7. BEFORE THE PRESS CONFERENCE
HARI ini pikiran Cakka semakin tak karuan. Beberapa kali dia bolak-balik dan mondar-mandir di dalam ruang tamunya. Bram, manajernya hampir pusing melihat Cakka bagaikan seterika.
Dia seperti itu bukan tak beralasan. Pasalnya, beberapa hari lalu Cakka telah menyetujui ide gila Daddy-nya yang sebenarnya sangat tidak memungkinkan. Dan sesuai rencana, Cakka akan keluar dan meng-klarifikasi semuanya hari ini di halaman rumahnya. Sedari tadi wartawan telah menunggu di depan rumah Cakka. Bahkan, sehari sebelum konferensi pers diadakan, sudah banyak wartawan yang silih berganti di depan rumah Cakka.
Di dalam hati Cakka cuma satu pertanyaan Cakka, apa Ujang berhasil membawa gadis seperti yang diinginkan Daddy? Cakka tentu tidak mau juga kalau Ujang membawa sembarang gadis untuk menjadi calon isterinya. Semoga pilihan Ujang tidak buruk!
Ini jadi sesuatu yang mendebarkan bagi Cakka! Dia seperti sedang akan melamar gadis yang akan menjadi isterinya, dengan arak-arak yang ramai membawa roti buaya, kembang tujuh rupa, mercon, dan trompet. Oke, itu lebay. Tapi bagaimana tidak? Daddy bahkan mengundang Mommy-nya untuk mengikuti konferensi pers ini supaya lebih meyakinkan. Bayangkan! Mengundang Mommy yang notabene sudah bercerai dengannya semenjak Cakka berusia 2,5 tahun.
Tiba-tiba alerts blackberry Cakka berbunyi. Dia segera merogoh kantongnya.
Ujang (Work) : Tuan muda, Ujang dan gadis yang di maksud sama Tuan besar sudah mendarat di Jakarta dengan selamat.
Mendapat pesan tersebut, Cakka segera memijat keypad-nya menghubungi Ujang.
...Hallo...
...Hallo tuan, udah nyampe, kita udah mau ke rumah ini...
...Tunggu...tunggu, kamu sudah beli gaun? Higheels? Aksesoris, udah percantik dia?...
...Wah, dia dasarnya emang cantik tuan, tidak perlu dimake-up juga, dan semuanya beres tuan...
...Oke! Aku sudah suruh sopir Daddy jemput kalian...
...Oke tuan, kita udah di luar dan sudah bertemu dengan Pak Emput...
...Sip... Eh, tunggu sebentar! Cincin...cincin!...
...Untuk apa tuan?...
...Aduh mampus, tadi aku lupa ambil cincin yang dipesan Daddy buat dipakaikan ke cewek itu, Jang, singgah dan langsung suruh pakai saja sama dia sudah tidak ada waktu, cepat yah, di emerald golden oke...
...Siap tuan...
***
Oik menatap Ujang yang meninggalkannya bersama seorang lelaki paruh baya di depan mobil yang mewah--menurutnya--dan dia di situ hanya bisa bengong. Setelah pembicaraan yang cukup serius dengan seseorang yang berada di balik telepon itu, Ujang kembali dan langsung membukakan pintu untuk Oik masuk ke dalam mobil tersebut.
APA?! Naik mobil ini? Oik mengerenyitkan dahinya. Tapi dia tetap mengikuti perintah Ujang untuk masuk ke dalamnya. Ini sungguh aneh, Ujang tak pernah menjelaskan pekerjaan apa yang akan menantinya di Jakarta. Ujang hanya berkata, kalau pekerjaan ini ringan banget malah. Dan gajinya lumayan besar. Sempat terbersit di benak Oik, Ujang akan membawanya ke tempat yang tidak-tidak. Tapi Ujang berhasil meyakinkannya untu tetap positive thinking. Tapi jujur saja, kali ini pikiran negatif itu kembali.
Bagaimana mungkin kalau Ujang yang katanya bekerja sebagai sopir malah dijemput dengan mobil mewah? Bagaimana mungkin kalau Oik minimal pekerjakan sebagai babu dan maksimal yah mungkin baby sitter dijemput dengan cara seperti ini?
