Return Back With the Rise
Terbit yang kunantikan kembali…
(3rd Sequel of Gone With the Wind after Come In With the Rain and Stay HereWith the Cloudy)
Dengannya aku bisa melihat indahnya mentari yang sedang terbit, dengannya aku tahu ternyata pergolakan mentari itu tak sesederhana yang ku kira, dengannya aku bangkit dan berjuang, dengannya aku bangun dari tidur panjang dan memulai hari baru tanpa perlu tidur kembali, dengannya duka menjadi suka, dan dengannya rindu ini terobati...
Ya... Dia, dia bagaikan bintang timur yang baru terbit dan bagaikan fajar yang tengah merekah dihatiku...
** *
Prolog
Bondi Beach, New South Wales.
Keadaan menjelang pagi itu tampak sunyi dan sepi. Yang terdengar hanyalah deburan ombak seakan mengiringi sang fajar untuk segera bangun dari petidurannya. Sepasang kaki menyusuri pasir putih pantai itu. Matanya menatap lurus kearah langit yang masih berwarna kelabu. Dia mengarahkan kedua tangannya keatas kemudian menghirup udara sejuk pagi itu. Mencari ketenangan akan kegundahan yang ada didalam hatinya. Memanjatkan doa kepada pencipta langit dan bumi.
“Semoga kau tenang di alam sana… terima kasih atas pengorbananmu, akan kujaga selalu setiap hembusan nafas dan degupan jantung ini hanya untukmu,”
Dikeluarkannya sebuah harmonika dari dalam sakunya. Mengingatkannya pada seseorang saat mentari terbit dan saat bintang mulai bersinar. Diapun mulai meniup harmonika itu, sehingga nada indah mengalun. Dia mulai menutup matanya, dirinya mulai terhanyut didalam nada-nada indah itu. Semakin dalam dan lebih dalam lagi. Air matanya mulai mengucur, dadanya seakan sesak. Masa itu, tak akan pernah kembali lagi. Tak akan, semuanya telah berlalu menjadi keping-keping dan puing-puing yang hancur lebur. Karena dirinya sendiri yang menghancurkannya. Dia tak sanggup lagi untuk meniup harmonikanya. Harmonika itu jatuh diatas hamparan pasir putih disusul lututnya kemudian kedua tangannya menggenggam pasir putih. Dia menarik nafasnya dalam-dalam, setiap tarikan nafasnya bayang-bayang masa lalunya selalu menghantuinya. Dia tak sanggup lagi…
“Wish you were here,” Katanya dengan nada lirih.
Diiringi mentari yang menampakan sinarnya dengan malu-malu. Teringat akan dia kembali…
***
Francis St, New South Wales.
Mentari belum bergolak sedikitpun, udara masih terasa lembab, gelap masih membungkus bumi. Kala seorang gadis telah bangun. Untuk beberapa hari ini dia memang sengaja bangun pagi-pagi benar menjalankan kegemarannya yang baru, sebelum dia berangkat kuliah. Diambilnya alat tulis menulis, kemudian dia nampak berpikir. Dia ingin mencoba ‘sesuatu yang baru’ maka dari itu dia segera melangkahkan kakinya menjejaki marmer rumahnya menuju teras depan rumahnya menyediakan sebuah meja kecil dan meletakan alat tulis-menulis diatasnya. Dia berharap hari ini ada inspirasi baru untuknya, inspirasi yang akan membuat dia semangat untuk menjalani hari itu. Segera dikeluarkannya sebuah pena dari dalam tempat pensil kecil. Lalu mulai menorehkan kata demi kata diatas buku kecil disebuah meja. Namun, untuk beberapa saat dia berhenti, pena yang dipengangnya digoyang-goyangkan dan sesekali dipakai untuk menahan kepalanya yang sedang berpikir. Tak beberapa lama kemudian wajahnya berubah cemberut dan langsung mengoyakan kertas tadi. Dia kembali menorehkan pena diatas buku kecil itu, namun lagi-lagi kertas kecil itu bernasib sama dengan yang lainnya. Sedikit frustasi dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Oh God… c’mon give me some inspiration for this one,” Katanya.
Diapun menghempaskan pandangannya kelangit luas. Warna terang nan jingga itu mulai menampakan dirinya. Jalanan memang masih sangat sepi, dia kemudian melihat arlojinya, jam masih menunjukan pukul 05.17. Halaman rumahnya tidak terlalu luas dan terasnya hanya berjarak beberapa meter dari pagar rumahnya. Melintas didepan rumahnya sebuah bayangan, bayang manusia yang samar-samar karena mentari belum benar-benar bangun. Nampaknya itu seorang lelaki yang sedang jogging dipagi hari, dia berhenti sejenak untuk meneguk minuman didalam botol yang sedari tadi dibawanya dan menyeka keringatnya sebentar, kemudian dia kembali berlari kecil. Saat lelaki itu berlalu, mentari akhirnya terbit dengan sempurnanya.
“Yeaaah, I got it!,” Kata gadis itu tersenyum kemudian dengan semangat menulis kembali.
Someone Under the Rise...
Morning...
But the sun still sleeping...
I’m waiting...
Until the shine coming...
At the day...
I seeing someone...
He’s the way...
He’s someone under the rise...
Be a beautiful melody...
In my victory...
So I can celebrating...
My heart is beating...
Be a wonderful memory...
In my gallery...
So I can finding...
How I’m breathing...
Someone before the rise...
Someone under the rise...
Someone after the rise...
Yeah... memorize...
Setelahnya dia tersenyum. Kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. Sebuah harmonika. Dia segera mendekatkan harmonikanya ke mulutnya, lalu meniupnya. Menghasilkan nada lalu dia segera menulis kembali. Begitu seterusnya, sampai nada demi nada terangkai menghasilkan rantai nada yang indah. Kemudian dia mengulangi dari awal nada yang dia tulis tadi. Setelah puas dia tersenyum kembali.
Mentari telah berada dipuncak tahtanya. Gadis itupun terpekik dan segera melihat arlojinya.
“Ya ampun!, sampai lupa... hari ini ada ujian,” Katanya sambil menepuk jidatnya kemudian segera merapikan alat tulis menulis yang agak berantakan karena perbuatannya tadi. Setelah rapi, dia segera menghambur masuk kedalam rumahnya dengan gerakan cepat.
***
Alyssa Lifiya, Management Faculty – University of New South Wales. Gadis itu menarik nafasnya dalam-dalam melihat papan nama yang baru saja dijepitkannya pada saku samping kiri dadanya. Sejak dulu, dia tak pernah punya cita-cita untuk kuliah dibidang manajemen. Dia memilih UNSW agar bisa masuk ke sekolah musiknya. Dia suka musik sejak dahulu, sejak kakeknya yang telah meninggal beberapa tahun lalu memperkenalkannya pada musik. Tapi sayangnya, orang tuanya tidak mengizinkannya untuk masuk sekolah musik. Mereka mengubah semua rencana yang disusun rapi olehnya. Memasukannya kedalam fakultas manajemen untuk melanjutkan bisnis orang tuanya.
Dirapikannya rambutnya yang agak berantakan, kemudian memasuki halaman kampusnya yang cukup luas dengan rumput hijau membentang diatasnya. Sudah banyak mahasiswa yang lalu lalang disekitarnya, dia memang kesiangan. Tapi, belum terlambat untuk mengikuti ujian. Seorang gadis yang menenteng diktat, dengan rambut blonde dan mata hazelnya segera menyapa gadis itu.
“Hi, Ify... how’s life dear?,”
“Oh, hi Renata, I’m fine... you?,”
“Good... are you ready for the test today,”
“I’m not sure,”
“Why?,” Tanya Renata sambil mengerenyit.
“I think... you already know the reason,” Kata Ify.
Mereka berbincang-bincang sambil berjalan memasuki kampus. Tak beberapa lama kemudian mereka berpisah untuk mencari kelas ujian masing-masing. Kemarin, ada pengumuman tentang nomor ruangan kelas ujian, dan Ify berada diruangan nomor A06. Dengan segera dia menatap daun-daun pintu yang sudah ditempeli papan nomor ruang ujian. A01, A02, A03, A04, A05..... dan A06 dia kemudian memutar gagang pintu ruangan itu. Ketika tubuhnya berada didalam, dia melihat sudah banyak siswa berada didalam ruangan. Sepertinya dia adalah siswa terakhir yang masuk kedalam ruang ujian. Kemarin sitting arrangementnya berada pada nomor bangku D 23. Sebuah bangku kosong dibagian belakang segera dihampirinya. Yaps, itu bangkunya. Bangku itu berada tepat disebelah kiri seorang lelaki berambut hitam sama dengan dirinya, berkulit sawo matang dan berambut spike. Ify segera menghempaskan pantatnya diatas bangku tersebut. Memalingkan pandangannya kearah lelaki tadi yang hanya memainkan penanya dan tatapannya hanya terfokus pada pena tersebut. Ify membaca papan nama lelaki itu. Mario Derise Wijanarya. Yap, pantas saja. Sepertinya, dari namanya dia orang Indonesia sama seperti Ify. Baru kali ini selama dia kuliah di fakultas manajemen, Ify menemui orang Indonesia sama seperti dirinya. Hm, lelaki ini Indonesia? Atau mungkin Malaysia?
