Once Upon a Love
Suatu hari cinta itu datang mengubah segalanya…
Aku seseorang yang meyakini kalau cinta itu semu…
Aku tak pernah suka dengan puisi cinta Khalil Gibran…
Aku tak pernah menyentuh novel romance ataupun lagu-lagu cinta tak bermakna…
Aku tak akan percaya akan keajaiban cinta…
Apa? Cinta itu ajaib? Hanya orang bodoh dan konyol yang mempercayainya.
It doesn’t works for me!
Mana buktinya? Keajaiban cinta itu sendiri tak datang kepadaku saat aku membutuhkannya.
Bukankah itu mematahkan hipotesis orang tentang cinta? Bukankah itu juga menyatakan memang tak akan ada?
Namun…
Entah mengapa, semenjak dia hadir dalam kehidupanku…
Aku mulai percaya cinta itu… mulai menyusup keruang hampa didalam hati…
***
Matanya masih sembab, pipinya masih basah. Cairan bening yang dari tadi mengalir dipipinya mulai berhenti. Mungkin karena kelenjar airmatanya telah lelah memproduksi air mata. Luka dihatinya masih mendalam menatap nisan yang ada dihadapannya. Dia tak percaya, kalau kekasih yang ditunggunya selama 2 tahun kini telah pulang. Yah pulang, tapi dengan keadaan tak bernyawa.
Ashilla Zahrantiara. Itu nama yang terukir diatas nisan tersebut. Kekasih yang dipacarinya selama 3 tahun dengan 2 tahun menjalin Long Distance Relationship, karena Shilla pergi melanjutkan studynya diluar negeri membuat mereka berpisah. Susah payah dia mempertahankan cintanya dengan Shilla. Susah payah dia meyakinkan Ayahnya yang sebenarnya menentang hubungannya dengan Shilla. Banyak perngorbanan yang dia lakukan hanya untuk cinta. Tapi apa balasannya? Apa yang didapatinya? Ketika dia merasakan kebahagiaan mendapatkan kabar kalau-kalau kekasihnya akan pulang kembali ke Indonesia dan bisa menyatukan cinta mereka lagi tapi? Yang kembali malah jasad Shilla.
Kenapa dia tak pernah memberitahukan kalau dia sakit? Kenapa? Begitukah cinta? Saling tertutup? Ternyata benar cinta itu bullshit, cinta itu hampa, cinta itu semu, cinta itu kosong dan tak ada artinya sekalipun kita percaya. Jadi lebih baik untuk tidak percaya dengan keajaiban cinta itu. Karena sampai saat ini keajaiban cinta itu tidak pernah terjadi pada dirinya.
***
Setahun kemudian…
Seorang lelaki duduk disalah satu tempat duduk pertunjukan ballet, matanya yang berbentuk almond serta bola matanya yang bulat sempurna tampak tidak tenang. Dia tidak terpaku pada pertunjukan tersebut. Jujur saja, Dia amat teramat bosan berada ditempat seperti ini. Sangat gerah. Manakala musik klasik mengiringi pertunjukan ballet itu, matanya mulai mengantuk. Akan lebih baik jika dia menonton konser-konser band metal daripada menonton pertunjukan seperti ini.
“Cakka, dari tadi kamu terlihat tidak tenang,” Tegur Bundanya
Lelaki bernama Cakka itu, mengalihkan pandangannya kepada Bundanya, menatap Bundanya itu dengan tatapan paling innocent sedunia, “Bunda, Cakka… Cakka kebelet pipis, Cakka boleh keluar yah,” Katanya kemudian.
“Ya sudah jangan lama-lama,” Kata Bundanya.
Cakkapun berdiri dari tempat duduknya dan mulai mengayunkan kakinya, melangkah keluar dari bangku penonton itu. Keluar dari pintu yang bertuliskan ‘Exit’ dibagian kiri ujung tempat pertunjukan, lalu berjalan menuju sebuah tempat yang didepannya tertulis ‘Toilet’. Membuka pintu yang didaun pintunya ada sebuah papan kecil bertuliskan ‘for men’. Setelahnya, masuk kedalam. Didalam tak ada seorangpun sepi. Dia segera mengayunkan langkahnya kembali menuju wastafel yang berjarak lima langkah dari hadapannya. Tiba didepan wastafel dia segera memutar kran, air jernihpun mengalir. Dia segera membasuh wajahnya dengan air kran untuk menghilangkan kantuknya. Berkali-kali, sambil dia memperbaiki rambutnya yang ‘agak’ berantakan.
Creeekk---, suara gagang pintu diputar. Pintu tepat berada dibelakangnya sehingga dia dapat melihat pintu itu bergerak membuka dari cermin dihadapannya. Matanya terbelalak kaget mendapati seorang gadis dibalik pintu itu masuk kedalam. Gadis dengan pakaian ballerina. Cakka yang kaget, kemudian memandangi sekelilingnya. Yang salah masuk siapa? Dia atau gadis ini? Ini benar toilet ‘khas’ pria. Sudah pasti gadis ini yang salah masuk.
“Maaf,” Ucap gadis itu. Dia tampak malu dan tertunduk. Kemudian melangkah mundur satu langkah.
“Makanya kalau masuk li---,” Kata-kata Cakka terpotong baru saja Ia ingin memarahi gadis itu, tiba-tiba gadis itu oleng. Sebelum dia jatuh Cakka dengan sigap menahannya. Darah segar kemudian mengucur dari hidungnya, Dia pingsan.
***
Cakka mondar-mandir didepan ruang emergency sebuah rumah sakit. Sekali-kali menatap daun pintu yang ada didepannya. Cukup lama dia mondar-mandir, akhirnya seorang pria dengan pakaian serba putih serta stetoskop menggantung dileher pria itu, keluar. Itu Dokter yang menangani gadis tadi. Saking paniknya tadi Cakka langsung membawa gadis itu ke Rumah Sakit tanpa memberitahu Ayah dan Bundanya. Dokter itupun segera menghampiri Cakka.
“Dia nampaknya kelelahan, makanya penyakitnya kambuh dan memang sudah jadwalnya untuk cuci darah hari ini,” Kata Dokter.
Cakka mengerenyitkan dahinya, “Cuci darah?,” Dia kaget dengan kata-kata itu.
“Iya cuci darah, jadi dia ini mengidap penyakit---,” Belum sempat Dokter melanjutkan perkataannya. Sepasang pria dan wanita, nampaknya sepasang suami isteri datang dan langsung bertanya pada Dokter itu.
“Dok, tadi suster telepon katanya anak saya disini?,” Tanya sang wanita, dia terlihat panik.
“Iya, anak anda ada disini, tadi pemuda ini yang membawanya,” Kata Dokter sambil menunjuk Cakka.
“Makasih ya Nak, kamu sudah membawa anak saya kemari,” Kata pria sambil menyalami Cakka, disusul sang wanita.
“Iya Om, Tante, tadi saya juga panik, pas anak Om dan Tante pingsan makanya saya bawa kemari,” Kata Cakka.
“Dok, boleh lihat puteri kami kan?,” Tanya sang pria.
“Tentu saja,”
***
“Duh, Cakka… kamu kok belum siap-siap,” Tanya Bunda Cakka yang masuk ke kamar Cakka dan mendapati anaknya masih berbaring diatas masterbednya.
“Bunda, Cakka masih ngantuk tahu, lima menit lagi yah,” Kata Cakka.
“Gak bisa, bentar lagi anaknya tante Reya mau datang kemari, nanti kamu malu loh, ketemu dia belum mandi, dia kan tamu Cakka jadi harus disambut, tuh Bunda sudah siapin pakaian yang kamu pakai, digantung didalam lemari kamu yah,” Kata Bunda sambil berjalan mendekat kearah pintu, memutar gagang, sebelum berada diluar dia melanjutkan, “Pokoknya Ayah dan Bunda tunggu kamu dibawah sepuluh menit lagi! Kalau kamu gak turun-turun Ayah dan Bunda yang akan memandikan kamu,” Kata Bunda Cakka.
“Iya Bunda bawel, Cakka pasti turun, Bunda lama-lama disini Cakka gak turun-turun nanti,” Katanya.
Bundanya menggeleng frustasi melihat kelakuan anaknya yang masih saja seperti anak kecil lalu melangkah keluar dari kamar anaknya itu.
Cakka mengucek-ngucek matanya, masih agak sedikit buram. Matanya sepertinya belum siap betul menerima sengatan mentari yang pekat pagi ini. Diapun mengedip-ngedipkan matanya setelah kesadarannya pulih sepenuhnya. Lalu dengan gontai bergerak dari tempat tidurnya, menuju almari yang berada disudut ruangan. Dibukanya almari tersebut dan mendapati sepasang kemeja dan celana telah bertengger tergantung di almari itu.
Huh! Bunda apa-apaan sih? Diakan sudah tahu aku paling gak suka pakai kemeja, seistimewa apakah tamu ini sampai aku harus memakai kemeja seperti ini? Cakka mengeluh dalam hatinya melihat pakaian yang disiapkan Bundanya itu. Dengan malas dia mengambil handuk dan berjalan menuju kamar mandi.
Setelah selesai mandi, Cakka segera memakai pakaian yang disediakan Bundanya itu. Agak risih dibadannya memakai kemeja. Biasanya dia hanya memakai kaos oblong, lebih nyaman seperti itu dari pada memakai kemeja. Setelah selesai bersiap-siap, Cakka mematut dirinya didepan kaca. Menurutnya, Dia tampak lebih tua dari usianya. Diapun menggeleng-geleng, dengan terpaksa keluar dari kamar dan menuju ke ruang tamu. Disana Ayah dan Bundanya telah menunggu. Bundanya datang menghampiri Cakka dan merapikan rambut Cakka yang –katanya– agak berantakan, padahal memang modelnya seperti itu. Mau bagaimanapun rambutnya akan seperti itu.