Oik semakin kaget kala Ujang membawanya turun kesebuh toko berlian dan emas. Gila! Untuk apa mereka kemari?! Memang sih Ujang tak menyuruhnya turun. Hanya Ujang yang masuk dan tak lama kemudian keluar dan langsung menyerahkan sebuah kotak beludru ke dalam genggaman Oik. Oik melongo.
“Pakai yah, jangan dulu banyak tanya dan ndak usah berpikiran negatif, semua akan baik-baik saja,” kata Ujang dengan nada meyakinkan.
Oik ingin membalas perkataan Ujang yang tadi dengan sejuta pertanyaan yang ada dibenaknya. Namun entah kenapa lidahnya terasa kelu. Dia segera membuka kotak beludru yang ada di genggamannya. Dari dalam bias cahaya dari berlian yang berada di atas cincin emas putih itu mengkilau. Terlihat sangat mewah dan mahal. Dan sangat...
“WAW,” hanya kata itu yang mampu diucapkan oleh Oik. Waw...waw dan waw...
Dia tidak pernah memakai cincin seindah itu. Jangankan memakai, melihat atau bahkan membayangkan dirinya memakai cincin itupun tidak pernah. Dan kini, tanpa alasan yang jelas Ujang malah menyuruhnya memakai cincin itu sama seperti menyuruh seorang anak kecil memakan es krim kesukaannya.
Oik ragu menatap Ujang. Dirinya takut-takut meraih cincin itu. Namun Ujang menatapnya dengan tatapan Ayo--Pake--Jangan--buat--aku--marah. Oik jadi takut dengan tatapan itu. Maka dari itu, Oik mencoba memasangkan cincin itu di jarinya sendiri.
Dan...
Hap...
Pas...
Cincin itu terasa seperti dibuatkan memang khusus untuk Oik. Diapun menyunggingkan senyum samar di bibir tipisnya.
“Oke, Oik, kita hampir sampai, jangan pernah menjauh dariku,” kata Ujang sebelum mobil itu memasuki sebuah rumah yang besar dan megah dengan banyak sekali orang di halamannya.
***
“Ujang mana sih? Lama banget,” kata Cakka semakin panik, karena 5 menit lagi dia harus keluar dari sarangnya.
“Sabar Kka, paling sebentar lagi nyampe,” kata Bram menenangkan Cakka.
“Gimana aku bisa tenang coba---,”
“Tuan,” kata-kata Cakka terpotong dengan kehadiran...
“Ujang,” kata Cakka segera mendekat, “mana dia? Mana?,” tanya Cakka agak panik karena melihat Ujang yang hanya sendirian.
“Aduh, Ujang tak tahu Tuan, tadi pas Ujang turunin dia di depan, Ujang suruh jangan kemana-mana eh, pas Ujang balik dia sudah tidak ada di depan,” kata Ujang.
“Cakka! Lima menit lagi, ayo siap-siap keluar!,”
“Wait Ddy, Ujang lupa taruh ceweknya dimana,”
“Maksudnya?,” Daddy Cakka agak kurang paham dengan kalimat Cakka tadi.
“Aduh, gini aja Jang, cewek itu pake baju model bagaimana dan kayak apa? Pasti dia ada di kerumunan orang di luar, biar aku yang cari,” kata Cakka.
“Dia pakai gaun warna biru muda terus pake higheels, tingginya sekitar seratus lima puluh limaan, rambutnya panjang lurus, apalagi yah? Pokoknya dia manis tuan, matanya kecil, bibirnya tipis,”
“Oke...oke, aku cari,” kata Cakka dan langsung melangkah menuju pintu samping rumahnya.
Tepat saat dia membuka pintu samping rumahnya, dia melihat seorang gadis yang sedang merapikan rumahnya dan ciri-cirinya sama seperti yang di katakan Ujang...
Nah itu dia...
Tanpa banyak kata-kata Cakka segera meraih tangan gadis itu membawanya menuju kerumunan wartawan yang berkumpul di depan rumah Cakka.