Tak beberapa lama kemudian, sang dosen masuk dan ujianpun dimulai.
***
“Hei...,” Panggil Ify pada lelaki yang berjalan beberapa meter didepannya. Lelaki yang dipanggil Ify segera berbalik menatapnya sambil mengangkat sebelah alisnya. Ify segera berlari kecil mendekati lelaki itu kemudian mengangkat sebuah pena berwarna biru kearah lelaki itu.
“Is it yours?,” Tanyanya.
Lelaki itu segera meraba-raba sakunya dan merasa kehilangan sesuatu.
“Oh ya... thanks,” Katanya sambil mengambil pena yang diulurkan Ify.
“You’re welcome,” Kata Ify kemudian menurunkan tangannya yang sudah kosong. Lelaki itupun segera memasukan penanya kedalam sakunya, “Are you indonesian?,” Tanya Ify kemudian.
“Ya... I’m Indonesian,” Katanya.
“Akhirnya, aku bertemu dengan orang Indonesia juga,” Kata Ify.
“Oh... kau juga orang Indonesia?,”
“Ya... tentu saja, by the way... kenalkan namaku, Alyssa Lifiya, panggil saja Ify,” Katanya sambil menunjukan papan namanya diikuti uluran tangannya.
“Mario... panggil saja Rio,” Jawabnya membalas uluran tangan Ify.
“Nice to meet you Rio,”
“Nice to meet you too,”
“Hm, kau tahu selama aku kuliah di fakultas manajemen UNSW, aku tak pernah menemui orang Indonesia lainnya,” Katanya.
“Aku pindahan memang dari Canberra, semester akhir ini baru aku kemari,” Katanya.
“Oh... pantes,” Kata Ify sambil mengangguk-angguk kecil.
“Hm, Fy... I must to go now, aku ada jadwal kelas setelah ini,” Katanya.
“Oh okay, never mind, tapi boleh kan kita berteman?,” Tawar Ify.
Lelaki itu tersenyum lalu mengangguk, sebelum dia membuang langkahnya sesuatu keluar dari mulutnya, “Tentu saja, we’re friends now,” Katanya kemudian berlalu dari hadapan Ify.
Ify tersenyum, untuk pertama kalinya orang yang baru dia kenal memanggilnya dengan panggilan sesingkat ‘Fy’. Biasanya hanya orang-orang yang sudah sangat akrab dengannya yang memanggilnya dengan panggilan singkat tersebut. Rio menghilang diujung koridor. Ifypun membuang langkahnya menjauh dari tempat dia berdiri.
***
Ify bangun dari tidurnya, kali ini dia sangat excited untuk menyaksikan mentari terbit karena lagu yang diciptakannya. Dia tak sabar untuk mengalunkan nada-nada lagu ciptaannya itu dibawah mentari yang akan terbit. Diambilnya harmonikanya, lalu menyimpannya didalam saku. Kemudian mengambil sebuah jaket lalu disampirkan dibahunya. Udara pagi ini memang lebih dingin dari kemarin. Francis street sepi, lampu jalananpun masih menyala, jam memang masih menunjukan pukul 04.24 pagi. Ify segera memakai jaketnya lalu mengambil langkah menyusuri Francis street. Dia hendak pergi ke Bondi Park, yang letaknya lumayan dari rumahnya. Sesekali dalam perjalanannya dia melantunkan lagu ciptaannya itu.
Tak terasa dia telah tiba di Bondi Park, dari sini, Bondi Beach terlihat sangat indah. Ify memandang keatas langit. Yap, mentari hampir terbit, bergegas dia mengeluarkan harmonikanya dari dalam sakunya. Meniupnya, lalu menikmati indahnya nada demi nada, dia tak pernah bosan dengan do sampai do lagi. Keajaiban bukan? Hanya ada 7 tangga nada tapi bisa menciptakan begitu banyak lagu di dunia ini.
Mentari mulai bergolak menunjukan sinarnya yang pekat, mata Ify menyipit karena sengatan mentari tersebut. Pupilnya mulai mengecil, daya akomodasi bekerja dimatanya. Mentari bangun dari petidurannya, tepat disaat permainan harmonikanya berhenti. Kini suara merdunya yang mengalun.
Be a beautiful melody...
In my victory...
So I can celebrating...
My heart is beating...
Penggalan lagu ciptaannya itu mengalun indah dari mulutnya. Setelah dia selesai bernyanyi, dia menarik nafasnya dalam-dalam merasakan kesejukan di pagi ini, berharap hari ini akan lebih baik dari hari kemarin.
Prok...prok...prok... tiba-tiba terdengar suara tepukan tangan. Ify membuka matanya kemudian berbalik kearah tepukan tangan tersebut.
“Nice,” Kata suara itu.
Ify mengerenyit. Dia sama sekali tidak mengenali lelaki ini, lelaki dengan kulit sawo matang dan rambutnya yang agak ikal dengan kacamata minus yang tipis mendekat kearahnya.
“Hm, thanks,” Kata Ify.
Lelaki itu memegang kedua sakunya lalu berjalan mendekati Ify. Tiba disamping Ify dan matanyapun ikut menyipit karena sengatan sinar matahari.
“You’re welcome... Do you like music?,”
“Ya, so much,”
“Me too...,”
“Music is miracle,”
“I dare... you’re one of UNSW student of music faculty,”
Ify menggeleng, “No, wrong, false or something like that,” Lelaki itu menaikan setengah alisnya, meminta penjelasan yang lebih lagi dari Ify, “I’m a student of UNSW but, in management faculty,” Katanya.
“But I think, in the future you’ll be a good musician and a bad bussines woman, hehehe,” Katanya setengah bercanda.
“I think so..., are you also a student of UNSW?,”
“No I’m not. I alredy passed my education one year ago, and now I’m working, I’m a nurse,” Katanya.
Ify mengangguk-angguk, terjadi percakapan ringan dibawah mentari antara keduanya. Lelaki itu melihat kearah jam tangannya.
“Do you have a class today?,” Tanyanya.
“Oh ya... I have... thank you yah... nice to meet you,” Kata Ify hendak beranjak.
“NTMYT,” Jawabnya.
Ify berhenti sejenak.
“What is it?,”
“Nice to meet you too,”
“Ohaha... Yeah... see you,” Kata Ify segera membuang langkah menjauhi, saat dia menjauh, dia baru menyadari tadi tidak mengetahui nama lelaki itu. Dia hendak berbalik dan menanyakan nama lelaki itu, tapi saat dia berbalik lelaki itu telah tiada. Ify mengangkat kedua bahunya kemudian melangkah untuk kembali ke rumahnya.
***
Malam semakin larut, pendulum jam terus saja bergerak. Tetapi Ify masih berkutat dengan skripsinya. Buku-buku yang menjadi bahan acuannya telah dia baca berulang kali, hasil-hasil wawancara yang dia lakukan didalam tape recorder telah berulang kali dia putar. Dilihatnya ponselnya yang tergeletak disamping laptopnya, bahkan untuk menelepon guru pembimbingnya saja dia enggan. Beberapa kali dia menghapus apa yang diketiknya pada laptopnya. Sesekali dia menggeleng frustasi dengan apa yang dikerjakannya. Dalam waktu 2 hari skripsi itu harus segera selesai, sedangkan dia baru mengerjakan setengah didalam laptopnya. Rasa malas kemudian menghampirinya, dia segera menutup laptopnya mengambil jaket yang tersampir disandaran sebuah sofa tak jauh dari situ memakainya, lalu mengambil langkah untuk keluar rumah. Sepertinya jalan-jalan dimalam hari akan membuatnya lebih tenang dan mungkin bisa menemukan inspirasi.
Dia membuka gate rumahnya dan saat dirinya berada diluar dia segera mengunci gate rumahnya itu. Otaknya berjalan sekarang, kemana dia akan pergi? Sangat tidak lucu kalau dia keluar rumah tapi tanpa tujuan.
