Stay Here With the Cloudy
Dibalik mendung ada penantian…
(2nd Sequel of Gone With the Wind after Come In With the Rain)
Dibalik tawa renyahnya ternyata ada mendung. Dibalik gembira riangnya ternyata ada mendung. Dibalik senyum hangatnya ternyata ada mendung. Meski mendung menyelimutinya, dia tak lantas hanyut didalam mendung. Dia terus meyakini bahwa suatu saat mentari akan datang menyinarinya sehingga dia tak terus-terusan mendung.
Ya, Dia. Dia yang mengajarkan dan memberitahukan kepadaku bahwa tak selamanya mendung itu kelabu.
***
Prolog
Sengatan mentari tertutup awan, langit seketika berubah menjadi kelabu, hujan hampir saja turun ketika seorang gadis memasuki area sebuah kantor. Gedung kantor itu menjulang tinggi, berdiri kokoh. Tak beberapa lama setelahnya, dia sudah bersama seorang wanita berjalan menyusuri setiap lantai marmer. Hingga tiba disebuah ruangan yang didepannya terpajang sebuah papan bertuliskan Directur. Setelahnya, menyuruhnya untuk masuk kedalam. Dan wanita itu meninggalkannya sendirian.
Ditatapnya, daun pintu ruangan tersebut. Sebelum menyiapkan mental masuk kedalamnya, dia menelan ludahnya. Rasa gugup, takut melebur dalam dirinya. Diapun menarik nafasnya dalam-dalam lalu mencoba membuka pintu ruangan tersebut. Belum sempat disentuhnya, pintu itu sudah bergeser sedikit. Samar-samar dia mendengarkan suara gaduh dari dalam ruangan.
…Hei Fy… please aku gak mau kalau kita putus…
…Aku salah apa sih Fy?...
…Hahaha… apa mungkin ada lelaki lain? Siapa dia? Cari masalah denganku…
…Apa? Bukannya kamu yang egois? Kamu kan yang memutuskan sebelah pihak…
…Please, Fy…
…Hallo… Ify… Ify… Jangan tutup teleponnya…
…Ify… IFYYYYYYYY…
Bruuuuukk---, Kemudian terdengar sebuah benda berbunyi sangat keras, bunyi hantaman sesuatu pada tembok sebelum jatuh berkeping-keping. Sepertinya, lelaki yang ada didalam ruangan itu mencampakan ponselnya.
Seketika wajah gadis itu berubah pucat, dia makin takut untuk masuk kedalam, haruskah dia masuk kedalam menemui ‘calon atasannya’ itu dalam keadaan seperti itu? Tidak mungkin! Tapi bagaimana dengan pekerjaannya? Hari ini jadwal interview, dia tak mau gagal untuk kesekian kalinya. Bagaimana dengan mimpinya? Sementara gadis itu bertengkar dengan batinnya. Tak disangka, pintu terbuka dengan sangat kasarnya. Seseorang dibaliknya keluar, dan kaget mendapati seorang gadis yang tidak dikenalinya berdiri mematung didepan pintu.
“Untuk apa kamu berdiri disitu?,” Tanyanya masih terpengaruh emosi.
“Saya… saya Shilla pak,” Katanya gugup.
“Saya tidak bertanya nama kamu! Kamu tidak mendengarkan pertanyaan saya?! Abeng… Abeng!!!!!!,” Teriaknya.
Seseorang datang, lelaki dengan pakaian necis, sepertinya bawahan lelaki itu.
“Bawa dia keluar dari kantorku!!!!!,” Usirnya.
“Tapi pak… saya ada jadwal interview dengan bapak disini,” Kata gadis itu.
“Tidak! Kamu tidak diterima dikantor ini… sekarang juga pergiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!!!!!!! Dan bilang juga sama yang lain saya tidak menerima tamu hari ini!,” Katanya dengan emosi yang meluap-luap.
***
Ada mendung diwajahnya, kelelahan. Nampaknya dia telah bekerja begitu keras untuk hari ini. Shilla, gadis itu. Dia baru saja pulang dari kantornya. Untuk melepas penatnya, dia memutuskan untuk singgah di sebuah kedai sekedar untuk ngopi disana. Langit berwarna kelabu sejak tadi siang, namun hujan tak datang jua.
