This
Mistake
It was a mistake
and always be a mistake…
PROLOG.
OIK
memandang banyak manusia yang lalu lalang sambil menyeret koper, dia baru tiba
setelah perjalanannya yang melelahkan dari Jakarta menuju Yogyakarta. Jadi di
sinilah dia, bandara Adi Sucipto, dengan langkah agak ragu dia menyeret koper
keluar dari terminal 4. Hatinya semakin dag-dig-dug tak karuan kala mendengar alerts Blackberry Messenger miliknya.
Dengan ragu dia merogoh Blackberry-nya dari dalam sakunya dan segera membuka
tanda bintang pada logo BBM itu.
Cakka: Sudah sampai?
Oik: Sudah barusan keluar dari
terminal 4
Cakka: Oke sip (y),
aku ke sana skrg
Oik: Hm, masih ngenalin aku kan?
Cakka: Masih dong… aku
tidak akan ngelupain kamu kok, kamu sendiri jgn2 sudah lupa sama aku?
Oik: Mungkin :p hehehehe
Cakka: Tengok ke kiri…
Ketika Oik
mendapat BBM terakhir dari Cakka itu, Oik segera memalingkan pandangannya ke
arah kiri. Berdiri lelaki jangkung dengan pakaian rapi, dadanya yang bidang,
matanya menatap ke arahnya dengan sayu namun masih menghangatkan seperti dulu,
kulitnya putih dan senyum tersungging di bibirnya. Dari jarak seperti itu, Oik
bisa mencium bau khasnya. Masih sama seperti dulu. Oik terbuai dengan indera
penglihatan dan penciumannya, kembali lagi memuja lelaki itu.
Cakka
berjalan mendekat ke arah Oik dan Oik pun jadi salah tingkah. Entah apa yang
harus dikatakannya saat ini. Sekedar hai atau
bagaimana kabarmu? Itu tidak mungkin.
“Cakka,”
akhirnya nama itu saja yang meluncur dari mulut Oik.
“Oik, lama
tak bertemu,” kata Cakka ketika tiba di depan Oik dan menatapnya dari ujung
rambut sampai ke ujung kaki, “kamu masih seperti dulu,”
“Kamu juga,”
kata Oik.
“Hm, ayo
kita tak boleh berlama-lama di sini, banyak yang harus kita kerjakan,” kata
Cakka segera mengambil alih koper Oik, membawakannya dan segera menggandeng Oik
hendak menuju mobilnya tapi…
Ya Tuhan…sentuhan ini… masih terasa nyaman seperti
dulu…
“Tunggu! Lo
nggak ngelupain gue kan?,” seseorang yang sedari tadi mengekor di belakang Oik
bersuara karena merasa diabaikan.
Oik hampir
mengutuki dirinya sendiri hampir melupakan orang yang ada di belakangnya itu.
Gara-gara Cakka, semuanya buyar. Dia benar-benar melupakannya. Tatapan gadis
berumur 17 tahun berubah nanar ke arah Oik. Kemudian senyum setengah
tersungging di sudut kiri bibirnya.
“Ah, sori,
Cakka kenalkan… namanya Larissa, panggil saja Acha, dia—,”
“Gue Acha,
adiknya Oik,” kata Acha mengulurkan tangannya menyalami Cakka.
***
CAKKA
menatap bintang di langit yang gemerlapan. Bunyi burung merdu menemaninya malam
itu.
“Kenapa mesti
kamu sih? Aku bingung sama Shilla, aku ini pacarnya dia, kenapa dia menyuruh
kamu terus yang mewakilinya?,” Cakka mendesah kesal, “bukannya kamu juga sudah
punya pacar? Apa pacarmu tak akan marah kamu diminta menemani pacar orang
seperti ini? Mau-maunya juga kamu disuruh Shilla,” lanjut Cakka.
“Aku juga
bingung sama dia, yah… aku memang punya pacar, tapi…dia sibuk, tak peduli
denganku, soal kenapa aku mau disuruh menemanimu disini, itu hanya solidaritas
sebagai sahabat,”
“Memangnya
kamu tak bertanya padanya kenapa dia memintamu untuk kemari?,”
“Sudah,
katanya dia sedang tak bisa kemari, kau tahu kan orang tuanya yang tidak suka
melihat anaknya pacaran dulu?,”
“Ya…ya… I know,”
“Tapi kalau
kamu tak mau aku di sini, aku akan pergi sekarang.” Gadis itu melangkahkan
kakinya berdiri dari bangku. Namun, Cakka menahan tangannya dan membuat gadis
itu berbalik.
“Oik, aku
tak bermaksud begitu, ayo duduk, makasih
sudah mau datang kemari,”
Gadis yang
bernama Oik itu kembali duduk. Suasana antara keduanya kembali sunyi-senyap.
Dentuman jarum arloji Oik yang berbunyi menyatakan waktu terus berjalan dan
entah sudah berapa lama mereka bergeming seperti itu.
“Terkadang
aku kecewa sama Shilla, dia lebih mengutamakan karir modelnya daripada aku.
Memang aku jadi lelaki tak boleh egois. Aku tak boleh hanya memikirkan
kepentinganku, tapi Shilla juga tak boleh egois mementingkan kepentingannya.
Memang aku tahu itu untuk masa depannya , tapi bukannya terlalu dini untuk
memulai karir, kita ini masih SMA, bukan saatnya membebankan diri dengan karir,
saatnya menikmati keindahan masa SMA,” Cakka menghela napasnya, “ini membuat
aku berpikir kembali apakah dia benar-benar mencintaiku atau tidak,” kata
Cakka.
“Shilla
mencintaimu Cakka, sangat mencintaimu, aku tahu Shilla karena aku sahabatnya.
Dia mengejar karir sesungguhnya bukan karena kepentingannya tapi karena
panggilan hatinya. Aku rasa kita bernasib sama, kau tahu pacarku Obiet juga
lebih sibuk dengan urusan OSIS-nya dibandingkan menemaniku sebagai pacarnya.
Terkadang aku merasa sendiri dan kesepian tapi aku cukup mengerti bahwa dia
mencintaiku, hanya saja dia memang sedang benar-benar sibuk,” Oik memegang
pundak Cakka, “sabar saja, kau sudah mengambil keputusan untuk mencintai
Shilla, berarti kau juga harus berani menerima konsekuensi apapun dari
keputusanmu itu,”
“Thanks ya Ik, saat-saat seperti ini kamu
memang orang yang paling tepat untuk diajak curhat. Bolehkan aku menjadi
sahabatmu mulai sekarang?,” tanya Cakka.
Oik
tersenyum. “Tentu saja, kita sahabat sekarang,” kata Oik sambil mengulurkan
jari kelingkingnya memateraikan tali persahabatan mereka.
***
“Oik, gimana
kalau besok malam kita double date,
kamu bawa Obiet, aku juga bakalan ajak Cakka, mumpung malam minggu dan aku
tidak punya jadwal. Jadi kamu bisa jemput aku, kamu tahu kan orang tuaku tidak
suka Cakka, jadi setidaknya kalau kamu yang jemput orang tuaku akan memberikan
izin padaku,” kata Shilla saat mereka sedang berjalan keluar dari ballroom sebuah hotel tempat
dilaksanakannya acara fashion show yang
dibintangi oleh Shilla.
“Hm, kamu
aja deh sama Cakka, nanti aku yang jemput tapi kalian saja yang pergi. Obiet
kayaknya tidak bisa ikut, dia sibuk Shill. Aku tak mau mengganggu, apalagi
belaangan ini OSIS lagi sibuk-sibuknya,”
“Duh Oik,
seberapa penting sih OSIS-nya itu dibandingkan kamu?,” Shilla segera merogoh
ponselnya dari dalam sakunya kemudian memencet qwerty ponselnya lalu meletakan
ponsel itu di telinganya. “Kalau begitu biar aku saja yang hubungi Obiet,”
lanjut Shilla.
“Tapi
Shill—,”
“Hallo
Obiet,” kata Shilla.
“Iya, ini siapa yah?,” suara bariton dari seberang
terdengar.
“Ini Shilla
Biet,”
“Oh Shilla, ada apa?,”
“Gini Biet,
malam minggu besok, aku mau ajak kamu sama Oik double date gitu bareng aku dan Cakka, kamu bisa yah?,”
“Tapi Shill, aku ada proyek untuk proposal OSIS-ku,
kamu nelpon gini disuru Oik yah? Boleh aku bicara dengannya?,”
“Nggak kok
Biet, nggak sama sekali… Oik bahkan melarangku karena dia tahu kamu sibuk tapi
aku yang ambil inisiatif sendiri, mau yah Biet… kamu kan pacarnya Oik tapi
jarang jalan sama dia,”
“Aku nggak janji yah Shill, soalnya proposal ini harus
selesai hari senin jadi aku dikejar deadline,”
“Ayolah
Biet… masa kamu lebih cinta sama proposalmu itu dibandingkan pacarmu, kamu
sayang Oik nggak sih?,”
“Sayanglah… kan kalau aku sayang bukan berarti harus
intens ketemu, harus sering date atau apapun itu,”
“Tapi,
dengan kamu kayak gini, kamu jadi kayak orang yang nggak sayang karena nggak
melakukan tindakan apapun untuk Oik,”
“Hmm… oke, aku janji aku akan pergi… boleh aku bicara
dengan Oik?,”
“Oke aku
pegang janjimu,” kata Shilla sebelum menyerahkan ponselnya pada Oik. “Obiet mau
bicara sama kamu,”
Dengan
hati-hati Oik mengambil alih ponsel Shilla.
“Hallo,
Biet… bukan aku yang—,”
“Sampai ketemu besok yah Ik, dandan yang cantik,”
“Eh… iya,”
“Ya sudah, hari ini kayaknya aku bakal kerja ekstra
untuk menebus waktu besok, jadi maaf yah kalau malam ini aku nggak bakal nelpon
kamu,”
“Iya nggak
apa-apa Biet, aku ngerti kok,”
“Oke, sudah dulu yah, aku mau lanjut buat proposalnya,”
“Oke Biet,
selamat bertugas,”
“Da…,”
“Da.”
***
Oik menatap
cermin yang ada di depannya. Dia mematut dirinya di depan cermin. Sudah
kesekian kalinya dia mengganti pakaiannya. Tapi, tak ada satupun yang membuat
dia nyaman. Oik sedikit nervous untu
acara malam ini. Secara, kalau mau diingat-ingat ini untuk pertama kalinya dia
dan Obiet akan date di luar, yah
walaupun bersama Cakka dan Shilla juga. Semenjak 6 bulan menjadi pacarnya
Obiet, dia tidak pernah sama sekali mengajak Oik jalan di luar. Palingan hanya
bertemu di sekolah, makan di kantin bareng, atau mengerjakan tugas bersama di
rumah Oik. Begitu saja. Tak ada yang spesial selama 6 bulan dia menjadi pacar
Obiet. Dia jarang melewati hal romantis bersama Obiet layaknya pasangan kekasih
karena kesibukan Obiet sebagai ketua OSIS. Bahkan, waktu Obiet menyatakan
perasaannya pada Oik. Hanya lewat telepon, saat mereka melakukan diskusi soal
pelajaran. Tidak ada cara-cara romantis seperti waktu Shilla, sahabatnya
menceritakan waktu Cakka menembaknya.
Kata Shilla
waktu itu, Cakka mengajaknya ke sebuah café dan secara spontan menyanyi sambil
bermain gitar. Kemudian mengundang Shilla ke atas panggung untuk ikut bernyanyi
dengannya. Dan di akhir lagunya Cakka malah meminta Shilla menjadi pacarnya.
Setiap cerita-cerita Shilla tentangnya dengan Cakka kadang membuatnya iri.
Karena tidak bisa melewati hal seromantis itu bersama Obiet, pacarnya. Itu
setahun lalu, sebelum Shilla memutuskan untuk terjun ke dunia modeling. Akhirnya, Shilla juga ikut
sibuk dengan dunia barunya dan jadi jarang menceritakan keromantisannya dengan
Cakka lagi pada Oik.
Oik dan
Shilla sudah bersahabat semenjak SMP. Memutuskan untuk masuk ke SMA yang sama.
Oik tahu sekali Shilla sudah suka dengan Cakka semenjak SMP. Tapi, baru bisa
pacaran dengannya saat awal SMA. Shilla memang suka dengan dunia modeling dan dari dulu ingin
berlenggak-lenggok di atas catwalk.
Oik sebagai sahabatnya sangat mendukungnya. Dan saat Shilla bisa menggapainya.
Dia terkadang melupakan yang lain, Cakka.
Jadi selama
3 bulan belakangan ini, terkadang Shilla meminta Oik menggantikannya menemani
Cakka. Kalau Cakka mengajak Shilla ke luar, ataupun menemani Cakka ke
acara-acara, makan dan lain sebagainya saat Shilla sedang dalam kesibukan, Oik
yang menggantikannya. Awalnya Oik sangat menentang ide gila Shilla. Bagaimana
mungkin Oik jalan dengan pacar sahabatnya sedangkan dia juga sudah punya pacar?
Tapi Shilla membujuknya dan akhirnya Oik pun luluh. Awalnya, Cakka terlihat
risih dan tidak terima saat tahu yang datang bukan Shilla melainkan Oik. Tapi,
setelah malam mereka memutuskan untuk menjadi sahabat juga. Cakka jadi berbeda
dengan malam-malam sebelumnya, dia tidak dingin lagi terhadap Oik.
Ponsel Oik
berdering tanda ada SMS masuk. Oik segera mengambil ponselnya yang berada di
atas meja rias lalu melihat SMS yang masuk.
From: Ashillaz mybest
Bebsayang. Cakka udh otw jemput kamu
d I rumahmu.
To: Ashillaz mybest
Hah? Shill? Trus kamu? Kan aku udh
blg nnt aku yg jmpt kamu.
Memang ortu kamu ga marah kalau aku
dtgnya sama Cakka?
From: Ashillaz mybest
Kan klo km yg jmpt aku, rmh kamu
jauh kita bkln lama di jalan.