***
8. AFTER THE PRESS CONFERENCE
JARI tangan Cakka masih berada di sela-sela jemari Oik. Dia terus menuntun Oik sampai masuk kembali ke dalam rumahnya.
Oik menatap sekeliling ruangan tempat dia dan Cakka berdiri sekarang ini. Ruang tamu yang megah dan besar, perabotannya pun terkesan mahal. Di desanya, dia tidak pernah melihat rumah seperti ini. Matanya tiba-tiba terhenti pada sosok Ujang yang berjalan ke arahnya.
“Duh Oik, kamu kemana aja, sudah aku bilang kan kamu ndak boleh kemana-mana,” kata Ujang.
“Kamu yang ninggalin aku tadi,” kata Oik.
“Eh, aku minta maaf yah, soal yang tadi,” sambung Cakka membuat Oik sadar kalau dia masih ada digandengan Cakka dan segera melepaskan tangannya. Dia tidak berkata-kata, wajahnya tiba-tiba memanas mengingat hal yang baru saja terjadi tadi. Sebenarnya apa sih pekerjaan yang sebenarnya ditawarkan Ujang untuk dirinya? Apa maksud pakaian yang dibelikan Ujang untuknya? Apa maksud mobil mewah? Apa maksud cincin? Apa maksud lelaki ini tiba-tiba menariknya? Apa maksud perkataan lelaki ini tadi? Dan apa maksud ciumana tadi...?
Banyak sekali pertanyaan yang ada di benak Oik.
“Aku ndak paham Jang, sebenarnya pekerjaan apa yang ada untukku disini?,”
“Aduh aku bingung Ik buat ngejelasinnya dari awal, aku juga ndak paham,”
”Biar saya yang jelaskan,” suara berat nan berwibawa menyela, semua mata segera tertuju padanya. Itu Daddy-nya Cakka, “bisa kita duduk dulu?,” lanjutnya sambil menunjuk sofa yang hanya berjarak 5 langkah dari tempatnya berdiri. Daddy Cakka mendahului mereka, duduk di samping Bram yang sudah lebih dulu duduk.
“Ayo,” ajak Cakka kembali menyelipkan jemarinya di sela-sela jemari Oik dan menariknya menuju sebuah kursi.
“Ujang! Kamu lihat keluar sebentar, apa masih banyak wartawan di luar?,” suruh Daddy-nya Cakka.
Ujang segera melangkahkan kakinya. Mengintip lewat jendela yang ada tepat di samping pintu utama.
“Masih tuan,” katanya.
“Oke, berarti, gadis manis, kita harus bersabar untuk penjelasan,” kata Daddy.
Daddy mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya kemudian berbicara. Sepertinya dia sedang berbicara dengan salah seorang satpam yang sedang menjaga wartawan di depan dan menyuruhnya lebih mengetatkan penjagaan.
Oik jadi makin kaget saat dirinya ditarik lebih mendekat dan menempel pada Cakka. Dan tangan Cakka bermain pada pundaknya.
“Iya Ddy... Aku dan Oik tuh maunya pernikahannya sederhana tidak usah terlalu mewah, yang penting Oik jadi milikku,” kata Cakka dengan suara agak kencang lalu menyapu sudut mata Oik dengan bibirnya.
Sekali lagi Oik kaget dengan perlakuan tiba-tiba Cakka kepadanya. Dia memalingkan pandangannya ke arah Cakka dengan mata yang membesar, untuk ukuran mata kecilnya. Tatapan kagetnya. Tapi Cakka malah membalas dengan senyuman tenangnya.
Cakka mendekatkan hidungnya ke telinga Oik dan menghembuskan napasnya tepat di samping daun telinga Oik. Membuat napas Oik berhenti untuk beberapa waktu.
“Oke, Daddy harap pilihan ini tepat,” kata Daddy.
“Off course Daddy, I'm in love with her...very, very love her,” kata Cakka lalu mencium Oik di samping daun telinganya itu.
