EIGHT—BEAUTY AND A BEAT
“—I wanna show you all the finer things in life
So just forget about the world—”
DEG.
Jantung Oik terasa berdenyut kencang.
Hanya sekali saja. Ia tiba-tiba saja terbangun dari tidurnya. Napasnya
tiba-tiba tidak beraturan. Dengan cepat ia segera menyingkap bedcover-nya.
Kemudian beringsut dan langsung meninggalkan kamarnya. Ia menyalakan lampu
dapur. Segera mengambil gelas dan menuju dispenser. Menuangkan air mineral ke
dalam gelasnya. Kemudian meminumnya.
Ia melihat jam dinding. Sudah pukul
06.45 pagi. Oik menghela napasnya panjang mencoba menenangkan dirinya.
Tiba-tiba ia mendengar suara deringan ponsel yang agak jauh. Dari arah
kamarnya. Dengan cepat ia meletakan gelas itu ke atas meja. Lalu berlari ke
kamarnya. Ia kemudian menemukan ponselnya di atas nightstand.
‘Papa calling’
Oik segera menjawab panggilan dari
papanya itu.
“Ya. Hallo, Pa,” sapa Oik.
“Hallo, sayang. Sudah bangun?”tanya Bob
dari seberang.
“Sudah, Pa. Barusan bangun. Papa nggak
kerja?” tanya Oik.
“Ini lagi di tempat kerja. Gimana
sayang di sana?” tanya Bob kembali.
“Oik baik-baik aja kok, Pa. Di sini
asik-asik aja,” kata Oik.
“Masa? Ify kemarin telepon Papa katanya
kamu digangguin Riko lagi,” kata Bob dengan nada khawatir.
“Ah... itu. Iya, tapi nggak apa-apa
kok, Pa. Oik bisa ngatasin,” kata Oik agar papanya itu tidak terlalu khawatir
padanya. Toh, ia sudah dewasa. Saatnya orang tuanya mempercayakannya untuk
menjaga dirinya sendiri.
“Perlu Papa ke sana? Buat ambil
tindakan?” tanya Bob yang masih khawatir terhadap putri semata wayangnya itu.
“Nggak perlu, Pa. Oik baik-baik aja,
nggak ada yang perlu dikhawatirin,” kata Oik.
“Oke, sayang. Kalau ada apa-apa telepon
Papa ya,” kata Bob.
“Iya, Pa,” jawab Oik sekenanya.
“Oh ya, tetangga kamu anaknya Alons
Pramanna kan? Kamu udah akrab sama dia? Gimana orangnya?” tiba-tiba saja Bob
memberikan pertanyaan bertubi-tubi pada Oik.
Oik terperanjat. Kalau saja Oik
menjawab secara blak-blakan kira-kira begini jawabannya:
1. “Iya, Pa. Anaknya
Om Alons itu yang hampir rape Oik waktu
pertama kali ketemu di apartemen ini.”
2. “Udah banget, Pa.
Sampe ciuman gimana nggak akrab, Pa?”
3. “Wah, Pa. Orangnya
erotis banget. Coba deh Papa buka Twitter-nya beuuuhhh unrated!”
Tapi, tentu saja Oik tidak mungkin
menjawab seperti itu. Makanya ia menjawab dengan jawaban standar. “Iya, Pa.
Yah... udah lumayan akrab sih, Pa. Orangnya baik kok,” jawab Oik.
“Bagus deh kalau begitu. Kalau ada
apa-apa di sana, kamu bilang dia aja. Soalnya, setahu Papa dia lulusan Erasmus.
Jadi kamu bisa tanya-tanya sama dia,” kata Bob.
“Oke, Pa,” jawab Oik, “Oik mau mandi
dulu, Pa. Dada, Papa,” lanjutnya.
“Da, Oik. Becareful my daughter,”
kata Bob.
“You too, Pa,” kata Oik.
Sambungan pun terputus. Oik menghela
napasnya panjang. Kemana pun ia pasti selalu dikhawatirkan.
***
Oik... Oik...
Suara berisik dari luar berhasil
menghentikan aktivitas Oik. Ia sedang mengeringkan rambut ikalnya yang basah
dengan hairdryer saat suara berat itu mengganggunya. Ia segera meletakkan hairdryer-nya
itu ke atas meja riasnya. Kemudian melangkah meninggalkan kamarnya. Ia segera
membuka pintu apartemennya—kali ini ia tidak lupa mengunci apartemen—atau
memang karena ia belum membuka pintu utama apartemennya.
Di luar, berdiri seorang lelaki dengan
kaos berwarna oranye. I’M A HOT KING, itu tulisan yang ada di kaosnya
dan logo mahkota raja di dada kanannya. Siapa lagi kalau bukan Cakka. Oik
menatap Cakka sambil mengernyit. Seakan tahu apa yang ada dipikiran Oik. Cakka
memberikan kode Oik untuk melihat kaosnya sendiri. I’M A SEXY QUEEN, Oik
kaget ia belum menyadari apa-apa tadi saat ia mengganti pakaiannya. Oik
mendengus kesal. Ugh! Lagi-lagi ia dipermainkan oleh lelaki ini.
“Ayo, kita hampir melewatkan beberapa
perayaan,” kata Cakka sambil mengulurkan tangannya.
Tidak mau dibopong lagi. Oik segera
menyambut tangan Cakka.
Di luar, seperti lautan oranye. Kali
ini manusia benar-benar menutupi jalan-jalan di Rotterdam. Oik ternganga.