Nah, rumah Cakka kan lbh dkt klo ke
kamu dan rumah Obiet lebih dkt ke aku.
Jdi mnding Cakka jmpt aku trs Obiet
brg aku.
To: Ashillaz mybest
Emg ortu kamu ga marah gitu klo kamu
jln sama Obiet?
From: Ashillaz mybest
Ortuku yg mrh atau kamu yang cmburu?
:p
Ga kok, kamu lupa aku juga anggota
OSIS yah?
Aku kan klo sma Obiet bisa alasan
utk OSIS.
To: Ashillaz mybest
Ah gak ah~ hahaha :p
Okd… aku mau ganti baju dulu.
From: Ashillaz mybest
Hah? Jadi kamu belum selesai juga?
To: Ashillaz mybest
Iya hehehe. Aku bingung nih mau pake
baju apa >.<
From: Ashillaz mybest
Ciyeeeeehhh…
Oik segera
meletakan kembali ponselnya. Dan memilih-milih pakaiannya kembali. Akhirnya dia
memutuskan untuk mengenakan jeans dress
yang dipadukan dengan butterfly belt berwarna
hitam. Dia mengambil wedges blue denim-nya.
Memakai beberapa aksesoris lalu mengikat rambutnya, serta mengenakan bedak dan
lipgloss. Oik mengambil tas hermes berwarna
hitamnya dan menyampirkan di pundaknya. Lalu segera membuka pintu kamarnya,
saat bell rumahnya berbunyi.
“Iya
bentar,” teriak Oik.
Dia bergegas
menuju pintu rumahnya lalu membukanya. Berdiri Cakka di hadapannya. Lelaki itu
mengenakan pakaian cassual. T-shirt yang
dipadukan dengan sweatshirt v-neck dan black skinny jeans.
“Sudah
siap?,” tanya Cakka.
Oik
mengangguk sambil mengunci pintunya.
“Ayo,” ajak
Oik.
Tapi Cakka
malah menarik tangannya saat dia hendak berjalan dan membuat langkahnya
terhenti, “tunggu,” kata Cakka.
Oik menoleh
ke arah Cakka sambil mengernyitkan dahinya. Cakka menarik ikatan rambut Oik,
membuat rambut Oik terurai. Dia segera mengatur rambut Oik ke arah depan, serta
belahan poninya.
“Sekali-sekali
kalau kamu urai rambutmu sepertinya lebih baik, kamu lebih terlihat cantik
kalau seperti ini, jangan diikat lagi yah,” kata Cakka sambil menyerahkan ikat
rambutnya ke tangan Oik.
Oik cuma
mengangguk dan menunduk lalu berjalan. Cakka segera mendahuluinya untuk
membukakan pintu mobilnya. Setelah Oik masuk ke dalam mobilnya, Cakka segera
menuju sisi sebelah mobilnya dan mengambil alih kemudi.
Deg.
Jantung Oik tiba-tiba berdetak. Baru pertama kalinya dia diperlakukan seperti
itu oleh lelaki.
***
Cakka dan
Oik telah tiba di restoran tempat mereka semua janjian. Sebelumnya, mereka
telah memesan tempat. Cakka dan Oik melangkah menuju meja nomor 56 yang telah
dipesan mereka. Ada 4 buah kursi saling berhadapan di situ. Cakka menarik kursi
untuk Oik duduk. Setelah itu menuju ke kursi di hadapan Oik dan duduk di situ.
Terlihat
Cakka sibuk memencet qwerty ponselnya. Kemudian meletakan ponselnya di
telinganya sebelum bicara.
“Hallo,”
“Hallo,”
suara gadis di seberang.
“Shill, aku
dan Oik sudah tiba, kamu dan Obiet dimana?,”
“Bentar lagi Kka, aku dan Obiet masih di jalan, tapi
bentar lagi nyampe kok, sabar ya sayang,”
“Oh oke, aku
dan Oik tunggu di sini ya sayang,”
“Iya Cakka sayang,”
“Da,
hati-hati di jalan,”
“Daaa,”
Cakka
menyudahi percakapannya dengan Shilla dan memasukan kembali ponselnya ke dalam
saku celananya.
“Ik, kok
dari tadi diam?,”
Oik
tersenyum, “Tidak… tak apa-apa,”
“Kamu dan
Obiet sudah pacaran berapa lama?,”
“Enam
bulan,”
Cakka
mengangguk-angguk, “Oh… lumayan baru juga yah,”
“Iya,”
“Kamu kenapa
sih Ik? Beda dari biasanya, santai aja, kan kita sahabat, kamu nervous yah?,”
“Eh… beda
gimana?,”
“Ya beda
aja… ada yang kamu ingin ceritakan? Ayolah tak usah malu, kan kita sahabat Ik,”
“Hmm… gimana
yah? Itu… iya aku… gugup soalnya itu,”
“Soalnya
apa?,” tanya Cakka mengernyit.
“Tapi kamu
jangan ketawa yah, ini… untuk pertama kalinya aku… jalan sama Obiet… di luar,”
“Maksud kamu
ini pertama kalinya kamu nge-date sama
Obiet?,” Ekspresi Cakka tiba-tiba berubah.
Oik
mengangguk. Cakka terlihat menahan tawanya. Oik mencubit tangan Cakka.
“iiiihhhh udah dibilang jangan ketawa,”
“Aw… sakit,
iya deh iya… tapi lucu saja, masa kalian belum pernah nge-date?,”
Oik berubah
cemberut sambil melipat kedua tangannya di dadanya, “tak usah membahas hal
itu,”
“Oke…oke…
jangan ngambek yah, nanti cantiknya ilang,” kata Cakka sambil memegang dagu Oik
dan mendongakkan kepalanya, “senyum ya,” kata Cakka.
Deg.
Heartbeat kembali menghujamnya.
Kenapa lagi? Apa yang terjadi dengannya? Dengan terpaksa Oik berusaha menaris
garis lengkung di bibirnya.
“Nah
begitu,” kata Cakka sambil melepaskan tangannya dari dagu Oik.
Tak beberapa
lama kemudian, Obiet dan Shilla tiba. Shilla segera mengambil posisi kursi di
samping Cakka. Sementara Obiet duduk di samping Oik.
“Maaf ya
sayang lama, aku dan Obiet terjebak macet tadi,” kata Shilla yang langsung
cipika-cipiki dengan Cakka.
“Never mind,” kata Cakka.
Oik dan
Obiet terlihat risih melihat pemandangan di hadapan mereka. Sepertinya Cakka
dan Shilla sudah terbiasa seperti itu. Obiet jadi bingung mau mulai apa dengan
Oik. Obiet menatap Oik yang sama sekali tidak menatapnya.
“Ik…,”
panggil Obiet.
“Hm…,” Oik
menoleh.
“Eh,…
itu…hm… kamu cantik,” kata Obiet saking bingungnya mau mulai dari mana
percakapannya dengan Oik.
“Makasih,”
Seorang waiter menghampiri mereka berempat.
Mereka segera memesan makanan masing-masing. Sambil menunggu makanan mereka
bercakap-cakap untuk mencairkan suasana. Obiet dan Oik yang awalnya kaku mulai
terbawa suasana.
***
“Hallo,”
“Hallo ya Shilla,”
“Iya ma?,”
“Shill, kamu dimana sayang?,”
“Lagi di
sekolah ma, sama teman-teman OSIS kan mau menyelesaikan proposal buat event terakhir kan ma,”
“Mama lagi on the way ke sekolah kamu, mama mau jemput
kamu, kita harus berangkat sekarang sayang ke Solo, eyang kamu lagi koma dan
dia minta semua anggota keluarga berkumpul,”
“Tapi ma—,”
“Nggak pake tapi-tapian, kamu nggak sayang sama eyang
kamu? nanti mama yang ngomong sama pembina dan ketua OSIS kamu, Oke…”
Mamanya
Shilla segera memutuskan sambungan telepon. Wajah Shilla berubah panik,
cepat-cepat dia menyeruput minumannya hingga habis dan menyampirkan tasnya di
bahunya.
“Pelan-pelan
Shill nanti kamu tersedak, ada apa sih?” tanya Cakka.
“Gawat,
mamaku lagi on the way ke sekolah mau
jemput aku, katanya aku harus berangkat sekarang juga, eyang aku yang di Solo
koma dan minta seluruh keluarga berkumpul,” kata Shilla.
“Trus?,”
“Maaf ya
sayang, maaf ya Ik… aku harus pergi sekarang, Ik aku pinjam Obiet yah buat
ngantar aku ke sekolah, soalnya kalau nggak dengan Obiet mamaku akan curiga,”
kata Shilla sambil menatap Oik.
Oik menatap
Obiet lalu menganggukan kepalanya. Shilla segera berdiri, Cakka juga ikut
berdiri. Shilla memeluk Cakka.
“Berapa lama
kamu di sana?,” tanya Cakka sambil mengelus kepala Shilla.
“Sampai
eyang sembuh,”
“Get well soon for your grand ma… will miss
you,” kata Cakka mengecup ubun-ubun Shilla.
Shilla
melepaskan pelukannya, “me too, ayo
Biet, nggak boleh lama-lama kita harus sampai sebelum mama sampai,” kata Shilla.
“Ik, aku
pergi dulu, kalau sempat aku balik lagi kemari,” kata Obiet lalu mendaratkan kecupan di dahi Oik dan
pergi bersama Shilla.
Cakka dan
Oik menatap Shilla dan Obiet yang berjalan keluar restoran sebelum menghilang
di balik pintu restoran.
“Yah,
tinggal kita berdua lagi,”
“Iya nih,
lagi-lagi dan lagi,” Oik menggeleng-geleng frustasi.
“Aku heran
aja… jangan-jangan aku jodohnya sama kamu bukan sama Shilla, habis aku ketemunya
sama kamu terus,”
“Heh?,” Oik
mengernyit.
“Hahaha,
becanda…becanda, yaudah lanjut yuk makan, kan kata Obiet dia bakalan balik kita
tunggu sampai Obiet balik biar kalian date
sendiri aja, aku pulang kalau Obiet sudah datang,”
“Kan dia
bilangnya kalau,”
“Jangan hopeless begitu, dia pasti balik lagi,”
“Aku tidak
yakin,”
“Masa kamu
tak yakin dengan pacarmu sendiri,”
“Aku tahu
dia Kka, makanya aku bilang begitu,”
“Sudah, kita
tunggu dia, kalau dia tak datang, kita berdua saja yang jalan, filmnya mulai
jam berapa?,” tanya Cakka.
“Jam tujuh
tiga lima,”
Cakka dan
Oik melanjutkan acara makan mereka sambil menunggu Obiet. Jam sudah menunjukan
pukul 19.15 WIB tapi Obiet belum datang juga. Tak beberapa lama kemudian, SMS
masuk di ponsel Oik.
From: My Boy
Syg, aku ga bisa balik. Tadi pas ke
sekolah malah ketemu pembina OSIS.
Dia pengen liat sejauh mana aku
ngerjain proposalnya.
Jdi, aku balik rmh ambil proposal
trs ke sekolah lagi.
Maaf ya Ik, aku janji kpn2 akan
nebus.
Slm buat Cakka. Jgn plg telat ya.
“Kka, Obiet
tidak jadi datang lagi,” kata Oik.
“Lho?
Kenapa?,”
“Dia SMS,
katanya ada pas dia balik ke sekolah ketemu pembina OSIS dan pengin lihat hasil
kerjanya jadi dia di tahan di sana,”
“Oh ya
sudah, sudah jam segini, kita harus segera ke XXI sebelum filmnya di mulai
yuk,” kata Cakka sambil mengulurkan tangannya.
“Jadi, kita
nonton berdua saja?,” Oik memastikan.
“Iya, tak
apa kan?,”
Oik terdiam
sejenak. Sebelum mengangguk dan menyambut tangan Cakka. Lalu mereka keluar dari
restoran tersebut.
***
Cakka
menghempaskan tubuhnya di atas kasurnya. Dia menutup matanya, flashback yang terjadi selama dia masuk
SMA, sampai saat ini dia sudah berada di penghujung masa SMA berputar di
kepalanya. Dia berpacaran dengan Shilla sejak awal masuk SMA. Awalnya begitu
manis, dia dan Shilla layaknya kekasih yang tak terpisahkan. Dunia seakan milik
mereka berdua. Tapi, semua berubah semenjak Shilla menjadi model. Intensitas
mereka bertemu mulai berkurang. Shilla jadi sibuk dengan dunia modeling-nya. Dan sisa masa pacaran
mereka bahkan sampai saat ini terasa hambar. Tak ada lagi hal-hal romantis
seperti dulu yang mereka alami. Selalu saja ada halangan untuk mereka bertemu
atau kencan berdua. Terkadang Cakka juga berpikir, mungkin Shilla memang bukan
jodohnya dan sempat juga berpikir untuk mengakhiri semuanya. Dia sudah pernah
mengatakan hal ini pada Oik, sahabatnya dan juga Shilla. Tapi, Oik meminta
Cakka membatalkan niat itu. Dan meyakinkan Cakka kalau dia dan Shilla masih
saling mencintai. Suatu saat dan entah kapan waktunya, mereka pasti akan
kembali sama seperti dulu.
Bicara soal
Oik, sudah hampir setahun dia dan Oik bersahabat. Oik adalah sosok gadis yang
periang, sabar, enak diajak curhat dan juga kuat. Buktinya sebulan lalu saat
Obiet memutuskan hubungannya dengan Oik. Dengan alasan, dia tidak ingin pacaran
dulu, mau fokus soalnya sudah masuk kelas ujian. Oik terlihat tegar. Dia sama
sekali tidak terlihat sedih. Bukan karena dia tidak mencintai Obiet. Cakka
tahu, kalau Oik sebenarnya hancur. Tapi, dia menutupinya dengan hal-hal positif.
Itu adalah cara move on yang dewasa
menurut Cakka. Daripada dia melihat gadis-gadis lain yang suka galau di timeline twitter-nya saat diputusin
pacar mereka. Makanya Cakka merasa sangat beruntung mendapat sahabat seperti
Oik.
From: Oik
Masbro, try-out hari senin apa?
jadwalku ilang x_x
To: Oik
Aku krmh kamu ya.