“Cakka! Can you stop your activity? Don't you see, where you are?,”
“I know Ddy, but I don't know, why I can't stop to show how much I love her,” kata Cakka sambil menyeka bibir Oik dan membuat sesuatu seperti menari-nari di dalam perutnya. Dia kembali menatap Oik lalu mendekatkan bibirnya di tempat yang tadi disekanya sebelum akhirnya menempelkan bibirnya itu di situ. Kali ini darah Oik terasa seperti aliran sungai.
Lama-lama Cakka seperti memberikan terapi kepada Oik untuk mengetes fungsi organ tubuhnya. Jantung, checked. Paru-paru, checked. Perut, checked. Darah, checked. Apa lagi?
Cakka menatap ke arah jendela. Melihat kedua orang wartawan 'yang mencoba mengintip' ke dalam rumah Cakka ketahuan dan digeret oleh satpamnya. Cakka menghembuskan napasnya, kemudian dengan perlahan melepaskan tangannya dari bahu Oik. Tapi tidak menjauhkan dirinya.
“Sudah pergi,” kata Daddy, “Ujang, masih ramai di depan?,” tanya Daddy.
“Masih ada sekitar lima wartawan yang ngotot tidak mau pergi Tuan,” kata Ujang.
“Kita pindah ruangan, ke ruang keluarga ayo,” kata Daddy lalu berdiri mendahului semua, namun langkahnya tertahan dan berbalik lagi, “ah, Ujang, Bram, dan yang lain, biar saya, Cakka, Oik, sama ehm, Mommy-nya Cakka yang ke sana, kalian tunggu disini saja, oke!,”
Lanjut Daddy lalu melanjutkan langkahnya. Mommy-nya Cakka melangkah dengan ragu mengekor di belakang Daddy. Cakka berdiri, dan menatap ke arah Oik yang tidak melakukan gerakan sedikitpun. Cakka mengulurkan tangannya pada Oik. Gadis itu mendongak ke atas menyadari tangan Cakka yang terulur.
“Wanna hold your hand, can I? Kamu kan tak tahu jalan ke ruang keluarga,” kata Cakka.
Oik masih bingung dengan perkataan Cakka. Sebenarnya dari tadi dia bingung. Tapi, akhirnya menyerahkan tangannya ke atas telapak tangan Cakka, lalu berdiri dan mengikuti jejak Cakka.
Ruang keluarga Cakka berada di lantai 2 rumahnya. Ruangan keluarga jarang sekali di pakai untuk saat ini. Semenjak Daddy sibuk kerja dan kakaknya kuliah di luar negeri serta Cakka yang meniti karir, ruang keluarga hampir tak tersentuh.
Kali ini Oik duduk dengan Mommy, sedangkan Cakka dengan Daddy. Oik duduk di hadapan Daddy, sedangkan Cakka di hadapan Mommy.
“Nama lengkap kamu siapa?,” tanya Daddy.
“Oik, Oik Cahya Ramadlani,”
“Oke, Oik...kamu satu kampung dengan Ujang?,”
“Iya Pak, saya satu kampung dengan Ujang,” kata Oik.
“Kamu tahu untuk apa Ujang bawa kamu kemari,”
“Saya butuh kerja Pak, dan kata Ujang di sini ada pekerjaan, tapi pas sampai tadi saya bingung, kenapa jadi begini? Saya ndak paham Pak,”
“Kamu butuh pekerjaan berarti kamu butuh uang, kamu sebut saja berapa nominal yang harus saya bayar per bulan?,”
“Maksud Bapak?,”
“Ya ini pekerjaanmu,”
“Apa toh Pak? Saya ndak paham, mana pekerjaannya Pak? Dari tadi saya ndak diberi pekerjaan?,”
“Jadi tunangan dan calon isteri serta isteri Cakka,”
“APA?!,” Oik kaget setengah mati.