Seseorang dengan nafas terengah-engah mendekatinya.
“Hi Fy,” Sapa orang itu. Ify segera berpaling dan mendapati cowok dengan t-shirt, jeans, dan converse berdiri dihadapannya.
“Rio,” Kata Ify.
“Yah... ku kira... kau lupa... denganku,” Kata Rio sambil mengatur nafasnya kembali.
“Tidak... aku tak mungkin lupa, kita kan teman, kau kenapa?,” Tanya Ify.
“Ini awkward sekali... aku dari party dengan temanku dan pacarnya, nah temanku itu mau mengantar pacarnya pulang, rumah pacarnya tak jauh dari sini, aku numpang sekalian soalnya searah, dirumah pacarnya papanya si cewek ini, bule yang galak sudah menunggu, ternyata pacarnya ini pergi ke party tanpa pamit, dan papanya ini menuduh kita menculik anaknya, helderpun menyambut kita... huh! rumahmu disini?,”
“Hahahaha,” Ify tertawa mendengar kronologis yang diceritakan Rio padanya, “Lucu..., iya... rumahku disini, lalu kemana temanmu itu? Is he an indonesian?,”
“Aku tak tahu dia berlari kemana... sudah biarkan yang penting aku selamat... ya, dia orang indonesia juga,”
“Management faculty of UNSW too?,”
“Harvard Business School... baru lulus beberapa hari lalu dan dia kemari hanya untuk liburan sekalian menjenguk pacarnya,”
Tiba-tiba angin sepoi malam berhembus. Dari jauh nampak bayangan seseorang dibawah sorot lampu jalanan Francis. Rio dan Ify tiba-tiba merinding, merasakan hawa yang berbeda malam itu, sebelum...
“Rio!,” Panggil bayangan itu.
Bayangan itupun mendekat kearah Ify dan Rio.
“Huh! Ku kira siapa...,” Desah Rio setelah mengetahui siapa yang datang.
Berdiri dihadapan mereka seorang lelaki dengan rambutnya yang agak berantakan, memakai jaket hitam, skinny jeans serta macbeth berwarna hitam juga, pantasan yang terlihat tadi hanya bayangannya.
“Nyaris! Aku tadi hampir digigit, untung aku bisa menghindar,” Kata lelaki itu.
“Makanya kalau bawa anak orang minta izin dulu Kka, jangan main bawa aja,” Kata Rio.
“Nadya bilangnya udah minta izin Yo,”
“Wes... sebagai laki-laki yang bertanggung jawab, walaupun kata pacarmu sudah minta izin, lebih baik kau sendiri yang minta izin pada orang tuanya, akan lebih etis,” Kata Rio.
“It’s okay... aku mengaku salah dan tidak gentle... hm, by the way... ini siapa yah? Pacarmu Yo? Wah... curang tak ada perkenalan,”
“Eh bukan... ini temanku, namanya Ify,”
“Fy... ini temanku juga, Cakka,” Kata Rio.
Ify dan Cakka pun berkenalan, berjabat tangan sambil menyebutkan nama masing-masing. Cakka melihat arlojinya, jam sudah menunjukan pukul 23.30.
“Yo... aku pulang dulu, sudah malam ayahku pasti akan menelepon mengontrolku... kau mau ikut pulang?,”
“Tidak usah... rumahku sudah dekat, kau pulang saja rumahmu kan jauh,” Kata Rio.
“Oh ya sudah, aku duluan ya... see you Rio... see you Ify,”
“See you..,” Balas keduanya bersamaan.
Cakkapun berlalu bersama angin malam. Rio dan Ify masih dalam posisinya tadi. Merasakan hawa malam yang semakin dingin.
“Hm, by the way... untuk apa kau keluar tengah malam seperti ini?,” Tanya Rio memecah keheningan.
“Pikiranku agak sedikit kacau untuk mengerjakan skripsi, jadi aku keluar untuk refreshing, diluaran mungkin banyak inspirasi,” Kata Ify.
“Boleh aku temani?,” Tawar Rio.
“Asal kau jangan menghalangi inspirasi yang akan datang padaku,” Kata Ify.
“Ohahaha... tentu saja,” Kata Rio.
Merekapun beriringan melangkahkan kakinya menyusuri Francis street. Melakukan pembicaraan ringan seputar kuliah mereka. Tak terasa mereka telah tiba di Bondi beach. Waktu berlalu sangat cepat, sampai Ify baru menyadarinya ketika tiba di Bondi beach.
“Waw... kita sampai disini?,”
“Yeah...,” Jawab Rio singkat.
Rio segera menghempaskan pantatnya dan duduk bersila diatas hamparan pasir putih. Ify masih dalam posisi berdirinya. Tak ada bintang satupun dilangit malam ini. Langit hitam pekat, membuat malam itu semakin gelap. Deburan ombak halus terdengar ditelinga.
“Sky without star,” Kata Ify.
“Siapa bilang? Ada kok... paling sebentar lagi muncul,” Kata Rio.
Kening Ify berkerut kedua alisnya terangkat mendengar kata-kata yang meluncur dari mulut rio.
“Kau tunjuk satu tempat diantara hamparan langit luas diatas, dan yakini dalam hati bahwa bintang itu akan terbit,” Kata Rio.
“Heh? Memang bisa?,” Tanya Ify.
“Bisa... sesuatu yang kau yakini dan imani dengan sepenuh hatimu bisa membuat itu terjadi,” Kata Rio.
“Masa?,”
“Coba saja, tunjuk satu sudut dilangit,” Kata Rio.
Ify mengangkat jari telunjuknya mengarah kehamparang langit, “Trus?,”
“Ya... ucapkan keinginanmu,” Kata Rio.
Ify mengucapkan keinginannya dalam hati. Tapi, lama dia menunggu tak ada yang terjadi dilangit, bintang itu tak kunjung terbit.
“Mana?,” Tanya Ify menuntut Rio.
“Mungkin kau tidak betul-betul meyakininya, hm, biar sini kutunjukan,” Kata Rio segera mengarahkan jari telunjuknya kearah langit kemudian menghela nafasnya sebelum mengucapkan sesuatu dalam hatinya.
Sebuah titik dilangit tercipta, lama-lama tampak lebih terang dan semakin terang sebelum akhirnya titik itu berubah menjadi secercah cahaya yang dinamakan bintang.
“Bagaimana bisa? Waw... kau paranormal yah?,” Tanya Ify.
“Bukan... sudah kubilang harus diyakini dan diimani,” Kata Rio.
Rio kemudian berdiri dari hamparan pasir putih itu, memegang tangan Ify menunjukan sesuatu...
“Kau lihat disana, kita kesana yuk,” Kata Rio lalu menarik Ify kesebuah tempat yang tak jauh dari situ. Sebuah cafĆ© midnight yang berada di area tak jauh dari pantai. Disana tak terlalu banyak orang, suasana cafĆ© remang-remang. Hanya ada pasang bule disudut cafĆ© yang sedang asyik bercanda. Rio dan Ify duduk dimeja nomor 24 cafĆ© itu. Musik instrumental mengalun menemani mereka bersama hot cappuccino.
“Apa topik yang kau pilih dalam skripsimu?,”
“Hm, Strategi pengelolahan dan manajemen keuangan untuk usaha menengah keatas, aku belum berani pilih yang terlalu tinggi, soalnya aku tahu bagaimana kemampuan otakku yang pas-pasan sangat sulit sekali mencerna tentang pelajaran-pelajaran pada fakultas manajemen,”
“Kau mengambil sample usaha apa?,”
“Sebenarnya cafĆ©... kayaknya asik juga jika suatu saat aku bisa mengelolah bisnis yang tidak terlalu ribet tapi fun kayak cafĆ©, lagi pula banyak keuntungan yang didapatkan apabila mengelolah cafĆ© jika kita tahu cara dan strategi yang pas untuk pengelolahannya,”
“Itu kau tahu banyak... kenapa kau bilang otakmu pas-pasan? Itu ide yang brilliant, hahaha aku jadi ingin berbisnis bersamamu jika lulus nanti, kita kelolah sebuah cafĆ© bersama kayaknya bukan sesuatu yang buruk, dan kebetulan sekali skripsiku tentang pengelolahan bisnis yang bisa menarik pelanggan dengan omset standard dan hasil yang memuaskan, dan terima kasih Fy, aku rasa cafĆ© adalah salah satu yang perlu masuk dalam skripsiku,”
“Oh ya... hm, boleh juga idemu, terima kasih juga sudah membawaku kemari... aku rasa aku jadi punya ide untuk menuntaskan skripsiku dan kita bisa jadi partner kerja yang baik nanti...hehehe,” Kata Ify.