Mulutnya terbuka lebar. Ini bahkan lebih banyak dari yang semalam. Cakka terus
menariknya memasuki kerumunan orang banyak itu. Kebanyakan dari mereka
menyanyikan lagu kebangsaan Belanda. Wilhelmus van Nassouwe.
Di sepanjang sungai Nieuwe Maas, banyak
parade kapal-kapal besar dan kecil. Orang-orang di atas kapal tersebut memakai
baju warna-warni. Sambil memegang bendera Belanda. Dari atas kapal mereka
menyerukan “Vrolijk Koningsdag” kepada semua orang yang menonton parade
tersebut.
Perayaan seperti ini memang sama dengan
perayaan tujuhbelasan di Indonesia. Namun dengan suasana yang berbeda tentunya.
Cakka mengajak Oik untuk sejenak menonton parade tersebut. Semua orang terlihat
bersukacita menyambut koningsdag ini.
Tak berbeda jauh dengan sungai Nieuwe Maas.
Di sepanjang jalan Maasboulevard juga banyak parade-parade. Mulai dari parade
kerajaan tiruan. Ada parodi Raja Willem-Alexander, Ratu Maxima dan putri-putri
mereka. Beserta iring-iringan kerajaan yang semuanya adalah parodi. Karena pada
saat ini, mereka tentu saja tidak merayakan koningsdag di Rotterdam. Memang
setiap tahun pada perayaan koningsdag, Raja pasti mengunjungi salah satu atau
dua daerah di belahan Belanda. Seperti pada tahun 1992, pada saat Ratu Beatrix
masih menjabat sebagai Ratu Belanda. Pada perayaan koninginnedag, Ratu Beatrix
mengunjungi Rotterdam. Dan entah kapan lagi Rotterdam akan mendapat kunjungan
kepala negara mereka itu.
Cakka kembali lagi menarik kembali Oik
memasuki kerumunan orang-orang. Oik memutar bola matanya. Apalagi yang mau
dilakukan Cakka? Kemana lagi dia akan membawa Oik?
“I wanna show you all the finer
things in life. So just forget about the world, and let’s we enjoy this day,”
kata Cakka seakan membaca pikiran Oik.
Sebuah kecupan mendarat di bibir Oik.
Saat mereka sedang berada di tengah kerumunan orang yang menyaksikan parade.
Lalu menarik Oik dari kerumunan banyak orang itu menyusuri jalan. Oik mendelik
ke kiri dan ke kanan memperhatikan setiap orang-orang yang mereka lewati.
Tiba-tiba perasaan cemasnya datang lagi. Jangan sampai di tengah keramaian
seperti ini ada Riko yang sedang mengawasinya. Ia tak bisa membayangkan apa
yang terjadi. Oik menggigit bibirnya berusaha memikirkan hal-hal positif
lainnya. Daripada ia terus berpikiran tentang Riko.
“Kamu kenapa? Tangan kamu tiba-tiba
dingin,” Cakka menghentikan langkahnya memperhatikan Oik.
Gadis itu menggelengkan kepalanya, “Aku
nggak apa-apa kok,” jawab Oik dengan sebuah senyum yang dipaksakan.
Cakka tertawa kecil, “Oik... Oik, apa
aku harus ngajarin kamu cara senyum juga ya? Senyum itu nggak cuma dari bibir
manis kamu, lieve. Tapi juga dari sini,” kata Cakka sambil menunjuk bibir Oik
sebelum menarik garis lurus dengan telunjuknya itu ke dada Oik.
Oik merasa seperti disengat listrik
saat Cakka menyentuhnya.
“Smile with your heart, okay,”
kata Cakka mengedipkan mata kirinya. Sebelum menarik Oik kembali.
***
Pasar Blaak tampak lebih ramai dari
biasanya. Jualan-jualan pun memenuhi jalan. Yang berjualan di situ dari
berbagai usia. Anak-anak sampai orang tua. Dari barang yang masih tampak baru.
Sampai yang kelihatan sudah bekas ada di situ. Memang, pada setiap koningsdag
ada yang namanya vrijmarkt yang artinya pasar bebas. Setiap orang boleh
berjualan bebas tanpa perlu membayar pajak. Biasanya harga dalam vrijmarkt
lebih murah. Bahkan jika sudah sampai sore hari barang-barang bekas
digratiskan.
Oik mengernyit heran. Melihat
pemandangan yang tidak biasa di hadapannya itu. Cakka terus menariknya masuk ke
dalam pasar Blaak. Terdapat beberapa anak kecil yang mendagangkan beberapa
barang bekas mereka. Mereka ditemani oleh orang tua mereka. Oik yang tertarik
dengan seorang anak lelaki kecil berusia 9 tahun yang sedang menarik-narik
bajunya.
“Wilt u ook dit kopen?” tanya
lelaki itu sambil menunjukan sepasang gelang berwarna oranye.
Maukah anda membeli ini?
Oik mengira-ngira apa yang dikatakan
lelaki kecil itu. Mungkin ia menawarkan gelang itu pada Oik? Atau mau menyuruh
Oik memasangkan gelang itu padanya? Ah! Oik bingung. Susah juga tinggal di
negeri orang tapi tidak tahu bahasa ibu negeri tersebut. Hupfh.
Sepertinya Oik harus benar-benar kursus bahasa Belanda pada Cakka.
