Jumat, 15 Juli 2011

Cahaya & Cakrawala (satu)

(Satu)

"Tak ada seorangpun yang menginginkan dirinya untuk terjebak pada kesalahan. Tapi situasi dan kondisi kadang memaksanya."

R

emang-remang lampu disco serta iring-iringan music DJ, tak membuat seorang wanita muda ikut larut dan turun kelantai disco, dia hanya terdiam sambil memegang kedua lengannya seperti kedinginan, tetapi sebenarnya dia tidak kedinginan. Hanya, dia merasa nyaman dengan posisi seperti itu. Sesekali diteguknya sebuah gelas yang berisi minuman beralkohol. Setelah cukup lama terdiam seseorang menghampirinya.

"Ca, cowok yang sana mau sama loh..." Kata seorang wanita yang tampak dewasa kepada wanita muda itu sambil menunjuk seorang cowok yang masih memakai seragam SMA... Seragam SMA itu sepertinya Ia kenali... Ya, itu seragam SMA alumni sekolahnya... SMA Budi Bangsa, Celana kotak-kotak dasi Coklat ditambah logo sekolahnya dibagian saku seragam. Dilengan kirinya, terpampang dengan jelas 'X' yang menunjukan kelasnya.

"Oh, kelas sepuluh, pantesan gak pernah lihat disekolahan. Berani juga anak bau kencur kayak gitu main ditempat ginian. Perasaan dari gue masuk SMA sampe gue lulus dua tahun lalu, gak ada siswa sekolah gue yang kemari. Eh, ini bau kencur berani banget datang kemari. Ah gak mau gue! cari yang lain!..." Tolak wanita muda itu.

"Tapi Ca, lo pikir lagi deh. Lo gak perlu kerja keras kalau sama anak kecil kayak gitu lagian bayarannya banyak..."

"Alah! Paling nyopet uang bokapnya... Nanti kalau bokapnya cari uangnya, bisa jadi dia balik kemari minta ngembaliin uangnya... Udah ah gue males... Lo pergi aja cari yang lain... Si Zelvi kek atau itu noh anak baru Si Aura jangan gue!..."

"Yaudah deh Ca, kalau lo gak mau... Bye..." Kata Wanita itu segera beranjak menjauhi Gadis itu menuju ke arah cowok yang sedari tadi nunggu. Setelah mengatakan sesuatu kepada cowok itu, tampak wajah kecewa darinya. Segera wanita itu menarik anak SMA itu menuju wanita-wanita muda lain yang berkumpul disebuah sofa sambil meminum beberapa minuman beralkohol.

"Ckck... Anak jaman sekarang..." Gumamnya...

Tak lama kemudian Pikirannya menerawang mengingat kembali kejadian yang membuatnya masuk kedunia gelap itu. Ya, Waktu itu dia juga seumuran dengan anak SMA tadi. Seharusnya dia tak heran dengan anak SMA tadi. Tapi entahlah, Batinnya saja masih menolak kalau dia sekarang terjebak ditengah kegelapan.

^ ^ ^

"Cahaya gak mau kita hidup susah terus... Cahaya cuma mau kita keluar dari kesusahan ini... Cahaya mau pergi ke Jakarta, untuk merubah nasib kita!" Tekad Cahaya

"Tapi nak, kamu kan baru lulus SMP, bisa tidak untuk menunggu sebentar lagi sampai kamu lulus SMA..." Seorang wanita paruh bayah mengelus halus kepala anaknya.

"Gak bisa bu, kalau Cahaya terus disini... Bisa-bisa Cahaya putus sekolah, melihat keadaan ekonomi kita yang makin menurun..."

"Tapi nak..."

"Sudah, pokoknya besok Cahaya akan berangkat, Ibu tenang aja... Cahaya janji akan jaga diri Cahaya baik-baik, Mohon restu ibu..."

"Ya sudahlah nak, kalau kamu sudah bertekad apa yang ibu bisa lakukan... Hanya membantumu dalam doa..."

