FIVE―YELLOW RAINCOAT
“―When
the wind blows, and the sun goes away
And the sand fall, stormy day, it's a destroyer, this is for you―”
And the sand fall, stormy day, it's a destroyer, this is for you―”
INI merupakan hari pertama
Cakka kerja. Mengawasi perusahaan papanya itu. Perusahaan Papa Cakka terletak
di dekat Erasmus Universiteit. Tepatnya di Burgemeester Oudlaan. Dari apartemen
Cakka membutuhkan waktu sembilan sampai sebelas menit untuk tiba di sana. Lewat
tiga alternatif jalan. Masboulevard, Abram van Rijckevorselweg dan lewat Blaak.
Untungnya, di sini tidak macet seperti di Jakarta. Jadinya, Cakka tidak perlu
tergesa-gesa untuk pergi ke kantor. Ia segera berjalan ke arah pantri di dapur.
Mengambil toaster kemudian berjalan membuka kulkas mengambil keju dan
parutan yang berada di samping kulkas. Ia juga mengambil roti dan memarut keju
di atasnya. Setelah selesai, ia memanggang roti itu di dalam toaster.
Sambil menunggu, Cakka
menyeduh teh hangat. Sekitar lima menit roti itu matang, Cakka segera
mengambilnya dan meletakkan roti itu di atas piring. Lalu membawanya ke meja
makan. Hidup seperti ini sudah biasa untuk Cakka. Semenjak kuliah di sini, ia
sudah terbiasa dengan hidup mandiri. Hanya di Jakarta saja dia memperkerjakan
pembantu gara-gara mamanya. Jangan anggap ia anak manja yang hanya tahu makan
di restoran siap saji. Ia bukan tipe orang seperti itu. Hidup di Belanda
membuat Cakka lebih tahu menghidangkan masakan Belanda ketimbang masakan
Indonesia. Ia bisa membuat beberapa hidangan khas Belanda seperti: Stamppot,
makanan yang terbuat dari kentang yang direbus dan dihancurkan dan dicampur
dengan beberapa sayuran seperti wortel atau sayuran hijau lainnya seperti
boerenkool. Stroopwafel, wafel yang dibuat dari adonan tepung, mentega dan susu
yang dipanggang dengan disisipi karamel di tengah-tengahnya. Hutspot, yang dibuat
dengan kentang, wortel, dan bawang bombay. Dan masih banyak lagi. Tapi
sesungguhnya Cakka lebih suka dengan masakan Indonesia. Nasi kuning buatan
mamanya lebih tak terkalahkan. Cakka hanya mencicipi makanan Indonesia semasa
di Belanda ketika bulan puasa tiba. Karena di Daan Hag, Kedutaan Besar Republik
Indonesia tiap Jumat mengadakan buka puasa bersama. Semua masakan yang
dihidangkan adalah masakan khas Indonesia. Dan itu merupakan momen yang jarang
saat ia berada di Belanda.
Cakka memakan suapan
terakhir roti yang dibuatnya lalu menyesap tehnya. Segera ia mengambil serbet
dan menyeka bibirnya dengan serbet. Ia pun berjalan ke arah sofa dan mengambil
tas kerjanya di situ. Baru saja ia hendak beranjak pergi dari situ. Ponsel
Cakka berdering. Ia melihat layar ponselnya tersebut.
Alvin Calling...
Saudara kembarnya itu
apa-apaan lagi sih? Cakka melihat arlojinya. Jam di Belanda menunjukkan pukul
07.15 pagi. Perbedaan waktu Belanda dengan Indonesia sekitar tujuh jam berarti
kira-kira di Indonesia sudah pukul 02.15 siang. Cakka segera memencet tombol
hijau pada ponselnya.
“Kenapa lagi lo?” bukannya
menyapa Cakka malah bertanya dengan sinis.
“Bisa nggak sih Kka, nggak
usah gitu-gitu amat sama gue. Kita udah jauh juga,” kata Alvin.
“Ya deh, ada perlu apa? Lo
nggak tahu di sini masih pagi dan gue baru mau berangkat kantor sekarang,” kata
Cakka.
“Gue tahu kok. Gue kira lo
belum bangun, kan biasanya lo ngebo. Atau nggak lo jetleg. Lo cerita kek
sama gue pas lo nyampe di sana. Waktu itu lo malah matiin nggak jelas,” kata
Alvin.
“Lo mau gue cerita apa?
Pokoknya gue udah nyampe Rotterdam dengan selamat sentosa,” kata Cakka sambil
kembali duduk di sofanya. Lama-lama berdiri kakinya pegal.
“Ya kejadian apa kek gitu
yang menarik selama lo sampe di sana.”
“Lo pasti udah dengar cerita
perkosa-perkosa itu kan dari Papa. Jadi gue nggak usah cerita lagi.”
“Lo gila ya Kka, baru aja
sampe udah ada yang lo mau rape,” kata Alvin.