Kedai kopi tampak sangat ramai. Setelah memesan, Shilla menghempaskan pandangannya keseluruh penjuru kedai. Tak ada meja yang kosong, hampir semua penuh. Kemudian, matanya terantuk pada sebuah meja tepat dipojok ruangan. Hanya tinggal bangku disitu yang kosong. Bersama seorang lelaki, yang sedari tadi gelisah dengan ponsel yang ada digenggamannya itu. Sepertinya, dia sedang berusaha menelepon seseorang tapi tak urung jua diangkat. Berkali-kali dia menghempaskan ponselnya itu secara sembarangan diatas meja. Shilla mendekat. Sebenarnya, dia takut untuk mengganggu lelaki itu. Tapi, dia tak punya pilihan lain. Duduk disitu atau berdiri. Dengan segera dia mengayunkan langkahnya mendekati lelaki itu. Lebih dekat… lebih dekat dan semakin dekat dan kini tepat disampingnya. Membuat dia tahu, kalau lelaki itu…
“Kalau mau duduk, duduk saja! Jangan berdiri seperti itu! Malah membuatku tidak nyaman!,” Katanya ketus namun tidak memandangi Shilla disitu.
Shillapun meletakan secangkir kopi yang dia bawa sedari tadi diatas meja. Lalu duduk dihadapan lelaki itu. Dan mulai menyesap kopi. Lelaki itu masih sibuk dengan permainan bersama ponselnya. Setelah itu dia mulai bosan, dan menghempaskan ponselnya lagi. Lalu ikut menyesap kopinya yang sedari tadi belum disentuhnya. Menatap Shilla yang ada dihadapannya. Nampaknya, familiar tapi dia lupa pernah bertemu dimana dengan gadis ini.
“Kayaknya, aku pernah bertemu dengan kamu, tapi dimana yah?,” Katanya sambil menyipitkan matanya.
“Itu… ehm, Pak… saya yang bapak usir waktu mau interview dikantor bapak,” Katanya.
Lelaki itu nampak berpikir kemudian ingat sesuatu, “Kamu dengar semua yang aku katakan ditelepon? Jawab jujur!,” Tatapan lelaki itu berubah menyeramkan.
“Hm… saya dengar tapi… tak tahu itu… semua atau tidak…,” Katanya setengah terbata-bata.
“Kamu tak usah takut seperti itu! Aku tak akan memakanmu, dan satu hal lagi aku tidak mau dipanggil dengan kata pak diluar jam kantor dan selain bawahanku! Dan tidak usah memakai bahasa yang terlalu formal dihadapanku!,” Katanya dengan gaya bicaranya yang nampak tegas sambil menyesap kopinya kembali, “Panggil saja Rio,” Lanjutnya.
“Iya… Pak… eh Iya… Rio,” Katanya.
“Namamu Shilla kan?,”
Shilla mengangguk.
“Sudah dapat pekerjaan?,”
Shilla mengangguk lagi, sambil membersihkan mulutnya dengan tisu.
“Dimana?,”
“Eka Negara Group,”
***
Ify. Nama itu yang semenjak beberapa pekan ini mengacaukan hidupnya. Mengacaukan pikirannya dan mengacaukan hari-harinya. Dia mengacak-acak rambutnya frustasi, kamarnya nampak amat sangat berantakan, sama seperti dirinya. Dia sudah mencampakan 4 ponselnya kemarin. Jika ini dia campakan lagi, maka sudah 5 ponsel. Hanya karena seseorang dibalik sana tak mau mengangkatnya.
Dengan perasaannya yang kacau dia segera mengambil kunci mobilnya, dan keluar dari kamarnya bergegas menuju garasi. Lalu memacu mobil tersebut dengan kecepatan yang sangat tinggi, menyalib kendaraan-kendaraan secara sembarangan, seakan dia berada didalam dunia game. Mobil itu berhenti secara mendadak disebuah gedung tua. Decitan rem mobilnya terdengar menggema. Rio turun dari mobilnya segera masuk kedalam gedung tua tersebut lalu naik ketingkat yang paling atas. Kemudian pergi menuju tepi gedung. Pikirannya kalang kabut. Diapun menutup matanya. Tiba-tiba dia membayangkan dirinya melayang diudara jatuh dibawah dan pergi ke surga.