From: Oik
Ish, yg ditanya lain yg dijawab lain
>.<
To: Oik
Iya, nnt kan aku bawa jadwal ke
rumah kamu.
From: Oik
Knp sih pgn bgt ke rumah aku?
To: Oik
Kangen.
From: Oik
Hush! Nnt Shilla marah tau.
To: Oik
Kan kalau Shilla kangennya beda :p
From: Oik
Oh :p kirain hhehehe, mau dtg kapan?
To: Oik
Skrg.
From: Oik
Hah?
Cakka tidak
membalas SMS Oik. Dia langsung menyimpan ponselnya di dalam sakunya. Kemudian,
mengambil kunci motornya dan berlari menuju FU-nya yang terparkir di garasi.
Dia segera memacu motornya menuju rumah Oik.
Tiba di
rumah Oik, Cakka segera memarkir FU-nya dan mengetuk pintu rumah Oik. Terdengar
deritan pintu sebelum akhirnya pintu itu terbuka. Berdiri Oik dengan rambut yang
tergerai agak berantakan dan mengenakan baby
doll bergambar teddy bear serta
sendal boneka tweety berwarna kuning.
“Kenapa
datang sekarang? Kan aku sudah bersiap-siap tidur,”
“Masih juga
jam sepuluh, dan ini juga malam minggu,”
“Ngapel kek
di rumahnya Shilla,”
“Yah lupa
yah kamu kalau Shilla ada jadwal pemotretan sepanjang minggu berjalan ini,”
“Oh iya yah…
hm, mana deh jadwalnya, aku mau bobo,” tagih Oik.
“Hm, ikut
aku dulu,”
“Kemana?,”
“Jalan,”
“Tapi aku
sudah pakai piyama kayak gini,”
“Ck,
udaaaahh… ayoooo,” Cakka segera menarik Oik.
“Cakkaaaaaaaaa,”
“Sudah
jangan bawel ikut aja,”
“Tapi
tampangku memalukan kayak begini,” keluh Oik.
Cakka segera
naik ke atas FU-nya. Oik menatap Cakka dengan tatapan paling mengenaskan
sedunia.
“Ayo,” ajak
Cakka.
Oik dengan
hati-hati naik ke atas FU milik Cakka. Cakka segera mengambil kedua tangan Oik
dan melingkarkan di pinggangnya. Sebelum akhirnya menyalakannya…
“Pegangan,”
kata Cakka yang langsung memacu FU-nya diiringi teriakan Oik saking kagetnya
karena Cakka langsung tancap gas.
Cakka dan
Oik menyusuri jalan-jalan pintas ibukota dengan kecepatan di atas rata-rata.
Membuat Oik memekik sepanjang perjalanannya. Terkadang kalau melewati
orang-orang mereka menatap Oik dengan tatapan aneh karena memakai pakaian
seperti itu. Mungkin, orang-orang sudah berpikiran aneh tentang mereka.
Jangan-jangan mereka berpikir Cakka dan Oik adalah pasangan yang melarikan
diri. Atau mungkin Cakka membawa anak orang kabur dari rumahnya dan diajak
kawin lari. Oh gosh, Oik tak bisa
membayangkan tatapan orang-orang yang ada di sekitarnya. It’s crazy.
“Cakkaaaaa…
ini gilaaaaa,” teriak Oik.
“Apa?,”
tanya Cakka sambil memalingkan perhatiannya dari jalan kepada Oik.
“Gilaaaa…
Cakkaaa begini lebih gila lagi, lihat jalan Cakkaaaaa,” Oik memohon wajahnya
tampak panik.
Cakka
bukannya melihat jalan, tapi melepas tangan kirinya dari setir dan berbalik
menatap Oik.
“Kamu yang
lihat jalannya yah Ik, aku pengin lihat wajah kamu, kamu nanti yang arahin
yah,” kata Cakka.
“Aaaaaa aku
tak tahu Cakka… aaaa Cakka aduhhh aku takuuuut jangan begini dong… huaaa mama
tolong,” teriak Oik.
Cakka malah
tertawa. Dan masih dengan aktivitasnya memandangi Oik bukan jalan. Untung saja
jalanan di sekitar situ sepi.
“Awaaaasssss,”
teriak Oik sambil menutup kedua matanya dengan telapak tangannya.
Cakka segera
membetulkan posisinya. Memandangi jalan lagi. Ternyata jalannya belok membuat
Oik berteriak.
“Ck… Ik, tak
usah seperti itu juga kali, aku sudah hafal jalanan di sini jadi tak usah panik
begitu, tutup mata pun aku bisa,” kata Cakka.
“Huh! Aku
yang mati ketakutan di sini,” kata Oik.
“Santai,
kamu pegangannya yang kencang yah, kita masuk ke daerah yang biasa di pake buat
balap liar nih,” kata Cakka.
“Trus? Kamu
juga mau balap di sini?,”
“Pegangan,”
kata Cakka kemudian bersiap menancap gas motornya. “Iyaaaaaaa,”
“Aaaaaaaaaaaaa,”
teriak Oik.
Saat Cakka
mulai memacu motornya bak seorang pembalap di sirkuit. Dia seperti tak
menghiraukan Oik yang sudah hampir jantungan di belakang. Oik mengencangkan
pegangannya pada Cakka dan menyandarkan dagunya pada pundak Cakka sebelum
menutup matanya. Dia takut. Cakka benar-benar gila.
***
“Ik, udah
dong jangan pukul-pukul terus sakit tahu,” kata Cakka karena dirinya di
pukul-pukul Oik saat baru turun dari FU-nya.
“Ihh… kamu
itu yah, kalau aku mati gimana? Mau tanggung jawab,” kata Oik.
“Tenang
saja, kamu tak akan mati, kan buktinya sekarang masih hidup,” kata Cakka.
“Huh! Jam
berapa sekarang, aku bisa di gorok bunda pergi tanpa izin pulangnya jam
segini,” kata Oik.
“Jam
setengah dua belas, nanti aku yang menghadap sama bunda kamu bilang aku yang
ngajak kamu,”
“Hah?!
Tidak! Cari masalah kamu, biar aku yang masuk sendiri,” kata Oik.
“Aku antar
sampai depan pintu yah,” tawar Cakka.
Oik
mengangguk. Mereka berdua berjalan beriringan menuju pintu rumah Oik. Hawa
dingin mulai menyusup ke celah-celah bajunya. Entah kenapa dia baru merasakan
dingin sekarang, padahal tadi di jalan dia tidak merasa kedinginan. Barulah dia
sadar kalau tadi dia memeluk Cakka sepanjang perjalanan mereka. Oik terpekik
dalam hatinya.
“Kenapa
Ik?,” tanya Cakka heran.
“Eh… tidak…
tak apa-apa,”
“Kamu
kedinginan yah?,” tanya Cakka.
“Iya,
sedikit hehehe,” kata Oik sambil memegang kedua lengan tangannya.
“Sori ya Ik,
aku mengajak kamu dengan keadaan kayak gini,” kata Cakka ketika mereka tepat
berada di depan pintu rumah Oik.
“Iya… tapi
lain kali jangan lagi yah, kalau kamu lagi stress jangan mengajak aku untuk
ikut stress juga yah,”
“Lho? Kan
sahabat berbagi dalam suka maupun duka,”
“Tapi tidak
seperti ini juga kali,”
“Hehehehe,
iya deh, iya,” kata Cakka sambil mengacak poni Oik.
“Mana
jadwalnya?,” tagih Oik.
Cakka
kemudian mengeluarkan secarik kertas dari dalam saku celananya dan
menyerahkannya pada Oik, “nih, nanti kamu sms ke aku yah jadwalnya lagi soalnya
aku belum catat,” kata Cakka.
“Oke masbro,
aku masuk dulu yah, kamu juga pulang tapi jangan berisik, takut bunda bangun,”
“Tunggu Ik,”
cegat Cakka memegang tangan kiri Oik sebelum Oik berhasil memutar gagang
pintunya.
Deg.
Ya Tuhan sentuhan ini lagi.
Oik merasa
saat Cakka menyentuh tangannya. Aliran darahnya mengalir lebih cepat dari
biasanya. Hawa dingin yang tadi terasa mulai mereda. Terasa terjadi pembakaran
di dalam tubuhnya. Seiring itu pacuan jantungnya lebih cepat dari biasanya.
Wangi parfum Cakka yang khas sudah sedari tadi menari-nari di hidungnya. Entah
kenapa, malam ini perlakuan Cakka kepadanya beda dari biasanya. Oik menatap
Cakka yang sedang menatapnya. Mata sayunya menyiratkan sesuatu yang tidak bisa
dibaca Oik. Tatapan teduhnya itu menghangatkan malam itu. Keduanya sama-sama
terhipnotis saling tatap. Angin malam yang membelai kulit mereka berdua tak
memberi efek apa-apa pada mereka. Untuk beberapa saat mereka bergeming.
Oik mulai
merasa pipinya hangat. Bertatapan dengan Cakka seperti ini kenapa bisa
membuatnya malu setengah mati? Dia ingin memalingkan wajahnya agar Cakka tak
melihat perubahan raut wajahnya. Tapi, dia tak mau meninggalkan mata sayu nan
teduh milik Cakka.
Kejadiannya
begitu cepat. Sebelum Oik sadar ada sesuatu yang empuk dan basah mendarat di
bibirnya. Sebuah kecupan di bibirnya. Cakka menjauhkan kepalanya setelah
melakukan hal itu. Tapi matanya masih menatap Oik. Melihat reaksi yang akan
dilakukan Oik setelah dia mengecupnya di bibir. Tapi, Oik terdiam dia tidak
melakukan respon apapun. Dia hanya membalas dengan tatapan paling innocent sedunia. Cakka tersenyum kecil
melihatnya. Diraihnya tubuh Oik mendekat ke arahnya. Kemudian menenggelamkan
gadis itu ke dalam pelukannya. Dikecupnya ubun-ubun kepalanya. Oik masih tetap
bergeming. Tak beberapa lama kemudian dia membalas dengan melingkarkan
tangannya pada pinggang Cakka.
Dentuman
arloji Oik bahkan seakan tak terdengar di telinga mereka masing-masing. Mereka
terlalu larut di dalam pelukan hangat itu. Cukup lama mereka berpelukan sebelum
Cakka melepaskannya.
“Ehem, aku…
aku pulang dulu yah Ik,” kata Cakka lalu melangkan agak menjauh dari Oik
sebelum dia berbalik…
“Cakka,”
panggil Oik.
“Ya?,” Cakka
mengernyit.
“Eh… itu, hm
cuma mau bilang…ee… hati-hati di jalan yah,” kata Oik.
Cakka
tersenyum, “iya, makasih yah Ik, aku pulang dulu, salam buat bunda kamu, nite.”
Bukannya
pergi, Cakka malah mendekat ke arah Oik. Oik heran, dahinya berkerut. Kenapa
Cakka tidak pergi malah berbalik ke arahnya? Setelah tiba di depan Oik, Cakka
mengecup pipinya setelah itu meletakan pipinya di depan bibir Oik, sebelum
bibir Oik menempel di pipi Cakka.
“Daaa,”
ucapnya sambil melangkah pergi.
Dengan cepat
Oik berbalik dan segera membuka pintu rumahnya. Masuk ke dalam dan dengan
langkah cepat menuju kamarnya. Dihempaskannya tubuhnya di atas spring bed miliknya. Pikirannya kini
kacau. Apa yang dia dan Cakka lakukan tadi?
Apa ini dinamakan persahabatan?
***
Ashilla mybest
calling…
Oik menatap
layar ponselnya yang sedang berdering. Dia segera memencet tombol hijau pada
layar ponselnya dan segera berbicara dengan Shilla yang berada di seberang
sana.
“Hallo, ada
apa Shill?”
“Hallo, Oik aku dan Cakka lagi on the way ke rumahmu
nih,”
“Hah? Buat
apa?,”
“Gini, kan lusa UN, jadi sebelum UN kita jalan dulu
lah, refreshing gitu jangan stress buat mikirin UN,”
“Ck,
bukannya belajar malah jalan, aku nggak ganggu acara kamu dengan Cakka nih?,”
“Hahaha… nggak kok, kamu kan sahabat aku dan Cakka,
jadinya kita jalan bertiga nggak apa-apa dong, ayo buruan gih ganti baju kalau
belum,”
“Iya deh
iya,”
“Buru yah, kita udah dekat rumah kamu,”
“Oke,”
“Sip deh,”
Oik
mengakhiri percakapannya. Dengan malas dia turun dari tempat tidurnya. Sedari
tadi dia hanya berbaring di spring bed-nya
sambil membaca buku-buku pelajaran. Dia segera membuka lemarinya mengambil
beberapa potong pakaian lalu mengganti pakaiannya.
Tepat
setelah Oik berganti pakaian bell rumahnya
berbunyi. Dengan gontai dia membuang langkahnya keluar. Di ruang tamu Cakka dan
Shilla telah duduk. Bundanya berdiri tak jauh dari situ. Tadi bundanya yang
membukakan pintu untuk Cakka dan Shilla masuk.
“Bun, Oik
izin ya mau pergi sama Cakka dan Shilla,” kata Oik.
“Mau kemana
sayang? Bukannya hari senin UN kamu nggak belajar?,”
“Gini tante,
kita malah mau pergi ke rumah guru untuk belajar,” sambung Shilla.
“Oh… ya
sudah pergi saja, tapi pulangnya jangan malam-malam yah,”
“Iya Bunda,”
jawab Oik.
“Ya udah
tan, Shilla, Oik dan Cakka pamit pergi dulu yah,” kata Shilla.
Oik mencium
tangan bundanya sebelum pergi dengan Cakka dan Shilla. Mobil mereka menuju ke
sebuah tempat karaoke. Setelah memesan tempat mereka masuk ke dalamnya dan
mulai berkaraoke. Mereka menyanyikan lagu-lagu favorit mereka masing-masing.
Kadang solo, kadang duet, kadang juga trio. Kebetulan ketiganya hobi bernyanyi,
sehingga mereka enjoy di dalam ruang
karaoke itu.