“Gue cuma becanda Vin, gue
nggak pernah rape orang kan lo tahu itu! Se-ekstrim apa sex life gue.
Gue bukan klepto.”
“Tapi tampang lo tampang
orang klepto, hahahahaha,” tawa Alvin.
“Terserah deh mau bilang gue
apa! Puas? Udah ah gue mau ngantor,” kata Cakka.
“Eh...eh tunggu. Gue belum
selesai. Gue sebenarnya mau minta saran lo makanya gue telepon lo,” kata Alvin.
“Dari tadi kek to the
point. Saran apa?”
“Gini... kan besok ulang
tahun pernikahan gue sama Sivia. Gue mau minta saran sama lo surprise
apa yang bagus buat Sivia.”
“Surprise? Apa ya...”
Cakka berpikir sejenak, “lo berdua main sub-dom aja. Nanti Sivia yang jadi
dom-nya biar lo jadi sub-nya. Biar Sivia perbuat semaunya sama lo. Dijamin itu
hadiah terindah,” kata Cakka ceplas-ceplos.
“Cakka... plis deh. Otak lo
di beresin dikit napa. Gue minta saran yang romantis bukan erotis.”
“Bilang! Lo tadi perasaan
nggak bilang minta saran yang romantis.”
“Udah buruan, lo ada ide
nggak. Gue stuck nih nggak tahu mau ngasih hadiah apa.”
“Lo bawa Sivia jalan-jalan
mendingan. Ke sekolah kita waktu SMA. Nostalgia sedikit sama masa-masa PDKT
norak kalian. Trus lo ajak noh candle light dinner di atas genteng
sekolah. Abis itu kalian nyanyi-nyanyi deh pake gitar sampe pagi di situ,” usul
Cakka sebenarnya sih tetap masih ceplas-ceplos.
Alvin berpikir sejenak, “ah
Kka... di atas genteng sekolah gimana ceritanya itu? Nggak ada meja, nggak ada
kursi, trus nggak ada makanan, mau makan angin?”
“Plis deh IQ lo yang di atas
rata-rata di pake. Ya, lo sewa orang-lah buat merubah genteng sekolah jadi
restoran sementara waktu. Gue kasih saran yang erotis nggak mau. Gue kasih
saran yang romantis nggak mau. Ya udah deh. Berarti lo bawa Sivia makan bakso
di pinggir jalan aja sana.”
“Nah! Ide bagus itu. Makasih
Cakka.”
Tit. Sambungan
diputus. Ide bagus dari segi mana sih? Makan bakso dipinggir jalan tidak terlihat
lebih bagus dari candle light dinner di atas genteng sekolah bukan?
Entah apa yang dipikiran saudara kembarnya itu sehingga mengatakan itu ide
bagus. Bilang aja mau paket hemat. Surprise romantis kok makan bakso di
pinggir jalan. Ck.
Cakka segera berdiri dari
tempat duduknya. Terserah Alvin deh, Cakka tidak mau ambil pusing. Ia pun
melangkah keluar dari apartemennya. Kakinya menyusuri koridor apartemen
kembali. Pakaian Cakka cukup rapi hari ini dengan setelan jas berwarna dark
grey, kemeja putih dan monk strap. Ia berjalan menuju lift. Lift
hampir tertutup otomatis, dengan segera Cakka berlari dan meletakan
tangannya di antara pintu. Sehingga, pintu itu terbuka otomatis.
Di dalam hanya ada seorang
gadis dengan almamater Erasmus Universiteit. Siapa lagi kalau bukan Oik. Ia
mengenakan blouse, dan rok levis yang lumayan pendek mempertontonkan
kaki jenjangnya yang bertumpu pada wedges. Rambutnya tergerai dengan
indah. Cakka menatap Oik dari ujung rambut sampai ujung kaki saat dia masuk ke
dalam lift. Mata almond-nya yang tajam membuat Oik sedikit was-was
dengan tatapannya itu. Apalagi mereka hanya berdua di dalam lift.
“Lo mau ke kampus?” tanya
Cakka basa-basi.
“Kelihatannya?” Oik berusaha
cuek.
“Sepertinya,” kata Cakka.
“Kamu mau ke kantor?” Oik
balik basa-basi.
“Nggak. Gue mau kondangan,”
kata Cakka.
“Ck,” Oik berdecak. Ia salah
kalau basa-basi dengan orang seperti Cakka.
Keheningan pun menyergap
keduanya. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Sebelum bunyi lift tanda
mereka telah tiba di lantai dasar. Pintu lift terbuka secara otomatis.
Keduanya bergerak keluar dari lift tersebut. Karena sama-sama
terburu-buru, saat mereka melewati pintu. Tak sengaja mereka saling menyenggol.
Tas Cakka sempat di tangkapnya makanya ia berhasil menyelamatkan barang-barangnya
agar tidak berserakan di lantai. Berbeda dengan tas Oik yang jatuh dan terbuka
menyebabkan diktat-diktat Oik berserakan di lantai depan lift. Bukan
hanya diktat-diktat sih benda-benda pribadi Oik ada juga yang berserakan.