“Iya, kamu butuh uang kan? Dan butuh pekerjaan kan?,”
“Tapi saya ndak jual diri Pak,”
“Oh, saya tidak membeli, ini pekerjaan bukan transaksi jual beli, kan katamu kamu butuh pekerjaan,”
“Tapi bukan pekerjaan yang seperti ini Pak, saya bisa kok jadi pembantu di sini, bisa nyapu, ngepel, masak, nyetrika, dan lain-lain, saya siap untuk itu satu kali dua puluh empat jam kalau mau,”
“Saya tidak butuh pembantu, pembantu saya sudah banyak di rumah ini, dan semua siap satu kali dua puluh empat jam, saya butuh calon isteri buat anak saya,”
“Saya ndak pantas buat anak Bapak, anak Bapak selebritis, saya gadis kampung, pasti banyak gadis yang mau tanpa di bayar,”
“Nah itu! Saya butuh gadis yang bukan selebritis, gadis yang seperti kamu, dan saya mau membayar supaya ini dianggap sebuah pekerjaan, pasti kalau seseorang menganggap yang dilakukannya adalah pekerjaan dia akan ber-attitude baik untuk menyelesaikan pekerjaan itu bukan? Nah lagi pula saya mencarikan calon isteri buat Cakka untuk kepentingan karir Cakka, saya tidak mau mengambil resiko lain, kamu tidak beresiko untuk anak saya, bagaimana?,” tanya Daddy.
Oik nampak berpikir keras. Ini pekerjaan yang paling sulit untuknya. Jika dia disuruh memilih pekerjaan ini atau membajak sawah, mungkin dia akan memilih membajak sawah. Tapi bagaimana dengan orant tuanya yang berharap di kampung? Bagaimana dengan adik-adiknya? Dia memang sedang butuh pekerjaan yang menghasilkan uang!
“Pak saya punya orang tua di kampung---,” belum sempat Oik melanjutkan dipotong Daddy.
“Oh, tenang saja, mereka tidak perlu tahu soal ini, kamu bilang saja di sini kamu jadi asisten pribadi Cakka, nanti di saat yang tepat kita semua ke kampung kamu untuk melamar kamu seperti biasa, secara resmi supaya tidak ada yang curiga, yah pernikahannya tidak dilaksanakan buru-buru, mungkin enam bulan ke depan,”
Tiba-tiba ponsel Cakka berdering. Cakka berjalan menuju sudut ruangan untuk mengangkatnya. Sedangkan mereka melanjutkan percakapan mereka.
“Saya perlu berpikir,”
“Tidak perlu! Kamu harus menerima pekerjaan ini,” kata Daddy.
“Ddy, Mr. Pattinson, wanna talk to you,” kata Cakka mendekat sambil menyodorkan ponselnya. Daddy mengambilnya.
“Wait a few minutes, I'll be back, saya harap setelah saya menelepon kamu sudah punya jawaban,” kata Daddy lalu berjalan ke sudut ruangan menggantikan posisi Cakka tadi dan Cakka kembali ke tempat duduknya.
Oik menatap Cakka dengan perasaan yang gelisah. Entah kenapa, dia bahkan tidak tahu kenapa tiap kali dia menatap lelaki di hadapannya itu perasaan resah selalu muncul. Apa karena efek ciuman tadi? Atau karena lelaki ini memang penuh pesona?
Cakka sedang memainkan iPad di tangannya. Sesekali dia menggigit bibirnya sambil jari-jarinya menyentuh layar iPad.
Menjadi tunangan, calon isteri dan kelak menjadi isteri lelaki ini? Yang benar saja?
Sebuah tangan tersampir di pundak Cakka. Oik menatap ke arah yang empunya tangan. Itu Mommy-nya Cakka. Dia menyunggingkan seulas senyum padanya.
“Pikirkan baik-baik, kamu itu gadis baik-baik, jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari, dan kamu perlu tahu, Cakka itu juga lelaki baik-baik, tenang saja dia tidak seperti kata orang,” kata Mommy.