“Kka, Ik…
Aku ke toilet ya bentar, kalian nyanyi dulu tiba-tiba perutku mules nih,”
“Oh, Oke
Shill jangan lama-lama yah,” kata Oik.
Shilla pun
keluar meninggalkan Cakka dan Oik berdua di dalam ruangan itu.
“Ik, mau
nyanyi lagu apa?,”
“Terserah
deh,”
“Masa
terserah sih? Mana ada lagu terserah,”
“Ada kok…
terserah kali ini sungguh aku takkan peduli, aku tak sanggup lagi mulai kini
semua terseraaaaaahh,”
“Oh jadi
sekarang main terserah-terserahan yah? Oke,” kata Cakka sambil melihat-lihat
lagu yang pada komputer kecil yang ada di depannya, “hm ini aja, kita duet ya,”
kata Cakka sambil menyerahkan mic ke tangan Oik. Oik mengambilnya, kemudian
matanya tertuju pada layar LCD yang ada di hadapan mereka.
Seluruh nafas ini.
Musik pun di
mulai dan mereka mulai menyanyikan lagu tersebut. Saat part berdua terjadi kontak mata antara keduanya. Mata sayu nan
teduh milik Cakka bertemu dengan mata bening milik Oik. Flashback malam itu tiba-tiba secara otomatis terputar di dalam
benak Oik. Oik segera memalingkan pandangannya ke layar LCD agar dia dapat
menjauhi tatapan Cakka itu. Tatapan itu membuatnya merasa sesuatu yang berbeda
dari dalam sana. Oik berusaha fokus pada nyanyiannya agar dia tidak teringat
lagi kejadian itu sampai lagunya selesai.
“Suara kamu
bagus,” puji Cakka.
“Tak usah
berlebihan begitu Cakka,” kata Oik.
“Aku tidak
berlebihan tapi benar-benar bagus,”
“Shilla
kenapa lama yah?,” Oik mengalihkan pembicaraan.
Cakka hanya
mengangkat kedua pundaknya. Dia mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya. Entah
apa yang dilakukannya. Hanya sebentar saja sebelum akhirnya dia memasukkannya
kembali.
“Oik,”
panggil Cakka.
“Hm,” gumam
Oik tanpa menoleh sedikitpun. Matanya tertuju pada layar LCD yang sedang
menampilkan promo-promo tempat karaoke tersebut.
“Lihat
kemari dong,”
“Ih Cakka,
aku lagi seru nonton promo tempat karaoke ini,” kata Oik ceplas-ceplos. Tak
mungkin dia mengatakan aku tak mau melihat matamu.
“Hah?,”
Cakka kaget dengan jawaban Oik yang sungguh tidak masuk akal. Dia segera memegang
dagu Oik dan memutar kepala Oik menghadapnya, “memang apanya yang menarik dari
promo itu dibandingkan aku?,” tanya Cakka.
Oik bingung
mau menjawab apa. Karena dibandingkan promo itu tentu saja lebih menarik Cakka.
Itu kan hanya alibinya untuk tidak bertatapan dengan Cakka. Kalau begini
caranya mau tidak mau Oik harus bertatapan dengan Cakka.
Cakka masih
memegang dagu Oik. Menatap Oik yang terlihat begitu polos di hadapannya. Ah,
gadis ini harus bertanggung jawab. Tidak tahukah dia? Gara-gara dia perasaannya
pada Shilla mulai memudar? Dan dia harus menganalisis perasaannya yang
sebenarnya?
“Cakka…
jangan menatapku seperti itu,” kata Oik.
“Kenapa?,”
“Ya… hm,
tidak apa-apa sih sebenarnya… hanya jangan saja,”
Cakka malah
tersenyum. Dan mendekatkan wajahnya semakin dekat pada wajah Oik. Mata Oik
membesar serta mengerutkan keningnya. Napasnya tertahan. Apa yang akan
dilakukan Cakka? Oh God, jangan itu lagi…
mohon Oik dalam hatinya.
Terlambat.
Bibir Cakka telah mendarat di atas bibirnya. Ciuman yang manis. Oik yang
awalnya kaget dan tidak membalas mulai menikmatinya. Matanya terpejam kala
Cakka memulai lumatan-lumatan lembut di bibirnya. Lidahnya berusaha menerobos
tapi tetap dengan lembut. Sehingga Oik terbuai dan mulai membalas ciuman Cakka.
Semua yang dilakukan Cakka lembut tapi mendamba.
Keduanya
melewati detik demi detik itu dengan pengalaman yang berbeda sebelum…
“KALIAN!,”
teriakan Shilla mengakhiri segalanya.
***
Oik
mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Acara promnite kelulusan sekolahnya itu tampak begitu sangat ramai. Lalu
lalang manusia dengan pakaian terbaiknya seperti parade fashion show di hadapan Oik. Jam sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB.
Oik menghela napasnya lalu meneguk minuman yang ada di tangannya. Dari jauh,
dia melihat Shilla sedang bersama Sivia dan Ify. Semenjak kejadian itu, Shilla
jadi menjauh darinya. Dia jadi dekat denga Sivia dan Ify. Dan gara-gara
kejadian itu, Cakka dan Shilla putus. Oik jadi tidak enak pada mereka. Maka
dari itu, Oik juga memutuskan menjauh dari mereka.
Oik
meletakan minumannya di atas meja. Lalu menyampirkan tasnya di bahunya. Dia
hendak keluar dari situ. Dia sangat tidak nyaman berada di situ. Dilangkahkan
kakinya keluar dari ruangan tersebut. Dia mengambil langkah menjauhi café
tempat dilaksanakannya promnite sekolahnya.
Sekarang dia bingung mau pulang dengan apa? Apa masih ada taksi jam segini?
M3 berhenti di hadapannya. Kaca mobil di turunkan. Seorang lelaki dari dalam mobil
memanggilnya.
“Oik,”
“Cakka,”
Napas Oik
tercekat. Kenapa lelaki ini bisa muncul di hadapannya lagi?
“Mau pulang?
Aku antar,” kata Cakka sambil membuka pintu mobilnya dan keluar mendekati Oik.
“Aku pulang
sendiri saja,”
“Ayolah Oik…
jangan menjauhiku, jam begini taksi sudah jarang lebih aman kalau aku yang
mengantarmu… tak baik kalau seorang gadis berjalan sendiri malam-malam begini,”
kata Cakka.
Oik sudah
tidak tahu berkata apalagi. Gerimis mulai menyapa mereka. Titik-titik air itu
sudah menyentuh kulit keduanya.
“Tuh, sudah
mau hujan juga, ayo…,” kata Cakka sambil berjalan membukakan pintu untuk Oik.
Dengan terpaksa
Oik masuk ke dalam mobil Cakka. M3 itu melaju menuju rumah Oik. Tiba di rumah
Oik. Cakka dan Oik keluar dari mobil. Cakka mengantarkan Oik menuju pintu
rumahnya.
“Hm… kamu
tidak mau masuk dulu?,” tawar Oik.
“Boleh deh,”
kata Cakka.
Oik membuka
pintu rumahnya. Mereka masuk ke dalam rumah Oik yang tampaknya sepi. Cakka
duduk di sofa ruang tamu. Sementara Oik membuka higheels yang sedari tadi dikenakannya. Lalu ikut duduk di sofa.
“Ik… bunda
kamu mana? Kok kayaknya sepi,”
“Bunda lagi
pulang kampung ke Salatiga, baliknya lusa,”
“Oh… jadi
kamu sendiri?,”
“Iya,”
“Oh ya Ik,
ayah kamu mana sih? Perasaan dari pertama kali aku datang ke rumah ini sampai
sekarang aku tidak pernah melihat ayahmu,”
Raut wajah
Oik tiba-tiba berubah drastis, senyum sinis membusur di bibirnya, “aku tidak
punya ayah, aku tidak kenal sosok ayahku, dia lelaki yang paling tidak
bertanggung jawab di dunia, bagiku bundaku itu juga ayahku, aku bahkan tak mau
tahu siapa ayahku,”
Cakka sudah
tidak meneruskan pembicaraan itu lagi. Dia melihat ada kebencian di mata Oik
terhadap ayahnya itu. Siapa sih pria yang menelantarkan Oik dan bundanya?
Keheningan
antara keduanya tercipta. Sebelum Oik memulai pembicaraan yang baru.
“Kka, kamu
mau lanjut kuliah dimana?,”
Cakka
menarik napasnya, “Yogyakarta, kamu sendiri?,”
“Di Jakarta
saja, jadi kamu mau berangkat ke Yogyakarta,”
“Iya… besok,
makanya aku tidak ikut promnite
tadi,”
“Oh…,”
Hening
kembali. Keduanya bingung mau memulai percakapan darimana lagi. Cakka menarik
napasnya. Sepertinya ini saat yang tepat walau terlambat untuk mengatakan yang
sebenarnya pada Oik.
“Oik,”
“Hm,”
“Lihat aku
dong,”
“Aku tak mau
kejadian waktu itu terulang lagi kalau aku menatapmu,” Oik tetap tak mau
memalingkan pandangannya menatap Cakka. Tatapannya lurus.
“Tapi ini
kan situasinya beda, oke… aku tahu aku waktu itu salah, aku masih pacaran
dengan Shilla dan melakukan hal itu padamu, tapi sekarang kan aku sudah tidak
dengan Shilla,”
“Oh… jadi
begitu,” Oik tersenyum sinis.
“Lagi pula
kamu menikmatinya,”
Oik terdiam
mendengar kata-kata Cakka barusan. Pipinya memanas mengingat kejadian itu lagi.
Ah! Tapi Cakka gila mengatakan seperti itu padanya.
“Kamu marah
yah Ik? Maaf… tapi… hm, aku… aku sayang sama kamu Ik… aku cinta sama kamu lebih
dari sekedar sahabat… dan aku mulai menyadarinya saat malam sebelum aku
membawamu keluar dengan piyama… aku sadar Ik, yang aku cinta kamu bukan Shilla.
Kamu yang ada saat aku lagi butuh seseorang yang bisa menguatkanku, kamu yang
selalu menemaniku, kamu yang selalu dengar curhatan aku, semuanya kamu bukan
Shilla Ik,”
“Tapi aku
melakukannya karena Shilla Kka… Shilla yang menyuruhku, jadi Shilla yang
sebenarnya peduli sama kamu bukan aku Kka!, kalau bukan Shilla aku tidak akan
peduli denganmu, aku tidak setulus yang kamu kira Kka,”
Cakka
memegang kedua lengan Oik lalu memutar Oik ke arahnya, “tatap mata aku kalau
kamu benar-benar tidak peduli kepadaku, mata tak bisa berbohong!,”
Oik menatap
mata Cakka. Ah! Mata sayunya itu membuat Oik tak bisa berkata-kata lagi. Ah…
tatapannya itu. Tak terasa bulir airmata mengalir di pipinya. Tiba-tiba Oik
terisak. Perasaan aneh merasuk ke dalam dirinya. Terasa sesak. Cakka segera
menenggelamkan Oik ke dalam pelukannya. Dibelainya rambut Oik. Berusaha
menenangkan gadis yang terisak di pelukannya itu.
“Aku… aku
juga sayang kamu Kka… aku juga cinta kamu… tapi, aku… sadar, kamu bukan
milikku, kamu milik Shilla sahabatku… aku tidak mungkin merusak hubungan
kalian… you aren’t mine, you’re hers...
we just friends,” kata Oik sambil
terisak di dalam pelukan Cakka.
Cakka
melepas pelukannya dan menghapus bulir airmata di pelupuk mata Oik dan juga
pipinya, “tapi sekarang aku sudah tidak dengan Shilla, dan aku mencintaimu
sepenuh hatiku Oik,”
Oik terdiam.
Perasaan dalam hatinya meluap-luap. Entah apa yang harus dikatakannya. Sebelum
pikirannya benar-benar jernih Cakka mendaratkan kecupan di dahinya, di pipinya,
di sudut bibirnya. Sebelum akhirnya melumat bibir Oik. Keduanya terbuai
indahnya malam itu.
Dan entah
siapa yang menuntun siapa, tahu-tahunya Cakka sudah membopong Oik menuju salah satu
kamar di rumahnya Oik. Keduanya membunuh malam itu, berdua. Di situ.
Satu hal
yang Oik ingat saat terbangun di pagi hari adalah kelembutan Cakka. Lelaki yang
kini terbaring di sampingnya dan tertidur pulas. Sesaat dia panik, dia tahu apa
yang dilakukan mereka tadi malam. Sebuah kesalahan. Tubuh Oik masih tertutup
selimut. Oik menyentuh Cakka hendak membangunkannya.
“Kka…
bangun… bukannya hari ini kamu berangkat ke Yogyakarta,”
Cakka
menggeliat dan mendesah. Di lihatnya jam dinding sudah menunjukan pukul 07.12
WIB. Cakka menatap Oik yang ada di sampingnya. Dia langsung menyadari kesalahan
yang diperbuatnya pada Oik. Dia menatap Oik, ingin melihat apakah ada
penyesalan di sana? Tapi, tatapan gadis itu benar-benar tanpa penyesalan. Gadis
ini benar-benar tulus menyerahkan yang berharga dalam dirinya untuk Cakka.
Cakka
menyingkap selimutnya, dirinya hanya mengenakan boxer. Melihat Cakka seperti
itu membuatnya membayangkan hal gila yang mereka lakukan tadi malam hupfh.
Untungnya, Cakka cepat-cepat memakai pakaiannya kembali. Setelah selesai, dia
pergi ke tepi tempat tidur Oik.
“Aku pergi
dulu, baik-baik ya di sini… sampai ketemu lagi…,” Cakka menatap Oik
dalam-dalam, “dan… maaf,” itu kata terakhir yang terucap dari mulut Cakka
sebelum mengecup kening Oik dan kemudian meninggalkan Oik di kamar itu.
Ah… kesalahan ini… tak akan terlupa…
***
Cakka
membuka pintu sebuah apartemen, dia menyeret koper masuk ke dalamnya. Diikuti
Oik dan Acha yang mengekor di belakangnya.