Bedak, lipgloss, cermin, sisir, conditioner, pembalut. Oke, awkward
sekali.
Cakka segera membantu Oik
memunguti kembali benda-benda yang berserakan itu. Oik mendesah kesal. Ada satu
barang yang menarik Cakka yaitu jas hujan berwarna kuning yang di lipat Oik di
dalam tasnya. Hanya jas hujan itu saja yang selamat dari serakan barang-barang
Oik.
“Lo bawa jas hujan ke
kampus? Ada gitu fungsinya?” tanya Cakka setelah selesai membantu Oik memunguti
satu per satu barang-barangnya.
“Makasih sudah mau
membantuku. Kayaknya bukan urusan kamu deh,” kata Oik.
“Aneh!” komentar Cakka
singkat.
Oik segera berjalan
mendahului Cakka yang masih bergeming di depan lift. Cakka mengangkat
kedua bahunya. Lalu berjalan menuju lapangan parkir mengambil SUV-nya. Brio Oik
juga terlihat keluar dari lapangan parkir. Cakka mengekor di belakang Brio Oik
melewati jalan-jalan di Schiedamsedijk.
Toh mereka satu tujuan juga kan? Kalau Oik tersesat juga kan setidaknya Cakka
bisa mengawasinya. Oik kan orang baru di sini. Tapi tunggu… tunggu. Kenapa
Cakka jadi peduli dengan Oik?
Cakka
mengangkat kedua bahunya dan terus mengikuti Oik. Brio Oik mengambil rute
Blaak. Apa-apaan sih Oik? Lewat Blaak adalah rute paling lama karena harus
berputar. Kenapa ia tidak mengambil Jalan Maasboulevard sih? Ah! Cakka
mendesah. Sepertinya gadis itu perlu diajarkan tentang jalan-jalan di sini.
***
Dari tadi Cakka menghitung
sudah enam kali dia menguap. Bosan dengan cuap-cuap orang kepercayaan papanya
itu yang sedang menjelaskan sistem kerja perusahaan papanya selama ini dengan
Bahasa Belanda. Ngomong-ngomong soal Bahasa Belanda, Cakka cukup lancar
berbahasa Belanda bukan hanya karena ia kuliah di sana. Sistem kuliah di
Erasmus Universiteit juga menggunakan Bahasa Inggris. Mereka diharuskan memakai
Bahasa Internasional. Omanya―mama dari papanya adalah orang Belanda asli. Tapi
sudah menetap di Indonesia. Jadi dulu sebelum meninggal omanya itu yang
mengajarkan Cakka Bahasa Belanda. Karena Cakka tertarik dengan Negeri Kincir
Angin ini. Ya... walaupun pernah menjajah Indonesia. Terkadang membuat Cakka
berpikir. Indonesia merdeka tapi tidak sepenuhnya merdeka. Toh masih banyak
kemiskinan dan kemelaratan. Coba saja Indonesia diambil alih Belanda dan
dijadikan Negara Hindia Belanda pasti Indonesia tidak akan semelarat itu.
Mungkin bisa jadi bakalan maju seperti Belanda saat ini. Oke, itu sangat tidak nasionalisme,
Cakka tahu. Tapi itu hanya pemikirannya sih. No offense.
Cakka mulai bosan. Tidak ada
satu pun penjelasan dari Mr. Fisscher ini yang masuk di kepala Cakka. Ia
menghela napasnya. Biar saja, toh ia bisa minta dijelaskan lagi sama papanya.
Setahu Cakka dan seingat Cakka penjelasan papanya tentang perusahaannya ini
adalah perusahaannya ini bergerak dalam bidang tour yang mengemas paket
perjalanan ke daerah tropis. Biasanya yang memakai jasa mereka adalah
turis-turis dari Belanda yang suka berjemur di bawah pantai Kuta, Bali. Paket
perjalanan pun ada beberapa macam ragam. Dan bisa di sesuaikan dengan keinginan
para turis.
Karena Cakka sudah di situ,
otomatis dia menjadi CEO bagi perusahaan itu atas mandat sepenuhnya dari
papanya. Tapi ada tugas khusus yang diberikan papanya untuknya mengontrol
keuangan juga. Karena Cakka kuliah di bidang accounting, auditing and
control. Jadi setidaknya itu memang makanan Cakka. Walaupun sudah ada
bagian accounting, auditing dan control di situ, tapi setidaknya
untuk ilmu yang Cakka dapat, bisa dikembangkan di lapangan. Ada jeripayahnya
sendiri. Bukan terima bersih dari hasil kerja keras papa dan anak buahnya.
Setelah mendengar cuap-cuap
dari Mr. Fisscher itu, Cakka segera di antar oleh sekretarisnya Mr. Fisscher
menuju ruangannya.
