata rapi? Itu
berantakan banget. Lagipula itu tetap di lemari situ nggak aku pindahin
kemana-mana. Cuma merapikan saja,” kata Cakka sambil berjalan mendekat ke
samping Oik.
“Tapi... ini...” Oik menunjuk kumpulan
DVD milik Cakka yang berserakkan di atas meja, “Arrrgh... kamu tuh ya,” Oik
kesal setengah mati.
“Santai aja, ini biasa aja kok. Mau
nonton?” kata Cakka sambil mencomot secara sembarangan dari kumpulan DVD itu.
“Nggak!”
“Ya udah, aku aja,” kata Cakka sambil
berjalan ke arah DVD player membawa The Virginity Hit di tangan
kanannya.
“Stop! Aku mau nonton yang lain!” Oik
menghentikan langkah Cakka.
Cakka mengernyit ke arah Oik, “Yang
mana?”
“Yang...” Oik menatap DVD yang sedang
di tangannya lalu mengangkat salah satunya, “Ini!”
“The Wedding Date? Damn! Kenapa
film kayak gitu masih ada di sini?” Cakka merenggut kesal.
“Aku nemunya di tatakan DVD kamu kok.
Masa kamu nggak tahu?” Oik mengernyit heran, “Nih! Ada tulisan for your
wedding,” kata Oik sambil menunjukkan kertas putih yang tadi ditemukannya.
“Nggak,” Cakka menggeleng, “Aku nggak
perhatikan sih pas naruh kemarin. Tapi seharusnya, aku nggak bawa DVD itu! Ah!
Ini kerjaan siapa? Alvin? Mama? Atau?” Cakka mendesah, “Aku nggak pernah suka
nonton film kayak gitu,” lanjutnya.
“Ada yang ngasih hadiah untuk
pernikahan kamu?” Oik bertanya hati-hati.
“Itu pemberiannya Sivia, isterinya
Alvin. Sebelum pernikahanku sama Shilla dulu. Aku disarankan untuk menonton
film tentang pernikahan sama wedding organizer yang menangani acara pernikahan
kami. Aku juga nggak ngerti maksudnya. Sivia juga bilang hal yang sama dan
langsung memberiku itu. Dia dan Alvin punya ketakutan yang sama kalau-kalau aku
main-main dengan sebuah pernikahan,” Cakka menggeleng dan menghela napasnya
panjang, “Mereka terlalu berlebihan kadang-kadang. Memangnya mereka pikir aku
menikah buat main-main,” lanjutnya.
“Abis tampangnya kamu memang nggak ada
seriusnya kayaknya kalau soal pernikahan,” timpal Oik.
“Ck,” Cakka berdecak, “Mau nonton nggak
nih? Kalau nggak aku putar film-ku dan kamu harus ikut nonton!” kata Cakka.
“Eh... Iya mau, tapi... emang, ini film
tentang apa?” tanya Oik.
“Itu film yang paling nggak mau aku
tonton sebenarnya!” Cakka melangkah duduk di sofa, “Tentang cewek yang
pernikahannya tiba-tiba batal karena calon suaminya memutuskannya,” kata Cakka
sambil mengambil doublemint dari sakunya lalu mengunyahnya.
“Kamu nggak nyindir kan?” Oik agak
sensitif menanggapi Cakka.
“Buat apa aku nyindir? Beneran
ceritanya kayak gitu. Trus suatu saat adiknya si cewek menikah dan mau nggak
mau si cewek harus bertemu dengan mantan calon suaminya itu. Efek patah hati si
cewek susah buat dapat penggantinya si mantannya itu. Trus, buat nunjukin ke
mantannya itu kalau dia udah bahagia. Jadilah dia sewa gigolo buat pura-pura
jadi pacarnya. Then, you know-lah, klise si cewek malah jatuh cinta beneran
sama gigolonya,” jelas Cakka.
“Ada gigolo-nya juga?” Oik bergidik
ngeri.
Cakka tertawa membayangkan sesuatu
sambil menatap Oik, “Iya, nanti kalau siapanya kamu menikah trus mengharuskan
kamu ketemu sama Obiet lagi, nanti aku yang bakal jadi gigolo-nya deh,” canda
Cakka.