“Bun, kenapa sih anaknya tante Reya, sahabat Bunda itu mau tinggal disini? Dalam rangka apa?,” Tanya Cakka setelah duduk disamping Ayahnya.
“Soalnya tante Reya sama om Burhan mau berangkat ke New York, anaknya yang satunya lagi kan mau graduation exercise disana, orang tua harus hadir, jadinya tante Reya sama om Burhan kesana selama dua bulan, anaknya yang satunya sendirian karena pembantu mereka lagi pulang kampung, jadi pas kemarin ketemu, Bunda tawarin aja dia buat anaknya tinggal disini,”
“Oh, gitu aja kok kenapa Cakka harus berpakaian rapi seperti ini?,”
“Kan kita harus menyambut tamu dengan baik dan sopan sayang,” Kata Bundanya.
“Anaknya laki-laki apa perempuan?,”
“Anaknya---,” Belum sempat Bundanya menjawab.
“Tuan, Nyonya, tamu yang ditunggu sudah tiba, dia dibantu mang Dadang buat angkat barangnya,” Kata mbok Ipeh –pembantu keluarganya Cakka–.
Ayah dan Bunda Cakka beranjak dari posisinya masing-masing. Melangkah, diikuti Cakka yang mengekor dibelakang orang tuanya itu.
Berdiri dihadapan mereka seorang gadis dengan rambut yang dikuncir satu kebelakang, poninya dijepit kesamping dan tersenyum hangat kepada mereka. Cakka menatap aneh kearah gadis itu. Gadis itu… bukannya…
“Eh, Oik sudah datang,” Kata Bunda Cakka.
“Iya Om, Tante… aduh maaf nih bakal merepotkan,” Kata Oik sambil menyalami Ayah dan Bunda Cakka.
“Ah, gak apa-apa kok sayang, oh ya kenalin ini anak Tante dan Om,” Kata Bunda Cakka sambil menunjuk Cakka. Oik mengalihkan pandangannya kearah Cakka. Tiba-tiba pipinya bersemu merah. Dia malu?
“Cakka,” Cakka mengulurkan tangannya terlebih dahulu melihat ekspresi gadis yang ada didepannya itu. Dengan gerakan lambat Oik membalas uluran tangan Cakka.
“Oik,” Katanya.
Oik nama gadis ini. Gadis ballerina yang salah masuk toilet kemudian pingsan dan dibawa Cakka ke Rumah Sakit. Ternyata dia adalah anak tante Reya, sahabat Bunda Cakka. Berarti yang ditemui Cakka di Rumah Sakit kemarin adalah tante Reya dan om Burhan.
***
“Oik bagaimana dengan balletmu? Sibuk yah?,” Tanya Bunda Cakka.
“Hm, Oik hanya sibuk sama latihannya sehari-hari, apalagi setelah pertunjukan sanggar kemarin,” Jawab Oik.
“Oh ya Cakka, kemarin Bunda mengajak kamu ke pertunjukan ballet, buat mengenalkan kamu sama Oik, tapi kamu gak tahu kemana, Oik juga selesai pertunjukan kok gak ada di backstage?,”
“Itu Tante kemarin Oik---,”
“Cakka kemarin dapat panggilan latihan band mendadak, jadi Cakka cepat-cepat gak bilang-bilang,” Potong Cakka sebelum Oik menyelesaikan kalimatnya.
Oik menengok kearah Cakka. Cakka terlihat cuek.
“Kalau Oik tante… ah, Oik buru-buru pulang soalnya harus check-up,”
“Oh, padahal kemarin pertunjukan ballet sanggar kamu bagus banget, apalagi kamu, gerakanmu indah, kamu memang berbakat jadi ballerina,” Kata Bunda Cakka.
“Makasih Tante, Oik jadi tersanjung dibilang seperti itu sama Tante,” Kata Oik.
Cakka terlihat cepat-cepat menghabiskan makan malamnya. Dia mulai bosan dan sama sekali tidak nyambung dengan pembicaraan seperti ini. Dia ingin segera pergi ke kamarnya dan tidur. Sesuap lagi makanan dipiring Cakka habis. Dia memasukan suapan terakhir kedalam mulutnya, meneguk air minum, menyeka mulutnya menggunakan serbet dan hendak beranjak dari situ. Tapi…
“Cakka,” Panggil Ayahnya.
Cakka berbalik kearah Ayahnya.
“Duduk dulu, tunggu Oik sampai selesai makan, lalu antar Oik ke kamarnya sekalian. Lagipula kamar kamu dengan kamar tamu bersebelahan,” Kata Ayahnya.
Cakka mengeluh dalam hatinya, tapi dia tidak membantah. Akhirnya dia kembali menghempaskan bokongnya diatas kursi. Dan dengan terpaksa mengikuti pembicaraan yang –menurutnya– membosankan itu.
***
Pagi-pagi, Cakka sudah terbangun dari tidurnya dengan perasaan kesal. Dia mengambil jam yang ada diatas bupet tepat disamping masterbednya itu. Melihat jarum panjang jam berada diangka 12, sedangkan jarum pendek berada diangka 7. Masih jam 7 pagi, masih sangat pagi untuk ukuran Cakka, padahal dia biasanya bangun jam 9. Dia terbangun karena alunan irama musik klasik yang dikeluarkan harmonika. Tahu gak sih! Cakka paling tidak menyukai musik klasik yang ‘khas’ dengan nada mellow?. Cakka segera bangkit dari masterbednya, menghempaskan selimut yang tadi menutupi tubuhnya sembarangan. Dan hendak mencari sumber suara alunan musik itu. Sepertinya dari teras kamar sebelah Cakka. Teras kamar sebelah bersampingan dengan teras kamar Cakka. Cakka melangkahkan kakinya menuju teras kamarnya. Didapatinya seorang gadis dengan rambut basah digerai sedang meniup harmonika itu Oik.
“Woii… boleh gak berhenti meniup alat musik itu? Tidurku terganggu!,” Katanya.
Oik menghentikan aktifitasnya meniup alat musik itu. Kemudian memalingkan pandangannya kearah Cakka. Tapi…
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaa,” Teriak Oik sambil menutup kedua matanya memakai telapak tangannya.
Cakka heran kenapa Oik berteriak seperti orang kesurupan. Dia memandang sekelilingnya, kemudian memandang dirinya, akhirnya dia tahu apa yang membuat Oik berteriak. Cakka’s bad habit. Tidur dengan tidak menggunakan baju tidur alias telanjang dada. Dia hanya mengenakan celana tidur. Cakkapun melangkahkan kakinya masuk kedalam kamar mengambil kaos secara random dari almarinya. Mengenakannya kemudian keluar ke teras kamarnya lagi. Oik masih dalam posisinya tadi.
“Sudah, buka mata kamu, aku sudah pakai kaos sekarang,” Kata Cakka.
Dengan perlahan Oik menurunkan telapak tangannya. Setelah melihat Cakka mengenakan kaos, dia menghembuskan nafas lega.
“Aku masih ngantuk Oik, bolehkan kamu hentikan … ya Tuhan, Oik,” Cakka kaget, matanya terbelalak lagi melihat darah segar kembali mengucur dari hidung Oik. Oik memegang hidungnya, ah darah lagi. Cakka jadi panik, “Jangan bergerak kemana-mana yah, tunggu disitu,” Kata Cakka kemudian.
Dia segera keluar dari kamarnya menuju kamar Oik, lalu menghantarkan Oik ke Rumah Sakit lagi.
***
Creeekk---, Suara pintu dibuka. Cakka menyusup masuk kedalam ruang kerja Ayahnya. Disana ada Bundanya juga. Katanya ada yang mereka ingin bicarakan pada Cakka. Setelah tiba didalam ruangan itu, Cakka segera duduk disebuah kursi dihadapan Ayah dan Bundanya.
“Untuk apa Ayah dan Bunda memanggilku kemari?,” Tanya Cakka.
“Ada yang kita ingin bicarakan sama kamu tentang keadaannya Oik,” Kata Ayahnya.
“Oik?,” Cakka mengerenyitkan dahinya.
“Ya, Oik. Oik ini sebenarnya mengidap penyakit yang sangat serius, gagal ginjal dan menyebabkan dia harus cuci darah secara rutin, itu juga salah satu alasan tante Reya tidak membiarkan Oik sendirian dirumahnya, sebenarnya Bunda mau menemani Oik merampungkan jadwal cuci darahnya tapi kamu tahu kan belakangan ini Bunda banyak kerjaan. Jadi, Bunda mau kamu yang temani Oik yah, kalau jadwal cuci darahnya,” Mohon Bunda Cakka.
“Apa? Cakka? Haduh Bun, itu artinya Cakka harus bolak-balik rumah sakit dong? Gak, Cakka gak mau,” Tolak Cakka.
“Ayolah Cakka, ini berbuat baik loh, kamu gak kasihan apa sama Oik,” Kata Bunda Cakka.
Cakka nampak berpikir dan kemudian melipat kedua tangannya di dada lalu menggeleng.
“Kalau begitu ini perintah! Kamu gak mau? Ayah gak akan mengizinkan kamu latihan band lagi!,” Ayahnya tegas.
Dan dengan terpaksa Cakka menyetujuinya. Walaupun mengeluh dalam hatinya.