Anak kecil itu masih menunggu reaksi
Oik. Ia jadi kasihan melihat anak kecil itu. Oik celingak-celinguk mencari
Cakka. Dimana Cakka berada? Tadi setelah Oik melepaskan tangannya dari Cakka.
Ia sudah tidak memperhatikan kemana perginya Cakka.
“Di sini rupanya kamu. Ayo!” ajak Cakka
yang tiba-tiba datang dari belakang Oik. Ia langsung menyambar tangan Oik.
“Tunggu, Cakka!” cegat Oik.
“Kenapa?” tanya Cakka menghentikan
langkahnya sambil menatap Oik heran.
“Anak kecil ini bilang apa?” tanya Oik
sambil menunjuk lelaki kecil yang sedang berdiri mematung di hadapan mereka.
“Wat zeg je, zoet?” tanya Cakka
pada anak lelaki itu.
Apa yang kamu katakan, manis?
“Wilt u ook dit kopen?” tanya
anak kecil itu lagi dan kali ini ia menunjukan sepasang gelang itu pada Cakka.
“Hoeveel kost dat?” tanya Cakka
kemudian.
Berapa harganya?
“Twee euro, Meneer,” jawab anak
lelaki itu.
“Apa katanya?” bisik Oik pada Cakka.
“Dia mau menjual sepasang gelangnya itu
harganya dua euro,” Cakka berbalik berbisik pada Oik.
Oik pun merogoh dompet dari dalam
sakunya memberikan dua euro kepada lelaki kecil itu. Lelaki kecil itu tersenyum
senang.
“Dank u wel, Mevrouw,” kata anak
kecil itu sambil tertawa senang saat menerima uang dari Oik.
Oik ikut tersenyum dan tertawa kecil.
Dulu ia memang tidak menyukai anak-anak. Gara-gara anak-anak Obiet jadi sering
tidak punya waktu untuknya. Namun, entah kenapa melihat anak lelaki kecil ini,
ia jadi apalagi dengan membawa gelang, ia jadi teringat... gelang itu dimana?
Sepertinya setibanya di rumah nanti ia harus segera mencari gelang ‘itu’.
“Mag ik die zet op u handen?”
tanya lelaki itu sambil mengulurkan sepasang gelang itu.
Bolehkan saya memasangkan pada tangan
anda?
Cakka segera meraih tangan Oik dan
mengulurkan tangan Oik itu pada lelaki kecil.
“Alstublieft,” kata Cakka.
Silakan.
Oik menatap Cakka dan anak kecil itu
secara berganti-gantian. Anak kecil itu segera memasangkan gelang berwarna
oranye itu kepada Oik. Gelang itu dari bahan plastik dengan tulisan Queen of
Dutch terpasang di pergelangan Oik.
“Dank u wel,” kata Oik pada
lelaki kecil itu sambil mengelus kepala lelaki kecil itu lembut.
Cakka tertawa kecil mendengar Oik
mencoba mengucapkan terima kasih memakai bahasa Belanda.
“Ik ben aan de beurt,” kata
Cakka sambil mengulurkan tangannya.
Giliran saya.
Lelaki kecil itu tersenyum sambil
memasang gelang yang mirip dengan punya Oik di tangan Cakka. Hanya berbeda
tulisannya. King of Dutch itu tulisan yang ada di atas gelang tersebut.
Lelaki kecil itu memasangkan gelang itu di tangan Cakka. Lalu memamerkan
giginya.
“Geschikt,” kata lelaki kecil
itu sambil merapatkan jari telunjuk dan jari jempolnya. Dan menaikan jari
kelingking, manis dan tengahnya.
Cocok.
“Hoe heet je, zoet?” tanya Cakka
pada lelaki kecil itu.
Siapa namamu, manis?
“Mijn naam is Xander, Meneer,”
jawabnya.
Nama saya Xander, Tuan.
“Xander? Mooi naam.
Waar is je ouders, Xander?” tanya Cakka lagi.
Xander? Nama yang indah. Dimana
orangtuamu, Xander?
“Ik heb geen vader en moeder. Maar, ik
heb oma. Zij kan niet kom. Omdat, zij ziek,” jawab Xander dan
tampangnya tiba-tiba berubah sedih.
Saya tidak punya papa dan mama. Tapi,
saya punya nenek. Dia tidak bisa datang. Karena, dia sakit.
Cakka segera membawa Xander ke dalam
pelukannya, “De man moet sterk!”
Laki-laki harus kuat.
Ia memeluk Xander cukup lama. Yang
entah mengapa membuat hati Oik terenyuh—meski Oik tidak tahu apa yang mereka
bicarakan. Ternyata, Cakka bisa juga bersikap lembut. Cakka kemudian melepaskan
pelukannya. Lalu, ia merogoh dompetnya dari dalam sakunya mengeluarkan beberapa
lembar euro.
“Ga naar huis, en uw oma medicijnen
kopen,” kata Cakka sambil memberikan beberapa lembar euro itu kepada
Xander.
Pulang ke rumah, dan belikan nenekmu
obat.
Xander tersenyum senang. Ia segera
mengucapkan terima kasih pada Cakka dan Oik. Ia kemudian menyimpan kembali
beberapa barang bekas yang rencananya ia akan dagangkan untuk membeli obat buat
neneknya. Tapi, uang pemberian Cakka membuat ia mengurungkan niatnya. Lelaki
kecil itu memikul kembali tas punggungnya. Namun sebelum ia benar-benar pergi.