“Bodoooohhh!!!!!! Jangan lakukan itu!,” Teriak seseorang dari belakang.
Sontak Rio terkejut, dia membalikan badannya mendapati seseorang dengan pakaian business women berdiri dihadapannya sambil memegang beberapa map.
“Hei! Untuk apa kamu lakukan itu?,” Tanyanya sambil mendekat kearah Rio.
“Memangnya, kamu tahu apa yang akan kulakukan?,” Tanya Rio sambil menantang matanya.
“Ya, hal bodoh yang dilakukan manusia kan? Bunuh diri! Wake up bunuh diri bukan jalan keluar!,”
Sejurus kemudian Rio tertawa, membuat gadis itu mengerenyitkan dahinya, “Hahahaha… Shilla… Shilla, yang bodoh aku atau kamu? Makanya jangan sok tahu, aku tidak mau bunuh diri tadi, tapi hanya ingin menenangkan diri disini,” Katanya.
“Tapi… tapi kamutadi terlihat seperti ingin bunuh diri,”
“Tidak sama sekali! Makanya kan aku bilang jangan sok tahu,” Kata Rio.
Sesaat langit berubah warna kelabu, sore mulai menyapa. Rio menggeser posisinya dari tepi gedung itu. Mentari bergolak kembali ketempat peristiratannya. Rio dan Shilla hanya bisa memandangi pergolakan mentari itu.
“Kau punya sahabat?,” Tanya Shilla memecah keheningan.
“Sahabat yang sangat karib aku tak punya, kalau teman akrab mungkin punya, kau sendiri punya?,”
“Punya, tapi dia baru saja menikah beberapa hari lalu, jadi aku jadi jarang bertemu dengannya,”
“Apa sih gunanya sahabat itu? Tak penting untukku,”
“Menurutku sangat penting, sahabat itu tempat kita berbagi, sahabat itu yang menghapus air mata kita saat kita menangis, kau pasti senang kalau punya sahabat yang bisa berbagi, apalagi kau terlihat punya masalah yang begitu berat, berbagilah dengan sahabat setidaknya bisa memberikanmu sedikit kelegaan,”
“Tapi aku tak punya sahabat,” Kata Rio.
Tiba-tiba Shilla terpekik kaget menyadari sesuatu, “Ya ampun, bos menungguku dikantor, rapat bersama klien tadi harus segera kuserahkan, gara-gara melihatmu hampir menjatuhkan diri, aku jadi kemari… aku pergi dulu yah,” Katanya lalu mengayunkan langkah. Sebelum dia menuruni anak tangga digedung tua itu, “Oh ya, kalau mau, aku bisa kok jadi sahabatmu,” Katanya sebelum menghilang menuruni anak tangga.
***
Ciiiiitttttt…Decitan rem panjang bergema. Sebuah mobil tiba-tiba berhenti ditengah jalan. Sang lelaki yang ada didalamnya, masih tampak kacau. Dia membuka dashboard mobilnya dan mengambil sebuah foto. Foto dirinya bersama dengan seorang gadis manis yang tersenyum bahagia. Foto dirinya dengan Ify. Kembali lagi dia mengingat Ify.
Siang yang cerah tiba-tiba berubah menjadi mendung saat…
Bruuuuukkk---, Sebuah hantaman dari belakang mobilnya, menganggu saat dimana Rio mengenang masa kebahagiaannya dengan Ify. Rio mendesah kesal, naik pitam. Dia segera membuka pintu mobilnya dengan kasar dan membantingnya dengan sekuat tenaganya. Segera setelahnya, dia berjalan menuju bagian belakang mobilnya.
Seorang gadis dengan pakaian santai sambil memegang sepedanya berdiri dihadapannya dengan tatapan polos dan rasa bersalah. Rio kembali mendesah kesal ketika melihat gadis itu…
“Kamu lagi… kamu lagi… huh!,”
“Aduh, maaf Rio, aku tak sengaja sumpah, kamu juga parkir mobilnya ditengah jalan,” Kata gadis itu.