Ruangan di dalam dominan
dengan warna ivory, hanya lemari dan meja yang berwarna seperti kayu
mahoni. Semuanya berwarna ivory. Oke, itu memang warna kesukaan papanya.
Dan saat ini ruangan ini miliknya. Jadi, ia berhak sepenuhnya atas ruangan ini.
Sepertinya akan lebih cocok jika ruangan ini berwarna silver. Akan
terlihat lebih mewah dan sexy. Rawr. Sepertinya Cakka harus mencari
desain interior yang pas untuk ruangannya ini.
Ia segera melangkahkan kaki
ke arah meja kerjanya. Banyak berkas menumpuk di depannya. Itu laporan hasil
kerja mereka selama beberapa bulan belakangan ini. Biasanya, Alons datang enam
bulan satu kali ke Rotterdam untuk menengok hasil kerja selama satu semester.
Setelah itu kembali lagi ke Indonesia lagi. Karena ia punya bisnis yang lain di
Indonesia juga. Sekarang ada Cakka, artinya Cakka yang harus memeriksa
semuanya. Karena perusahaan ini sekarang jadi tanggung jawab Cakka sepenuhnya.
Jadi Cakka harus mengelolah perusahaan ini sebaik mungkin. Ia pun mengangkat
lalu memperhatikan satu per satu berkas di atas mejanya. Kebanyakan berkas
adalah perjanjian kerjasama antara perusahaannya dengan beberapa ticketing,
resort, hotel dan semacamnya. Ada juga laporan pemasukan dan
pengeluaran. Cakka mendesah, sebelum meletakan kembali di atas meja semua
berkasnya.
Mulai hari ini, hari-harinya
akan semakin panjang dengan pekerjaan barunya ini. Ia sudah berjanji pada orang
tuanya kemari bukan untuk bersenang-senang. Melainkan untuk bekerja. Cakka
memang tipe orang yang keras kepala. Tapi, sekali ia berjanji terutama pada
orang tuanya. Ia harus menepatinya.
***
Erasmus Universiteit berdiri
kokoh di hadapan Cakka. Dari jendela ruangannya yang transparan Cakka
memperhatikan kampusnya dulu. Hilir-mudik mahasiswa masuk keluar di depannya.
Jadi mengingat masa-masanya sewaktu kuliah dulu. Sejenak ia tersenyum.
Mengingat begitu banyak kenangan yang kampus itu berikan kepadanya. Mulai dari
salah masuk kelas sewaktu pertama kali masuk kampus sampai pesta perpisahan
yang mengharukan. Mulai dari pacaran sama gadis nerd sampai dosen yang so
sexy. Berteman dengan berbagai macam suku bangsa yang ada di kampus itu.
Setidaknya memberi pengalaman tersendiri untuk Cakka.
Asyik ia memperhatikan
mantan kampusnya itu. Mata Cakka tiba-tiba terantuk pada seseorang yang paling
mencolok dari antara orang-orang yang baru keluar dari kampus. Seseorang dengan
jas hujan berwarna kuning? Di tengah hari yang cerah seperti ini? Yang benar
saja?
Tiba-tiba saja Cakka
teringat pada jaket hujan kuning yang ia lihat di tas Oik tadi pagi. Apa itu
Oik ya? Tunggu... tunggu. Cakka memperhatikan gerak-gerik manusia berjas hujan
kuning itu. Sepertinya ia sedang mengendap-ngendap dan mengawasi kiri dan
kanannya. Nah untuk apa lagi ia mengawasi kiri dan kanannya seperti itu?
Tertarik, Cakka segera mengambil jas-nya yang tersampir di kursi kerjanya lalu
melangkah keluar dari ruangannya. Ia tidak menghiraukan sapaan seorang karyawan
padanya saat ia keluar dari ruangannya. Langkahnya dipercepat menuju pintu
keluar kantornya. Cakka menggeser sliding door sebelum benar-benar
keluar dari perusahaannya. Ia menyusuri trotoar sebelum menyeberang ke Erasmus
Universiteit.
Tangan Cakka tersampir di
bahu orang itu sebelum dengan segala kekagetannya menengok ke arah Cakka dengan
mata melotot. Cakka yang dipelototi jadi ikut kaget juga.
“Oik,” sapa Cakka.
“Cakka... aku kira siapa,”
katanya dengan perasaan lega lalu menghembuskan napasnya.
“Ngapain kamu pake jas hujan
di saat seperti ini?” tanya Cakka heran.
“Aku... Aku...” belum sempat
Oik menyelesaikan perkataannya. Ia seperti dikagetkan lagi. Ia langsung
menempelkan dirinya pada Cakka. Kepalanya berada di dada bidang Cakka. Wajahnya
sengaja ia sembunyikan di dada Cakka. Sambil menutup matanya erat-erat.
Otomatis membuat Cakka kaget dengan perlakuan Oik itu.
“Lo kenapa?” tanya Cakka
heran.
“Bawa aku dari sini plis,
kamu nggak usah banyak tanya... cepetan,” kata Oik dengan suara panik.