Ia memberikan sesuatu kepada Cakka dan Oik.
“Dit mijn hoed, toen ik kindje.
Cadeau voor uw een kind. Vrolijk koningsdag,” kata Xander sebelum ia
berlari meninggalkan kesibukan yang terjadi di pasar Blaak.
Ini topi saya, semasa saya bayi. Hadiah
untuk anak kalian. Selamat hari raja.
Cakka dan Oik hanya bisa memandang
kepergian Xander. Oik yang masih ‘roaming’ dengan pembicaraan Cakka dan
Xander, menatap Cakka dan topi yang sedang berada di tangan Cakka dengan
tatapan bingung.
“Apa yang kalian bicarakan tadi?” tanya
Oik sambil mengernyitkan dahinya.
“Namanya Xander. Dia anak yatim piatu
yang hanya diasuh oleh neneknya. Dan neneknya itu sedang sakit. Sepertinya, itu
penyebab ia ikut memperdagangkan barang-barang bekasnya di sini. Biasanya,
anak-anak kecil yang berdagang di sini saat koningsdag ditemani orang
tua mereka. Makanya, aku sempat heran kenapa tadi dia sendirian. Jadi aku tanya
tentang orang tuanya dan dapat info itu. Jadi, aku tambah uangnya deh supaya
dia bisa beli obat buat neneknya,” kata Cakka.
Oik ternganga. Ia pikir Cakka, cuma
seorang lelaki unrated yang hanya mementingkan dirinya sendiri.
Ternyata, ia salah. Lelaki ini malah menunjukan sisi lainnya.
“Trus topi ini untuk apa?” tanya Oik
sambil menunjuk topi kecil rajutan yang sedang berada di tangan Cakka.
Cakka menatap Oik sebelum tersenyum
jahil, “Katanya, untuk anak kita,” Cakka mencubit hidung Oik sebelum lari
mendahuluinya.
“CAKKA, jangan becanda deh!” teriak Oik
yang langsung mengejarnya.
***
Entah apa yang dicari Cakka sampai ia
berputar-putar di pasar Blaak ini. Oik yang sedari tadi diseret-seretnya
kesana-kemari juga sudah capek. Tapi, Cakka enggan menghentikan perjalanan yang
tidak jelas ini. Sekitar hampir setengah jam sudah mereka berputar-putar di
pasar Blaak ini.
Sebelum mata Cakka berbinar, saat
mendengar sebuah suara menyanyikan sebuah lagu.
“Itu dia! Ke sana yuk!” tunjuk Cakka
pada kerumunan banyak orang di arah jam sepuluh dari tempat mereka berdiri.
“See your face every
place that I walk in
Hear your voice every
time I am talking
You will believe in
me
And I will never be
ignored...”
Sayup-sayup terdengar suara merdu
seorang wanita. Dengan petikan gitar yang mengiringinya. Wanita tersebut
menyanyikan lagu #1 Crush, yang merupakan salah satu soundtrack
dari film Romeo + Juliet tahun 1996.
Cakka semakin membawa Oik mendekat ke
sumber suara tersebut.
“I will burn for you
Feel pain for you
I will twist the
knife and bleed aching heart
And tear it apart...”
Kini mereka telah tiba di depan
kerumunan orang-orang. Cakka menggandeng Oik menerobos masuk kerumunan
tersebut. Ternyata suara tersebut dari wanita tua yang sedang memetik gitar.
Oik tak menyangka suara merdu tersebut dari seorang wanita tua. Yang bahkan
diusianya yang begitu rentah masih bisa memainkan alat musik seperti gitar.
“... Violate all The
love that I’m missing
Throw away the pain
that I’m living
You will believe in
me
And I can never be
ignored...”
Wanita tua itu masih melantunkan suara
indahnya. Orang-orang di situ memberi saweran kepadanya. Mereka mengisinya di
sebuah kaleng yang terdapat di bawah tempat duduk wanita tua itu bernyanyi.
“...I’d make room for
you
I’d sail ships for
you
To be close to you
To be a part of you
‘Cause I believe in
you
I believe in you
I would die for you.”
Wanita tua itu segera mengakhiri
nyanyiannya. Diiringi tepukan tangan dari setiap orang yang menyaksikannya.
Cakka dan Oik pun ikut bertepuk tangan.
“Vrolijk koningsdag. Dank u wel,”
kata wanita tua itu mengakhiri pertunjukannya.
Orang-orang yang berkerumun itu segera
pergi satu per satu. Cakka mengajak Oik mendekati wanita tua itu. Wanita dengan
rambut yang sudah memutih sebagian besarnya. Dengan mata biru dan mengenakan
sweater panjang berwarna oranye itu, menghitung uang yang didapatkannya dari
hasil pertunjukannya tadi. Wanita tua itu kira-kira berusia 60-an. Tapi masih
tampak kuat.
“Oma, remember me?” tanya Cakka
pada wanita tua itu.
Wanita tua itu menyipitkan matanya
sambil menurunkan kacamata plus-nya.
“Cakra? Is that you?” tanya
wanita tua itu.
Oik mengembuskan napasnya. Untung saja
wanita tua ini berbahasa Inggris. Jadi ia tidak perlu ‘roaming’ lagi.
“Yeah! It means you aren’t senile
yet, Oma, But I have never been stop to mentioning you. I don’t like
that name, it’s like a shit, my name is Cakka. Not Cakra,” kata
Cakka.