“Selama di
Yogyakarta, kalian tinggal di sini dulu yah, ini apartemenku dulu, tapi karena
aku sudah pindah ke rumahku yang baru jadi apartemen ini tidak di gunakan, aku
pikir dari pada kalian tinggal di hotel mending di sini, oh ya aku juga sudah
mengutus dua orang pembantu dari rumahku untuk memenuhi segala kebutuhan kalian
selama di sini,” kata Cakka.
Kemudian,
datang 2 orang pembantu yang keduanya perempuan di hadapan Cakka, Oik dan Acha,
“nah kenalkan ini pembantu kalian selama di sini, ada Mbok Atun dan Mpok Depi,”
kedua pembantu itu menunduk tanda hormat.
“Oh, yaudah
mana kamar gue, udah capek nih gue, mau istirahat dulu,” kata Acha.
“Mbok Atun
antar Acha ke kamarnya,” kata Cakka.
“Ayo non,”
Acha pun di
antar Mbok Atun ke kamarnya. Bersama Mpok Depi yang kembali lagi ke belakang.
Tersisa Cakka dan Oik di situ.
“Makasih ya
Cakka, maaf sudah merepotkan,” kata Oik.
“Never mind, oh ya Ik, ini sudah jam dua,
kita punya janji loh sama Pak Sudarma untuk menyelesaikan proyek kita jam
setengah tiga, kita harus berangkat sekarang, kamu mau ganti baju dulu apa langsung
berangkat?,” tanya Cakka.
“Langsung
berangkat aja yuk, takutnya telat nanti proyeknya batal lagi,” kata Oik.
“Oh, ya
sudah ayo,”
Cakka
menggandeng tangan Oik keluar dari pintu apartemennya menuju mobil Oik.
Deg, sentuhan itu lagi…
***
Tujuan Oik
datang ke Yogyakarta adalah mengadakan kerja sama antara perusahaan tempat Oik
bekerja dengan perusahaan milik Cakka. Oik sebagai sekertaris diutus mewakili
pemilik perusahaan yang berhalangan hadir karena ada urusan di luar negeri. Dari
situlah Cakka dan Oik kembali berhubungan. Awalnya Oik tidak tahu bahwa
pimpinan perusahaan yang ada di Yogyakarta adalah Cakka. Namun, setelah Oik
menghubunginya barulah dia tahu bahwa kini dia berhubungan dengan seseorang
yang sangat penting di masa lalunya. Seseorang yang 18 tahun lalu menjadi
bagian dalam hidupnya. Oik akan berada di Yogyakarta selama 1 bulan. Setelah
itu dia akan kembali ke Yogyakarta. Dan selama di Yogyakarta dia akan intens
berhubungan dengan Cakka tentang pekerjaan mereka. Oik akan sering berada di kantor
Cakka karena pekerjaan ini.
Seperti saat
ini, mereka sedang berada di ruang tamu apartemen dan sibuk dengan laptop
mereka masing-masing. Sejumlah berkas menumpuk di atas meja yang terlihat
semrautan. Tiba-tiba pintu apartemen di buka. Acha muncul dari baliknya, gadis
itu terlihat acak-acakan. Oik kaget melihat kondisi Acha seperti itu.
Seharusnya Oik sudah biasa mendapati Acha dengan keadaan seperti itu. Karena
dari Jakarta pergaulan Acha sudah bebas seperti itu. Tapi, Acha kan orang baru
di Yogyakarta tapi sudah pulang dengan keadaan seperti itu.
Oik
meninggalkan laptopnya, mendekati Acha. Bau alkohol tercium saat Oik berada di
dekat Acha. Bau rokok juga bercampur di antara bau alkohol.
“Acha,
darimana kamu?,” tanya Oik.
“Lo nggak
usah ikut campur dalam kehidupan gue deh,”
Oik menahan
napas sakit hati saat kata-kata itu meluncur dari mulutnya Acha, “tapi Acha,
kamu datang kemari bersamaku, kebiasaan buruk di Jakarta jangan kamu bawa di
sini,” kata Oik berusaha sabar terhadap kelakuan Acha.
“Udah… lo nggak
akan pernah tahu rasanya jadi gue, lo nggak pernah tahu kan gimana kehidupan
gue di dunia ini… karena lo nggak akan bisa pernah ngerasain jadi gue,”
Oik hendak
memeluk Acha, tapi Acha malah menghindar. “jangan peluk-peluk gue,”
Oik menghela
napasnya, Acha sungguh keterlaluan padanya, “Acha sayang, kalau aku salah aku
minta maaf, tapi kamu boleh nggak sekali-kali mendengarkan perkataanku, walau
bagaimanapun aku ini—,”
“Udah lah
gue tahu lo siapanya gue... Gue tahu banget... Udah! Gue capek gue mau tidur,”
Acha segera mengambil langkah menjauh dari Oik menuju kamarnya dan membanting
pintu keras-keras.
Oik kembali
ke depan laptopnya, dia menghela napasnya.
“Maaf ya
Kka, Acha memang seperti itu, aku sudah berusaha mendidiknya tapi dia selalu
tak mau mendengarkan kata-kataku,”
“Seharusnya
Acha tidak seperti itu, apalagi kamu kan ini kakaknya, sebenarnya dia ada
masalah apa sih?, sepertinya dia frustasi berat,”
Oik menghela
napasnya dan mengangkat kedua bahunya, ”entahlah dia tak mau cerita,”
“Oh ya, maaf
ya kalau ikut campur, Acha itu adik tiri kamu kan? Bukannya kamu dulu—,” belum
sempat Cakka melanjutkan kata-katanya Oik memotong.
“Iya...
Acha... Acha... Adik tiriku,” jawab Oik.
Cakka
mengangguk-angguk, ”aku ingin deh berteman dengan Acha, aku mau buat dia berubah,
boleh tidak Ik? Hm, besok kamu bawa Acha ke rumahku, mumpung besok weekend dan aku tidak ada kerjaan, jadi
pengin sharing bareng Acha, siapa
tahu dia mau terbuka padaku,”
Oik terdiam
kaget dengan penawaran Cakka, ekspresi Oik tiba-tiba berubah. Dia menghentikan
aktivitasnya dengan laptop yang ada di hadapannya.
“Gimana?
Boleh ya Ik?,”
“Percuma
Cakka sama aku saja dia tak mau terbuka, apalagi sama kamu, dan nanti Acha akan
merepotkan kamu, kamu belum tahu dia yang sebenarnya Kka,”
“Aku tahu,
sebenarnya dia anak yang baik, hanya saja ada sesuatu yang membuatnya seperti
itu, boleh ya Ik?,”
“Aku tanya
Acha dulu,”
“Oke, aku
tunggu besok di rumah,”
Mereka
kembali sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Terkadang terjadi
percakapan kecil tentang pekerjaan mereka. Beberapa menit kemudian mereka
menyudahi aktivitas mereka karena sudah larut malam. Cakka harus kembali ke
rumahnya untuk istirahat.
“Oik,”
Panggil Cakka.
“Ya?,” Oik
menjawab tapi masih sibuk merapikan berkasnya. Dia sengaja menghindari kontak mata
dengan Cakka.
“Kenapa
sampai sekarang kamu belum menikah?,” tanya Cakka tiba-tiba membuat aktivitas
yang Oik dari tadi kerjakan terhenti.
“Kamu
sendiri kenapa belum nikah?,” Oik balik bertanya.
“Ya, aku kan
tanya sama kamu duluan, kenapa balik nanya,”
“Karena aku
belum menemukan seseorang yang tepat untuk menikah denganku,”
“Oh ya,
memangnya kamu belum punya pacar ya?,”
“Sepertinya
itu di luar pekerjaan kita,”
“Iya sih,
tapi aku pengin tahu aja, kalau tak boleh juga tak apa,”
“Shilla apa
kabar?,” Oik mengalihkan pembicaraan.
“Shilla? Dia
baik sepertinya, dia kan sudah menikah Ik, memangnya kamu tak tahu?,”
“Tidak, aku
tak tahu dia tak mengundangku,”
“Masa?,”
Oik
mengangguk, “mungkin dia masih marah padaku,”
“Jangan
berpikiran negatif Ik, kamu dan dia kan udah lama tidak saling kontak,”
Cakka
berdiri dari tempat duduknya. Oik ikut berdiri juga. Cakka melihat arlojinya
sudah menunjukan pukul 11.06 WIB, “sudah larut, aku harus pulang, sampai ketemu
besok ya Ik, selamat malam,” kata Cakka sebelum melangkah keluar dari
apartemen.
***
“Lo mau bawa
gue kemana sih?,” tanya Acha saat di dalam mobil bersama Oik.
“Ke rumahnya
Cakka,”
“Gue harus
ikut gitu? Kan lo sama Cakka yang ada urusan, kenapa bawa-bawa gue ke sana
juga?,”
Oik menghela
napasnya kentara, ”Cakka pengin ketemu sama kamu,”
“Gue?! Nggak
salah gitu dia?,”
Oik tidak
menjawab, dia fokus terhadap jalan yang ada di hadapannya.
“Lo sama
Cakka kalau gue lihat ya, kayak ada sesuatu gitu,”
“Yah, kita
kan partner kerja,”
“Bukan yang
itu, kayak ada apa-apanya deh,”
“Sudah ya
Cha, jangan berisik aku lagi nyetir,”
“Ck,” keluh
Acha, lalu dia mengambil novel yang ada di pangkuannya dan melanjutkan membaca.
Membiarkan Oik fokus pada kemudinya.
Mereka tiba
di sebuah rumah megah bertype klasik. Cat rumahnya berwarna broken white. Mobil mereka masuk ke
dalam halaman yang di buka oleh seorang security.
Berhenti tepat di depan teras rumah. Oik dan Acha turun dari dalam mobil dan
menuju pintu rumah. Oik memencet bell rumah.
Pintu berderit sebelum muncul wanita paruh baya dari balik pintu.
“Permisi,
Cakka ada?,” tanya Oik.
“Oh Tuan
Cakka lagi di taman belakang, mau saya panggilkan?,”
“Hm, gini
aja Bi, gimana kalau bibi tunjukan jalan aja, biar kami yang ke sana,” kata
Oik.
“Oh ya, mari
ikut saya,”
Pembantu
Cakka menuntun Oik dan Acha menuju taman belakang rumah Cakka.
“Di sana,
mungkin Tuan Cakka lagi nyiram tanaman peliharaannya,” kata Pembantu Cakka.
“Oke, biar
saya saja yang ke sana, makasih ya Bi,”
“Oke
sama-sama, saya permisi dulu,”
Oik dan Acha
berjalan melewati taman belakang Cakka. Taman ini terlihat rapi dan bersih.
Banyak bunga-bunga dan tanaman lain yang memperindahnya.
Langkah Oik
tiba-tiba tehenti. Napasnya tercekat. Pasokan oksigen ke tubuhnya seakan
berkurang. Saat melihat seorang lelaki yang hanya mengenakan boxer dan sedang
asyik menyiram tanaman. Lama Oik terdiam. Acha jadi bingung melihat Oik. Cakka
yang baru sadar kalau di belakangnya sedang ada orang segera berbalik. Saat
Cakka berbalik kaki Oik terasa bergetar, dia seakan tak mampu menahan beban
tubuhnya.
Ah! Memory itu lagi...
“Oik,
Acha... Sudah datang, eh maaf ya, ini kebiasaan aku tiap weekend jadi maaf ya kalau kalian datang malah disambut sama
pemandangan yang tidak mengenakan seperti ini, aku...ganti baju dulu yah,
kalian silakan tunggu di ruang tamu,” kata Cakka mematikan keran air yang
mengalir. Lalu berjalan masuk ke dalam diikuti Acha dan Oik.
Tak beberapa
lama kemudian Cakka kembali dengan mengenakan kaos oblong dan celana gombrang.
Cakka terlihat sangat beda dari pertama kali Oik bertemu dengannya di bandara.
“Hm, Kka,
aku... Cuma mau bawa Acha kemari, aku harus pergi ada yang harus ku kerjakan,”
kata Oik kemudian berdiri.
“Lo biarin
gue sama dia?,” kata Acha ogah-ogahan.
Oik
mendekati Acha lalu mengelus rambutnya, “dia nggak akan macam-macam sama kamu
kok, dia mau berteman denganmu,” kata Oik matanya sedikit berkaca-kaca.
“Trus
ngapain lo mau nangis gitu? Kayak gue mau di jual,” kata Acha.
“Nggak!
Jangan pernah berkata seperti itu Acha,” kata Oik.
“Tapi, lo
nggak jawab pertanyaan gue!,”
“Sudahlah,
aku harus pergi sekarang, kamu baik-baik sama Cakka, dia nggak bakal
ngapa-ngapain kamu, dia cuma pengin temanan sama kamu, Kka, aku titip Acha ya,
kalau ada apa-apa kamu telepon aku,” kata Oik.
“Oke,” kata
Cakka.
Oik
melangkah pergi meninggalkan Acha dan Cakka di situ. Acha masih berdiri menatap
kepergian Oik.
“Duduk,”
suruh Cakka.
Acha
memalingkan pandangannya pada Cakka yang sedang duduk sambil membaca sebuah
koran.
“Apa maksud
lo manggil gue kemari?,” selidik Acha.
“Kan Oik
sudah bilang kan aku pengin temanan sama kamu,” kata Cakka.
“Lo sadar
nggak umur lo udah 35 tahun, lo mau temanan sama gue yang masih 17 tahun
gitu?,”
“Yap,
emangnya nggak boleh? Berteman kan bebas sama siapa siapa saja nggak mandang
usia,”
“Ya tapi
aneh aja lo mau temanan sama gue, emang nggak ada gitu orang seumuran lo yang
mau temanan sama lo,”
“Aku punya
banyak teman dari berbagai usia kan nggak apa-apa kalau nambah kamu,”
“Ck, lo
aneh,”
“Nggak kok,”
kata Cakka sambil meletakan koran yang sedari tadi dibacanya.
Dia menatap
Acha yang menatapnya dengan tatapan yang aneh.
“Kamu tahu
masak?,”
“Nggak!