***
Oik nampak celingak-celinguk memperhatikan pintu ruangan yang ada disekitarnya itu. Dia bingung, rumah Cakka sangat besar. Dia baru berada 3 hari didalam rumah ini. Makanya, dia masih bingung dengan situasi dan kondisi rumah ini. Dia melihat sebuah pintu dihadapannya. Ah mungkin ini! Dia bergerak melangkah memutar gagang pintu itu. Kemudian masuk kedalam. Tiba didalam, Oik nampak kaget setelah mengedarkan pandangannya. Ruangan ini… seperti studio musik. Ada berbagai alat musik didalam ruangan, terutama alat musik band, gitar, bass, drum, keyboard. Oik melangkah dengan gerak lambat semakin masuk kedalam ruangan itu. Matanya masih bergerak kesana kemari seperti penari bali. Matanya kemudian terpaku pada sebuah piano putih diujung ruangan. Oik mengayunkan kakinya mendekat kearah piano itu. Semakin mendekat, sampai melihat sebuah bingkai foto diatas piano putih tersebut. Oik memandang foto itu lekat, foto seorang gadis bermata coklat dan berambut panjang. Baru saja Oik ingin mengambil bingkai foto itu…
“Lancang sekali kamu masuk ke ruangan ini sembarangan!,” Kata Cakka dia terlihat geram ketika melihat Oik berada di dalam studio musiknya. Dia kemudian melangkah mendekat kearah Oik.
“Maaf Cakka, aku… aku gak sengaja masuk kesini, kamu tahu kan aku disini baru tiga hari, sedangkan rumahmu begitu besar, aku pikir ini kamarku, jadi aku masuk kedalam dan ternyata ini, studio musikmu,”
“Oh,” Kata Cakka sambil duduk di bangku yang berada dibalik piano itu.
Hening untuk beberapa saat sebelum Oik memberanikan diri bertanya…
“Cakka, ehm, maaf mungkin ini lancang, gadis di foto ini siapa?,” Tanya Oik dengan hati-hati.
Cakka awalnya kaget dengan pertanyaan Oik, beberapa detik kemudian berubah datar lagi, “Itu Shilla, dia pacarku dulu… tapi, dia sudah meninggal, dia dulu seorang pianist, kami pacaran selama tiga tahun, tapi dua tahun long distance, dan saat dia kembali dia sudah tidak bernyawa hahaha, bodoh juga dulu aku percaya dengan yang namanya cinta itu,” Kata Cakka.
“Jadi piano ini mengingatkanmu padanya?,”
“Ya, bisa dibilang begitu, aku dulu minta dia mengajarkanku bermain piano, tapi aku tetap saja gak bisa, apalagi musiknya musik sangat klasik,”
“Sekarang kamu masih belum bisa main piano?,”
“Bisa… entah kenapa semenjak kepergian Shilla, aku malah jadi dengan mudah memainkan alat musik ini,”
“Kalau begitu boleh kan kamu mengiringiku bernyanyi?,” Mohon Oik.
“Nyanyi?,”
“Iya, aku sudah lama tidak bernyanyi, aku ingin menyanyikan lagu soundtrack Barbie the princess and the pauper, Written in your heart, aku suka dengan kisah perjuangan dan cinta di film itu,” Kata Oik.
“Konyol. Jangan menceritakan isi ceritanya padaku, karena aku tak percaya lagi dengan cinta,” Kata Cakka.
Oik menggeleng, “Aku tak akan menceritakan isi ceritanya padamu, karena setiap cerita sudah tertulis disini,” Kata Oik sambil menunjuk dada Cakka, “Kamu bisakan mengiringiku bernyanyi?,” Lanjut Oik.
Cakka menghela nafasnya kentara, “Baiklah akan kucoba, tapi kamu yang memulainya, aku akan menyesuaikannya,” Kata Cakka.
Oik mengangguk bersemangat dan mulai bernyanyi…
And your always free to begin again
And your always free to believe
When you find the place that your heart belongs
You'll never leave
You and I will always be
Celebrating life together
I know I have found a friend forever more
Love is like a melody
One that I will always treasure
Courage is the key that opens every door
Though you may not know where your gifts may lead
And it may not show at the start
When you live your dream
You'll find destiny
Is written in your heart
Though you may not know where your gifts may lead
And it may not show at the start
When you live your dream
You'll find destiny
Is written in your heart
***
Cakka membukakan pintu SUVnya, Oik masuk kedalamnya. Cakka kembali melangkahkan kakinya membuka pintu disamping kemudi lalu duduk dibalik kemudi. Hari ini Cakka akan mengantar Oik berlatih ballet disanggarnya. Karena Cakka diberi tanggung jawab orang tuanya untuk menjaga Oik dan Cakka tidak mau kalau sampai terjadi sesuatu pada Oik dan kedua orang tuanya mempersalahkannya makanya dia memutuskan untuk ikut mengantar Oik.
Volvo SUV itu menyapu jalanan menuju sanggar Oik yang letaknya lumayan jauh dari rumah Cakka. Tiba di sanggar tempat Oik berlatih, Cakka segera membukakan pintu SUVnya untuk Oik. Setelahnya, Cakka dan Oik berjalan beriringan masuk kedalam sanggar.
Semua mata tertuju pada mereka, ketika masuk kedalam ruangan khusus ballet, sebagian besar didalam ruangan itu adalah gadis-gadis. Membuat gula yang dikelilingi semut.
“Ik, dia siapa?,” Tanya seorang gadis berambut pendek.
“Iya Ik, duh ganteng banget,” Kata seorang gadis yang nampak terlihat lebih ‘genit’ dari yang lainnya. Oik tak menjawabnya, dia hanya tersenyum menatap Cakka. Kemudian, masuk kesebuah ruangan untuk mengganti pakaiannya dengan pakaian ballerina.
Gadis-gadis disitu nampak mendekat kearah Cakka. Mencoba berkenalan dengan Cakka dan menanyakan berbagai hal kepada Cakka. Cakka tak lantas menjawabnya. Tak lama kemudian Oik keluar. Gadis-gadis itu kembali mendekati Oik.
“Ik, cowok itu siapa sih?,” Tanya salah seorang dari mereka.
“Kakakku,” Kata Oik tersenyum sambil berjalan kearah cermin.
***
Cakka berjalan gontai, kembali lagi dia harus menemui Ayah dan Bundanya. Untuk apalagi orang tuanya itu memanggilnya lagi? Ada masalah apa? Bukannya dia telah rutin membawa Oik ke Rumah Sakit? Bukannya selama ini dia telah menjaga Oik? Dengan beribu pertanyaan didalam benaknya, akhirnya Cakka tiba didalam ruangan kerja Ayahnya.
“Ada apa lagi?,” Tanyanya malas langsung menghempaskan dirinya disebuah sofa.
“Begini Cakka, Ayah dan Bunda besok bakalan berangkat keluar kota, ada sedikit masalah dengan perusahaan kita di Semarang, jadi kita harus kesana selama satu bulan, kamu bisa kan jaga rumah ini dan Oik?,” Kata Ayah Cakka.
“Apa?! Berangkat selama sebulan?!,”
“Iya, ini mendadak sayang, dan sangat emergency,” Kata Bunda Cakka.
“Huh! Kalau Cakka sih sebenarnya gak apa-apa, cumanya di rumah ini ada Oik juga, bayangkan Cakka laki-laki, Oik perempuan, berdua di rumah, yah you know-lah, Cakka gak tahu yah kalau terjadi ‘apa-apa’ sama Cakka dan Oik di rumah ini,” Kata Cakka, jari telunjuk dan tengahnya digerakan seperti mengutip ketika menyebut kata ‘apa-apa’.
“Ralat! Berlima, ada mang Dadang, ada mbok Ipeh dan Pak Satpam juga,” Kata Bunda.
“Whatever,” Kata Cakka.
“Jadi kamu punya rencana begitu buat ‘ngapa-ngapain’ Oik,” Ayah Cakka meniru gaya Cakka tadi ketika menyebutkan kata ‘ngapa-ngapain’.
“Gak! Yah gak mungkinlah,”
“Makanya jadi anak kurangin bawelnya sayang, nurut aja,” Kata Bunda.
Cakka menghembuskan nafasnya kentara, “Yah, terserah Ayah dan Bunda aja, yang penting satu bulan benar satu bulan! Awas kalau lebih,” Ucap Cakka akhirnya.
***
‘Keberangkatan’. Cakka, Oik dan kedua orang tua Cakka berdiri tepat dibawah papan yang tergantung diatas bandara.
“Cakka, Oik kita berangkat yah, hati-hati di rumah,” Kata Bunda Cakka.
“Iya Tante,” Jawab Oik sedangkan Cakka hanya mengangguk-angguk.
“Cakka harus jaga Oik, awas kalau kamu ‘ngapa-ngapain’ dia,” Kata Ayah Cakka mengingatkan akan pembicaraan kemarin.
Cakka memutar bola matanya, “Iya… iya…,” Katanya.
“Oik juga yah, jaga kesehatan, rutin ke Rumah Sakit. Trus, kalau Cakka bawel cubit aja,” Kata Bunda.
“Aishh…,” Keluh Cakka.
Oik terkekeh geli, “Hehehe, iya, Om dan Tante juga hati-hati yah,”
Panggilan penumpang berkumandang, Ayah dan Bunda Cakka pamitan. Bunda Cakka mengecup dahi Oik, kemudian Cakka. Sebelum masuk kedalam ruang keberangkatan tersebut.
***
Oik menangkap suara gaduh di ruang tamu. Penasaran, Ia segera melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya menuju ruang tamu. Didapatinya, Cakka bersama 2 orang lelaki, sepertinya itu teman-teman Cakka.
“Kka, siapa itu?,” Tanya lelaki berambut agak gondrong yang sedang memegang stick drum.
“Iya nih, boleh juga tuh,” Kata lelaki yang berambut spike.