Tidak sopan. Masa dia bisa berkata
seperti itu kepada orang tua? Oik membatin.
Wanita tua itu malah tertawa mendengar
ucapan Cakka, “And I have been mentioning you as always, Cakka equal
with Cakra. Cakka is a variant from Cakra. But in fact, have the
same meaning a wheel of life. That’s you. I prefer to call you Cakra than
Cakka, cause I liked the original more than just a variant. And you know in
Scotland, Cakka is a name for girl.”
Cakka memang dahulunya tidak tahu apa
arti dari namanya dan kenapa orang tuanya menamakannya dengan nama “Cakka”.
Tapi setelah bertemu dengan wanita tua ini, ketika ia masih berstatus sebagai
mahasiswa di Erasmus pada koninginnedag 9 tahun lalu. Ia jadi tahu apa
arti dari namanya itu. Kata wanita tua itu, nama Cakka berasal dari sansekerta
yang artinya roda kehidupan.
“And you always won with your
Scotland reason, I miss you, Oma,” keduanya tertawa sebelum Cakka mendekat
ke arah wanita tua itu dan memeluknya.
Wanita tua yang dipanggil oma oleh
Cakka itu. Sudah dianggap Cakka seperti omanya sendiri. Dulu, Cakka juga dekat
dengan omanya. Semenjak omanya meninggal ia jadi kehilangan sosok oma yang
dicintainya. Namun, sejak bertemu dengan wanita tua itu, ia jadi seperti
menemukan kembali sosok omanya—meski omanya selalu takkan tergantikan.
“Long long long time coming,
Cakra. Where’ve you been?” tanya wanita tua itu melepaskan pelukannya
dari Cakka.
“Hometown,” jawab Cakka
sekenanya.
“Who’s the beautiful young lady
beside? Your new victim?” tanya wanita tua itu.
Giliran Cakka yang tertawa. Oik juga
tertawa. Waw, bahkan wanita tua itu tahu kalau Cakka punya ‘korban’.
“How witty you are!” kata Cakka,
“As usual,” lanjutnya.
“Hm, We’re nextdoor, my name is Oik,
Mevrouw,” Oik baru mengeluarkan suara dan memperkenalkan dirinya.
“No... no... no, don’t call me
Mevrouw. Just call me Oma, like him. If you want,” kata wanita tua
itu, “I already considered Cakra as my grandson. Step-grandson,
foster grandson, or whatever. Don’t you worry, I didn’t have an affair or
something like that with his grandpa. Okay,” lanjutnya sambil memasukkan
uang-uang yang telah ia hitung ke dalam sebuah kantong.
Oik tertawa mendengar perkataan wanita
tua itu. Benar kata Cakka, how witty she is. Diusianya yang sudah rentah
pun masih bisa mengeluarkan jokes yang membuatnya tertawa.
“Oik... Oik, the goddess of love.
Well, now the wheel of life met the goddes of love, wow. Cakra, you find
your riders. You have to keep that,” kata wanita itu, “Don’t you break-up
like another,” bisiknya pada Cakka kemudian.
“The goddess of love have another
she love wholeheartedly,” komentar Cakka.
Wanita tua itu mengernyitkan dahinya
menatap Cakka.
“He also have his own goddess of his
love,” Oik ikut berkomentar. Tidak ingin wanita tua di hadapannya itu salah
paham dengan hubungan dia dan Cakka.
Cakka menatap Oik dengan mata tajamnya,
“I don’t have another goddess. You’re just...you. If you mean another gift
from god. Yeah... but it was a past, gift from god gone gift from evil,”
kata Cakka.
“Another wholeheartedly and gift
from god...” kata-kata wanita tua itu menggantung sambil memikirkan
sesuatu.
Oik menatap bingung. Sedangkan Cakka
tertawa, “Can you get that? A wholeheartedly guy,” kata Cakka.
“Wait,” wanita tua itu berusaha keras
berpikir seperti mencoba mengingat-ingat.
Oik masih menatap bingung semakin tidak
mengerti.
“O...biet,” jawabnya agak tersendak, “Right?”
tanyanya.
“Damn!” refleks Oik memaki.
Benar-benar refleks. Bagaimana wanita tua dihadapannya itu bisa menyebutkan
nama ‘Obiet’. Ini kenapa jadi seperti main tebak-tebakan sih?
Cakka tertawa terbahak-bahak melihat
ekspresi kaget Oik. Benar-benar lucu.
“What about gift from god—euhm I
mean evil? But forget that, I know you aren’t senile yet. Let’s change the
topic,” kata Cakka berusaha menghindar. Jangan sampai ia menyebutkan nama
‘itu’. Kenapa tadi ia masih mencoba main tebak-tebakan nama seperti yang ia
lakukan dulu dengan wanita tua ini sih? Dulu, ia dan wanita tua itu sering
membicarakan orang dengan arti dari namanya bukan dengan gamblang menyebutkan
nama orang tersebut. Agar orang-orang di sekitarnya tidak tahu siapa yang
mereka bicarakan. Contohnya, jika mereka sedang membicarakan Ratu Beatrix
mereka akan menyebutnya dengan blessed. Juga sering main tebak-tebakan nama,
siapa yang mereka ceritakan pada saat itu. Seperti Cakka kalau membicarakan
Alvin, dengan menyebutnya ‘wise’. Dan ditebak secara briliant oleh
wanita tua ini. Kadang ia merasa tidak adil pada orang tuanya, kenapa kakak
kembarnya mempunyai nama dengan arti bijaksana—dan sepertinya memang
mewakilinya. Dan ia dinamai dengan arti roda. What? Roda? Pantasan saja
ia selalu mengembarai semua gadis, err. Tapi memang, wanita tua ini mengajari
banyak hal tentang arti nama seseorang.