“Dasar bodoh! Makanya kalau nyetir pake mata, sudah lihat mobil ini besar, lebih besar dari sepedamu itu, masa tetap ditabrak juga sih?,”
“Maaf aku tak sengaja, beneran,”
“Kamu itu---,” Belum sempat Rio melanjutkan kata-katanya…
Niuuuu…niuuuu…niuuuuu suara mobil polantas bergema. Rio segera menarik Shilla masuk kedalam mobilnya sebelum polantas menemukan mereka. Diapun segera memacu mobilnya kembali dengan kecepatan tinggi. Selama perjalanannya Shilla hanya bisa menutup kedua matanya.
***
Belum selesai kaget Shilla, kekagetan kembali membungkus dirinya, kala Rio menghentikan mobilnya disebuah rumah sakit dan… as you know Rumah Sakit ini memang tujuan Shilla dengan sepedanya tadi, sebelum menabrak mobil Rio. Bagaimana Rio bisa tahu? Apa dia indigo? Namun Shilla enggan menanyakan hal itu pada Rio. Yang dia lakukan adalah mengekor dibelakang Rio.
Sekali lagi dia kaget, Rio membawanya tepat ketempat tujuannya! Sivia, sahabatnya. Sivia yang melihat Shilla segera mendekat kearahnya dan memeluknya erat. Sudah beberapa hari ini, semenjak dia menikah, dia tak bertemu dengan sahabatnya itu.
Dari balik pintu, Cakka keluar. Rio segera mendekat kearah Cakka.
“Selamat atas kelahiran anakmu, maaf baru bisa datang,” Kata Rio sambil menyalami Cakka.
“Iya, makasih juga Yo, sudah menyempatkan datang kemari,” Kata Cakka.
Barulah Shilla tahu, kalau Rio bukan indigo, melainkan Rio adalah teman Cakka, yah kebetulan.
“Ayo masuk, tapi jangan berisik yah, bayinya sedang tidur,” Kata Cakka mengajak mereka semua masuk.
Malaikat kecil itu, terbaring disebuah box yang terletak tepat disamping ranjang seorang wanita yang nampak terbaring lemah. Malaikat kecil itu tersenyum dalam tidurnya. Seakan tak punya beban. Bayi lelaki mungil nan montok itu sangat mirip dengan Cakka.
Sivia mendekat kearah Alvin, yang berada disamping box bayi itu. Sedangkan Cakka langsung mendekat kearah Oik dan segera melakukan ‘kebiasaan’ mereka. Fast kiss. Alvin dan Sivia mendesah kesal akan ‘kebiasaan’ pasangan yang satu ini tanpa mempedulikan orang-orang yang ada disekitarnya ini. Sedangkan Rio dan Shilla tampak tercengang melihatnya.
“Trison Starlight Negara, nama yang bagus,” Kata Shilla membaca tulisan di box bayi.
“Iya, Trison gabungan nama kedua kita, kalau Starlight karena kita ingin anak kita bersinar seperti bintang,” Jelas Oik yang nampak masih lemah.
Tak lama kemudian, seorang yang berpakaian serba putih dan stetoskop tergantung dilehernya masuk kedalam bersama seorang gadis. Dokter yang awalnya dikira akan memeriksa Oik, ternyata bukan. Dan Dokter itu datang bersama Zahra, kakak Oik. Dia segera memberi selamat pada Cakka dan Oik, sedangkan Zahra meletakan parcel buah-buahan yang dibawahnya disebuah meja tak jauh dari situ.
“Oh iya, ini Gabriel, dia dokter di rumah sakit ini, dia kawanku,” Kata Cakka memperkenalkan lelaki yang berpakaian putih itu.
Gabrielpun menyalami orang-orang didalam ruangan itu, kecuali Cakka dan Alvin. Memperkenalkan dirinya pada Shilla. Shilla tersenyum kearahnya sambil menyebut namanya. Senyumnya…
***
Tap…tap…tap… Langkah kaki seorang lelaki menggema dikoridor sebuah bandara, langkahnya cepat dan tegas. Setelah mendapat pesan dari Cakka, ada yang ingin disampaikannya tentang Ify. Rio dengan terburu-buru berangkat ke bandara. Setiba disana, dia segera menghempaskan pandangannya mencari Cakka. Dilihatnya, Lelaki dengan kemeja berwarna pale blue dan celana panjang berwarna dark berdiri beberapa langkah dihadapannya. Dia segera mendekat kearah lelaki itu.