Nyentuh dapur aja gue ogah,”
“Perempuan
itu harus tahu masak, yuk,” Cakka memegang tangan Acha hendak menariknya.
“Tunggu...tunggu,
kita mau kemana?,” tanya Acha.
“Masak,”
kata Cakka lalu menariknya menuju dapur.
Tiba di
dapur Cakka segera menuju kulkas mengambil bahan-bahan yang diperlukan untuk
memasak. Acha cuma menatapnya sambil mengerutkan keningnya. Cakka menyerahkan
celemek ke tangan Acha. Cakka juga mengenakan celemeknya. Acha tidak tahu cara
mengenakan celemek akhirnya Cakka membantunya.
“Oke Acha,
kita mulai masaknya, untuk kita makan siang ini,”
“Ih lo itu
keras kepala ya, gue bilang gue nggak tahu masak,”
“Kan sudahku
bilang akan aku ajarkan,”
“Ck,”
Mereka pun
memulai acara masak mereka. Cakka mengajarkan Acha cara pegang pisau, cara
memotong, cara menyalakan kompor dan lain sebagainya. Awalnya Acha masih kaku,
tapi lama kelamaan dia bisa juga.
Begitu pun
dengan menggoreng. Acha kadang takut kena minyak panas. Jadi terkadang berteriak-teriak
karena takut terpancar minyak panas. Cakka hanya tertawa melihat kelakuan gadis
itu.
Kesal karena
Cakka menertawakannya, Acha mengambil tepung terigu dan mengoleskannya di pipi
Cakka. Cakka ikut membalasnya, terjadi perang tepung terigu antara Acha dan
Cakka. Dan membuat mereka mandi tepung.
“Udah...udah
kapan selesainya kalau kita main-main begini,” kata Cakka.
“Makanya lo
jangan tertawain gue,”
“Iya deh
iya,”
Merekapun
melanjutkan acara masak mereka. Beberapa jam mereka memasak akhirnya makanan
yang mereka masak pun selesai. Pembantu Cakka membantu mereka meletakan masakan
di atas meja makan.
Cakka dan
Acha kemudian duduk di sofa ruang tamu lagi setelah selesai memasak.
“Huh! Capek
juga, seru juga yah ternyata masak,”
“Iya, nggak
rugi kan aku mengajarkanmu masak,”
“Iya,”
“Jadi
sekarang aku sudah bisa jadi temanmu kan?,”
“Ya,
bolehlah kayaknya nggak buruk juga temanan sama lo,”
“Sip, kan
sekarang kamu temanan sama aku, jadi aku mau tanya yah, kenapa kamu begitu sama
Oik?,”
“Gue kayak
gimana?,” Acha mengernyit menatap Cakka.
“Kayak tadi
malam, sepertinya kamu tidak mau mendengarkan Oik dan kata Oik kamu tiap hari
berkelakuan kayak tadi malam?,”
“Oh...itu,
udah lah biarpun gue cerita, lo tetap nggak bakalan ngerti tentang gue,”
“Memangnya
kamu kenapa?,”
“Lo nggak
kan pernah ngerti gimana jadinya anak yang dihina sejak kecil,”
“Dihina
bagaimana?,”
“Udah lah
itu bikin sakit hati kalau gue ingat-ingat, yaudahlah lo masih tetap mau kan
jadi teman gue? Jadi jangan tanya-tanya lagi!,”
“Oke, ya
sudah, ayo kita makan dulu sudah saatnya makan siang,” kata Cakka.
Mereka pun
menuju meja makan dan menikmati makanan yang mereka buat bersama.
***
To: Acha
Acha sayang, kamu dimana?
From: Acha
Gue lagi jln sama Cakka.
To: Acha
Oke, hati-hati ya di jln.
Jgn nakal.
From: Acha
Gue udh bkn anak kcl!
Lo nggak ush pringatin gue!
Gue tahu!
Oik menghela
napasnya melihat balasan SMS Acha itu. Dia tak habis pikir kenapa Acha jadi
anak seperti itu. Padahal dalam keluarganya tidak pernah diajarkan membangkang.
Belakangan
ini, Acha jadi sering jalan dengan Cakka. Sudah 3 minggu mereka di sini dan
hampir setiap Cakka punya jam kosong pasti dia jalan dengan Acha. Begitupun
hari ini, ada perasaan cemas dalam hati Oik. Dia sangat cemas tentang Acha dan
Cakka. Dan Acha memang semenjak kembali dari rumah Cakka waktu itu. Sudah
jarang keluar malam dan mabuk-mabukan. Bahkan dia juga sudah jarang merokok.
Acha berubah sejak saat itu. Entah apa yang Cakka lakukan padanya. Padahal
sudah sejak lama Oik ingin merubah kebiasaan buruk Acha itu tapi tak bisa.
Kenapa untuk Cakka terlihat mudah? Oik menghela napasnya terasa berat, seperti
ada sesuatu yang sesak.
Tok...tok...tok ketukan pintu. Oik segera membuka pintu apartemennya.
Cakka dan Acha berdiri di luar.
“Cakka suruh
gue ngajak lo di jalan-jalan kita hari ini,” kata Acha.
Oik
mengernyit.
“Udah lo
nggak usah bingung, ayo...,” Acha menarik tangan Oik menyeretnya keluar.
Mereka
bertiga menuju mobil Cakka. Acha duduk di samping Cakka sedangkan Oik di
belakang. CR-V Cakka melaju menuju sebuah pasar malam. Mereka bertiga turun di
situ.
Acha berlari
duluan masuk ke dalam pasar malam. Sedangkan Cakka dengan Oik berjalan
beriringan. Cakka meletakan kedua tangannya di dalam saku, sedangkan Oik
memegang kedua lengannya.
“Kamu
kedinginan yah?,” tanya Cakka.
Ah!
Kata-kata itu serasa dejavu di telinga Oik.
“Eh...,
hm... Sedikit,” kata Oik.
Cakka
melepaskan jaket yang dikenakannya dan menyampirkan di bahu Oik.
“Pakai yah,
supaya tak kedinginan lagi,” kata Cakka.
“Makasih,”
kata Oik, sambil memakai jaket yang diberikan Cakka.
“Aku pengin
peluk kamu sebenarnya biar kamu nggak dingin lagi tapi—,”
“Hei kalian
berdua jalannya lama banget, Cakka... Yoo buruan, di sana kayaknya keren,” kata
Acha yang tiba-tiba datang dan langsung menyeret Cakka dari samping Oik.
Mereka
bertiga pun berjalan keliling-keliling pasar malam. Kadang Acha meminta Oik
untuk memotret dirinya dengan Cakka. Kadang mereka bertiga naik wahana yang ada
di situ. Kadang juga Oik tidak ikut hanya menonton saja.
“Cakkaaaa...
Mau eskrim dong...,” kata Acha seperti merengek pada Cakka.
“Sudah malam
nanti kamu sakit,” kata Cakka.
“Jahat deh,
gue nggak bakal sakit beliin dong,”
“Oke...oke,”
Cakka kemudian menatap Oik yang ada tak jauh dari mereka, “mau juga?,” tanya
Cakka pada Oik.
Oik
menggeleng.
Cakka dan
Acha akhirnya menuju tempat penjual eskrim. Oik hanya menatap keakraban
keduanya dari jauh. Entah kenapa airmata Oik mulai mengalir di pipinya.
Cepat-cepat disekanya sebelum Cakka dan Acha kembali.
Cakka dan
Acha tak lama kemudian kembali. Mereka pun melanjutkan menikmati pasar malam
itu.
***
Oik sedang
membersihkan kamar Acha yang sangat berantakan. Beberapa hari lagi mereka akan
kembali ke Jakarta. Kerja sama antara perusahaan Cakka dengan perusahaan tempat
kerjanya hampir selesai. Dan sebentar lagi dia akan meninggalkan Cakka lagi.
Akan pergi dari sini. Kembali menghadapi kerasnya hidup di Jakarta.
Acha memang
orangnya sembarangan. Apa-apa diletakan secara sembarangan. Jadinya, Oik harus
merapikannya. Di atas nightstand Acha
terdapat sebuah foto. Itu hasil photobox
Acha dan Cakka. Terlihat mereka berdua akrab sekali. Oik tersenyum melihatnya.
Sepertinya, Cakka membuat kebahagiaan baru bagi Acha.
Di samping
foto itu ada secarik kertas. Oik mengambilnya. Saat Oik hendak membuka lipatan
kertas...
“Hei!
Ngapain lo di sini?!,”
Cepat-cepat
Oik menyimpan lipatan kertas itu di sakunya.
“Aku sedang
membersihkan kamarmu, begini kan terlihat rapi,”
“Sudah
selesai kan?,”
“Boleh nggak
lo keluar?,”
“Oke,” Oik
pun mengambil langkah keluar dari kamar Acha.
Tepat setelah
Oik keluar dari kamar Acha, alerts ВВМ Oik berbunyi. Oik segera merogoh
blackberry-nya dari dalam sakunya.
Cakka: Oik aku mau
ajak kamu dinner bisa tidak?
Oik: Dalam rangka?
Cakka: Ya, bentar lagi
kamu plg kan, dan kita blm prnh jln berdua selain urusan pekerjaan
Oik: Aku kan kemari mmg u/ pekerjaan
Cakka: Ayolah Ik, mau
yah... Pliss
Oik: Hm, yaudah...
Cakka: Oke, aku jemput
kamu stgh jam lagi
Sesuai
perjanjian Cakka datang setengah jam sesudah ВВМ
terakhirnya. Mereka pun sama-sama menuju parkiran. Oik kaget saat tidak melihat
CR-V Cakka di parkiran. Dia mengernyit. Cakka malah membawanya ke samping CBR.
Dia naik di atas CBR tersebut menyalakannya lalu mengajak Oik naik.
Astaga. Dia
akan naik motor lagi bersama Cakka? Oik dengan perlahan naik di atas CBR Cakka.
Untung tadi dia tidak jadi pakai rok. Jadi gampang buat naik ke atas CBR Cakka.
Setelah Oik naik dan melingkarkan tangannya di pinggang Cakka. CBR itu mulai
berjalan menyusuri jalanan Yogyakarta. Sepanjang perjalanan flashback terputar di kepala Oik.
Oh God! Ini malam yang berat...
Cakka
membawa Oik ke sebuah warung pinggiran. Dia menghentikan CBR-nya di situ.
Mereka pun turun.
“Ik, tak apa
kan kalau aku membawamu makan di warung pinggiran begini?,”
“Hahaha...
Tak apa Cakka, aku malah senang, sudah lama aku tidak makan di warung pinggiran
kayak gini,”
“Hehehe, iya
aku juga, kayaknya kalau di restoran gitu tidak akan spesial,”
Kebetulan
warung itu sedang sepi hanya Cakka dan Oik disitu. Kebetulan atau mungkin Cakka
sengaja membayar pada penjual di situ agar tidak menerima pelanggan selain
mereka berdua. Karena khusus malam ini Cakka hanya ingin berdua dengan Oik.
Penjual di
tempat itu langsung membawakan gudeg andalan warung itu ke meja Cakka dan Oik
ketika mereka tiba di situ. Oik kaget, bukannya mereka belum memesannya yah.
Cakka yang membaca kekagetan Oik langsung tersenyum nakal ke arahnya.
Ah... Senyuman itu lagi...
“Kau sengaja
ya?,”
“Iya, kan
berdua lebih baik, hehehe,”
Mereka pun
mulai menyantap hidangan yang ada di atas meja.
“Oik,”
panggil Cakka.
“Hm,” jawab
Oik.
“Kamu
kebiasaan kalau aku panggil selalu tak mau menatapku yah,” kata Cakka.
Dengan
terpaksa Oik mengangkat wajahnya dan menatap Cakka. Dia takut Cakka akan
memegang dagunya lagi dan memaksa dia menatap Cakka. Itu akan bahaya. Dinding
ketegaran yang dia ciptakan selama ini akan roboh begitu saja kalau-kalau hal
itu terjadi.
Tatapan sayu
nan teduh Cakka kembali beradu dengan mata bening Oik. Waktu terasa terhenti
kembali. Kilas balik semakin terputar di belakang kepala mereka masing-masing.
Dan terhenti saat...
Teringat akan
sebuah kesalahan...
Cakka dan
Oik sama-sama terhenti dan mengalihkan pandangan mereka. Mereka akhirnya
melanjutkan makan malam mereka.
Setelah
selesai makan malam, Cakka dan Oik kembali ke CBR milik Cakka. Mereka kembali
berjalan keliling kota Yogyakarta. Kali ini, Cakka tidak ngebut. Dia membawa
Oik dengan sangat hati-hati.
Kali ini,
Cakka membawa Oik ke alun-alun kota Yogyakarta. Mereka turun dan berjalan di
situ. Dalam hening, mereka menikmati kebersamaan mereka berdua malam itu.
“Ik, naik
sepeda yuk,” ajak Cakka.
“Tapi aku
tak tahu bersepeda,”
“Nanti kamu
naik bareng aku, yuk,” Cakka segera menarik Oik ke sebuah tempat dimana
terparkir banyak sepeda. Cakka menyewa salah satu sepeda di situ. Dan mengajak
Oik naik di depan tempat duduknya. Cakka mulai mengayuh sepedanya menyusuri
alun-alun kota Yogyakarta.
“Ik, sudah
berapa lama kamu bekerja di perusahaannya Rio?,” tanya Cakka di sela-sela
perjalanan sepeda mereka.
“Sudah 4
tahun,” kata Oik.
“Lumayan
lama yah, kata Rio di kantornya kamu banyak disukai tapi kamu nolak mereka
semua, kenapa?,”
“Itu... Aku,
cuma masih mau sendiri,”
“Umur segini
loh, sudah cukup untuk menikah,”
“Kau sendiri
belum menikah juga,”
“Pacar saja
aku tak punya,”
“Hm, tidak
mungkin tak ada yang menyukaimu,”
“Tak semudah
itu Oik,”
“Kalau
begitu alasanku sama denganmu,”
Mereka
terdiam kembali. Menikmati perjalanan mereka dengan sepeda. Setelah lelah
berputar-putar mereka kembali. Mengembalikan sepeda itu ke tempat semula. Dan
pergi menuju CBR Cakka.