Cakka menoleh sebentar kearah Oik, “Oh itu,” Kata Cakka sambil beranjak dari tempat duduknya mendekati Oik, semakin mendekat lalu merangkulnya, “Kalian belum kenalan yah? Kenalkan ini Oik, tunanganku,” Kata Cakka kemudian berhasil membuat Oik dan kedua temannya terbelalak kaget.
“Wuiihhhh… gila bro! kamu tunangan gak ngundang-ngundang, aku Ray,” Kata lelaki yang berambut gondrong itu sambil melepas stick drumnya lalu menyalami Oik.
“Oik,” Balas Oik dengan senyum, namun dirinya sebenarnya masih shock dengan pernyataan Cakka barusan.
“Gabriel,” Lelaki yang berambut spike mengulurkan tangannya.
“Oik,”
“Udah kan kenalannya, jangan ganggu dia yah, dia sudah ada yang punya, mendingan kita latihan aja sekarang,” Kata Cakka kemudian melepaskan rangkulannya dari Oik, “Sayang, kamu balik ke kamar lagi yah, aku dan teman-temanku ini mau latihan dulu,”
***
Gerakan sebuah ayunan besi berwarna putih terkesan lambat. Oik duduk termenung diatas ayunan tersebut. Semilir angin berhembus, membuat rambutnya bergoyang mengikuti irama angin. Dari jauh nampak Cakka membawa nampan mendekat ke ayunan. Diapun menghentikan gerakan ayunan tersebut.
“Kamu makan dulu yah Ik, ini aku sudah bawakan makanan sekalian sama obat kamu,” Kata Cakka menyerahkan nampan tadi kepada Oik. Oik tersenyum simpul lalu menerima nampan itu. Diatas nampan itu sudah ada piring dengan nasi dan lauk-pauk. Disampingnya ada gelas dengan air mineral didalamnya, tak lupa juga ada obat disamping air itu. Oik meletakan nampan itu dipangkuannya lalu mulai melahap makanan diatas piring itu.
Makan Oik agak sedikit berantakan. Sampai pipi dan rambutnya juga ikut makan. Cakka mengelap sisa-sisa makanan yang ada dipipinya menggunakan tangannya serta mengambil nasi yang bersarang dirambut Oik.
“Oik, soal kemarin jangan dipikirin yah, aku sengaja bilang begitu sama teman-temanku, soalnya mereka sering mengganggu gadis-gadis kayak kamu, jadi daripada kamu diganggu mereka yah aku bilang begitu deh,” Kata Cakka.
“Iya, gak apa-apa kok Kka, makasih yah,” Kata Oik kemudian memasukan suapan terakhir kedalam mulutnya.
“Kamu kan tahu semenjak kepergian Shilla, aku tak percaya dengan namanya cinta,” Kata Cakka.
“Kenapa kamu berkata seperti itu?,”
“Yah, karena cinta itu tak akan ada artinya untukku dan akan selalu menjauh daripadaku, cinta itu lemah sama sekali tidak ajaib!,”
“Kamu salah Cakka, cinta itu mempunyai banyak bentuk dan makna, rasa sayang kamu kepada orang tuamu itu juga cinta, ya cinta kepada orang tua, dan kalau gak ada cinta, kamu gak akan lahir di dunia ini, bukankah itu keajaiban cinta?,”
“Whatever you said, it doesn’t works for me! Aku tetap gak akan percaya dengan yang namanya cinta, dongeng, lagu, semua berbicara tentang cinta dan kekuatannya, but according to me, love is weakness!,”
“Suatu saat kamu akan menarik perkataanmu itu,”
***
“Ik… Oik…,” Cakka memanggil-manggil Oik. Sedari tadi dia telah berkeliling rumahnya mencari-cari Oik. Pasalnya, sudah jadwal Oik cuci darah. Tapi Cakka belum menemukan Oik dimanapun. Ruangan demi ruangan telah ditelusurinya. Akhirnya, dia kembali lagi ke kamar Oik. Ada satu tempat yang belum dilihatnya yakni kamar mandi Oik. Cakka mendekat kearah kamar mandi Oik. Terdengar sayup-sayup air beriak, suara kran kamar mandi Oik. Dipikirnya, mungkin Oik sedang mandi. Cakkapun akhirnya keluar dari kamar Oik dan memutuskan untuk menunggunya di ruang tamu.
Sudah 1 jam Cakka menunggu Oik di ruang tamu, tapi Oik tak nampak jua. Dia memutuskan untuk masuk kembali kedalam kamar Oik. Suara gemericik air masih terdengar dari dalam kamar mandi. Cakka jadi panik, jangan-jangan terjadi sesuatu didalam sana. Dia akhirnya memutuskan untuk mendobrak pintu kamar mandi itu. Cakka mengambil gunting didalam laci sebuah bupet diujung kamar dan mencoba mencungkilnya, tapi tak berhasil. Diapun mengerahkan seluruh tenaganya untuk mendobrak pintu itu. Dia mengambil ancang-ancang dari jauh, berlari lalu menghempaskan tubuhnya didaun pintu. Sekali… dua kali… tiga kali… akhirnya pada hempasan yang keempat pintu itu berhasil terbuka. Awalnya Cakka ragu untuk masuk kedalam kamar mandi itu, tapi dengan perlahan dia akhirnya masuk ke dalamnya.
Ada bayang orang diatas bathub dibalik tirai yang tertutup. Cakka membuka tirai itu dengan hati-hati. Betapa kagetnya dia melihat Oik pingsan di bathub itu dengan busa menyelimuti tubuhnya dan darah mengucur dari hidungnya.
Cakka segera berlari keluar memanggil pembantunya.
“mbok Ipeh… mbok… mbok Ipeh,” Teriak Cakka, tapi tak ada jawaban.
Cakka segera menuju dapur, dilihatnya mang Dadang sedang membuka pintu kulkas.
“Mang, mbok Ipeh mana?!,” Tanya Cakka dengan wajah panik.
“Ada apa tuan muda? Mbok Ipehnya lagi ke pasar sebentar,” Kata mang Dadang.
Cakka menepuk jidatnya. Apa yang harus Cakka lakukan?!
***
Sudah berapa kali Cakka mondar-mandir lagi didepan ruang emergency. Menunggu Oik yang sedang diperiksa oleh Dokter didalam. Dokter yang memeriksa Oik akhirnya keluar.
“Keadaan Oik bagaimana, Dok?,” Tanya Cakka segera.
“Keadaannya tiba-tiba menurun, dia harus dirawat disini dulu,” Kata Dokter.
“Baik Dok, saya telepon orang tua saya dulu,” Kata Cakka kemudian mengeluarkan handphone dari dalam sakunya menekan angka 2 yang adalah speed dial untuk bundanya.
...Hallo, ada apa sayang?…
…Bun, Oik kambuh lagi, dan kata Dokter dia harus dirawat di Rumah Sakit…
…Ya sudah, kamu turutin yah kata Dokter, nanti Bunda hubungi tante Reya, bisa pakai uangmu dulu kan Kka, bayar administrasinya?...
…Kalau itu gak masalah Bunda, yang pasti Cakka cuma mau memberi tahu tentang keadaan Oik…
…Oke sayang, jaga Oik yah, kalau boleh fokus jaga dia dulu yah sayang boleh kan? Jangan dulu urusin band kamu atau apapun itu…
…Iya Bunda…
…Good boy, ya sudah ya sayang, hati-hati. Dada…
…Da…
Cakka mengakhiri panggilannya lalu menghampiri Dokter.
***
Oik membuka matanya, bau ‘khas’ rumah sakit sudah menyambutnya. Membuat dia bisa menebak sedang berada dimana. Dia mengalihkan pandangannya melihat Cakka yang sedang berdiri disamping ranjang dan tersenyum kearahnya. Seingat Oik, sebelum dia hilang kesadarannya, dia sedang mandi? Oik terpekik kaget dalam hati menyadari hal itu. Dia segera meraba-raba bagian tubuhnya dan menatap Cakka dengan tatapan aneh.
“Eh itu, kemarin aku memang yang mendobrak kamar mandi kamu, habis kamu mandinya lama, aku kan jadi khawatir terjadi apa-apa sama kamu, nah benar kamu pingsan didalam, tapi suer aku gak ngapa-ngapain kamu, mbok Ipeh memang pergi ke pasar, jadi aku minta tolong Gita dan temannya untuk mengeluarkan kamu dari bathub trus mbok Ipeh datang memakaikan pakaian untukmu,” Jelas Cakka.
Oik menari nafasnya lega.
“Kalau begitu, terima kasih ya Cakka,”
“Kembali,”
***
“Kka, kamu sibuk gak?,” Tanya Oik ketika Cakka baru tiba dan meletakan buah disebuah meja tak jauh dari situ. Cakka menggeleng, “Boleh gak anterin aku ke taman, gak jauh kok dari rumah sakit ini, dulu waktu aku sering kambuh, Acha sering mengantarkan aku kesana, untuk bertemu seseorang,” Kata Oik.
“Tapi, kamu kan belum sembuh betul Ik,”
“Aku gak apa-apa kok, malah kalau aku terkurung disini, aku bakalan lebih sakit,” Kata Oik.
“Ya sudah, aku ambilkan kursi roda dulu yah?,” Kata Cakka hendak beranjak dari situ namun tangannya ditahan Oik.
Oik menggeleng, “Gak perlu, aku gak lumpuh, aku bisa jalan sendiri,” Kata Oik kemudian.
“Tapi---,”
“Ya, please,” Mohon Oik.
Cakkapun dengan terpaksa menyetujuinya. Dia membantu Oik turun dari ranjangnya. Dan tak membiarkan tangannya terlepas dari genggaman Oik.