***
Ify mengikat tali sepatunya, kemudian mengikatkan jaketnya pada pinggangnya. Hari masih sangat pagi, matahari masih malu-malu menampakan sinarnya. Hari ini Ify berniat untuk lari pagi, mumpung ini weekend jadi dia bisa melepaskan penatnya setelah kemarin berusaha menyelesaikan skripsinya. Baru saja dia membuka pintu rumahnya, kembali dia melihat someone under the rise. Dia yakin itu lelaki yang menginspirasinya untuk menciptakan lagunya itu. Dia ingin tahu, siapa lelaki itu sekaligus berterima kasih karena telah menginspirasinya. Bayangan lelaki itu menyeka keringatnya lalu berlari lewat lampu sorot jalanan Francis yang masih menyala.
“Hei... wait...,” Teriak Ify berusaha mengejar lelaki itu.
Tapi Ify kehilangan jejaknya, entah kemana saat Ify tiba di pagar lelaki itu sudah tak terjangkau oleh mata Ify. Ify kemudian segera mengangkat kedua bahunya lalu mengunci pagar rumahnya dan berlari kecil menjauhi rumahnya. Tujuannya adalah Bondi park. Jika dia berlari-lari kecil kesana kemungkinan dia tiba disana pukul 06.30. Dia mungkin bisa sarapan diwarung kecil dekat Bondi park.
Setelah hari itu, hari dimana Ify melihat someone under the rise, hampir setiap subuh Ify bangun memainkan harmonikanya dan saat itupula dia selalu melihat lelaki yang menjadi inspirasinya tersebut. Tetapi, setiap kali Ify menghampirinya selalu saja terlambat. Mentari telah terbit sehingga dia tak mampu mengejar lelaki itu. Aneh, lelaki itu selalu pergi setelah mentari terbit.
Ify tiba di Bondi park sudah lumayan banyak orang di taman tersebut. Ada bule yang sedang membawa anjingnya jalan-jalan, ada juga seorang ibu yang mendorong kereta bayi, dan banyak lagi. Ify segera menghempaskan pandangannya kepada warung kecil tak jauh dari situ. Dia segera duduk disalah satu bangku dan menyebutkan nama makanan dan minuman untuk sarapannya.
“One cheese cake and one strawberry milk,” Kata Ify.
Tak lama kemudian makanan yang dia pesan datang, dan Ify segera melahapnya. Sesekali pandangannya dia hempaskan pada Bondi park yang ada dihadapannya. Melihat aktivitas yang terjadi dihadapannya itu. Padangannyapun terantuk pada seorang lelaki yang familiar, lelaki dengan rambut agak ikal itu… dia lelaki yang memuji permainan harmonika Ify di Bondi park waktu itu dan Ify lupa menanyakan nama lelaki itu. Lelaki itu tampak tergesa-gesa meninggalkan Bondi park. Ify segera meneguk strawberry milknya lalu mengelap mulutnya dari sisa-sisa cheese cake tadi segera membayar dan mengejar lelaki itu. Tapi, gerakan lelaki itu lebih cepat. Ify hanya dapat melihat lelaki itu masuk kedalam sebuah taksi. Yah, kehilangan jejak lagi. Ify segera mengangkat kedua bahunya lagi lalu kembali ke area Bondi park.
***
Tap… tap… tap… suara langkah kaki menggema di koridor sebuah Rumah Sakit. Langkah kaki itu segera menuju sebuah ruangan yang bertuliskan ‘cardiolog’. Dia segera memutar gagang pintu dan masuk kedalam ruangan tersebut. Dari dalam seorang dokter wanita yang usianya sekitar 40 tahunan segera menyambutnya dengan senyum ramah. Seakan dia bukan pasien baru di Rumah Sakit itu. Terlihat akrab dulu, berbincang-bincang kecil sebelum akhirnya memulai pembicaraan inti mereka.
“Your mom and dad always calling me every day and ask me about your condition,”
“So, how about my condition now?,”
“Not too bad, but not good … You should to take a rest…,”
“After that, I already finished my final exam, just waiting about the result, and the result is tommorow, and then I promise to take a rest, I’ll go to my country, maybe I must stay in my country,”
“It’s okay dear... I’ll control you everyday by phone and you should find a cardiolog too, I’ll join with her or him to control your condition,”
“Soon... I just say good bye to you, maybe for one week left I’ll go to my country, thanks for everything doctor,”
“Oh dear... I’m so sad, I’ll missing you,” Kata sang dokter segera memeluknya, dan diapun membalas pelukan dokter itu, “You always be my daughter,”
“I’ll missing you too,”
“Take care dear, I always pray for your health,”
“Thank you... I must to go now,” Katanya sambil melihat arlojinya.
“Okay... see you later,”
“Good bye,” Merekapun berpelukan sebelum akhirnya dia meninggalkan ruangan tersebut.
***
Pagi terakhir Ify berada di New South Wales. Kemarin dia telah wisuda. Dia berhasil lulus dengan cukup memuaskan. Sebentar malam dia akan kembali ke negaranya tercinta Indonesia. Ayah dan Ibunya sudah memanggilnya kembali. Kemari saat wisuda ayah dan ibu Ify tidak bisa datang karena begitu banyak pekerjaan mereka.
Pagi terakhir di New South Wales, dia berjanji akan memainkan lagunya kembali dibawah mentari yang terbit dan pasti mengetahui someone under the rise. Dia melangkahkan kakinya ke teras rumahnya, menghirup udara segar di pagi hari New South Wales. Mengeluarkan harmonikanya, melantunkan nada demi nada kembali. Setelah selesai dengan harmonikanya dia kembali melantunkan suaranya. Ada sebuah harapan dibaliknya, seperti kata Rio, “Sesuatu yang kau yakini dan imani dengan sepenuh hatimu bisa membuat itu terjadi,” Itu yang membuat Ify yakin pagi ini dia akan bertemu dengan lelaki itu.
Setelah menyelesaikan lagunya, tepat saat mentari mulai bangun cahaya jingganya mulai memecah kegelapan. Tapi, lelaku itu belum muncul juga. Lelaki itu pasti datang pagi ini! Ify mulai memainkan harmonikanya kembali. Tepat ditengah lagu, Ify melihat sorot bayangan lelaki didekat pagarnya.
Itu dia... Pekiknya dalam hati.
Tak mau ketinggalan Ify segera memasukan harmonikanya kedalam sakunya. Berlari mendekat ke pagarnya, lalu membukanya...
Berdiri dihadapannya seorang lelaki dengan jaket, celana gombrang, rambutnya agak berantakan dan mata teduhnya terlihat sedang kebingungan. Angin membelai rambut Ify...
“Cakka,” Ify kaget. Jadi someone under the rise itu Cakka?
“Hi Ify... hupfh... untung aku bertemu denganmu... can you help me?,”
“Ya?,” Tanya Ify sambil mengerenyit.
“Begini, aku dan Rio berangkat malam ini, dan rencananya aku akan membantu Rio berkemas tadi malam, aku juga janji menginap di rumahnya. Tapi, tadi malam saat aku menuju rumahnya, aku lihat Nadya dijalan dekat rumahnya, she’s drunk. The first time I saw her drunk… err… aku bawa dia pulang ke rumahnya, sebenarnya trauma juga sama helder milik ayahnya, tapi ternyata dirumahnya tak ada orang. So, karena keadaannya itu, aku putuskan untuk menemaninya semalaman dan tidak menepati janjiku pada Rio… and then last night---,”
“Stop! Don’t tell me what you and Nadya did last night… I don’t like to hear that,” Potong Ify.
“Hahaha… c’mon Ify, delete your negative thinking, please, we didn’t made something like make-out, one night stand… No! errr! Aku hanya menemani dia tak lebih, Aku dan Nadya sudah tak punya hubungan apa-apa lagi dan kemungkinan besar dia mabuk itu gara-gara aku memutuskannya kemarin,”
“Trus kenapa kau memutuskan hubunganmu dengannya?,”
“Kita beda… beda prisip, aku tak bisa melanjutkannya,”
“Hm, by the way kau belum bilang aku bisa bantu apa?,”
“Oh ya, hampir lupa, kau bisa membantuku mencari Rio, tadi aku ke rumahnya dia tak ada di rumah, pagar rumahnya dikunci dan setahuku tiap pagi biasanya dia lari pagi sebelum mentari terbit dan akan balik siang hari atau sejam sebelum kuliah, itu sih kata ibunya tadi aku telepon ibunya soalnya, nah karena aku belum tahu daerah disini dengan baik, jadi kamu bisa membantuku kan mencari Rio di daerah-daerah yang mungkin dikunjungi Rio, soalnya aku takut dia marah padaku,” Kata Cakka.