“Hold on, don’t you try to make this
unfair,” kata Oik pada Cakka, “can you guess it?” tanya Oik sambil
menatap wanita tua itu.
Damn!
Kenapa Oik jadi ikut-ikutan dalam
permainan ini sih?
Wanita tua itu tertawa, “Ireland,
Sheila,” katanya dengan penyebutan Sheila seperti Shilla.
Oik tertawa.
Cakka berdecak sambil memutar bola
matanya, “Wrong spelling, but... ah don’t try that, twice,” kata Cakka.
“Sounds great in our Bahasa. But,
with spelling S-H-I-L-L-A,” Oik mengeja membenarkan.
“Sudah kubilang Oik, jangan menyebut
namanya lagi!” kata Cakka menatap Oik tajam.
“Kamu yang duluan! Aku cuma membuat
permainanmu sendiri adil,” katanya.
Giliran wanita tua itu yang roaming.
Ia memilih mengatur kembali peralatannya untuk konser kecil-kecilannya.
Meletakkan kembali kaleng tempat saweran di depan. Lalu duduk di sebuah bangku
dan membiarkan Cakka dan Oik bertengkar di tempatnya tadi.
Orang-orang mulai berkerumun kembali.
Cakka dan Oik yang masih mempertengkarkan ‘masa lalu’ mereka sendiri. Sedangkan
wanita tua itu mengambil gitarnya dan mulai bernyanyi...
“No more talk of
darkness
Forget these
wide-eyed fears
I’m here, nothing can
harm you
My words will warm
and calm you
Say you’ll love me
every waking moment
Turn my head with you
now and always
Promise me that all
you say is true
That’s all I ask of
you...”
Menyadari wanita tua itu mulai
bernyanyi dengan suara merdunya. Cakka dan Oik berhenti dari pertengkarannya.
Dan menyadari kalau mereka sedang berada di tengah kerumunan. Cakka menarik Oik
keluar dari kerumunan tersebut. Diiringi All I Ask Of You, sebuah soundtrack
dari film musikal The Phantom of Opera. Yang dinyanyikan oleh wanita tua
itu dengan gitarnya.
“... All I want is
freedom
A world with no more
night
And you, always
beside me
To hold me and to
hide me...”
“Suara sebagus itu diusia yang sudah
tua, dia wanita yang hebat,” komentar Oik.
“Ya, dia yang mengajariku banyak hal,
dia selalu jadi guru, oma, penasehat bahkan teman yang baik selama aku di
sini,” kata Cakka.
“Kamu tahu rumahnya dimana?” tanya Oik.
“Nggak, kita ketemunya di sini tiap koninginnedag
atau secara kebetulan tanpa janjian dimana saja,” kata Cakka.
“Kamu kelihatannya dekat banget sama
dia,” kata Oik sambil memandang ke arah wanita tua yang terus saja bernyanyi
menghibur semua yang di situ.
Cakka tidak menjawab. Mereka sedang
terbius dengan penampilan wanita tua itu. Asik menikmati suguhan di hadapan
mereka.
“... Share each day
with me, each night, each morning
Say you love me
You know I do...”
“Oh ya, by the way, kamu tahu
nama Oma itu?” tanya Oik mengernyit sambil menghadap ke arah Cakka.
Cakka mendekatkan wajahnya ke arah Oik
sekitar 7cm, “Coba tebak!” kata Cakka.
“Ck, mulai lagi,” keluh Oik.
“Namanya punya arti...” Cakka segera
melingkarkan tangan kirinya di pinggang Oik.
“... Love me, that I
ask of you...”
“Ciuman,” lanjutnya segera menekan
kepala belakang Oik, dan menempelkan bibirnya dengan bibir Oik. Ia segera
menguasai bibir Oik dengan segala kelembutannya.
***
Koningsdag
hampir berakhir. Tapi euforia-nya masih sama. Warga-warga masih turun ke
jalanan. Kembang api menghiasi langit malam kota Rotterdam. Saat Cakka dan Oik
sedang duduk di atas sebuah kanal.
“Serius deh, Cakka. Aku tanya, siapa
nama Oma itu?” tanya Oik masih penasaran.
“Bilang aja kalau mau nambah ciuman,”
goda Cakka.
Oik mendesah kesal, “Jangan mulai lagi
deh,” Oik tertawa garing.
“Tapi serius namanya berarti ciuman.
Kalau kamu mau panggil dia Oma Ciuman juga bisa,” kata Cakka.
“Cakka...” Oik menatap Cakka dengan
tatapan horror.
Kenapa ia selalu lupa kalau ia sedang
berhadapan dengan seseorang yang dengan otak yang tidak pernah di sensor? Err.
“Itu jadi PR kamu deh pokoknya. Padahal
itu paliiingg gampang,” kata Cakka.
Oik menghela napasnya lalu
mengembuskannya panjang-panjang. Nama seseorang saja mesti dijadikan PR.
Mending mengganti topik pembicaraannya saja.
“Boleh ajarin aku bahasa Belanda nggak?
Ya itu sih kalau kamu nggak keberatan,” kata Oik kemudian.