“Kalau aku gandeng tanganmu gak apa-apa kan? Kamu belum cukup kuat,”
Oik mengangguk sambil tersenyum. Keduanya keluar dari rumah sakit, menyusuri trotoar, tidak begitu lama kemudian mereka tiba di taman yang Oik maksudkan. Pandangan Oik beranjak memandangi orang-orang yang lalu-lalang di taman itu. Kemudian terantuk pada seorang gadis kecil yang rambutnya dikuncir dua, “Itu dia,” Kata Oik sambil menarik Cakka mendekat kearah gadis kecil itu.
“Oliv,” Panggil Oik pada gadis kecil itu, pandangan gadis kecil itu kemudian berpaling pada Oik, matanya berbinar mendapati Oik dengan segera dia berlari dan memeluk Oik, Oikpun membalas pelukannya.
“Kakak, Oliv kangen, kakak kemana aja?,” Tanya gadis kecil itu masih dalam pelukan Oik. Oik melepaskan pelukannya perlahan dari gadis itu lalu membelai rambut gadis kecil itu.
“Oliv sayang, kakak sudah pulang ke rumah, gak tinggal di Rumah Sakit lagi, jadi kakak jarang deh bertemu dengan Oliv disini, maaf ya sayang,”
“Iya kakak gak apa-apa, yang penting Oliv seneeeeeng banget kakak datang kemari lagi,” Kata Oliv.
“Oh ya, Oliv kenalin ini kakak Cakka,” Kata Oik memperkenalkannya pada gadis kecil itu. Cakka mengulurkan tangannya.
“Cakka,”
“Oliv,” Ujarnya membalas uluran tangan Cakka, “Kak Cakka pacarnya kakak Oik yah?,” Tanya Oliv polos.
Oik tertawa kecil sedangkan Cakka tersenyum, “Hush masih kecil sudah tanya-tanya soal begituan, trus gimana keadaan teman-teman di panti asuhan?,”
“Baik kakak, belakangan ini kita ada latihan paduan suara, aku seneng deh,”
“Syukurlah kalau Oliv senang, kakak juga ikut senang,”
Ternyata Oik menyuruh Cakka mengantarkannya kemari untuk bertemu dengan seorang gadis kecil. Namanya Olivia, atau biasa dipanggil Oliv. Seorang gadis kecil yang dibesarkan disebuah panti asuhan dekat taman itu. Gadis kecil yang lugu dan polos.
“Cakka, kamu mau gak kalau kita ke panti asuhannya Oliv?, aku sudah lama tak kesana,”
Cakka mengangguk menyetujuinya. Mereka bertigapun mengayunkan langkahnya berjalan menuju panti asuhan. Tiba disana, mereka mendapati banyak anak-anak mulai dari yang baru belajar berjalan sampai yang sudah beranjak remaja. Mereka menyambut Cakka dan Oik dengan senang. Cakka menatap miris anak-anak itu, kasihan. Mereka masih kecil namun tidak punya orang tua. Tak pernah merasakan cinta kasih dari orang tuanya. Cinta kasih? Kata-kata Oik sewaktu itu terngiang ditelinganya. Cinta mempunyai banyak bentuk dan makna, definisi cinta tidak hanya sepasang manusia yang punya perasaan istimewa, tapi juga cinta kasih orang tua kepada anak, cinta kasih orang-orang yang dekat dengan kita. Cakka menyadari satu bentuk cinta lain, cinta kasih. Oh Tuhan, apa ini?!
Gelak tawa anak-anak ketika Oik berusaha menghibur anak-anak di panti asuhan. Gadis ini memang berbeda, dia bahkan sakit tapi tak pernah mengeluh, dia sakit parah tapi selalu berusaha terlihat sehat. Cakka mulai mengagumi gadis yang ada didepannya itu. Bagaimana mungkin dia sakit tapi masih bisa menghibur dengan tarian balletnya? Bagaimana mungkin dia tak pernah mengeluh? Bagaimana mungkin dia selalu terlihat ceria?
Setelah selesai Oik menghibur anak-anak disitu, Oik mendekat kearah Cakka. Dan berdiri tepat disampingnya.
“Kamu tahu Cakka, tawa mereka adalah kebahagiaanku, karena aku menyayangi mereka. Sayang adalah salah satu bentuk cinta yang lain,”
***
Sudah 3 hari Oik berada di Rumah Sakit, Ia merasa sudah cukup dia berada disitu. Setiap hari mencium bau ‘khas’ Rumah Sakit yang sudah mulai terbiasa dihidungnya.
“Kka, aku mau pulang hari ini yah,”
“Aku tanya Dokter dulu yah,” Kata Cakka kemudian keluar menuju ruangan Dokter yang merawat Oik. Setelah memberi tahukan maksud kedatangannya ke ruangan Dokter itu. Dokter dan Cakka berjalan beriringan ke kamar Oik. Kemudian, dia memeriksa keadaan Oik. Setelah dipastikan Oik sudah bisa rawat jalan, Dokter mengizinkan Oik pulang.
Cakka mengemasi barang-barang milik Oik. Kemudian membawa Oik kembali ke rumahnya. Berharap penyakit Oik tetap kuat.
***
Cakka memandangi setiap sudut studio musiknya. Meresapi begitu banyak kenangan didalam studio musiknya. Melihat piano yang selalu mengingatkannya pada seseorang yang fotonya terbingkai diatas piano itu. Ashilla Zahrantiara. Rasanya sudah tak sesesak dulu. Cakka membelai bingkai itu, kemudian menutupnya lalu mengambil gerakan untuk membuang bingkai dan fotonya itu kedalam tempat sampah didalam studio musiknya.
Bukan berarti dia melupakan Shilla dan kenangannya, walaupun dia sudah lupa bagaimana cinta itu dulu. Melainkan, membuang luka yang pernah hinggap. Apalagi dia mulai menyadari kebenaran yang Oik katakan. Cinta itu banyak bentuknya.
Cakka kemudian duduk diatas piano, melihat not yang ada dihadapannya. Dia bertekad untuk memainkan piano dengan not yang ada dihadapannya itu. Sama sekali dia tidak akan percaya kalau dia akan memainkan ini. Ditekannya tuts piano tersebut, nada mulai mengalun indah. Ya, Cakka bahkan sempat tidak percaya kalau dia memainkan symphony yang klasik, irama yang klasik, dan melodi yang klasik. Beethoven’s Symphony nomor 9. Namun ternyata dia cukup menikmatinya.
Suara tepuk tangan terdengar setelah Cakka memainkan pianonya. Oik muncul dari balik pintu. Sedari tadi dia sangat menikmati nada indah yang dimainkan Cakka.
“Wow amazing,” Kata Oik.
“Yeah, amazing. Bahkan aku sendiri tak percaya bisa memainkan musik klasik ini,” Kata Cakka masih agak shock, Ia menghembuskan nafasnya.
“Sejak dulu, aku punya impian menjadi ballerina dan mengadakan pertunjukan tunggal hanya dengan iringan piano yang memainkan Beethoven’s Symphony itu dan aku ingin mempersembahkan pertunjukanku itu pada orang tuaku dan juga Acha serta semua orang yang menyayangiku sebagai wujud cinta,” Kata Oik.
“Kau benar-benar menginginkannya?,”
“Ya, aku sangat menginginkannya,”
***
Cakka baru saja turun dari SUVnya, menatap gedung yang berdiri dihadapannya itu. Itu sanggar tempat Oik berlatih ballet. Hari ini Cakka membulatkan tekadnya menemui ketua sanggar tempat Oik berlatih itu. Dia ingin mewujudkan impian Oik yang diceritakan padanya kemarin. Semoga ada kemurahan sehingga Oik dapat mewujudkan impian itu. Cakka melangkah masuk kedalam sanggar itu. Setelah berada didalamnya, Cakka meminta izin untuk menemui ketua sanggar kepada pelatih ballet Oik. Pelatih ballet Oikpun mengantarkan Cakka keruangan ketua sanggar.
“Begini maksud kedatangan saya kemari, hm, ini tentang Oik, salah satu murid ballet sanggar anda,”
“Oh ya Oik, ada apa dengannya?,”
“Begini Bu, Oik punya impian mengadakan pertunjukan ballet tunggal dengan diiringi sebuah piano, dia ingin mempersembahkannya untuk kedua orang tuanya, saudaranya serta semua orang yang menyayanginya, bisakah anda mendukung impian Oik itu?,”
“Maaf, tapi itu akan terlihat tidak adil pada murid ballet yang lain, dan akan menimbulkan kecemburuan tentunya, Oik baru berlatih disanggar ini selama setahun lebih, ada yang sudah lebih dari lima tahun tapi toh belum pernah mengadakan pertunjukan tunggal, saya tidak mau berlaku tidak adil dengan murid-murid sanggar saya,”
“Ini bukan masalah adil atau tidak,” Cakka menghela nafasnya, “Oik mengidap penyakit yang mungkin akan membuat hidupnya tidak lama lagi, dia gagal ginjal. Tapi, dia tetap sangat ingin sekali mewujudkan keinginannya itu, dia berlatih keras agar bisa menjadi ballerina yang handal, saya mohon anda mempertimbangkan tentang hal ini, dia sangat menginginkannya,” Lanjut Cakka kemudian.
Ketua sanggar tampak berpikir sejenak kemudian mengangguk, “Baiklah, akan saya coba, tapi masalah pengiringnya---,” Kata-kata ketua sanggar menggatung.
“Biar saya saja, saya bersedia,”
“Ya sudah, besok Oik datang ke sanggar, biar kita atur bagaimana baiknya,”
Cakka masuk ke rumahnya dengan keadaan riang. Langkahnya terasa ringan menuju kamar Oik. Tanpa mengetuk pintu, atau memanggil nama Oik, Cakka langsung menyerobot masuk ke kamar Oik. Dasar Cakka! Bagaimana kalau seandainya Oik sedang dalam keadaan yang tak dikiranya didalam?