“Tapi lo geser dulu dong
dari dada gue,” kata Cakka.
Oik menggeleng, “plis...
biarin aku kayak gini dulu, nanti aku jelaskan tapi nggak sekarang ya,” kata
Oik agak memelankan volume suaranya.
“O... oke,” Cakka segera
mencari cara bagaimana ia bisa membawa gadis ini dengan posisi tetap seperti
ini?
Ia pun segera melingkarkan
tangan kanannya dipinggang Oik dan tangan kirinya memegang kepala belakang Oik.
Sebelum menyeret langkahnya yang diikuti Oik kembali ke kantornya. Cakka
membawa Oik menyeberang sebelum sama-sama menapaki trotoar dan akhirnya tiba di
kantor Cakka. Wajah Oik masih terbenam di dada Cakka saat mereka memasuki kantor
Cakka. Mata Oik pun masih tertutup sehingga ia tidak menyadari beberapa pasang
mata yang menatap mereka di kantor itu. Cakka segera membawa Oik ke ruangannya.
“Udah... semuanya sudah
aman. Lo buka mata lo deh,” kata Cakka.
Oik segera menggeser kepalanya
dari dada Cakka. Sedari tadi ia dimanjakan oleh wangi musk yang menguar
dari tubuh Cakka. Sehingga ia lupa untuk membuka matanya. Cepat-cepat ia
membuka matanya lalu menatap sekelilingnya.
“Kamu bawa aku dimana?”
tanya Oik.
“Di kantor gue. Kantor gue kan
hampir berhadapan dengan kampus lo. Sekarang gue tagih penjelasan lo,” kata
Cakka.
Oik berjalan ke arah jendela
transparan Cakka dan menatap gerbang depan Erasmus Universiteit. Ruangan Cakka
berada di lantai dua. Sehingga lebih leluasa menatap gerbang Erasmus itu. Cakka
berjalan ke samping Oik sambil mengikuti arah pandang Oik.
“Gue bukan tipe rentenir
yang terus menagih hutang nasabahnya ya,” kata Cakka.
Oik mengembuskan napasnya,
“aku pasti cerita. Tapi tunggu. Sumpah jantungku masih serasa mau copot. Kalau
aku udah tenang ya baru aku cerita.”
“Oke, gue tunggu,” kata
Cakka kemudian meninggalkan Oik sendiri bergeming di situ.
Ia berjalan ke arah sofa
lalu duduk di situ. Cakka kemudian mengambil rokok dari dalam sakunya sebelum
memasangnya. Cakka menyesap rokok itu kemudian mengembuskannya kembali. Asap
rokok mulai memenuhi ruangan.
Pernapasan Oik tiba-tiba
saja terasa sesak. Ia memalingkan pandangannya ke arah Cakka yang ada di sofa.
Saat mendapati Cakka merokok tiba-tiba Oik terbatuk-batuk.
“Cakka, uhuk... matiin
rokoknya plis,” kata Oik sambil terus terbatuk-batuk dan napasnya terdengar
satu-satu.
“Apa hak lo? Ini ruangan
gue. Terserah gue mau ngapain. Udah untung tadi gue nolongin lo,” kata Cakka
tidak menghiraukannya.
Oik terlihat sangat susah
bernapas, “aku... aku...” belum sempat Oik menyelesaikannya, ia malah jatuh
pingsan. Sontak Cakka kaget. Ia segera menyulut api rokoknya ke dalam asbak
sebelum mendekat ke arah Oik yang pingsan. Ia menepuk-nepuk pipi Oik mencoba
membangunkannya.
“Woi, bangun lo. Jangan
becanda kayak gitu. Nggak lucu tahu,” kata Cakka.
Cakka terus menepuk pipi
Oik. Tapi gadis itu tak kunjung bangun juga. Ada ya orang yang menghirup asap rokok trus pingsan? Baru tahu
Cakka. Cepat-cepat ia membopong Oik ke sofa ruangannya. Kemudian berjalan
kembali lagi mengambil tas Oik yang jatuh. Ia kembali mendekat ke arah Oik. Membuka
jas hujan yang dipakainya menyisakan blouse-nya. Cakka meletakkan jas
hujan itu di atas meja kemudian berlutut di samping sofa tempat ia membaringkan
Oik. Cakka belum pernah menghadapi orang pingsan seperti ini. Harus dengan cara
apa ia membangunkan Oik? Tadinya Cakka ingin menghubungi bagian OB untuk
menyuruh membawakan air. Tapi Cakka mengurungkan niatnya. Takut mereka pikir
Cakka berbuat macam-macam pada Oik. Jadi lebih baik ia berpikir cara apa yang
bisa membangunkan gadis ini sebelum ada orang masuk ke dalam ruangannya dan
mengira yang tidak-tidak.
Cara pertama: berbisik di telinganya sambil
mengumbar kata-kata manis.
Biasanya mempan buat
gadis-gadis yang mengambek. Tapi Oik kan pingsan bukan ngambek? Apa salahnya di
coba?