“Ya sudah, ayo kita cari bersama,” Kata Ify.
Merekapun berjalan bersama untuk mencari Rio. Dari penjelasan Cakka tadi, Ify tahu kalau Cakka bukan someone under the rise. Rio kemungkinan terbesar yang menjadi someone under the rise. Mungkinkah Rio? Sekarang dia yakin kalau Rio adalah someone under the rise. Ifypun mengulum senyum tipis dibibirnya. Sebelum Cakka menyadarkannya…
“Ify… kita sedang mengarah kemana sih?,”
“Oh… Ini, kita sedang mengarah ke Bondi park mungkin Rio disana,” Kata Ify.
Cakkapun mengangguk-angguk dan hanya bisa mengikuti langkah kaki Ify. Merekapun tiba di Bondi park, dan celingak-celinguk mencari-cari keberadaan Rio. Beberapa menit mereka mencari, tapi tak menemukan. Ify kembali terantuk pada lelaki rambut ikal berkacamata itu lagi. Dia kembali terlihat tergesa-gesa keluar dari Bondi park.
“Cakka… tunggu disini yah, aku kesana sebentar,” Kata Ify.
“Okay… jangan lama-lama yah,” Kata Cakka.
Ify mengangkat jempolnya kemudian berlari hendak mengejar lelaki itu lagi. Lelaki itu terlihat sedang berbicara diponselnya, wajahnya terlihat panik sesekali tangannya menyentuh rambutnya. Dia kembali memanggil taksi, sebelum dia masuk kedalam taksi Ify memanggil…
“Hei…!,” Panggilnya.
Lelaki itu menoleh, “Hi…,” Jawabnya.
Ify mendekat dan tiba didepan lelaki itu.
“Do you remember me?,” Tanya Ify.
“Yes, someone who plays beautiful melody under the rise, amazing!,” Katanya.
“By the way… who’s your na---,”
Ponsel lelaki itu berdering membuat kata-kata Ify terhenti.
...Yah…
…Wait me, five minutes more…
Diapun menutup ponselnya, “Ah, sorry… emergency, I should to go now, bye,” Katanya sebelum masuk kedalam taksi dan membanting pintu taksinya. Ify hanya bisa menatap perginya taksi itu, kemudian melangkah lagi menemui Cakka yang sudah bersama dengan Rio.
“Dari mana Fy?,” Tanya Rio.
“Ah… dari situ, hm, menemui teman,” Kata Ify.
“Oh…,”
Terjadi percakapan antara Rio dan Cakka tentang kejadian tadi malam. Ify hanya terdiam mendengarkan. Sekarang tiba-tiba dia ragu dengan someone under the rise. Disisi lain dia yakin bahwa Rio adalah someone under the rise. Tapi, lelaki itu? Punya kemungkinan juga kan?
***
“Ya ampun, Fy… kita ketemu lagi, waw,” Kata Rio melihat seseorang didepannya.
“Hai Rio, hehehe Iya, sudah lama kita tidak bertemu terakhir waktu ditaman sama Cakka itu sekitar setahun lalu… by the way, Cakka dimana Yo?,” Tanya Ify.
Rio tertunduk, wajahnya berubah sedih, dia menghela nafasnya.
“Cakka sudah meninggal Fy,”
“Hah? Masa? Kamu tak bercanda kan Yo?,” Ify kaget mendengar penuturan Rio.
“Tidak… aku tak bercanda, hm, kita bicara di cafĆ© sana yuk,” Ajak Rio.
Ifypun mengangguk menyetujuinya. Merekapun berjalan beriringan menuju cafƩ yang tak jauh dari mereka berdiri lagi. Tiba di cafƩ tersebut mereka duduk di meja nomor 24 dan kembali melanjutkan perbincangan mereka.
“Iya Fy, Cakka meninggal, penyebabnya juga aku tak tahu, katanya kecelakaan mayatnya terbakar jadi langsung dimakamkan begitu,”
“Ah, kasihan juga dia,”
“Iya kasihan, padahal sebelumnya dia baru bercerita padaku kalau dia sedang jatuh cinta pada seseorang, dia sampai rela memantau perkembangan gadis yang disukainya itu, memotret setiap aktivitasnya, kau tahu baru itu aku melihat Cakka sebagai secreet admirer biasanya gadis-gadis yang lebih dahulu mendekatinya, tapi sayangnya sekarang dia tak bisa melanjutkannya, bahkan gadis itu belum mengetahuinya,”
Seorang pelayan mendekati mereka dan menyerahkan daftar menu cafƩ tersebut. Rio dan Ify sepakat memesan blossom cherry juice dan strawberry shortcake di cafƩ itu.
“Kau dan Cakka bersahabat yah?,”
“Tidak… aku tak punya sahabat, kami hanya teman yang akrab,”
“Heh? Tapi kau dan Cakka terlihat seperti sahabat,”
“Bukan, aku tak percaya dengan sahabat lagi semenjak kejadian itu,”
“Kejadian apa?,” Tanya Ify ingin tahu.
“Dulu aku punya sahabat, eh entahlah kami menyebutnya sahabat, tapi ah sudahlah dia mengkhianatinya, dia tak menganggapku sahabat… sahabat apa yang tak suka melihat aku dekat dengan adiknya padahal dia tahu bahwa dulu aku menyukai adiknya itu, dia menghalangiku, bahkan pernah mengusirku dan mungkin berkata-kata yang tidak kepada kedua orangtuanya tentangku sehingga mereka tak menyukaiku, ah sudahlah tak usah dibahas lagi,” Kata Rio.
“Oke, aku tak akan membahasnya, by the way kamu sendiri sudah punya pacar belum?,” Tanya Ify tepat disaat makanan yang mereka pesan tiba.
“Hahaha… tak ada, kalau kau mau, kau saja yang menjadi pacarku,” Kata Rio.
Ify yang sedang asyik meminum minumannya tersendak mendengar kata-kata Rio tadi, “Jangan bercanda deh Yo,” Kata Ify.
“Haha, by the way kau masih ingat rencana kita? Yang tentang cafĆ© itu? Kau masih mau kan mewujudkan rencana kita itu?,” Tanya Rio.
“Tentu saja...,”
“Gimana kalau sekarang kita mengatur kerja sama kita?,”
“Boleh banget,” Kata Ify excited.
Merekapun membicarakan tentang rencana mereka membangun cafƩ bersama. Terlihat serius, tak terasa sudah siang. Mereka beristirahat sebentar sambil memesan makan siang. Menyaksikan sebuah siaran berita yang diputar di tv yang berada dipojok tengah cafƩ.
“Keluarga Arwana Negara,” Baca Ify pada tulisan dilayar televisi.
“Mana-mana?,” Rio tertarik segera membalik badannya kearah layar televisi, “Ah, itu keluarganya Cakka Fy… ayah, ibu dan kakaknya Alvin,”
“Oh,” Ify manggut-manggut.
Merekapun menyaksikan siaran televisi itu. Dan sama-sama kaget ketika ayahnya meminta maaf pada Cakka lewat publik karena skandal yang dilakukannya dan Cakka belum meninggal.
“Wah… keren gila! Cakka… Cakka… ini pasti gara-gara gadis itu, waw sampai segitunya,” Kata Rio.
“Heh? Gara-gara gadis itu?,” Ify mengangkat sebelah alisnya.
“Iya… terakhir aku bertemu Cakka, dia bilang gadis itu anak rival ayahnya, jadi kemungkinan ayahnya tidak akan setuju dan mungkin juga terjadilah skandal itu,” Kata Rio, “Ini baru namanya nekat untuk seseorang yang dicintai,” Lanjut Rio.
Someone under the rise. Ify kembali teringat akan lelaki itu. Sampai sekarang dia belum menemukan kepastian tentang someone under the rise itu. Dia sudah di Indonesia, sudah sangat tidak mungkin menemukannya. Tapi dia masih berharap dan teringat kata-kata Rio waktu itu ‘yakini dan imani’. Walaupun Rio adalah kandidat someone under the rise, dan dirinya pernah meyakini bahwa Rio adalah someone under the rise, tapi Ify belum menemukan bukti yang kongkret. Ifypun sering bertanya-tanya pada dirinya kenapa dia sangat ingin menemukan someone under the rise itu? Bukankah dia hanya seseorang yang ‘kebetulan’ menginspirasinya? Ah! Jangan bilang Ify jatuh cinta dengan bayangan lelaki itu! Gila! Tidak waras! Masa Ify jatuh cinta dengan sesuatu yang maya? Bisakah itu ditangkap dengan logika? Ify menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Fy… kau kenapa?,” Tanya Rio.