Keesokan harinya, Cahaya benar-benar berangkat menuju kota Jakarta. Beberapa Jam perjalanan dari desanya menuju Jakarta. Di Jakarta dia memang tak punya sanak saudara atau keluarga. Tapi, Dia punya kerabat, sahabat waktu SD, namanya Nadira. Yang dilakukan Cahaya ketika berada di Jakarta adalah mencari rumah Nadira. Nadira pernah pulang kampung beberapa tahun lalu, waktu Cahaya masih duduk dibangku kelas 8 SMP. Dia mengajaknya agar ikut dengannya ke Jakarta dan tinggal dirumahnya, Tapi Cahaya menolaknya. Nadira sempat memberikan alamat rumahnya kepada Cahaya. Dan tujuannya pertamanya di Jakarta adalah rumah Nadira.

Beberapa lama dia berputar-putar di kota metropolitan. Ternyata mencari rumah Nadira tak semudah yang dia bayangkan. Buktinya sudah berjam-jam dia luntang-lanting di jalanan, rumah Nadira belum kunjung dia temukan, Jakarta terlalu luas. Bukannya rumah Nadira yang Ia temukan, malahan dijalan dia bertemu dengan preman, lelaki mata keranjang yang gemar bersiul setiap kali melihat gadis-gadis muda seperti dirinya. Tapi, untunglah Cahaya cukup cerdik menghadapi mereka semua. Sehingga dirinya dan barang yang dibawanya aman.

Rumah berwarna earth dengan tiang tinggi dan kusen jendela melengkung serta ornamen dan profile yang khas, neo-klasik berdiri gagah dan megah didepannya diiringi dengan hilangnya sinar mentari bergantikan sosok langit yang berwarna kecoklatan, segera dilihatnya secarik kertas kecil yang dirogohnya dari saku celana. Yah, ini rumah Nadira, Mata Cahaya terbelalak seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Ini rumah Nadira? Hatinya bergumam kecil. Cahaya diam tak bergeming sampai seorang satpam menghampirinya dari dalam rumah.

“Permisi neng, ada yang bisa saya Bantu?” Tanya satpam itu.

“Eh, iya… Saya mau tanya sesuatu…” Kata Cahaya sambil memberikan secarik kecil kepada satpam itu.

“Alamat ini benar disini kan Pak?”

Satpam melirik secarik kertas kecil itu lalu mengangguk kecil.

“Ya, benar…”

“Berarti benar kalau ini rumahnya Nadira Almaya Putri, Dia itu teman saya dari kampung…”

“Oh Non Nadira… Ya, benar… Maaf kalau boleh saya tahu nama anda siapa?”

“Saya Cahaya Pak, Cahaya Ramadhina… Bilang saja begitu Pak, pasti Nadira tahu…”

“Baiklah, Non tunggu disini sebentar…” Kata satpam sambil membuang langkahnya masuk kedalam rumah.

Tak beberapa lama kemudian keluar seorang Gadis cantik dengan rambut panjang terjuntai sampai menutupi punggung dengan bandana berwarna maroon, memakai singlet putih serta hotpants berwarna hitam. Ia segera berlari menuju gerbang tempat Cahaya berdiri. Segera membukakan gerbang tersebut, lalu memeluk Cahaya dan menarik Cahaya masuk kedalam. Cahaya hanya bisa pasrah mengikuti reaksi temannya itu ketika melihat dirinya.

“Ca… Akhirnya lo dateng juga… Huaaa… seneng banget bisa ngeliat lo lagi… Yuk masuk!...”

“Iya Nad, kamu tambah Cantik... tak apa-apa aku datang kesini tanpa ngabarin kamu?”

“Ya gak apa-apa lah Ca, Gue malah senang akhirnya lo mau menerima tawaran gue datang kemari... Yuk...”Kata Nadira sambil membuka pintu rumahnya dan menarik kembali Cahaya masuk kedalam rumahnya. Didalam ternyata lebih mewah daripada diluar. Arsitektur gaya romawi masih terasa sampai kedalam namun tak meninggalkan kesan modern pula karena, terdapat beberapa sofa modern berwarna maroon ketika memasuki ruang tamu, dihampir setiap sudut ada bupet yang tertata dengan rapi. Ada juga guci-guci antik berbagai macam rupa menghiasi rumah ini.