“Sori, aku nggak punya niat buat
mencari gigolo walaupun aku nggak bisa move on!” kata Oik.
“Yakin deh, kamu bakalan mau kalau
gigolo-nya kayak aku,” Cakka semakin menggoda Oik, ia mengedipkan mata kirinya.
Membuat Oik ingin muntah. Ia menggerutu kesal.
Di tengah pembicaraan mereka yang
absurd tiba-tiba bel apartemen berbunyi. Keduanya terdiam. Mencoba
menebak-nebak siapa yang datang.
“Kamu pesan room service tadi?” tanya
Oik pada Cakka.
Cakka menggeleng, “Nggak. Udah bukain
pintu sana!” suruh Cakka.
“Ck... pintunya kan nggak...” belum
sempat Oik melanjutkan perkataannya...
“Oik, where are you? We’re coming!”
sebuah suara khas perempuan yang dikenali Oik seiring dua pasang langkah kaki
mendekati mereka.
“She isn’t close the door. Maybe,
she’s already wait for,” sebuah suara mengekor di belakang suara tadi.
Membuat Oik melotot menatap Cakka yang
ada di depannya. Ia panik. Ia lupa kalau-kalau...
“Celine, Helena,” sapa Oik yang kaget
mendapati kedua gadis berambut blonde itu di hadapannya.
“Oik... your?” gadis yang
rambutnya lebih pendek bermata hijau menunjuk ke arah Cakka, “Boyfriend?”
lanjutnya.
“Celine... he is...”
“Oh gosh! You’ve American Pie
complete series? Can I borrow that?” kali ini gadis yang berambut panjang
bermata biru segera melepas tas dan diktat yang dibawanya. Ia malah menatap
jejeran DVD di atas meja yang tadi sempat menjadi bahan pertengkaran Cakka dan
Oik.
“Helena... it’s...”
“Yes, you can,” Cakka memotong
perkataan Oik menyetujui pertanyaan Helena.
“Oh thank you, such a romantic
couple, i love you both,” kata Helena sambil mencium pipi Cakka dan Oik
lalu menarik Celine melihat-lihat koleksi DVD Cakka di atas meja.
Oik melotot menatap Cakka. Ia masih
shock. Kenapa kedua teman kampusnya ikut-ikutan gila seperti Cakka? Oik
mengajak mereka kemari untuk mengerjakan tugas kelompok. Bukan untuk
membicarakan film-film gila ini, bahkan bukan untuk mengatakan ia dan Cakka
pasangan yang romantis. Oik menggeleng frustasi.
“So, Oik and...?” Celine
bertanya sambil menunjuk ke arah Cakka.
“Cakka,” jawab Cakka.
“Yes, Cakka. How long you’ve
been living together?” tanya Celine.
“We are not...”
“A couple months,” Cakka menyela
sambil merangkul Oik, “I will keep her on my arm and never leave her alone,”
lanjutnya.
“Oh... sweet! Me and my boyfriend on
planning to live together. Maybe, next month we will find a new apartement for
we both. So we can do anything we want, just like you both. We will watch
erotic movies, or maybe practice it on our sex journeys,” kata Helena
sambil memilah-milah DVD.
Cakka, Helena dan Celine tertawa. Oik
menelan ludahnya. Bisakah mereka berhenti membicarakan hal-hal seperti itu?
Entahlah, pembicaraan mereka yang terlalu pribadi atau Oik yang terlalu lugu
dan naif sehingga mendengar hal-hal seperti itu terasa menggelikan baginya. Ia
tak tahu apa yang besok akan dibicarakan Celine dan Helena pada teman-teman
kampusnya. Semoga saja Celine dan Helena bukan tipe Regina di mean girls.
Yang dengan mudahnya menyebarkan gosip pada seantero kampusnya. ‘Oik dan
pacarnya tinggal satu apartemen’ atau ‘Oik dan pacarnya nonton film erotic’.
Tapi bukankah hal-hal seperti itu, dianggap wajar saja di luar negeri seperti
ini? Tapi... bagaimana jika sampai ke telinga teman-temannya di Indonesia? Atau
bahkan orang tuanya? Oik tidak bisa membayangkannya. Yang pasti untuk saat ini
rasanya ia ingin berteriak di telinga Celine dan Helena he is NOT my
boyfriend.
***