Cakka mendekatkan bibirnya
ke telinga Oik, “bangun sayang, kalau lo nggak bangun gue juga bakalan
pingsan,” bisik Cakka.
Oke. Itu bukan manis. Tapi
lebih terkesan awkward. Lagi pula mana bisa orang pingsan disamakan
dengan orang yang ngambek? Berarti Cakka harus mencari cara lain agar Oik bisa
bangun.
Cara kedua: belai pipinya dengan gerakan sensual.
Err.
Biasanya bisa buat
gadis-gadis terangsang. Siapa tahu kan Oik terangsang juga dan langsung bangun.
Berikutnya urusan belakangan.
Cakka segera menyentuh pipi
Oik dengan jemarinya. Pipi Oik terasa begitu lembut di kulitnya. Seperti kulit
bayi. Lama-lama Cakka menikmati setiap gerakan sentuhannya di pipi Oik.
Sepertinya bukan Oik yang terangsang tapi malah Cakka akan kalau terus-menerus
seperti itu. Lagi pula bagaimana bisa sih orang pingsan terangsang? Adanya
orang yang sadar. Dan saat itu... Cakka yang sadar. Cepat-cepat ia menghentikan
aktivitasnya di pipi Oik.
Ck. Gadis ini kapan
bangunnya sih?
Cakka menghela napasnya. Apa
lagi yang harus dilakukannya biar gadis ini bangun?
Cara ketiga: sleeping beauty does exist!
Cium.
Cakka sangat tidak menyukai
cerita dongeng dan semacamnya. Dulu waktu mamanya menceritakan cerita dongeng
sebelum tidur. Ia biasa menutup kupingnya dengan bantal. Meski masih bisa
terdengar samar-samar saat mamanya bercerita. Sleeping beauty bercerita
tentang seorang putri yang tertidur selama beberapa tahun dan terbangun karena
ciuman pangeran. Siapa yang tidak bisa melek karena ciuman Cakka? Oke.
Sebenarnya ini ide buruk. Tapi darurat! Apa salahnya dicoba?
Cakka segera mendekatkan
wajahnya ke wajah Oik. Menatap gadis itu yang matanya sedang terkatup. Awalnya,
Cakka ingin menciumnya di mata. Biar dia bisa melek. Tapi... entah mengapa
ciuman itu malah mendarat di bibir Oik. Seperti ada magnet yang menarik
bibirnya agar menyentuh bibir Oik juga. Tekanan bibir Oik terasa lembut seperti
es krim. Membuat Cakka ingin lebih dalam lagi mencicipinya. Tapi... Oik kan
pingsan err. Cakka tidak biasa mencium orang yang tidak sadarkan diri seperti
itu. Satu lumatan dan Cakka langsung melepaskannya.
Benar-benar ide buruk. Oik
bukannya bangun. Tapi membuat ia terlihat seperti orang bodoh saja. Coba tadi
kalau ada orang yang masuk?
Tapi, baru sekarang Cakka
berpikiran seperti ini. Kenapa Cakka jadi peduli dengan gadis ini? Teman bukan,
saudara bukan, orang asing juga bukan. Cuma tetangga yang telah merebut
apartemen kesayangannya.
Cepat-cepat Cakka berdiri
dari situ. Kakinya baru terasa kram karena sejak tadi berlutut. Sepertinya
menyiram dengan air adalah yang paling tepat. Dengan langkah yang masih
tertatih Cakka berjalan ke arah meja kerjanya hendak menghubungi OB.
Namun, saat Cakka baru
meletakan gagang telepon di telinganya Oik terlihat menggeliat. Perlahan ia
membuka pejaman matanya. Cakka segera meletakan gagang telepon itu pada
tempatnya lagi.
“Kamu udah matiin rokoknya
kan?” tanya Oik saat kesadarannya pulih.
Ternyata sleeping beauty bekerja lebih lambat.
“Udah... lo aneh ya masa hirup asap rokok doang pingsan?”
“Udah... lo aneh ya masa hirup asap rokok doang pingsan?”
Oik berusaha berdiri dari
sofa Cakka kemudian duduk di situ. Cakka berjalan mendekat dan duduk di
sampingnya.
“Aku memang nggak bisa
menghirup asap rokok. Kayak sesak gitu,” kata Oik.
“Lo asma?” tanya Cakka.
“Bukan, aku nggak ada
penyakit asma. Lebih ke trauma sih. Waktu kecil, pernah jalan-jalan sama mama
di sebuah toko trus aku ngilang gitu. Aku terjebak di sebuah ruangan yang penuh
dengan asap. Dan mulai ada nyala api ruangannya sesak banget dan aku pingsan.
Tahunya, pas bangun aku sudah di rumah sakit. Ternyata toko itu kebakaran dan
aku masuk di gudang toko itu, jadi mulai dari situ kalau aku menghirup asap apa
aja pasti terasa sesak dan nggak bisa napas. Apalagi kalau lama-lama pasti
pingsan,” cerita Oik.