Oik sedang berada diteras kamarnya, memandangi langit yang berwarna jingga kecoklatan. Cakka menghampirinya, dia ikut memandangi langit.
“Oik, aku membawa kabar gembira untukmu,” Kata Cakka.
“Apa itu?,” Tanya Oik tertarik dan memalingkan pandangannya ke manik mata Cakka.
“Aku tadi menemui ketua sanggarmu dan membicarakan dengannya tentang perkataanmu kemari, kau tahu dia menyetujuinya,”
“Maksudmu?,” Oik masih tak paham.
“Maksudku, kamu bisa mengadakan pertunjukan tunggal impian kamu itu,”
Oik nampak tak percaya dengan perkataan Cakka, “Yang benar Kka? Kamu jangan becanda deh,”
“Aku gak becanda, aku serius Ik,” Kata Cakka.
Raut wajah Oik berubah lebih ceria dari wajahnya. Ada gurat kebahagian diwajahnya itu. Dia tersenyum lalu tertawa, “Ya ampun Cakka, makasih…,” Kata Oik sembari memeluk Cakka erat, sesaat Cakka kaget dengan ekspresi Oik itu, namun kemudian membalas pelukannya.
“Sama-sama,”
***
Cakka dan Oik berlatih setiap hari di sanggar. Pertunjukan akan diadakan tepat disaat orang tuanya dan Acha kembali dari New York. Oik sangat bersemangat untuk menyukseskan pertunjukannya itu, walaupun dia sakit, dia tetap berlatih. Namun dia tetap mengimbanginya dengan check-up serta memenuhi jadwal cuci darah di Rumah Sakit.
Hari-hari mereka lalui dengan berlatih, Cakka sangat menikmati gerakan indah yang dilakukan Oik. Bahkan awalnya Cakka tak suka dengan musik klasik, Shilla saja yang adalah pianist tak bisa merubah Cakka untuk hal itu. Entah kenapa hanya karena Oik kini dia mulai menikmatinya. Menikmati irama musik klasik yang dipadupadankan dengan gerakan Oik. Ternyata klasik itu indah. Hatinya merasa bahagia melihat Oik bahagia.
Oh, perasaan apa ini?
***
Cakka tak bisa tidur malam ini, dia mulai menyadari sesuatu. Perasaan itu, perasaan yang membawanya pada luka yang mendalam. Mulai menelusup kehatinya lagi. Cinta? Dia cinta pada Oik bahkan terasa lebih dalam dari cintanya pada Shilla dulu? Arghh… Cakka mulai frustasi. Yang benar saja?
Karena terjaga, Cakka memutuskan untuk keluar, siapa tahu diluar dia bisa mendapatkan ketenangan. Cakka berjalan-jalan memutar mengelilingi rumahnya. Di kolam berenang ada bayangan gadis. Cakka segera mendekat, walaupun dia tahu itu Oik. Ternyata Oik juga belum tidur. Dia sedang menatap bulan dan bintang yang nampak sangat jelas dari situ. Cakka duduk disampingnya.
“Belum tidur?,”
“Aku gak bisa tidur,” Jawab Oik.
“Kenapa?,” Tanya Cakka lagi.
“Entahlah, kamu lihat bintang diatas sana Cakka,” Kata Oik sambil menunjuk langit, pandangan Cakka mengikuti arah tangan Oik menunjuk, “Suatu saat aku juga akan disana, dan mungkin tak lama lagi, kau pilihlah satu bintang yang menurutmu paling indah, dan itu pasti Shilla, seseorang yang kamu cintai,” Lanjut Oik.
“Ralat dulu,” Kata Cakka.
“Apapun itu, aku bahkan ingin melihat bagaimana bintangku nantinya, tapi itu tak mungkin,” Kata Oik.
Cakka was-was dengan perkataan Oik. Kenapa cinta datang padanya selalu disaat yang tidak tepat? Kenapa selalu terlambat? Apa memang untuk menunjukan kelemahan cinta itu?.
Cakka menenggelamkan Oik kedalam pelukannya, sebenarnya untuk menenangkan dirinya, “Jangan berkata seperti itu Oik, kamu harus berjuang melawan penyakitmu,”
“Pasti, aku selalu lakukan itu, berusaha, sambil berdoa berharap keajaiban Tuhan terjadi,” Kata Oik.
Keduanya hening masih dalam keadaan saling berpelukan. Sebelum Oik bersenandung sebuah lagu.
once upon a time
ada sebuah bintang
yang bersinar terang di hatimu
ku akan datang lagi menjemputmu dengan cinta
kan kubagikan semua bintangku
kumiliki bintang bukan bintang biasa
ku bisa hapuskan semua dukamu
ku tak akan menghilang slalu ada di hatimu
memberi bintang hanya untuk cinta
dan yang terbaik selamanya bersama akan
kubagikan bintangku demi cintamu
and when you keep on believing
thousand miles can be seized by running
the miracles can do things though can’t do
***
Cakka mengerjapkan, Ia terbangun. Dan mendapati dirinya masih memeluk Oik di kolam berenang. Semalam mereka tertidur disitu. Dia memalingkan pandangannya pada Oik. Cakka terpekik kaget melihat darah di kaosnya, darah yang keluar dari hidung Oik. Mimisan. Dan ternyata Oik pingsan lagi. Cakka segera menggotong Oik, dia meminta tolong mang Dadang membawa SUVnya sedangkan Cakka duduk sambil memeluk Oik dimobil. Tiba dirumah sakit Oik lagi-lagi diperiksa diruang emergency.
Oik sudah sadarkan diri di ruang emergency, Dokter menyuruh Cakka untuk masuk kedalam. Didalam Dokter menginginkan Oik untuk dirawat inap kembali karena kondisi Oik menurun lagi. Namun Oik tidak mau, dia bersih keras untuk latihan. Dan berjanji akan rutin cuci darah asalkan dia tidak dirawat inap. Karena itu sama saja membatalkan pertunjukannya dan membatalkan impiannya.
Oikpun tidak dirawat inap. Tapi, Dokter tidak mau disalahkan jika terjadi apa-apa pada Oik.
***
Ayah dan Bunda Cakka sudah kembali dari Semarang. Ketika mendengar tentang pertunjukan kolaborasi ballet dan piano yang akan dilakukan Oik dan Cakka mereka sangat antusias. Bahkan Ayah dan Bunda Cakka rela menemani Cakka dan Oik berlatih disanggar, ditengah kesibukan mereka. Mereka tampak terperangah melihat kolaborasi apik antara Cakka dan Oik. Mereka yakin bahwa pertunjukan ini akan sukses.
“Wah, Ayah dan Bunda sudah tidak sabar untuk menonton pertunjukan ini, melihatnya latihannya saja sudah bisa membuat kami terperangah, apalagi sesungguhnya,” Kata Ayah Cakka.
“Iya nih, pokoknya kalian berdua do your best yah… lakukan yang terbaik untuk semua orang yang menyayangi kalian,”
***
Sehari sebelum pertunjukan…
Satu… dua… tiga… empat… satu… dua… tiga… empat… Oik menghitung setiap gerakan yang dilakukannya. Besok adalah hari yang ditunggu-tunggu olehnya. Jadi dimanapun dan kapanpun dia terus berlatih. Termasuk saat ini, ketika dia sedang mempersiapkan dirinya untuk check-up sebelum pertunjukannya. Oik melangkah sambil mematut dirinya di cermin yang berada dihadapannya. Setelah dirasa sudah rapi, dia melangkah keluar dengan langkah-langkah balletnya lagi.
Terlihat diruang tamu sudah menunggu Cakka dan kedua orang tuanya. Oik segera bergegas menghampiri mereka. Wajah mereka datar, namun serasa menyembunyikan sesuatu.
“Oik sudah siap,” Ucap Oik ketika tiba dihadapan mereka.
“Oik duduk dulu yah, ada yang kita ingin bicarakan,” Kata Ayah Cakka.
Oikpun menurutinya, dia menghempaskan bokongnya diatas sofa, dan duduk tepat disamping Cakka.
“Oik sayang, hm, ada yang kita ingin sampaikan, tapi…,” Kata-kata Bunda Cakka tergantung.
“Tapi apa tante?,” Tanya Oik sambil mengerenyitkan dahinya.
“Tapi, kita takut nanti akan berdampak buruk pada pertunjukan kalian besok,” Lanjut Bunda Cakka.
Oik menatap kearah Cakka meminta penjelasan atas perkataan Bundanya itu. Cakka cuma mengangkat kedua alisnya. Sepertinya dia sudah tahu berita yang akan disampaikan Bundanya. Hanya saja, dia membiarkan Bundanya saja yang memberitahukannya pada Oik. Bunda Cakka menarik nafasnya.
“Tadi tante barusan menerima telepon dari Bundamu, katanya pesawat mereka ditunda, jadi kemungkinan mereka gak jadi nyampe besok tapi dua hari lagi,” Kata Bunda Cakka.
Hati Oik seperti dikikis sesuatu. Selama ini dia telah merencanakan pertunjukan ini untuk mereka. Oik ingin membuat kejutan untuk mereka, tapi kenapa begini? Matanya mulai panas. Cairan bening itu hendak keluar menembus pertahanan Oik. Namun, dengan semampunya menahannya. Jujur saja, Oik kecewa, bahkan sangat kecewa. Tapi, dia bukan Tuhan yang merencanakan semuanya. Dia coba menguatkan hatinya memasrahkan apa yang akan terjadi. Menatap Cakka yang ada disampingnya, lelaki ini telah berusaha keras untuk mewujudkan impiannya. Dia tidak boleh down, dengan atau tanpa orang tua dan saudara pertunjukan harus berlangsung. Dedikasi tetap untuk mereka. Oik menarik nafasnya dalam-dalam kemudian menghembuskannya lagi. Berusaha untuk tetap tersenyum.