“Bayarannya apa?” tanya Cakka.
“Kamu maunya apa?” Oik balik bertanya.
“Besok malam kita ke strippers club,
gimana?” tawar Cakka.
Oik mendesah kesal lagi, “Ah... plis
deh, bayarannya jangan yang kayak gitu juga kali. Bisa nggak yang normal-normal
aja.”
Cakka tampak berpikir, “Nanti deh, aku
pikir-pikir dulu bayarannya apa. Susah cari bayaran yang normal,” kata Cakka.
Oik menggeleng-geleng. Ada tidak orang
lain yang bisa mengajarinya bahasa Belanda selain orang gila di sampingnya ini?
“Ya udah, jangan lama-lama ya mikirnya,
nanti keburu pulsa habis kalau roaming melulu,” kata Oik.
Cakka tertawa sambil mengacak rambut
Oik, “Vrolijk koningsdag, Oik. Your first koningsdag ever.”
Cakka menarik kepala Oik menyandarkan
di bahunya. Ya, her first koningsdag ever and ruined by an unrated man.
***
Satu minggu setelah koningsdag, Oik
melakukan aktivitasnya seperti sediakala. Ke kampus, pulang dan tidur di kursi
malasnya sebelum begadang mengerjakan tugasnya. Sesekali skype-an
bersama Ify. Saling bercerita satu dengan yang lainnya. Cakka? Oik hanya sering
berpapasan dengannya. Lelaki itu tampak sibuk dengan perusahaannya.
Saat ini, Oik sedang duduk di kursi
malasnya sambil memainkan iPad-nya. Ia sedang mengetikan sesuatu di layar
iPad-nya itu.
Names that mean kiss
Ia penasaran dengan nama dari wanita tua
itu. Sepertinya, ia mulai terjebak diantara permainan tebak-tebakan nama antara
Cakka dan wanita tua itu. Oik menggeleng kesal saat membaca hasil yang ada di
sana. Karena yang muncul malah hasil tentang jenis-jenis ciuman. Ada beberapa
yang menghasilkan nama tapi nama khusus laki-laki, Filemone dan Bacio. Tidak
mungkin nama wanita tua itu satu diantaranya.
Ah, sepertinya Oik butuh ke
perpustakaan dan meminjam kamus berbagai macam bahasa untuk mengetahuinya.
Google memang memberimu banyak jawaban, tetapi perpustakaan memberimu jawaban
yang tepat.
Oik pun mengembuskan napasnya.
Tiba-tiba saja pintu apartemen Oik di
buka dengan kasar. Sepertinya Oik tahu siapa yang datang.
Berdiri dihadapannya seorang lelaki shirtless
yang hanya mengenakan short-pants. Sambil menyeret koper masuk ke dalam
apartemen Oik. Ia seakan sengaja mempertunjukan setiap lekukan-lekukan ototnya.
Oik segera mengambil majalah yang ada di atas mejanya dan menutup wajahnya,
refleks.
“Kamu ngapain porno-pornoan di sini?”
tanya Oik.
Cakka memutar bola matanya, “Biasa aja
kali kayak gini dibilang porno, kalau naked baru. Ini cuma shirtless
doang, kayak nggak pernah lihat aja,” kata Cakka.
“Ya... pernah... tapi di film doang.
Bukan langsung kayak gini,” kata Oik yang pipinya sudah terasa panas. Bahkan
mungkin sudah semerah udang rebus. Tapi untungnya ditutup dengan majalah tadi.
“Emang serius nggak pernah lihat di
nyata-nyata?” Cakka menaikkan alisnya.
“Ya... ada sih. Sepupu, tapi itu waktu
masih kecil, papa juga ding tapi...” kata-kata Oik menggantung.
“Tapi apa? Nggak seseksi aku? Nggak
bikin kamu horny?” tanya Cakka.
“CAKKA! UDAH DEEHHH,” teriak Oik dari
balik majalahnya, “Mau apa kamu kemari?” tanya Oik sambil tetap menutup
wajahnya.
“Gimana mau ngomong kamunya nutupin
muka kayak gitu,” kata Cakka, “Buka aja, aku mau menawarkan bantuan buat kamu,
bukan mau rape kamu kok,” lanjutnya.
Oik memutar bola matanya. Dan perlahan
menurunkan majalahnya. Berusaha agar tetap fokus dan jangan sampai salah fokus.
“Bantuan apa?” tanya Oik. Bukannya memandangi
wajah Cakka. Ia malah melihat lekukan-lekukan otot di tubuh Cakka itu. Ah...
benar kan salah fokus.
Cepat-cepat Oik mengalihkan
pandangannya ke wajah Cakka.
“Mulai hari ini, aku mau jadi guru les
bahasa Belanda kamu,” kata Cakka.
“Hah?” Oik kaget.
“Iya... kurang jelas. Tanpa bayaran!”
kata Cakka.
Oik tersenyum senang. Artinya, tidak
ada masuk strippers club ataupun ide gila Cakka yang lainnya. YES!
Baru saja Oik mau melonjak kegirangan
dalam hatinya, Cakka malah berkata, “Tapi ada persyaratannya,” kata Cakka.
Tahu nggak rasanya sedang melayang di
angkasa trus di tabrak pesawat dan langsung jatuh sampai ke dasar lautan dan
tak ditemukan mayatnya? Begitulah perasaan Oik sekarang. PERSYARATAN APA LAGI
SIH?