CBR itu
kembali menyusuri jalanan Yogyakarta. Jalanan sudah mulai sepi. Sepertinya
sudah larut malam.
“Ik, masih
berani kalau aku ngebut kayak waktu itu?,” tanya Cakka.
“Jangan
Cakka! Nanti aku mati jantungan,” larang Oik.
“Aku pengin
coba, apa aku masih jago ngebut seperti dulu,” kata Cakka, “pegangan yang kuat
ya Ik,” lanjutnya.
Bruuuuuummmm... CBR Cakka memecah keheningan malam.
“Cakkaaaaaaaaaa,”
suara Oik tertup suara knalpot CBR Cakka.
Oik menutup
matanya. Tangannya dieratkan melingkar dipinggang Cakka. Dagunya diletakan di
pundak Cakka. Wangi Cakka kembali menari-nari di hidungnya.
Ya Tuhan... Kenapa kau ingatkan ini kembali...
Oik tak tahu
lagi bagaimana untuk tidak mengingat masa lalunya itu. Kejadian malam itu
benar-benar mengingatkannya akan kejadian 18 tahun lalu.
***
“Yes!
Ternyata aku masih bisa ngebut,” kata Cakka saat mereka berjalan dari parkiran
menuju lobi apartemen Oik.
Oik sedang
merapikan rambutnya yang nampak sangat berantakan gara-gara Cakka.
“Senang ya
kamu?,” tanya Oik.
Cakka yang
melihat Oik sedang sibuk dengan rambutnya menghentikan langkahnya.
“Senang
banget,” kata Cakka sambil menunggu Oik sejajar dengan dirinya.
Kemudian,
dia ikut membantu Oik merapikan rambutnya. Oik jadi menghentikan aktivitasnya.
Dia jadi membiarkan Cakka merapikan rambutnya. Kenapa Cakka tidak pernah
berubah? Dia masih seperti dulu? Kenapa apapun yang di lakukan Cakka terasa dia
kembali ke masa mudanya?
“Aku hampir
mati,” kata Oik setelah Cakka selesai merapikan rambutnya.
“Aku minta
maaf,”
“Ck, berapa
kali kamu minta maaf padaku,”
“Ya sudah
deh, iya aku salah, tapi kan kalau tidak begitu, tak akan seru,” kata Cakka.
Cakka
mengantar Oik sampai ke depan pintu apartemen Oik. Oik mengambil kunci dari
dalam tasnya kemudian membuka pintu apartemennya. Mereka masuk ke dalam
apartemen Oik.
“Makasih ya
Cakka untuk dinner dan
jalan-jalannya,” kata Cakka.
“Sama-sama,”
Dan tanpa
sengaja, mereka berdua saling bertatapan. Cukup lama. Sebelum Cakka mendaratkan
kecupan di dahi Oik.
“Aku pulang
dulu ya,” kata Cakka.
Oik
tersenyum, “hati-hati di jalan,”
“Pasti,”
Ah! Oik
kembali terantuk pada mata sayu Cakka. Ah! Mata itu lagi. Oik berusaha
menghindar. Cakka bukannya pergi malah kembali mendekat ke arah Oik. Pada detik
ini, Oik kehilangan kesadarannya. Mata Cakka menghipnotisnya. Dia bergeming.
Dia tak menjauh saat kepala Cakka mendekat ke arahnya. Padahal ini yang di
hindarinya. Semuanya buyar sampai...
“Oh jadi lo
keluar sama Cakka ya tadi,” suara Acha membuat keduanya saling menjauh.
“Acha
ngagetin aja,” kata Oik.
“Kalian
berdua dari mana?,” tanya Acha.
“Kita...kita
dari...,”
“Kita cuma
keluar cari angin bentar kok Cha, maaf yah nggak ngajak kamu,” kata Cakka.
“Oh,”
“Cha, Ik,
aku pulang dulu ya, sampai ketemu besok, daa,” pamit Cakka sebelum meninggalkan
mereka di situ.
Oik juga
cepat-cepat pergi ke kamarnya. Mengunci kamarnya. Lalu segera menghempaskan
tubuhnya di atas ranjangnya.
Tadi...nyaris.
Oik menghela
napasnya. Lalu menutup matanya. Mungkin malam ini dia bisa tidur nyenyak.
***
Ting...tong...ting...tong bell rumah Cakka berbunyi. Cakka yang
kebetulan sedang berada di ruang tamu segera menuju pintu untuk membuka pintu
rumahnya.
Dari balik
pintu muncul Acha. Gadis itu tampak kusut. Dia tampak kacau hari itu. Cakka
segera mengajaknya masuk ke dalam rumahnya. Menyuruh Acha duduk dulu di sofa.
Setelah itu Cakka menyuruh pembantunya membuatkan minuman untuk Acha. Cakka
menyuruh Acha meminum minuman itu dulu. Setelah Acha meminumnya Cakka
membiarkan dia tenang dulu sebelum dia bertanya.
“Kamu kenapa
Acha?,”
Acha
memalingkan pandangannya pada Cakka. Bukannya bercerita pada Cakka, Acha malah
menangis sejadi-jadinya. Melihat Acha seperti itu Cakka segera menenangkannya.
Dia membawanya ke dalam pelukannya dan mengusap kepalanya.
“Sudah,
tenang dulu, kamu jangan nangis, kalau kamu nggak mau cerita nggak apa-apa,”
Acha terus
menangis. Cakka membiarkannya. Kalau dengan menangis Acha bisa meluapkan semua
perasaannya, begitu lebih baik daripada dia menyimpannya. Acha menangis sampai
terisak-isak. Terus dan terus. Cukup lama sebelum dia tenang. Tapi isakannya
belum berhenti.
“Boleh
nggak, malam ini...gue tidur di sini,” tanya Acha di sela-sela isakannya.
“Loh?
Kenapa?,”
“Boleh ya?
Plis, gue janji nggak akan nakal, gue cuma pengin bareng lo, kan gue bentar
lagi pulang ke Jakarta,”
“Oke, tapi
aku minta izin kakakmu dulu,”
“Boleh nggak
lo biarin gue di posisi ini sampai gue tidur nanti?,” izin Acha sambil matanya
menatap Cakka.
Cakka
terdiam sebentar sebelum mengangguk.
“Makasih
ya,” Acha kemudian menutup matanya. Dia tertidur dalam pelukan Cakka.
Cakka segera
mengambil blackberrynya dari kantongnya dan segera mengirimkan ВВМ pada Oik.
Cakka: Oik, aku lagi brg Acha, tdi
dia dtg sambil nangis2. Trs dia minta izin tdr di sini. Blh tdk? Aku tdk bakal
ngapa2in dia kok. Klo kamu tdk percaya blh dtg kmri qt biar km tdr di sini jg
buat jaga Acha.
Oik: Oh yaudah. Aku
prcaya kok sama kamu. Jaga Acha ya. Aku percayakan Acha sama kamu.
Cakka: Oke :) thanks ya Ik. Aku
bakal jaga Acha.
***
Oik sedang
membereskan pakaiannya. Memasukan kembali ke dalam koper. Dia akan kembali ke
Jakarta besok. Makanya hari ini dia harus packing.
Dia melihat celana jeans hitam
miliknya. Dia ingat dia meletakan secarik kertas yang dia temukan di kamar Acha
waktu itu. Dia pun mengambil secarik kertas tersebut. Membuka lipatan-lipatan
kertas tersebut dan segera melihat apa yang ada di dalamnya. Tulisan tangan
Acha...
Acha ♥ Cakka
Oik shock dengan tulisan yang ada di
dalamnya. Airmatanya mengalir begitu saja tak terhenti melihat tulisan itu.
Ya Tuhan...! Ini kesalahan...
Pekik Oik
dalam hatinya. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya serasa tak percaya melihat
tulisan itu. Tapi benar itu tulisan tangan Acha.
Tiba-tiba
pintu kamar Oik di buka oleh Acha.
“Lo lihat
kaos gue yang warna merah muda nggak?,” tanya Acha setelah dia membuka pintu.
Oik segera
berdiri dan menghadap Acha. Acha kaget melihat Oik yang banjir airmata. Dia
sedang memegang secarik kertas. Wajahnya yang biasanya lembut kini sepertinya
berubah garang. Acha terpekik saat Oik menunjukan tulisan yang ada di dalam
secarik kertas itu.
“INI... APA
MAKSUDNYA ACHA?! OH GOD! Kamu suka
sama Cakka?,” tanya Oik.
Acha
mengangkat wajahnya membalas tatapan Oik, “Kalau iya kenapa?! Lo marah?!,”
“Acha! Kamu
nggak bisa suka sama Cakka!,”
“Kenapa?
Karena dia lebih tua jauh dari gue? Lo tahu kan cinta itu nggak mandang umur!,”
“Tapi kamu
nggak bisa suka sama Cakka,” airmata Oik semakin deras dia terisak.
“Kenapa?!
Atau jangan-jangan karena lo juga cinta sama Cakka?! Gue tahu kok waktu itu lo
mau ciuman sama Cakka! Tapi gue muncul! Gue tahu lo itu suka sama Cakka! Trus
salah kalau gue juga suka sama Cakka?! Kita saingan yang sehat,” kata Acha.
“OH GOD PLEASE HELP ME! Kamu nggak bisa
suka sama Cakka Acha,” kata Oik.
Kini Acha
ikut menangis, “lo emang nggak pernah ngertiin gue,” kata Acha kemudian berlari
keluar kamar Oik.
Oik
mengejarnya, “Acha mau kemana?!,”
“Gue mau cabut!,”
kata Acha kemudian keluar dari apartemen.
“Achaaa
tunggu,”
Tapi Acha
tetap saja keukeh meninggalkan Oik.
Pikiran dan
perasaan Oik saat ini kacau. Dia tak tahu lagi harus berbuat apa. Semuanya
terasa kacau. Dunia serasa runtuh menimpanya. Dia terus menangis. Dia berusaha
menenangkan dirinya sendiri untuk berpikir jernih. Dia menghela napas panjang.
Kemudian mengambil blackberry-nya.
Satu
tujuannya...menelepon Cakka.
“Hallo...,”
suara di seberang.
“Hiks...
Ca...kka, Acha... Ada di...sana?,” tanya Oik setengah terisak.
“Ya Tuhan, kau kenapa Oik?,”
“Panjang
ceritanya, sekarang Acha denganmu tidak?,”
“Tidak, memangnya kenapa Ik?,”
“Aku...aku
bertengkar dengan Acha dan dia kabur, boleh bantu aku mencarinya?,”
“Oke, aku segera ke sana, tunggu saja,”
Cakka datang
15 menit setelah telepon ditutup. Dia segera menuju apartemen Oik untuk
menjemput Oik di situ. Didapatinya Oik sedang menangis terisak. Dia segera
mendekat ke arah Oik.
“Ya Tuhan,
kau kenapa Oik,”
Entah
dorongan darimana Oik malah memeluk Cakka duluan. Dia terisak di pelukan Cakka.
Cakka menenangkannya. Sebenarnya bingung masalah apa yang terjadi diantara
mereka?
Setelah Oik
tenang, Oik langsung mengajaknya mencari Acha. Penjelasannya sebentar setelah
Acha ditemukan.
Cakka
merangkul Oik sampai masuk ke dalam CR-Vnya. Setelah itu mereka menyusuri jalan
Yogyakarta mencari Acha. Jam sudah menunjukan pukul 19.00. Mereka akan
berangkat ke Jakarta besok jam 08.00 jadi mereka harus menemukan Acha malam ini
atau tidak keberangkatan mereka ke Jakarta batal.
“Cakka, kamu
biasa kalau bersama Acha kemana saja? Siapa tahu Acha di sana,”
“Sudah, kan
tadi sudah ku tunjukan tempat-tempat dimana aku dan Acha biasa pergi tapi dia
tak ada,”
“Trus kemana
lagi aku harus mencarinya?,” Oik terlihat frustasi. Dia memegang kepalanya
pusing.
“Memangnya
ada apa sih sampai kamu bertengkar dengan Acha?,” tanya Cakka.
Oik menghela
napasnya lalu menghembuskannya kentara, “Cakka...kamu...apa kamu suka sama
Acha?,” tanya Oik.
“Suka? Suka
bagaimana maksudmu?,”
“Ya suka,
suka...cinta begitu,”
“Hahaha...
Kamu apa-apaan sih, aku tuh anggap Acha sebagai adik aku... Tak lebih, aku suka
dia sebagai adik, aku sayang dia sebagai adik, memangnya kenapa?”
Oik kembali
terisak sebelum melanjutkan perkataannya, “kita cari Acha,”
Cakka
menurutinya. Mereka pun kembali berputar-putar di jalanan Yogyakarta.
“Cakka kamu
tahu bar atau pub di sini? Kita cari dia di sana... Mungkin dia kembali pada
kebiasaan lamanya,”
Cakka dan
Oik pun mengunjungi bar dan pub satu per satu. Sudah pukul 22.00 malam Acha
belum ditemukan juga. Oik hampir putus asa mencarinya. Oik khawatir sekali
dengan Acha. Cakka terus berusaha menenangkan Oik.
Akhirnya
mereka melihat Acha baru keluar dari sebuah pub pada pukul 22.30 malam. Oik
segera turun dari mobil Cakka dan menghampiri Acha dengan Cakka mengekor di
belakangnya.
“Acha!,”
panggil Oik.
“Ngapain lo
cari gue di sini?,” tanya Acha.
“Cha, plis
pulang Cha, ini udah malam besok kita berangkat,”
“Gue nggak
mau, gue mending di sini bareng Cakka,” kata Acha.
“Acha! Aku
sudah bilang kamu nggak boleh jatuh cinta sama Cakka!,”
“Kenapa?!
Kalau soal umur dan soal lo cinta sama Cakka juga itu nggak etis, kita harus
bersaing fair,”
“Ini
kesalahan Acha kalau kamu jatuh cinta sama Cakka!,”
“Kesalahan?!