“Ah… tidak… tak apa,”
“Apa kita boleh lanjutkan percakapan kita?,”
Ify mengangguk cepat dan merekapun melanjutkan rencana mereka.
***
Ify memandang papan nama diatas sebuah pintu. IFC’Rise cafĆ©. Akhinya cafĆ© yang direncanakannya dengan Rio terwujud. Dia mengulum senyum tipisnya. Nama cafĆ© itu adalah hasil kesepakatan bersama, IF itu namanya Ify sedangkan Rise diambil dari Derise nama tengah Rio, awalnya nama cafĆ© itu hanya iFRise tapi entah alasan apa Rio menambahkan C’ diantaranya. Tapi Ify setuju saja, lagi pula itu sama sekali tak terlihat buruk. Hari ini merupakan launching cafĆ© milik mereka itu. Dan rencananya didalam pembukaan cafĆ© ini Ify akan membawakan lagunya dengan iringan piano, tapi awalnya dia akan membawakan secara instrumental bersama harmonikanya. Rio datang merangkul Ify dan ikut tersenyum.
“Akhirnya yah Fy… cafĆ© ini terwujud juga,” Kata Rio.
“Iya Yo, aku senang banget…,”
“Ya sudah, ayo masuk, sudah banyak yang menunggu didalam… dan kamu juga kan harus siap-siap untuk penampilanmu,”
Merekapun masuk kedalam cafĆ© melalui pintu yang bertuliskan just for owner’s cafĆ©.
Ify mempersiapkan dirinya sebelum tampil, banyak tamu undangan pada saat pembukaan cafĆ© mereka. Dia tampak nervous karena untuk pertama kalinya dia akan mempertunjukan bakatnya itu dihadapan semua orang. Tiba saat Ify akan tampil, dia segera berdiri dipanggung yang terletak dipojok cafĆ© mengambil harmonikanya dari dalam sakunya kemudian meniupnya. Nada indah keluar dari dalam harmonika tersebut… terus dan terus mengalun membuat semua orang yang mendengarkannya ikut terhanyut. Setelah selesai dengan harmonikanya, Ify segera melangkahkan kakinya menuju piano yang letaknya tak jauh dari tempatnya berdiri. Segera mengambil stand mic dan meletakan disamping tempat duduk dibalik piano tersebut mulai memencetnya dan mengeluarkan nada yang indah diiringi suara yang merdu…
Morning...
But the sun still sleeping...
I’m waiting...
Until the shine coming...
At the day...
I seeing someone...
He’s the way...
He’s someone under the rise...
Be a beautiful melody...
In my victory...
So I can celebrating...
My heart is beating...
Be a wonderful memory...
In my gallery...
So I can finding...
How I’m breathing...
Someone before the rise...
Someone under the rise...
Someone after the rise...
Yeah... memorize...
Lagu itu akan selalu menjadi memori yang indah buat Ify, dengan seseorang dibalik lagu tersebut. Seseorang yang masih menjadi misteri saat ini. Saat Ify menyanyikan lagu tersebut selesai menyanyikan lagu tersebut. Semua yang hadir mengadakan standing applause, Ify dengan senyum manisnya menunduk dan berterima kasih kepada semuanya. Dia menghela nafasnya…
Big thanks to you someone under the rise… katanya dalam hati.
Rio dan Ify berdiri didepan pintu keluar, menyalami satu per satu tamu yang telah hadir dalam pembukaan cafƩ mereka. Banyak sekali yang antusias membuat mereka berdua merasa bahagia.
“Wah… selamat yah Yo, amazing cafĆ© and amazing partner… hehehe,” Kata Cakka yang segera menyalami Rio dan Ify. Saat itu Cakka sedang menggandeng seorang gadis berambut hitam panjang, yang nampak sangat serasi dengan Cakka.
“Aha… thanks Kka, congrats juga buat kamu yang sudah menemukan tambatan hati… cieee… kapan married?,” Goda Rio.
Cakka tersenyum penuh arti sambil memberikan sesuatu pada Rio dan Ify.
“That’s the answer, jangan lupa datang yah,” Kata Cakka.
Rio dan Ify melongo saat melihat apa yang ada ditangan mereka. Undangan pernikahan. Ternyata teman mereka ini tidak main-main dan benar-benar serius akan menikah. Owh.
“Okay, aku dan Oik pergi dulu yah, selamat mengelolah cafĆ© ini, good luck, berharap kalian juga cepat menyusul kita,” Cakka balas menggoda Rio dan Ify, kemudian merangkul Oik menuju parkiran mobil.
Rio dan Ify hanya terdiam dalam posisinya masing-masing.
***
Ify menatap undangan yang ada ditangannya. Tersenyum bahagia. Dari dulu dia sangat senang menyaksikan sebuah pernikahan. Apalagi ini pernikahan temannya. Terkadang dia berpikir bahwa dirinya berada diposisi itu, pasti sangat bahagia. Kapan dia seperti itu? Tapi tak mungkin mengingat kondisinya…
“Hei… melamun saja,” Sapa Rio segera duduk disamping Ify, dia melihat benda yang dipegang Ify, “Aku sama sekali tak menyangka, Cakka benar-benar serius menikah,”
“Aku ingin menikah sebelum pergi untuk selama-lamanya,” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Ify.
“Pertama, sudah kukatakan yakini dan imani, kedua aku sangat ingin melihat kau tersenyum bahagia melihat kau kuat dan bangkit dari tidur panjangmu, dan aku melihat itu saat kau berhasil mengerjakan skripsimu dulu, ketiga, aku sangat surprise tadi mendengarkan lagu yang indah milikmu tapi sebenarnya yang keempat aku sudah pernah mendengarkannya dulu, setiap pagi sebelum mentari terbit dilangit New South Wales, dan yang kelima, aku suka dengan lagunya saat aku tahu yang memainkan lagu itu adalah kamu dan yang keenam ternyata aku jatuh cinta padanya seseorang yang mengembalikan penaku saat ujian selesai, dan untuk ketujuh aku semakin menyadarinya ketika bertemu kembali dengannya secara tidak sengaja dan akhirnya aku bisa melihatnya setiap hari jika dimalam aku mendengarnya mengucapkan permohonan, maka untuk itu sebelum mewujudkan yang kesembilan, aku meminta satu sebagai permintaan untuk yang kesepuluh, would you be my fiancee? Eh, sorry aku tak suka dengan istilah pacaran, jadi aku lebih memilih istilah tunangan,” Kata Rio sambil membuka kotak beludru yang didalamnya ada sebuah cincin.
Ify kaget, air matanya menetes. Ya Tuhan, seseorang yang dicarinya berada didepannya. Rio he’s someone under the rise. Dan dia memintanya menjadi tunangannya? Ah! Secepat ini? Ataukah dia yang terlambat menyadarinya?
Ya Tuhan… ku mohon ijinkan aku untuk menikmati indahnya cinta bersamanya dulu… Itu kata Ify dalam hati sebelum dia menganggukan kepalanya dan tersenyum sambil Rio memasangkan cincin itu dijari manisnya. Ify menyeka air matanya yang tumpah.
“Kau tahu arti nama cafĆ© ini? C’ melambangkan cinta yang mempererat kita berdua,” Kata Rio sambil meneng-gelamkan Ify kedalam pelukannya.
***
Setahun sudah Ify menjalani cintanya bersama Rio, setahun sudah mereka menjalaninya dengan kebahagiaan. Yah bahagia, Rio tinggal menunggu saat yang tepat untuk memperkenalkan Ify pada keluarganya, dan melamar Ify. Menyusul Cakka dan Oik yang telah menikah, ditambah lagi mereka sedang berbahagia menanti kelahiran buah hati mereka yang pertama. Terkadang itu membuat Ify berpikir, bisakah dia seperti itu? Tapi Rio, someone under the rise. Selalu membuatnya yakin untuk tetap bangkit dan berjuang. Entah mengapa itu menjadi penyemangatnya.
Tapi sesuatu mengubahnya…
Blangkar itu berjalan didorong oleh para suster. Sepasang suami isteri menangis melihat anaknya yang lemah tak berdaya diatas blangkar tersebut. Blangkar itu masuk kedalam ruang emergency. Dengan sigap para dokter dan suster menanganinya, sedangkan sepasang suami isteri itu diluar. Tak lama kemudian suami-isteri itu dipanggil seorang dokter dan masuk kedalam ruangannya.