“Err. Persyaratan apa?” wajah Oik
berubah kesal.
“Kita bersimbiosis mutualisme. Kamu
butuh aku jadi guru bahasa Belanda kamu. Aku masih catch dengan
apartemen lucky number ini,” kata Cakka.
Mata Oik melotot, “Katanya nggak butuh
bayaran? Jadi kamu minta aku keluar dari apartemen ini? Sama saja bayaran!”
“Bukan!” Cakka menggeleng.
“Trus? Mau barter apartemen?” tebak
Oik.
Lagi-lagi Cakka menggeleng, “You
must fight back. Aku tantang kamu satu minggu bisa berbahasa Belanda,
minimal udah bisa hafal seratus kosakata dan kennismaking(*). Kalau kamu
berhasil, aku nggak bakal ngerecokin apartemen ini. Kalau nggak berarti kamu
pindah ke apartemen sebelah,” kata Cakka.
“For God’s sake, cuma satu
minggu? Mana bisa? Tambah... tambah. Satu bulan dong,” tawar Oik.
“Kalau satu bulan berarti kamu udah
bisa sampai bisa berinteraksi dengan teman-teman kampus yang Dutch,
tetangga-tetangga lain, bahkan belanja di pasar sendirian,” kata Cakka.
“Tiga bulan deh kalau begitu!” Oik
menawar lagi.
“Tiga bulan berarti sampai mahir,” kata
Cakka.
Oik berpikir sejenak. TIGA BULAN SAMPAI
MAHIR? Hafal kosakata, dan entah pelajaran-pelajaran apa yang akan diberikan
guru gadungan begini. Mana ada guru yang mengajar dengan keadaan shirtless
begini? Belum lagi ditambah Oik harus mengerjakan tugas-tugas kampus dan lain
sebagainya. Ini ditambah lagi tiga bulan sampai mahir. Tapi, kalau Oik menolak.
Kapan lagi ia memulai? Kapan lagi ia bisa tahu bahasa Negeri yang sekarang ia
tinggali ini? Ya sudah, sebelum Cakka berpikiran yang aneh-aneh lagi karena Oik
terlalu lama mengambil keputusan.
Oik pun mengangguk, “Oke, aku setuju.
Tiga bulan sampai mahir,” kata Oik.
“Oke, it’s a deal,” kata Cakka
sambil membuang langkahnya menuju sofa milik Oik, “Berarti selama tiga bulan
juga, aku bakal memantau kamu dengan tinggal di apartemen ini juga,” kata Cakka
dan langsung menghempaskan tubuhnya ke atas sofa.
“APAAAAA?!” Oik kaget bukan main.
“Iya dong, simbiosis mutualisme. Kamu
dapat ilmu dari aku selama masa pengajaran. Aku juga kan dapat apartemen lucky
number walaupun cuma dalam masa pengajaran,” kata Cakka, “Hoaaaam,” ia
menguap, “Udah ah, pokoknya aku ngantuk mau tidur dulu,” lanjutnya dan langsung
mengambil posisi nyamanya lalu menutup matanya.
“Nggak bisa begitu dong, Cakka. Mana
bisa kita tinggal satu apartemen? Gila banget! Kalau Papa tahu gimana? Trus
tetangga-tetangga pada bilang apa juga nantinya? Gila ya, aku nggak mau, Cakka.
Kita kan nggak punya hubungan apa-apa. Pacar aku bukan, suami aku juga bukan.
Gimana bisa satu apartemen coba?” Oik menyerocos.
Tapi tidak ada tanggapan dari Cakka.
“Cakka? Kamu dengar aku nggak sih?”
tanya Oik.
Ia mendesah dan segera berjalan menuju
ke sofa tempat Cakka tertidur. Ia ingin memukulnya atau menariknya. Atau
mungkin langsung menyeretnya keluar dari apartemennya.
Suara napas teratur terdengar. Oik
berjalan semakin mendekat ke arah Cakka. Saat tiba di samping Cakka. Oik
melihat ada kelelahan di wajah Cakka. Mungkin lelaki ini benar-benar lelah
dengan pekerjaan di kantornya. Jadi Oik yang berniat menyeretnya mengurungkan
niatnya. Ia memperhatikan Cakka yang sedang tertidur. Sepertinya ia lebih baik
tertidur. Oik malah lebih nyaman memandanginya saat tertidur.
Lutut Cakka sengaja menyenggol Oik,
hingga gadis itu terjatuh di atas Cakka. Lalu Cakka membuka matanya yang
sebenarnya sudah mengantuk itu. Ia bisa memandangi Oik lebih dekat. Embusan
napas gadis itu, menyentuh permukaan kulit wajahnya.
“Tenang aja, kamu juga bisa kok bikin
persyaratan kamu selama aku tinggal di sini. Kan simbiosis mutualisme. Aku
tunggu ya, sampai bangun nanti persyaratannya,” bisik Cakka.
Oik tidak berkutik. Ia terlalu kaget
dengan peristiwa ini. Yang ia lakukan hanyalah terpatung di atas tubuh Cakka.
Dengan tatapan yang bingung.
Deg!
Ah... baru kali ini Oik membuat
jantungnya berdetak kencang.
***
(*) Perkenalan
---
2 komentar:
8.9 sama loh kak. Tapi title nya beda :). Tapi keren kok. Lanjut nya jngn lama2 yaa :D
kesalahan teknis kemarin :) udah kok 9 yang aslinya udah ada...
Posting Komentar