Cakka malah tertawa, “cuma
gara-gara itu?”
“Bagi aku itu nggak cuma.
Aku juga nggak suka ngeliat cowok yang merokok. Merokok nggak membuat seseorang
terlihat keren tapi terlihat bajingan,” kata Oik terkesan menyindir.
“Gue memang bajingan. Jadi
santai aja,” kata Cakka dengan gaya santainya dan membuat Oik
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Memang susah bicara dengan
orang seperti Cakka.
“Jas hujanku mana?” tanya
Oik saat menyadari ia tidak mengenakan lagi jas hujannya.
“Tuh di atas meja,” kata
Cakka.
Oik segera mengambil jas
hujannya itu melipatnya lalu mengambil almamaternya dari dalam tas. Memasukkan
jas hujan itu ke dalam tasnya dan memakai kembali almamaternya.
Tak sengaja Oik menatap
Cakka tepat di matanya. Mata tajamnya menyiratkan pertanyaan. Seketika Oik
ingat akan janjinya menceritakan pada Cakka yang terjadi tadi. Ia menghembuskan
napasnya panjang sebelum membuka suaranya.
“Tadi aku punya janji sama
kamu ya? Buat nyeritain yang terjadi,” kata Oik.
“Nggak usah nanya kalau lo
mau cerita buruan cerita,” kata Cakka.
“Tadi aku habis
dikejar-kejar sama seseorang yang psycho gitu,” kata Oik.
“Psycho?” tanya Cakka
sambil mengernyitkan dahinya.
Oik mengangguk, “iya... itu
dia teman kompleks aku dulu waktu SMP. Dulu dia pernah nembak aku tapi aku
tolak. Soalnya aku nggak suka. Semenjak saat itu aku diteror terus sama dia.
Dari dia ngasih kodok mati, boneka barbie yang rambutnya udah dibotakin, sampe
brownies busuk di depan rumahku dan semua itu tulisannya menyeramkan,” kata
Oik.
“Memangnya tulisannya apa
sih?” tanya Cakka tertarik.
“Kalau kodok mati itu ada
kertas putih sama darah-darah kodok tulisannya itu kamu liat kodok ini, kalau
kamu terus menerus menolakku nasibku akan seperti kodok ini. Kalau yang di
boneka barbie itu tulisannya kamu nggak mau kan nasib kamu botak kayak barbie
ini? Trus kalau yang brownies basi itu tulisannya tahu nggak hati kamu busuk
kayak brownies ini, masih banyak lagi sih yang dia kirim-kirim ke aku dan
semuanya bikin aku takut dan langsung nyuruh mama pindah rumah dan pindah
sekolah. Dari situ dia udah nggak ganggu aku lagi. Tapi... nggak tahu kenapa dia
ada di sini juga, aku kaget banget tadi sumpah, makanya aku langsung lari trus
pake jas hujan itu biar nggak ketahuan,” kata Oik.
Mendengar perkataan Oik itu,
Cakka malah tertawa sekencang-kencangnya.
“Ada yang lucu?” tanya Oik.
“Banget. Lucu banget sumpah.
Lo pake jas hujan kuning itu biar nggak ketahuan tapi lo tahu nggak sih dengan
lo kayak gitu malah buat lo ketahuan. Soalnya lo paling mencolok diantara
teman-teman kampus lo. Gue aja lihat dari atas sini sakit mata karena kuningnya
terlalu mencolok,” kata Cakka.
“Tapi itu jalan
satu-satunya, aku udah nggak ada ide lagi tadi. Kamu jangan berani meledek jas
hujan kuning kesayanganku ya,” kata Oik sambil memeluk jas hujannya itu.
“Kesayangan? Hadiah dari
siapa? Pacar?” tanya Cakka.
“Bukan. Aku nggak punya pacar,
itu hadiah dari Mama waktu aku ulang tahun yang ke tujuh belas. Aku selalu
nyimpan hadiah dari Mama dari aku masih umur satu sampai dua puluh lima tahun
ada semua, tapi yang jadi kesayanganku yang ini soalnya aku suka warna kuning,”
kata Oik.
“Lo anak mami yah?” tanya
Cakka.
“Kalau iya kenapa? Mau
menghinaku sudah besar masih anak mami?”
“Sama. Gue juga anak mami
kok santai,” kata Cakka santai.
“HAH?!” Oik menganga. Lelaki
dihadapannya ini memang sering membuatnya terkejut. Baru kali ini Oik mendengar
seorang lelaki mengatakan dengan sendirinya kalau dia anak mami. Ajaib.
“Kenapa? Nggak usah shock
gitu kali. Mending gue bilang gue anak mami daripada gue bilang gue anak
tetangga,” kata Cakka.
“Iya juga sih, cuma aku
kaget aja. Orang kayak kamu yang tampangnya sangar anak mami,” kata Oik.