“Saya ndak paham Bu dengan semua keadaan ini,”
“Kamu tidak tahu masalah yang sedang menimpa Cakka?,”
“Saya ndak tahu Bu, maklum di kampung saya ndak ada tivi, saya tahu Cakka selebritis aja dari Ujang, makanya dari tadi saya bilang ndak paham,”
“Jadi begini sayang,” Mommy Cakka membelai rambut Oik, “Cakka punya masalah dengan ex-girlfriend-nya,”
“Ex-girlfriend?,”
“Iya, mantan pacarnya, dia putus sama mantan pacarnya, dan mantan pacarnya itu sama-sama selebritis, mereka pacarannya diam-diam dari publik, nah ketahuan pas mereka putus. Pacarannya sudah dua tahunan, dan mantannya itu tidak terima dengan keputusannya Cakka, jadi dia membuat pandangan orang tentang Cakka jadi buruk, dan karir Cakka mulai menurun, untuk mengembalikan itu dan untuk memutar balikan opini masyarakan makanya Daddy-nya Cakka mengajukan idenya yang menurut saya itu ide gila juga, yah, tapi pasti Daddy-nya punya alasan untuk itu,”
Oik mengangguk-ngangguk. Tapi sebenarnya tidak habis pikir dengan Daddy-nya Cakka itu. Cara seperti ini? Tidakkah ada cara lain?
Cakka terlalu. tenggelam dengan iPad-nya, makanya dia tidak mendengarkan pembicaraan yang terjadi antara Mommy dan Oik.
Daddy Cakka. mengakhiri sambungan teleponnya dan menyerahkan kembali ponsel pada Cakka. Lalu dia duduk di samping Cakka.
“Bagaimana? Sudah kamu pikirkan? Dan saya tidak mau mendengar jawaban tidak!,”
Oik menghela napasnya, “baiklah, apapun jawaban saya, anggap saja saya menyetujuinya,”
“Oke, perlu kontrak kerja? Biar saya suruh siapkan pengacara saya,”
“Ndak usah Pak, ndak usah melibatkan hukum, saya tetap akan menjalankan pekerjaan saya, ndak perlu kontrak kerja, Bapak ndak usah membayar saya kalau saya melanggar, atau melakukan apapun yang Bapak mau terhadap saya, biar kita saja di rumah ini yang tahu ndak usah melibatkan oknum luar,” kata Oik.
“Oke baiklah, sebutkan nominal yang kamu mau, sekarang dan bulan seterusnya saya akan transfer ke rekening kamu,”
“Bapak atur aja, mungkin besar untuk saya, kecil untuk Bapak, jadi silahkan Bapak yang atur,”
“Oke baiklah, deal?,” Daddy Cakka mengulurkan tangannya pada Oik. Dengan ragu Oik membalas uluran tangannya.
“Saya anggap deal, ayo Cakka cukup, kita dipanggil Mr. Pattinson untuk penggarapan video klip single terbarumu, Oik, kamu tinggal di sini, kamar kamu tanya sama Ujang, apa yang kamu butuhkan tinggal bilang saja, oke,” kata Daddy lalu melangkah, sebelum keluar pintu bersama Cakka, Daddy berbalik, “Dha,” panggil Daddy, Mommy Cakka berbalik, “makasih sudah mau datang,” lanjutnya.
“Sama-sama, Cakka anakku juga, aku mau yang terbaik untuknya,” kata Mommy Cakka.
***
“CAKKA! YANG KAMU LAKUKAN TADI ITU KAMU SADAR KAN?!,” Bram heboh, saat Cakka baru menginjakan kaki di kamarnya ketika pulang dari pertemuannya dengan Mr. Pattinson.
“Yang mana?,” tanya Cakka santai sambil melepas jaket yang dikenakannya lalu mencampakannya ke sembarang tempat.
“Ya itu, yang di konferensi pers sama yang di ruang tamu, are you crazy? You kissed the girl... Not just a kiss but THE KISS!,”
“So?,”
“Cakka! Itu lebay sekali...,”
“ I think no! Nothing's gonna be over, If you fallin' in love, you know?,”
“What???!!! You mean, you're fallin' in love with the girl?,”
“Yeaah,”
“OH MY CAKKA!!!,”
“I'm not yours,”
“Tapi Cakka, kau baru bertemu dengannya satu kali, bagaimana kau mengatakan kalau kau jatuh cinta dengannya, hanya dengan satu kali pertemuan?,”
“Because, her lips so kissable, I wanna kiss her more and more...,” kata Cakka tersenyum jahil.