“Ya sudah tanteh, gak apa-apa, semua tetap diatur sama Yang Diatas, pertunjukan tetap dilaksanakan besok,” Kata Oik.
Bunda Cakka mengusap punggung Oik, “Kamu memang anak yang kuat, tante suka semangat kamu,”
***
Hari pertunjukan…
Oik sangat nervous dia bolak-balik di backstage tak tenang. Sesekali dia memperhatikan Cakka yang tampak amat tenang duduk tak jauh disitu. Oik memang sudah memakai pakaian baletnya. Rambutnya sudah disanggul keatas. Sepatu ballerinanya pun sudah terpasang rapi dikakinya. Cakka juga telah bersiap dengan setelan jas berwarna putih, tak lupa juga dasi kupu-kupu berwarna hitam. Tinggal 10 menit lagi mereka akan tampil. Cakka mendekati Oik, memegang pundak gadis itu.
“Jangan nervous, biarkan semua mengalir,” Kata Cakka.
“Hupfh, gak tahu kenapa aku bisa senervous ini, padahal selama aku menjadi ballerina dan tampil disetiap pertunjukan sanggar, aku gak pernah seperti ini,”
Cakka kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam jasnya. Lalu membuka tangan Oik yang terkepal, dan terasa dingin dan basah dengan keringatnya, Cakka meletakan benda itu ditelapak tangan Oik. Sebuah cincin? Oik menatap Cakka heran.
“Itu, jimat, supaya kamu gak nervous,” Kata Cakka.
“Jimat?,” Oik mengerenyitkan dahinya.
Cakka mengangguk dan tersenyum, “Kalau kamu gugup elus cincin ini, lalu tarik nafas dan hembuskan, dijamin nervous kamu hilang,” Kata Cakka mengambil cincin itu lalu menyematkan dijari manis Oik.
“Kamu yakin?,” Tanya Oik.
Cakka mengangguk mantap, “Percaya padaku,” Cakka kemudian menatap arlojinya melihat waktu, “Ik, lima menit lagi, kita berdoa dulu baru kita naik,” Ajak Cakka.
Merekapun mulai berdoa dengan khidmat. Setelahnya, mereka siap. Cakka naik duluan keatas panggung. Sementara Oik masih di backstage, dia akan masuk setelah alunan musik.
Oik menatap cincin emas putih polos itu, nampak seperti cincin biasa. Tak ada yang istimewa. Oikpun mencoba ‘ritual penghilang nervous’ yang dikatakan Cakka tadi. Dia mengelus cincin itu, menarik, nafas lalu menghembuskannya. Sebelum alunan musik mengalun, Oik sempat mengecup cincin itu dan naik keatas panggung.
Beethoven’s Symphony mengalun dari piano putih yang berada diujung panggung dengan Cakka dibalik piano itu mengiring Oik dengan gerakan gemulai nan indah. Penonton penuh sesak, ternyata banyak yang antusias menyaksikan pertunjukan itu. Ayah dan Bunda Cakka berada dibangku paling depan, menatap bangga pada Cakka dan Oik.
Pertunjukan berlangsung selama 90 menit, pertunjukan yang mengalir, apa adanya, padupadan yang apik membuat penonton terkesima dengan kolaborasi keduanya. Banyak yang larung didalamnya. Setelah selesai, Oikpun menyampaikan kata-kata penutup dan menyampaikan dedikasinya kepada orang tua, Acha dan semua orang yang menyayanginya. Semuanya bertepuk tangan puas dengan pertunjukan itu. Akhirnya, salah satu mimpi Oik terwujud juga.
Cakka dan Oik baru tiba di rumah, segera menghempaskan diri di sofa. Tadi cukup melelahkan, setelah pertunjukan banyak yang ucapan selamat dan menyalami mereka, sehingga menjelang malam baru mereka tiba di rumah. Orang tua Cakka, selesai menyaksikan pertunjukan itu langsung bergegas ke kantor. Jadinya, mereka pulang sendiri menggunakan SUV Cakka.
Oik melepas cincin yang tersemat dijari manisnya dan memberikan kembali pada Cakka.
“Makasih yah Kka, it’s works! Aku tadi gak nervous lagi setelah mengikuti apa yang kamu bilang,”
Cakka mengambil cincin itu, lalu menyematkan kembali dijari manis Oik, “Cincin ini punyamu, jadi gak perlu dikembalikan,”
“Tapi---,”
“Gak pake tapi-tapian yah,” Kata Cakka meletakan jari telunjuknya dibibir Oik untuk membungkamnya.
Oik terdiam sejenak kemudian tersenyum, “Thank you so much Kka, gak cuma buat cincin ini, tapi untuk semuanya, karena kamu my dream come true, aku gak tahu bagaimana cara membalas semuanya ini,” Kata Oik.
“Kamu gak perlu ber---,” Kata-kata Cakka terpotong ketika merasakan sesuatu yang lembut dan lembab mendarat dipipinya. Cukup lama, hingga Cakka menutup matanya. Merasakan debaran jantungnya lebih cepat 2x lipat dari biasanya, merasakan aliran darahnya yang mengalir bagaikan sungai dan merasakan desiran didadanya. Sebelum akhirnya mereka tersadar.
“Eh, hm, pokoknya thanks for everything Kka, hm, itu, aku… ganti baju dulu ya Kka, da…,” Kata Oik kemudian beranjak, sebenarnya salah tingkah dengan yang dia lakukan tadi.
Tahu gak Ik, maksudku memberikan cincin itu kepadamu? Dan tahu gak Ik, ditiap jawabanku tadi mengandung pertanyaan ‘will you marry me?’ walau aku tahu itu sulit diwujudkan.
***
Ting… tong… ting… tong…Suara bell rumah Cakka berbunyi. Cakka yang kebetulan sedang lewat dekat pintu utama, membukakan pintu. Dibalik pintu itu, ada seorang wanita dan pria, sepertinya mereka sepasang suami isteri. Cakka sepertinya familiar dengan mereka berdua.
“Selamat siang,” Ucap Cakka.
“Selamat siang, lho? Kamu bukannya yang nolongin anak saya waktu itu?,” Kata sang Wanita.
Barulah Cakka tahu, ini kedua orang tuanya Oik yang waktu itu bertemu dengannya di Rumah Sakit saat mengantar Oik. Belum sempat Cakka menjawab Bundanya sudah datang.
“Eh… kamu Rey, kapan nyampe?,” Kata Bunda Cakka sambil cipika-cipiki dengan wanita itu, dan menyalami pria itu juga, “Hai Han, ayo masuk,” Ajak Bunda Cakka.
Merekapun masuk diikuti Cakka dari belakang.
“Ini anak kamu yah Sya?,” Tanya Bunda Oik.
“Iya Rey, Oh ya kenalin… Cakka, ini loh Ayah dan Bundanya Oik, tante Reya sama om Burhan,” Kata Bunda Cakka.
Cakka menyalami keduanya memperkenalkan namanya.
“Aduh gak nyangka Sya, anak kamu ini loh yang nolong Oik waktu itu,” Kata Bunda Oik.
Bunda Cakka menatap heran kearah Cakka, seperti biasa Cakka menunjukan wajah innocentnya.
“Asya, Trus Oik mana?,” Tanya Ayah Oik.
“Oh ya, Kka, panggil Oik,” Suruh Bundanya.
Cakkapun berjalan menuju kamar Oik. Mengetuk pintu kamar Oik, Oik muncul dibaliknya, wajahnya nampak lebih pucat dari biasanya. Tapi senyumnya tetap menghangatkan. Setelahnya, mereka berjalan menuju ruang tamu. Melihat Ayah dan Bundanya Oik segera menghambur kepelukan mereka. Setelah berbicara cukup panjang, tentang pertunjukan mereka kemarin, dan kedua orang tua Oik menyesali ketidak hadiran mereka, mengambil barang Oik di kamar, merekapun pamit pulang.
“Oh ya Rey, Acha kok gak dibawah?,”
“Acha belum nyampe, dia pesawat besok jadi kemungkinan lusa baru nyampe,”
“Oh, ya sudah, Oik jaga kesehatan yah, jangan lupa jadwalnya,” Pesan Bunda Cakka.
“Iya tante,”
“Makasih banyak yah Sya, makasih juga buat Cakka, salam buat Wisnu yah Sya, kita pulang dulu,” Pamit Ayah Oik.
“Iya sama-sama, hati-hati yah,”
***
Cakka sedang menyusuri jalan tanpa menggunakan SUV miliknya, atau lebih tepatnya sedang berjalan kaki. Dia sebenarnya kangen Oik, dan ingin pergi ke rumah Oik. Tapi, dia tak tahu dimana. Dulu waktu Oik dirumahnya, dia tak pernah menanyakan alamat rumah Oik, dia juga lupa bertanya pada orang tuanya. Entah sudah berapa lama Cakka berputar-putar, yang pasti dia sekarang sedang berada disebuah toko yang menjual segala sesuatu yang berhubungan dengan musik. Diapun masuk kedalam. Berputar-putar mencari sesuatu yang mungkin bisa menghiburnya.
Tak jauh dari situ, ada sebuah kotak musik berbentuk piano putih yang terbuka didalam ada boneka ballerina yang menari. Cakka tertarik mendekat kearah kotak musik itu. Dia jadi teringat kembali tentang pertunjukannya dengan Oik. Mungkin Oik suka. Dia berencana hendak mengambil dan membelinya. Namun tangannya bersamaan dengan sebuah tangan lain yang sama-sama ingin mengambil kotak musik itu. Tangan mereka bersentuhan… sepertinya tangan seorang gadis. Cakkapun akhirnya mengalah dan membiarkan gadis itu mengambilnya. Cakka memandang gadis itu, dia kaget dan menyebutkan sebuah nama…
“Oik,” Ucapnya.