Cahaya tahu, Nadira diangkat sebagai anak oleh sepasang suami-isteri yang tidak dikaruniai anak. Waktu itu Nadira masih kelas 6 SD, dia sangat dekat dengan Cahaya ketika orang tua angkatnya membawanya pergi ke Jakarta. Dia memang anak yatim-piatu dikampung dia hanya dibesarkan oleh neneknya yang sudah tua rentah dan sakit-sakitan. Cahaya tahu bahwa orang tua angkat Nadira orang kaya. Tapi dia tak pernah membayangkan rumah Nadira yang sekarang seperti ini.

"Tapi Nad, Aku tidak enak sama orang tuamu..." Kata Cahaya ditengah perjalanan naik tangga menuju lantai dua. Kamar Nadira.

"Gak apa-apa kok Ca, Gue udah pernah bilang hal ini sama Bokap dan Nyokap gue... Katanya gak apa-apa, mereka malah senang gue punya teman yang tinggal serumah... Soalnya mereka sering gak dirumah... Keluar kota bahkan keluar negeri gitu..."

"Bokap dan Nyokap itu siapa yah?" Tanya Cahaya polos.

"Hahaha, oh iya, lo kan gak tahu arti bokap nyokap yah... Ayah dan Ibu maksud gue..." Kata Nadira sambil membuka pintu kamarnya, Tampak sebuah kamar yang cukup luas. Masterbed dengan seprei berwarna baby pink tepat berada ditengah-tengah kamar, disudut ada meja rias yang ditata dengan apik dan rapi, ada pula home teater tepat dipojok depan ranjang dan banyak boneka tersusun rapi disebuah lemari kaca. Cahaya menatap 'waw' kamar itu.

"Oh jadi disini manggil Ayah dan Ibu itu Bokap dan Nyokap yah?" Tanya Cahaya masih dengan kepolosannya sambil meletakan tas yang dibawanya disamping lemari tak jauh dari situ, sedangkan Nadira berjalan menuju masterbed lalu duduk disitu.

"Hahaha, lo ternyata masih polos banget Ca, yah gaklah itu tuh cuma istilah anak Jakarta gitu... Udahlah lama-lama lo terbiasa juga pake bahasa kayak gini... Mending lo Istirahat dulu, Pasti lo capek kan? Seharian nyari rumah gue, nanti malam orang tua gue baru pulang, nah nanti gue kenalin lo sama orang tua gue..."

“Tapi Nad, aku datang ke Jakarta bukan untuk tinggal gratis disini sama kamu… Aku mau cari kerja Nad… Untuk biayain keluargaku dikampung…”

“Lha? lo kan masih kecil Ca, baru aja lulus SMP… Masa lo mau kerja?”

“Umurkan tak menghalangi seseorang untuk mandiri ya kan? Aku cuma mau membantu ekonomi keluargaku. Aku gak mau keluargaku hidup susah selamanya…”

“Hmmm… Gini aja deh daripada lo nyari kerja diluar, mending lo kerja dirumah gue aja… Bantu-bantu pembantu gue didapur, masak mungkin, atau apalah terserah lo… Yah, sebenarnya sih gue gak mau lo kerja kayak gini, kan sama aja lo jadi pembantu dirumah gue… Tapi daripada lo nyari kerja diluar… Di Jakarta salah melangkah bahaya… Banyak jebakan iblis dimana-mana… Gimana? lo mau kan? Nanti gue gaji perbulan terserah lo mau minta berapa aja…” Tawar Nadira

Cahaya tersenyum lalu mengangguk kecil, dan membuang langkahnya menuju masterbed. Kemudian tidur bersama Nadira disitu. Sejenak, Keduanya terlelap.

^ ^ ^

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...