“Err, you're fallin' in LUST,”
“Bilang LUST, tidak usah pakai urat kali! I'm kidding, I'm kidding, kalau tidak seperti itu mereka tidak akan percaya, sudahlah, just follow the game,”
“Oke...oke... But I dare, you stole her first kiss at the crazy time,”
“Maybe,” kata Cakka lalu mengambil handuk dan berjalan menuju kamar mandinya.
***
Oik duduk di meja rias di kamarnya---di kamar tamu rumah Cakka---sambil mematut dirinya. Dia mengambil sisir dan menyisir rambutnya yang basah. Tadi dia baru saja selesai mandi membersihkan dirinya. Satu per satu dia mulai kembali memutar memori saat masuk ke rumah ini. Gila! Semua yang terjadi di sini gila! Sama sekali di luar dugaannya.
Matanya kemudian tertuju pada bibir rossy-nya. Dia memegang bibirnya itu. Dan pipinya kembali memanas. Kenapa dia tidak menolak perlakuan Cakka tadi padanya?
Memori belakang otaknya berputar pada pembicaraannya dengan Nova saat menjaga ladang.
Oik dan Nova duduk di gubuk kecil seperti biasanya. Cuaca siang itu panas sekali, Oik mengambil kipas yang terbuat dari bambu, seperti kipas sate yang dibawanya dari rumah. Mengipas-ngipas ke lehernya yang sudah mengeluarkan banyak peluh.
Nova menyeruput sirup dari sebuah gelas hingga tak bersisa.
“Ik, kamu sudah pernah ciuman belum?,”
“HAH?,”
“Iya, ciuman,” kata Nova sambil mengerucutkan jari-jari tangannya lalu mendekatkannyam
“Aduh Nova, ndak bisa bahas yang lain?,”
“Ya kita berbagi pengalaman saja Ik, pernah ndak?,”
“Itu terlalu pribadi menurutku,”
“Ndak juga normal kok kalau seumuran kita,”
“Ndak, aku ndak pernah, memang kenapa?,”
“Kamu perlu coba,”
“Ah, gila! Ndak mau, memangnya kamu pernah coba?,”
Wajah Nova tiba-tiba memerah, “Pernah, hehehe, sekali tapi, rasanya tuh kayak ada sesuatu yang meledak-ledak,”
“Kamu kira bom apa?,”
“Ye, dibilangin, nih ya, kalau kamu ngasih ciuman pertama kamu ke orang yang tepat, pasti rasanya tuh seperti itu, mungkin lebih, apalagi kalau kamu jatuh cinta padanya, bisa jadi terapi jantung,”
“Hahaha,” Oik tertawa garing.
“Memang lucu yah Ik?,”
“Iya, banget!,”
“Ndak, ini beneran Ik, coba sana gih, sama Randy, hahahahaha,”
“Novaaaaaaaaa!!! Aku ndak suka diaaaaaa,”
“Sama siapa dong? Mau nunggu selebritis yang cium kamu toh Ik baru kamu mau? Mimpi!,”
“Novaaaaaaaaaa,” Oik menggelitik Nova tak ada ampun.
Ya! Mimpi! Ini mimpi kan? Seperti yang dikatakan Nova tempo hari. Oik mengerjapkan matanya dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Mudah-mudahan dia bisa terbangun dari tidurnya.
Tapi nihil! Ini bukan mimpi, ini KENYATAAN. Tadi kata Nova juga kalau dia memberi ciuman pertama untuk orang yang tepat akan ada yang meledak-ledak dari dalam. Dan jika dia jatuh cinta pada orang itu bakalan jadi terapi jantung.
OKE! Tadi itu bukan cuma ada yang meledak-ledak, dan bukan cuma terapi jantung tetapi TERAPI ORGAN TUBUH! Kalau itu apa maksudnya? Apa? Apa? Apa? Kenapa sekarang dia jadi kepikiran hal konyol yang dia anggap dulu lelucon oleh Nova.
Apa karena sekarang dia juga mengalaminya?
Oik segera menggelengkan kepalanya lagi, berusaha membuang pikirannya itu. Melangkah dari meja rias menuju masterbed lalu naik ke atasnya menarik selimut dan tidur.
***
0 komentar:
Posting Komentar