“Kalau bukan Mama gue nggak
bakalan lahir ke dunia ini. Oh ya, by the way si psycho itu teman
kampus lo ya? Wah gawat dong kalau dia balik lagi neror lo,” kata Cakka.
“Aku nggak tahu juga, semoga
aja nggak,” kata Oik.
“Tapi heran gue dia bisa di
kampus lo kalau bukan anak kampus,” kata Cakka.
“Entahlah, tapi makasih
banget ya Cakka kamu udah mau nolong aku, kalau nggak ada kamu aku nggak tahu
nasib aku sekarang kayak apa,” kata Oik.
“Sama-sama,” kata Cakka
sambil tersenyum ke arah Oik, “by the way, gue kurang nyaman bicara
dengan lo. Soalnya lo pake aku-kamu, gue pake gue-lo. Berasa janggal gitu,”
kata Cakka.
“Aku nggak biasa pake
gue-lo. Aku dididik Mama sama Papa pake aku-kamu jadi dari kecil memang
terbiasa seperti ini,” kata Oik.
“Gue sih di rumah pake sebut
nama nggak pake gue-lo, ya kecuali sama pacar gue sih baru pake aku-kamu,” kata
Cakka.
“Berarti kamu yang ngalah
aja, kamu kan bisa pake aku-kamu. Aku nggak biasa pake gue-lo,” kata Oik sambil
merapikan tasnya dan menyampirkan tasnya di bahunya sebelum berdiri.
Cakka juga ikut berdiri, ia
mengerutkan keningnya mencoba berpikir, “ya udah deh, nggak apa-apa, ngalah
daripada janggal,” kata Cakka kemudian.
Sejujurnya, Cakka orang yang
paling tidak bisa untuk mengalah. Tapi kenapa ia mau mengalah soal aku-kamu
gue-lo dengan Oik? It’s weird, isn’t it?
“Oke deh, aku pulang dulu
ya, kelas hari ini udah selesai,” kata Oik kemudian beringsut dari situ.
Cakka menahan tangan Oik dan
membuat Oik berbalik, “aku antar ya,” tawar Cakka.
“Hah?” Oik kaget.
“Mobil kamu masih di kampus
kan? Kalau ada dia lagi bagaimana? Jadi aku antar aja, sampe kampus. Atau kalau
kamu mau sampe apartemen juga boleh. Biar mobil kamu tinggal di kampus. Besok
kita berangkat bareng,” kata Cakka.
Oik berpikir sejenak. Benar
juga sih. Tapi mending Cakka mengantarnya sampai ke kampus saja. Biar dia naik
mobilnya sendiri sampai apartemen.
“Kamu antarnya sampe kampus
aja ya. Biar aku pulang sendiri. Aku nggak apa-apa kok. Tenang aja,” kata Oik.
“Kamu apa-apa. Tadi pagi
kamu ambil arah Blaak padahal lewat Maasboulevard lebih dekat. Jadi sekalian
tunjukin jalan cepat dari Schiedamsedijk
sampe Burgemeester Oudlaan,” kata Cakka dan langsung menarik Oik keluar dari
ruangannya.
Oik hanya bisa menghembus, “you’re
stalker,” katanya terpaksa mengikuti Cakka yang menariknya.
Cakka tidak menghiraukannya
ia terus membawa Oik keluar dari kantornya. Diiringi tatapan bingung
karyawan-karyawannya di situ. Dari samping, Oik bisa melihat raut wajah Cakka.
Genggamannya yang erat dan kuat di tangan Oik membuatnya merasakan otot-otot
Cakka disetiap genggaman Cakka. Bagi Oik, arti genggaman kuat Cakka itu
bukannya mau berlaku kasar padanya, melainkan ingin melindunginya. Tapi apakah
Cakka seperti itu? Ia baru sadar, ia baru menceritakan bagian dari dirinya pada
Cakka tadi. Padahal mereka baru kenal beberapa hari lalu.
Dari ekor mata Cakka, ia
bisa melihat kalau Oik memperhatikannya.
“Nggak usah liatin aku kayak
gitu juga kali. Aku nggak bakal ngapa-ngapain kamu kalau kamunya nggak minta
diapa-apain,” katanya masih dengan gaya khasnya lalu membuka pintu SUV-nya
untuk Oik masuk.
“Ck,” Oik berdecak sebelum
masuk ke dalam SUV Cakka.
***
5 komentar:
Ayo semangat buat lanjutin,,,,,,g sabar nunggu klnjutannya gmana??? :D
Harus maksa buat cepetan lanjut ini.. Udah beberapa hari gak post loh cik..
Oik yang misterius, cakka yang terlihat nakal nambah rasa penasaranku. Wahh.. #Lebeh.. :P
Pokoknya cepetan dilnjut!!!
Lanjuttttt dong chikk, udah lama ga ngepost kannnnn ayo dongggg dilanjuttt
udah 5 hari gak posting kemana sih cik? kita kangen ceritanya tauu...
Lanjutin dong kak...
Posting Komentar