“Bagaimana keadaan anak kami dok?,”
“Kebocoran pada jantung anak anda semakin parah, secepatnya harus dilakukan pencangkokan jantung, tapi disini susah untuk mencari donor jantung,”
“Apa yang harus kami lakukan dok?,”
“Segera mencari donor jantung, dan sebaiknya anak anda ini dirawat diluar negeri, mungkin fasilitasnya lebih memadai, di Indonesia ini sangat sulit memang,”
“Anak saya pernah dirawat oleh kardiolog khususnya, tapi belakangan ini kami kehilangan kontak dengannya, padahal dahulu dia sering mengontrol anak kami setelah dia pulang dari Aussie,”
“Sepertinya dia yang lebih tahu banyak tentang anak anda, secepatlah bertindak,”
“Baik dok,”
***
Deg…deg…deg… Ify merasakan jantungnya berdenyut tapi membuat tubuhnya sakit. Dia menarik nafasnya dalam-dalam tapi seakan hampa yang dia dapat. Ya, Ify mengidap kelainan jantung sejak kecil. Yang membuat dia bertahan hanyalah sebuah keajaiban. Mimpinya tentang musik, tekadnya untuk membahagiakan kedua orang tuanya dan someone under the rise. Dia merasakan waktu semakin memanggilnya kembali. Dia harus mengakhiri semuanya sebelum ada yang terluka. Sebelum ada yang kecewa dan sebelum ada yang merasa tersakiti karena dibohongi. Diambilnya ponsel yang terletak disamping parcel buah kemudian menekan tuts ponselnya yang menghubungkan dia dengan seseorang dibalik sana…
…Ya Tuhan Ify, kamu kemana saja aku kangen sekali… suara dibalik sana menyambut teleponnya suara yang sangat dia rindukan. Ify menahan kesesakannya. Air matanya sudah mengalir dipipinya. Dia harus mengakhirinya sekarang!
…Rio… aku mau ngomong sesuatu sama kamu… aku mau kita, akhiri saja ini semua…
…Iya, maksudku kita putus…
…Kamu tak punya salah apa-apa, aku hanya tak ingin ada yang kecewa…
…Demi Tuhan Rio… tak ada, aku hanya ingin pengertiamu, kamu jangan egois…
…Rio aku mohon, aku ingin kita sampai disini…
…Terima kasih atas semuanya…
Ify segera mematikan sambungan teleponnya. Kemudian meletakan kembali ponselnya disamping parcel buah. Dia segera menghapus air matanya, sebelum ibunya masuk kedalam.
“Ibu…,” Sapa Ify berusaha tersenyum pada Ibunya.
“Ify sayang, kamu mau yah kembali ke Aussie, jalani perawatan disana, ibu yakin kau pasti sembuh,” Kata Ibunya.
Ify mengangguk lemah. Ibunya membelainya, “Baiklah, besok kau dan seorang perawat akan berangkat kesana, dia perawat yang paling handal dirumah sakit ini, kau akan tinggal bersama Dokter Veronica Sances dirumahnya, kau bertemu lagi dengannya, kamu senang kan sayang?,”
Ify tersenyum tipis dan mengangguk lemah lagi, “Oh ya, sebentar lagi perawatnya datang, dia juga akan tinggal bersama Dokter Veronica Sances dan dia juga mengenalinya,” Kata Ibu Ify.
Tak lama kemudian seseorang masuk. Dia berseragam berwarna biru langit khas rumah sakit ini. Sambil menenteng sebuah tas. Lelaki berkaca mata dan berambut ikal itu…
“Kau?,” Kata Ify sambil menunjuk kearah lelaki itu.
Lelaki itu mengulum senyumnya, “Hai, kita bertemu lagi,” Katanya.
“Kau mengingatku?,” Tanya Ify.
“Selalu…,”
“Tapi bagaimana kau?,” Tanya Ify menggantung.
“Sudahlah, jangan banyak tanya, kau istirahat dulu, aku pasti akan menjelaskannya nanti,” Katanya.
“Tapi… aku belum tahu namamu, dari dulu itu yang ingin kutanyakan,” Kata Ify.
“Aku Andryanto Debyos, panggil saja Debo, kau?,”
“Aku… Alyssa Lifiya, panggil saja Ify,”
***
Ify memandang sekelilingnya, entah kenapa dia berharap Rio menyusulnya kemari. Hari ini dia akan berangkat ke Aussie tepatnya ke New South Wales lagi. Untuk menjalani pengobatannya. Dia sangat ingin untuk terakhir kalinya melihat Rio, tapi dia tahu itu tak mungkin. Dia telah mengakhiri semuanya. Saat dia hendak berbalik, dia melihat seseorang yang dikenalinya, orang itu mendekat dan lebih dekat kearahnya… Itu… Cakka.
“Ify… kenapa kau disini?,”
“Aku?... aku akan berangkat ke Aussie, kamu sendiri?,”
“Aku mengantarkan kak Alvin dengan isterinya berbulan madu,”
“Oik?,”
“Dia masih di Rumah Sakit… dia belum cukup kuat untuk berjalan,”
“Oik sudah melahirkan yah?,”
“Ya… begitulah,”
“Wah selamat Cakka… anaknya laki atau perempuan? namanya?,”
“Makasih Ify, Laki-laki, namanya Starlight,”
“Nama yang indah…,”
“Kau sendiri kenapa memutuskan Rio? Kau tahu, dia sangat frustasi karena keputusanmu itu,”
“Sorry Kka, aku tak bisa menjelaskannya sekarang,”
Seseorang datang mendekat kearah Ify dan Cakka yang sedang bercakap-cakap. Itu Debo.
“Ify… sudah saatnya kita berangkat, ayo masuk...,” Ajaknya.
“Cakka, aku masuk dulu… salam buat Oik dan Starlight, salam juga buat Rio… bye,” Kata Ify sebelum akhirnya masuk kedalam bersama Debo.
***
Sudah beberapa hari ini Ify menghirup kembali udara New South Wales. Entah kenapa tiap pagi sebelum matahari terbit dia selalu bangun dan menyaksikan pergolakannya. Dia selalu duduk diteras sambil memainkan harmonikanya. Walau terkadang jantungnya tidak berkompromi, tapi dia ingin terus mengalunkannya sampai akhir hayatnya. Seperti pagi ini, saat dia mengalunkan lagu itu kembali, Debo berdiri disamping kursi roda Ify. Kembali mendengarkan nada indah itu.
“Selalu terasa indah, aku tak pernah bosan,”
“Terima kasih Debo,”
“Sama-sama… aku ingin tahu, siapa sebenarnya someone under the rise dibalik lagumu itu,”
“Dia… dia… Rio,”
“Rio?,” Debo mengerenyit.
“Yah, dia tunanganku ah mantan tunangan, dahulu saat aku menciptakan lagu ini melihatnya dibawah mentari, dia hanya sesuatu yang maya, tapi akhirnya aku tahu sosoknya, dan dia menjadi milikku yang akhirnya kubuang karena takdir,”
“Kenapa kau berkata seperti itu?,”
“Ya… kenyataan, kau sendiri? Aku tak menyangka kalau kau orang Indonesia juga, kupikir kau orang malaysia keturunan arab,” Kata Ify.
“Hm, aku orang Indonesia dan tinggal di Indonesia, aku bahkan ke New South Wales untuk merawat adikku yang punya penyakit jantung juga sepertimu, tapi takdir berkata lain kalau adikku harus pergi selama-lamanya sehingga aku harus kembali ke Indonesia, dan menjalankan kembali kewajibanku sebagai perawat,”
“Siapa nama adikmu?,”
“Keke, dia akan selalu ada disini,” Kata Debo sambil menunjuk bagian dadanya, dia kemudian kembali menatap Ify, “Kau benar-benar mencintai Rio?,”
“Sangat,” Kata Ify.
“Kau betul-betul ingin bersamanya?,”
“Bahkan aku pernah bermimpi menikah dengannya… hahaha… konyol yah,”
“Yakini dan Imani, itu pasti akan terwujud,” Kata Debo kemudian tersenyum kearah Ify.
Kata-kata Debo membuat Ify mengingat Rio kembali. Entah kenapa dia merasa Debo dan Rio itu mirip. Padahal fisiknya berbeda, mereka tak mungkin kembar. Apa yang membuat mereka mirip? Ify bertanya-tanya.