Gadis itu hanya tersenyum tak menjawab. Keduanya bertatapan cukup lama. Senyumannya beda dari biasanya. Bahkan dia tak berkata-kata segera pergi meninggalkan Cakka yang terdiam. Cakkapun sadar dan menyusulnya, namun dia telah selesai membayar dan keluar dari toko itu, dan pergi…
***
Kringgg…kringgg… Alarm Cakka berbunyi. Pendulumnya sudah menunjukan pukul 09.00 pagi. Cakka segera beranjak dari tempat tidurnya. Dan turun untuk sarapan. Tapi aneh, rumahnya sepi. Bukannya hari ini hari minggu dan seharusnya orang tuanya berada di rumah. Kalaupun tetap pergi ke kantor tak biasanya pergi jam segini untuk ukuran hari minggu.
“Mbok… mbok Ipeh,” Panggil Cakka.
Seorang wanita tua yang memegang sapu lantai bergegas menemui Cakka.
“Ya tuan muda,”
“Ayah sama Bunda kerja yah? Tumben? Bukannya ini hari minggu?,”
“Bukan tuan muda, tadi pagi tuan sama nyonya dapet telepon dari temannya, kalau gak salah yang namanya Reya itu loh, katanya anaknya meninggal, makanya tuan dan nyonya langsung kesana,” Kata mbok Ipeh.
Cakka seperti ditimpa reruntuhan bangunan mendengar itu.
“Ya Tuhan, Oik, mbok Cakka minta alamatnya sekarang! Cepat Cakka butuh sekaraaaang!,” Bentak Cakka tak bisa mengendalikan emosinya. Hatinya gusar, sedih, kecewa, semuanya bercampur menjadi satu. Benarkah berita ini?
Setelah mbok Ipeh memberikan alamatnya. Cakka bergegas, memacu SUVnya dengan kecepatan tinggi, menuju alamat yang diberikan mbok Ipeh.
Cakka tiba dirumah bertipe neo-klasik. Dia segera turun, sudah banyak orang yang melayat di rumah itu. Mata Cakka mulai panas. Dia mulai berkaca-kaca.
Diatas peti terbujur kaku seorang gadis dengan gaun putih, namun gadis itu tersenyum seperti tak punya beban. Dia seperti pulang ke surga dengan penuh kebebasan. Cakka tersungkur didepan peti itu, cairan bening itu mengalir tak tertahankan melihat kenyataan yang ada dihadapannya itu. Gadis yang membawanya pada cinta kembali telah tiada. Gadis yang menunjukan berbagai wujud dan bentuk cinta. Gadis yang membuat dia mulai terbuka pada cinta lagi kini terbujur kaku. Benar saja! Cinta itu lemah! Tak ada keajaiban untuknya.
Cakka terisak sebelum akhirnya orang tuanya datang.
***
Nada klasik mengalun dari dalam kotak musik, sambil boneka ballerina diatasnya seakan menari mengikuti irama musik klasik itu. Seorang lelaki dan seorang gadis berbaring diatas hamparan rumput hijau yang membentang luas. Mereka tengkurap sambil kedua tangannya diletakan untuk menahan dagu mereka sambil memandang kotak musik itu. Langit jingga begitu mempesona. Dalam ingatan mereka, tak ada sore yang lebih indah dari sore itu.
“Kau tahu, sekarang aku akhirnya percaya bahwa keajaiban cinta itu memang ada,”
Cakka terisak. Orang tuanya menghampirinya disusul kedua orang tua Oik.
“Cakka…,” Panggil Bundanya sambil menenggelamkan Cakka kedalam pelukannya. Cakka tak menjawab, sedangkan airmatanya telah membasahi blouse yang dipakai Bundanya. Setelah agak tenang, Bunda melonggarkan pelukannya.
“Bunda… Oik…,” Kata-kata Cakka tidak dilanjutkan melainkan menunjuk kearah peti.
Bunda menggeleng sambil menghapus air mata Cakka.
“Sudah jangan menangis yah,”
“Cakka…,” Bunda Oik mendekat, “Sya, bawa Cakka yah,” Lanjut Bunda Oik seperti menyuruh Bunda Cakka melakukan sesuatu. Bunda Cakka mengangguk.
“Cakka ikut Bunda yuk…,” Ajak Bundanya.
Cakka menggeleng, “Cakka mau disini nemenin Oik, ini saat-saat terakhir Cakka melihat Oik… Bunda,”
Bundanya tersenyum hangat, “Ini permohonan Oik, ayo,” Kata Bundanya.
Cakkapun mengikuti Bundanya. Bunda membawanya masuk kedalam fortuner miliknya. Fortuner itu menuju Rumah Sakit. Setelah tiba di Rumah Sakit, Bunda menuntun Cakka. Cakka yang pikirannya kemana-mana dan tidak konsen hanya bisa mengikuti Bundanya. Hingga Bundanya membawanya memasuki ruangan yang didepannya bertuliskan ICU. Sebelumnya mereka memakai pakaian steril lalu masuk kedalam.
Disebuah ranjang terbaring seorang gadis. Dia tertidur. Semakin dekat kearah gadis itu, Cakka semakin mengenalinya. Cakka menatap lekat gadis itu, lalu terpekik kaget.
“Oik,”
Bunda mengangguk, “Ini Oik sayang, yang meninggal itu bukan Oik, melainkan Acha, saudara kembarnya, kemarin Oik melakukan operasi ginjal, dan Acha yang menyumbangkan ginjalnya untuk Oik. Operasi Oik berhasil. Tapi sayangnya, Acha malah yang pergi untuk selamanya,”
Cakka menutup kotak musik itu. Boneka ballerina kembali tersimpan didalam dan musik berhenti mengalun. Cakka mengulurkan tangannya kepada gadis yang sedari tadi disampingnya itu. Gadis itu menyambutnya. Merekapun bergandengan tangan keluar dari hamparan rumput yang membentang itu, menyapu jalanan kemudian masuk kesebuah kompleks pemakaman.
Larissa Safanah. Ukiran nama diatas nisan tersebut. Merekapun berdoa untuknya.
“Bahkan aku belum bertemu dengan Acha, aku juga belum sempat berterima kasih padanya,” Kata Cakka.
“Acha memang saudara kembarku yang paling baik. Mungkin kamu pernah bertemu dengannya. Kamu ingat dengan kotak musik ini?,” Tanya Oik. Cakka mengerenyitkan dahinya, “Ya, kotak musik ini, ini hadiah dari Acha untukku, katanya waktu membeli ini, dia bertemu dengan seorang lelaki yang mengira dia adalah aku. Aku langsung kepikiran kamu, dan akupun menceritakan kepadanya tentangmu dan tentang---,” Kata-kata Oik tercekat.
“Tentang apa?,” Tanya Cakka sambil menaikan setengah alisnya.
“Tentang perasaanku padamu,” Kata Oik sambil pipinya memanas dan tertunduk.
“Owh,” Respon Cakka singkat.
Kemudian hening, dan…
Cup---, Cakka mengecup pipi Oik.
“Aku cinta kamu,” Katanya setelahnya.
“Katanya gak percaya cinta,” Sindir Oik.
“Karena kamu, aku sekarang percaya kekuatan cinta itu,” Kata Cakka.
Mereka terdiam sejenak, sebelum Oik berkata, “Aku… aku juga cinta kamu,” Balas Oik sambil tertunduk.
Cakka kembali mengulurkan tangannya mengajak Oik berdiri. Kemudian, mempersempit jarak antara mereka. Tangannya melingkari pinggul Oik. Setelah dekat menatap Oik dengan lekat, kemudian memegang kedua pipi Oik. Memiringkan kepalanya dan…
“Ckckckck… Kayaknya anak-anak kita sudah gila mesra-mesraan dikuburan begini,” Kata Bunda Cakka yang tiba bersama Ayah Cakka dan kedua orang tua Oik.
Mereka segera menjauh dari posisinya masing-masing dengan wajah memerah.
“Wah, kayaknya rencana kita buat menjodohkan mereka berdua gak perlu lagi deh, mereka sudah berjodoh sendiri nih sepertinya,” Kata Bunda Oik.
“Yah… kalau begitu ayo besan kita pulang, sepertinya mereka sedang asyik disini, kita mengganggu saja,” Ajak Ayah Oik. Kedua orang tua Cakka dan juga Oik beranjak pergi.
Hari sudah mulai malam, wangi bunga sedap malam mulai menyapa dan semakin tercium pekat, burung hantu mulai mengumandangkan nyanyiannya. Tiba-tiba, bulu kuduk Cakka dan Oik merinding. Oikpun segera menggandeng tangan Cakka dan meremasnya. Sedangkan, tangan Cakka melingkari bahu Oik. Kemudian…
“Ayah… Bunda… Tungguin kita…,” Teriak keduanya bersamaan, dan berlari menyusul orang tua mereka.
***
Acha. Dia lambang cinta tulus seorang saudara.
Dia yang membuatku akhirnya menemukan keajaiban dan diapun yang mewujudkan keajaiban itu.
Terima kasih Tuhan, telah mempertemukanku dengan Oik dan Acha yang mempunyai sejuta cinta untuk sesama.
Dan karena mereka…
I now believe the miracle of love, can happen.
Once Upon a Love: End
3 komentar:
Gilaaa endingnya bikin merindiiing kak ! kereeen
Ending nya kueceeee abesss sukakk!
keren kak, padahal di awal udah mau nangis.. tapi akhirnya gitu. kayak'a aku udah pernah baca.. tapi lupa judul :D
Posting Komentar