Hah? Dari mana ini kesalahan?! Gue nggak lihat ada kesalahan,”
“Ini SALAH
BESAR!,”
“KENAPA?!,
dari tadi gue tanya kenapa tapi lo nggak pernah jelasin,”
“Karena...,”
Oik tertahan. Inilah saatnya... Dia
terisak lagi, sakit hati yang mendalam dipendamnya, perasaan campur aduk
meluap-luap di dalamnya. Dia berusaha menguatkan dirinya.
“Karena
kenapa?!,” tuntut Acha.
“KARENA DIA
AYAHMU!, CAKKA ITU AYAHMU!,” teriak Oik napasnya memburu dia berusaha mengatur
napasnya.
“Ayah?,”
Acha mengernyit matanya membesar mendengar kenyataan yang dikatakan Oik.
Cakka tercekat.
Dia terlihat sangat kaget. Wajahnya pucat pasi. Dia menatap Oik dan Acha secara
bergantian. Menuntut penjelasan akan semuanya ini. Oik sudah menangis. Acha
juga ikut berkaca-kaca. Bagaimana semua ini begitu sulit? Mengapa semua ini
jadi kacau begini?
“Bawa kita
pulang! Kalau kamu mau penjelasan, nanti aku jelaskan di apartemen,” kata Oik.
Mereka
bertiga menuju mobil Cakka dengan perasaan kacau. Ketiganya sangat shock dengan kejadian malam ini.
Mereka tiba
di apartemen pukul 23.30. Acha langsung masuk ke kamarnya dan membanting pintu
dengan keras. Dia masih belum bisa menerima kenyataan. Sedangkan Cakka dan Oik
terdiam di ruang tamu. Keduanya terlihat resah.
“Kamu pasti
bingung dengan semuanya Kka,” kata Oik sambil airmatanya terus mengalir di
pipinya.
“Aku bingung
sekali, sebenarnya apa yang terjadi, kenapa kau tak bilang dari awal kalau Acha
itu putriku? Kenapa kau mengenalkannya sebagai adikmu? Kenapa Ik?,”
“Maafin aku
Cakka, aku tak bisa mendidik Acha dengan baik, dia jadi pembangkang, dia jadi
anak dengan pergaulan yang bebas, Acha tidak mau memanggilku dengan panggilan
bunda sejak SMP, sejak dia mulai bergaul, dia takut teman-temannya menyebutnya
anak haram, apalagi kalau pacar-pacarnya tahu dia anak di luar nikah, makanya
dia menyuruh aku menganggap dia sebagai adik saja, sehingga mereka tidak
mengejeknya, tapi lama-kelamaan mereka tahu dan Acha dijauhi, makanya dia kena
pergaulan bebas, dia juga membenciku karena itu,” Oik menangis menceritakannya.
Cakka
mendekat ke arah Oik. Sulit dipercaya, sekarang dia punya putri yang berusia 17
tahun. Kemana dia selama ini? Kenapa dia begitu bodoh meninggalkan Oik dulu?
Dia memeluk
Oik, mengusap kepalanya, mengecup ubun-ubunnya, “maafin aku Ik, aku yang salah,
aku yang bodoh dari dulu, bukan kamu yang salah, kamu sudah berusaha
membesarkan Acha, kamu sudah berusaha Ik, aku yang salah, maaf,”
Keduanya
terdiam dalam pelukan. Cukup lama sampai Oik tenang dan melepaskan pelukan
Cakka.
“Kka,
kumohon kamu pulang ya sekarang, aku butuh waktu berdua dengan Acha,”
“Tapi Ik—,”
“Plis Kka
yah,” mohon Oik.
Cakka
menatap Oik lagi.
“Plis Kka
jangan menatap aku seperti itu,” kata Oik.
“Oke, aku
pergi,” kata Cakka dengan terpaksa berdiri dari sofa.
Oik
mengantarnya menuju parkiran. Selama Oik mengantar Cakka mereka terdiam. Tiba di
parkiran, Oik menunggu sampai Cakka masuk ke dalam mobil. Bukannya masuk Cakka
malah berdiri di hadapan Oik. Dia memegang kedua tangan Oik.
“Ik...,
aku...aku mau memperbaiki kesalahan ku di masa lalu, aku... Aku sayang kamu Ik,
aku cinta kamu, dari dulu aku menunggu takdir mempertemukan kita lagi, tapi aku
tahu itu ternyata salah, bukannya berusaha tapi aku malah menunggu seharusnya
dari dulu aku mencari kamu, karena prinsipku dulu kalau kita berjodoh kita akan
dipertemukan lagi,” kata Cakka.
Oik melepaskan
genggaman tangan Cakka. Dia memeluk Cakka erat. Sangat erat. Kemudian menutup
matanya. Menghirup aroma tubuh Cakka. Setelah itu menjauhkan dirinya dari
Cakka.
“Aku...aku...juga
masih sayang kamu, aku juga masih cinta kamu, tapi...,” Oik menghela napasnya
berat, “tapi biarkan aku dan Acha dulu tanpamu, setelah masalah ini mungkin
semuanya akan berbeda, aku mohon Kka, biarkan aku dan Acha kembali dulu, kita
tunggu takdir lagi yang mempersatukan kita lagi,” lanjut Oik.
“Tapi Ik—,”
belum sempat Cakka meneruskan perkataannya Oik sudah membungkamnya dengan
ciuman di bibirnya.
Akhirnya dia
bisa kembali merasakan manis bibir Oik di atas bibirnya. Cukup lama mereka
saling memangut sebelum Oik melepaskannya.
“Ya Cakka,
aku mohon, kita netralkan dulu keadaan ini,” kata Oik.
“Aku ikut
kamu ke Jakarta,”
Oik
menggeleng, “biarkan aku dan Acha tenang dulu, plis Kka, demi Aku dan juga
Acha”
Cakka
menghela napasnya dan menghembuskannya, “baiklah, demi kamu dan Acha,” kata
Cakka kemudian memeluk Oik. Mungkin pelukan terakhir.
“Love you, Ik,” kata Cakka sebelum masuk
ke dalam mobil.
Oik
tersenyum, “biarkan cinta menemukan jalannya,” katanya sebelum masuk ke dalam
apartemen.
***
Oik menatap schedule penerbangan yang ada di
atasnya. Jadi di sinilah dia, bandara Adi Sucipto. Sudah saatnya check-in untuk keberangkatannya ke Jakarta. Dia menyeret kopernya. Acha
menghampirinya juga menyeret koper. Dia dan Acha sama-sama masuk ke dalam ruang
check-in.
Oik menatap
ke belakang. Berharap ada seseorang yang datang. Tapi, Oik tahu itu tidak
mungkin. Tadi dia sengaja tidak mengabarkan Cakka saat dia hendak kembali ke
Jakarta. Oik kemudian tersenyum dan masuk ke dalam ruangan tersebut.
Setelah Oik
dan Acha check-in mereka berjalan ke
ruang tunggu untuk menunggu pesawat. Tak lama kemudian Oik dan Acha masuk ke
dalam pesawat melalui pintu nomor 3. Dan mereka pun siap berangkat.
Selamat tinggal Cakka... Sampai ketemu ditakdir
selanjutnya...
***
EPILOG.
CAKKA
berlari tergesa-gesa memasuki area bandara Adi Sucipto. Dia melihat schedule yang ada di atas kepalanya.
Merpati Airlines MZ-7317 Yogyakarta
Jakarta 09.15
Shit! 10 menit lagi...
Dengan cepat
Cakka menuju penjualan tiket merpati yang ada di bandara.
“Mbak,
penjualan tiket merpati MZ tujuh tiga satu tujuh masih di buka? Saya mau tiketnya
sekarang,”
“Adanya yang
bussines class Pak, tapi sepuluh
menit lagi berangkat Pak,”
“Itu saja,
saya mohon, saya sangat butuh! Berapapun saya bayar,”
“Tunggu
sebentar Pak,”
Tampak
petugas itu menelepon. Cakka sudah tidak sabar. Dia takut terlambat.
“Mbak,
tolong cepat dong,”
“Pak
sebentar lagi berangkat,”
“Saya mohon
bantu saya, ini penting sekali saya bayar 5x lipat tak apa-apa,”
“Baiklah
kalau anda memaksa,”
Petugas itu
bekerja cepat. Cakka memberikan uang sesuai yang dia minta dan cepat-cepat dia
berlari memasuki ruang check-in.
Semua serba cepat. Karena dia tidak membawa barang satu pun. Cakka kemudian
masuk ke dalam pesawat melalui pintu nomor 3. Hampir. Pintu pesawatnya hampir
di tutup untung saja Cakka berhasil masuk. Pada saat itu pramugari sedang
mengarahkan cara penyelamatan. Cakka disuruh duduk oleh pramugari. Dengan
terpaksa Cakka duduk di tempat duduknya dulu. Pesawat mulai berjalan. Cakka
harus menunggu sampai pesawat lepas landas dan lampu tanda sabuk pengaman di
padamkan barulah Cakka mencari Oik.
Dia
menyusuri koridor pesawat menatap kiri dan kanan berharap menemukan Oik. Dia
melihat wanita yang dikenalinya duduk di kursi nomor 18 C. Dengan cepat dia
berjalan melangkah mendekatinya. Tepat di samping Oik. Acha yang melihat Cakka
duluan kaget. Oik yang menyadari kekagetan Acha segera memalingkan
pandangannya.
Didapatinya
Cakka berdiri di situ. Oik kaget refleks berdiri memandang Cakka.
“Cakka,”
“Oik,”
“Kok kamu
bisa di sini?,”
Cakka
tersenyum, “aku tak mau melakukan hal bodoh lagi, sudah cukup dulu aku
meninggalkanmu, aku tak ingin kali ini kau yang meninggalkanku, apalagi
sekarang kamu tak sendiri, bersama putri kita, aku tak mau kehilangan dua orang
yang sangat berharga dalam hidupku,” kata Cakka.
Oik sudah
tidak tahu mau berkata apa lagi. Matanya sudah berkaca-kaca lagi. Ah, dia
cengeng sekali. Oik berusaha tersenyum di tengah airmatanya yang akan tumpah.
Cakka berlutut di hadapannya. Membuat semua orang-orang yang ada di pesawat itu
menatap mereka. Cakka mengeluarkan kotak beludru berwarna merah. Yang
ditengahnya terdapat cincin emas bertahtakan berlian.
“Oik aku mau
orang-orang di sini jadi saksinya, aku mau serius sama kamu, maaf kalau dulu
aku melakukan kesalahan terbesar padamu, tapi biarkanlah kesalahan-kesalahan
ini membuat kita jadi dewasa, aku cinta kamu, aku juga sayang kamu, aku juga
cinta putri kita dan sayang putri kita, aku tak mau menunda-nunda takdir lagi…
di sini… di atas pesawat ini… aku mau memintamu, menjadi bandara terakhir dalam
hidupku, please marry me,”
Semua orang
tegang menyaksikan apa yang ada di hadapan mereka. Oik juga kaget dan tak
menyangka Cakka akan melamarnya di atas pesawat seperti ini, di hadapan
putrinya dan di hadapan semua penumpang pesawat. Oik menatap Acha yang duduk di
sampingnya gadis itu tersenyum ke arahnya. Dia ikut berdiri, mengambil tangan
Oik dan tangan Cakka yang masih dalam posisi berlutut.
“Terima saja
Bun, gue juga mau kali punya ayah, gue tadi malam merenung di kamar,
merenungkan yang terjadi belakangan ini, dan gue akhirnya sadar, perasaan gue
sama hm… Ayah itu hanya karena gue memang butuh sosok ayah dalam kehidupan gue,
dan kebetulan ayah ada di samping gue, jadi itu bukan rasa cinta sepasang
kekasih melainkan rasa cinta anak kepada ayahnya, lo juga sih Bun, nggak pernah
bilang sama gue siapa ayah gue, pokoknya gue janji deh, kalau kalian bersatu
gue akan rubah semua sifat buruk gue,” kata Acha.
“Jadi?,”
tanya Oik.
“Jadi gue
ngerestuin kalian berdua, sudah gih lo terima aja Bun,” kata Acha.
Oik menutup
matanya. Menghela napasnya panjang-panjang. Sebelum tersenyum dan mengangguk, “iya,
aku mau,” kata Oik.
Cakka
menyematkan cincin itu di jari Oik. Setelahnya dia berdiri dan memeluk Oik lalu
mengangkatnya berputar-putar. Para penumpang di pesawat itu semuanya bertepuk
tangan termasuk pramugari-pramugari menyaksikan adegan di hadapan mereka itu.
Cakka
menurunkan Oik dari pelukannya kemudian menatap Oik lagi. Dia tersenyum.
Oh shit! Cakka don’t look at me like that… my heart
beating faster…
Tanpa
memedulikan orang-orang di sekitarnya. Cakka mengekspresikan kebahagiaannya
dengan mencium Oik di bibirnya.
“Oh shit! Ayah dan Bunda gue mesum banget,”
kata Acha sambil menutup kedua dengan telapak tangannya.
Sepasang
kekasih yang duduk di paling belakang dan sedang menyaksikan adegan Cakka dan
Oik saling pandang.
“Sayang,
nanti kalau kamu mau ngelamar aku, pengin juga di atas pesawat kayak gini.”
5 komentar:
Aku boleh coppy gak ? buat tugas sekolah :D
makasih
wow... ceritanya timbal balik dari kisah sangkuriang.
KEREN. sedih, lucu.
Sukaaaa... perasaan di obok2 sm cerita ini :(
Udah ngirain sih kalo acha anaknya mereka tp tetep aja .Sukaaaa... perasaan di obok2 sm cerita ini :(
Udah ngirain sih kalo acha anaknya mereka tp tetep aja .....
Sukaaaa... perasaan di obok2 sm cerita ini :(
Udah ngirain sih kalo acha anaknya mereka tp tetep aja .Sukaaaa... perasaan di obok2 sm cerita ini :(
Udah ngirain sih kalo acha anaknya mereka tp tetep aja .....
Ceritanya bagus udah berkali2 bacanya tapi gk bosen
Posting Komentar