***
Ting…tong…ting…tong Bell sebuah rumah berdentang. Ify segera mendorong kursi rodanya membuka pintu. Seorang kurir berdiri dihadapannya mengantarkan sesuatu, terlihat seperti undangan. Ifypun menerimanya. Dia was-was untuk membukanya. Debo mendekati Ify segera mengambil alih kursi roda Ify. Dia segera mendorongnya kearah ruang keluarga. Dokter Veronica sedang bertugas di Rumah Sakit jadi dirumahnya hanya Ify, Debo dan kedua pembantu Dokter Veronica.
“Apa itu Fy?,” Tanya Debo.
Ify mengangkat kedua bahunya kemudian membuka perlahan bungkusan undangan tersebut. Entah kenapa perasaannya tidak enak dengan semua undangan dihadapannya itu. Undangan berwarna putih bersih dengan pita pink terhias indah.
Deg…deg…deg jantungnya berbunyi dan menyakitinya kembali.
Wedding Invitation
Mario Derise Wijanarya
&
Ashilla Cloudyana Negara
Sreet… Hati Ify bagai teriris sembilu membaca undangan tersebut. Undangan itu terjun bebas ke lantai, seiring air mata Ify yang tumpah. Debo yang penasaran dengan isi undangan tersebut segera mengambilnya dan membacanya. Dirinyapun ikut kaget saat melihat isi undangan itu. Secepat itukah Rio melupakan Ify? Padahal disini Ify sedang berjuang untuk dirinya? Sepertinya dia harus melakukan perhitungan dengan Rio!
***
Ify masih tertunduk, butiran pasir belum lepas dari genggaman tangannya. Waktu itu tak akan pernah kembali. Dia tak akan mungkin bersama-sama dengan Rio lagi. Rio telah meninggalkannya. Seseorang yang telah mengajarkannya untuk terus menyakini dan mengimani, dia jugalah yang membuat Ify ragu. Ify juga tahu salah telah mengakhiri semua duluan. Dia tahu Rio akan tak akan pernah kembali dengannya seperti dulu lagi. Biarkan Rio selalu menjadi someone under the rise dan kembali pada sosoknya yang dulu, maya. Tak akan pernah menjadi nyata.
Ify segera menghapus air matanya, diapun berusaha menguatkan kedua kakinya. Agar kakinya itu mampu menopang tubuhnya. Mengambil harmonikanya kembali. Daya akomodasinya bekerja pada matanya, pupilnya mengecil terkena sengatan mentari. Dia mulai memainkan kembali alunan lagu tersebut…
Morning...
But the sun still sleeping...
I’m waiting...
Until the shine coming...
At the day...
I seeing someone...
He’s the way...
He’s someone under the rise...
Be a beautiful melody...
In my victory...
So I can celebrating...
My heart is beating...
Be a wonderful memory...
In my gallery...
So I can finding...
How I’m breathing...
Someone before the rise...
Someone under the rise...
Someone after the rise...
Yeah... memorize...
Rio tak akan pernah kembali lagi dengannya seperti yang dulu…
Return Back With the Rise: End.
Epilog
Dear my friends, Rio and Ify.
Ini sengaja ku tinggalkan sebelum aku mengambil sebuah langkah pasti dalam hidupku. Pertama-tama, aku mau berterima kasih pada kalian berdua yang pernah mengisi hari-hariku selama aku hidup didunia ini.
Pertama buat Ify, aku mau jujur, sejak aku pertama kali bertemu denganmu di Bondi park, saat aku melihatmu dan mendengar alunan harmonika dan suaramu, aku jatuh cinta padamu. Kalau boleh jujur lagi, aku tinggal disamping rumahmu dan kau tetanggaku. Kau kaget? Yah! Aku setiap pagi mendengar alunan harmonikamu bersama adikku Keke yang sangat suka dengan permainan harmonikamu. Setiap hari disamping rumahmu. Dan setiap pagi aku ke Bondi park berharap bertemu denganmu lagi disana. Dan saatnya selalu tidak tepat, Keke selalu kambuh saat aku akan bertemu denganmu lagi. Pikirku mungkin memang kita yang tidak jodoh hehehehe… tapi sepertinya begitu.
Kedua buat Rio… hai sahabatku, kita lama tak jumpa. Aku sangat shock saat tahu kau yang dicintai Ify, tapi tak apa lama kelamaan aku bisa menerimanya. Kau kan sahabatku. Tapi, jujur aku sempat kecewa saat melihat undangan pernikahanmu itu. Kupikir ini karma buatku, aku mau jelaskan tentang Keke dulu. Kenapa aku tak mengizinkamu mendekatinya, karena dia punya penyakit, dan alasannya sama mungkin waktu Ify memutuskanmu, aku tak mau ada yang kecewa, tapi aku salah ternyata kau lebih sakit dan memutuskan tali persahabatan kita. Maaf untuk yang dulu.
Pesanku untuk Ify, jaga baik-baik yah jantung yang kuberikan untukmu, anggap saja ini hadiah kerja kerasmu. Buat Rio, jaga baik-baik Ify, itu hadiah persahabatan kita. Aku pamit, aku menyusul Keke dulu. Semoga kalian bahagia.
Oh ya, jika kalian menikah nanti, aku izin memberi nama buat anak kalian yah. Aurora. Kalau anak kalian perempuan tapi aku yakin pasti perempuan. Kalian pasti tahu Aurora. Fenomena alam yang terjadi di Kutub Utara atau Selatan. Seperti keadaan mentari akan terbit tapi malu-malu dan berwarna-warna. Itu melambangkan kalian berdua… Hehehe bisa kan? :p
Oke kawan, thanks for everything.
-Debo-
Bondi Beach, New South Wales.
Mentari bersinar dengan malu-malu, dingin menyengat kulit. Udara lembab. Pagi-pagi benar seorang wanita dengan perut yang agak buncit dan masih memakai daster meniup harmonikanya. Tak lama kemudian seorang masih dengan piyama menjemput wanita itu, dia terlihat khawatir.
“Ify sayang… kenapa kemari pagi-pagi begini? Aku khawatir,”
Ify tersenyum, “Aku mengingat Debo lagi,”
Pria itu berubah cemberut, “Sebenarnya suamimu Debo atau aku sih?,” Tanyanya sedikit kesal.
“Kamu… tapi walau bagaimanapun Debo berperan penting mempersatukan kita, kalau dia tak berkorban aku tak akan disini,”
Pria itu menarik nafasnya, “Ya…ya…ya… Debo, karena dia juga aku mengakui persahabatan itu ada, dia sahabat yang sejati,” Katanya.
Ify baru saja selesai memainkan harmonikanya. Dia menghembuskan nafasnya kentara. Dia baru saja akan membuka sebuah surat yang ditinggalkan Debo. Dia membaca untaian demi untaian kata dalam surat Debo tersebut akhirnya terkuak beberapa fakta yang dulu dia tidak ketahui, tentang perasaan Debo padanya, tentang hubungan Debo dan Rio serta cerita Rio dulu tentang sahabatnya, tapi dia masih bingung. Bagaimana mungkin Debo menyuruh Rio menjaganya sedangkan Rio hari ini akan melaksanakan pernikahannya dengan seseorang yang bernama Ashilla Cloudyana Negara?
“Fy,” Sebuah suara memanggilnya.
Ify segera menoleh kearah sumber suara tersebut. Berdiri dihadapannya seorang lelaki berkulit sawo matang dengan pakaian yang rapi.
“Rio… bagaimana kau bisa disini? Bukannya hari ini kau akan menikah di Canberra?,”
Rio tersenyum kecil lalu mendekati Ify, “Iya, aku akan menikah… bukan di Canberra, tapi disini, dan aku mau kamu jadi mempelai wanitanya,”
“Ah Rio… kau becanda… tidak mungkin! Kau sudah punya calon isteri bukan? Nikahi saja dia, pasti dia akan terluka,”
“Tidak… dia telah mengikuti kata hatinya dan aku juga harus mengikuti kata hatimu yang memilihmu… kami tidak jadi menikah, karena hati kami telah memilih yang lain,” Kata Rio.
“Tapi Yo---,”
“Jangan sia-siakan pengorbanan Debo,” Kata Rio.
Ify menutup matanya, kemudian tersenyum kali ini lebar, lalu mengangguk.
Rio mengelus perut Ify yang agak buncit. Kemudian menunduk dan menaruh telinganya diatas perut Ify. Sambil berkata dalam hatinya…
Debo, anak ini perempuan, seperti keyakinanmu… terima kasih atas nama yang indah… Aurora kini telah hidup didalam sini, kami selalu akan mengenangmu...
0 komentar:
Posting Komentar