“Kka… apa yang kamu ingin sampaikan padaku?,” Tanya Rio to the point pada Cakka.
“Ify… dia berangkat ke Aussie, baru saja dia check-in kedalam… dia berangkat bersama seseorang… aku juga tak tahu itu siapa yang pasti tadi sempat bertanya pada Ify sebelum lelaki itu datang, kalau dia akan menetap di Aussie,” Kata Cakka.
“Argh… benar kan? Sudah kuduga pasti ada lelaki lain… aku tak menyangka…,” Kata Rio sambil membuat kepalan tangannya menahan emosinya, Cakka menepuk bahu Rio.
“Sabar ya Yo… wanita di dunia ini banyak, tak hanya Ify… jika Ify bukan jodohmu… You must move on… jangan terlalu terhanyut didalamnya,”
Rio terdiam meresapi perkataan Cakka.
Bruuuukkk---, Rio ditabrak oleh seseorang membuat Rio jengkel.
Dia dan Cakka segera menoleh.
“Aduuuhh… sorry lagi aku tak bisa menghentikan lariku tadi, remnya jebol… soalnya sudah sangat terlambat… Kka… Sivia mana? Aku ingin mengucapkan salam perpisahan untuknya,” Kata gadis yang menabrak Rio dengan ngos-ngosan.
Rio tidak jadi memarahi gadis itu, Shilla lagi… Shilla lagi.
“Sivia baru saja masuk,” Kata Cakka.
“Yah… aku terlambat,” Katanya dengan wajah penuh penyesalan dan kecewa.
“Sabar ya Shilla, biar aku telepon Sivia suruh dia keluar menemuimu,” Kata Cakka segera merogoh ponselnya dari dalam sakunya kemudian berbicara dengan Sivia.
Tak beberapa lama kemudian Sivia keluar, Shilla segela menghambur kepelukan Sivia. Pelukan persahabatan yang erat, lama baru mereka melepaskan pelukan mereka. Shilla terlihat berkaca-kaca.
“Sudah ya Shilla, jangan nangis… aku hanya pergi selama seminggu, kita ketemu lagi minggu depan,” Kata Sivia sambil menghapus air mata Shilla yang hampir keluar dari pelupuk matanya.
“Hati-hati yah Sivia, enjoy your honeymoon, aku akan merindukanmu,” Kata Shilla.
Sivia tersenyum dan mengangguk. Mereka kembali berpelukan sebelum Sivia kembali masuk kedalam ruang keberangkatan.
***
Hujan rintik-rintik, namun tidak akan mempengaruhi keadaan, orang-orang masih terus berjalan tanpa payung. Rintik-rintik itu hanya meninggalkan bekas seperti gula dirambut tidak membuat orang-orang basah. Langit kelabu, Shilla duduk disebuah batu besar tepat diseberang trotoar sebuah jalan raya yang tidak cukup ramai. Dia sedang tidak dibumi, dia hanyut dalam khayalannya. Dia akan sangat merasa kehilangan Sivia untuk satu minggu kedepan. Sivia baru menikah saja dia sudah merasa kehilangan, apalagi Sivia harus tinggal dirumahnya suaminya itu meski jarak rumahnya dengan rumah Alvin dan Sivia tidak seberapa jauh. Dan kini dia harus menghadapi kenyataan untuk seminggu kedepan Sivia tinggal dibenua yang berbeda dengannya.
Aroma grape tercium dihidung Shilla, aroma parfume lelaki yang unik membelai indera penciuman Shilla. Aroma itu semakin mendekat dan kini tercium jelas disamping Shilla. Shilla segera memalingkan pandangannya kearah sumber aroma tersebut.
Didapatinya seorang lelaki duduk disampingnya, lelaki itu tersenyum padanya, Shilla mencoba mengingat-ngingat lelaki itu…
“Kamu… Gabriel…,” Kata Shilla ketika menemukan sebuah nama didalam ingatannya.
“Ya… kamu mengingatku ternyata, aku kira kamu bakal lupa, kenapa sendirian disini? Dalam cuaca yang seperti ini juga… kau terlihat mendung hari ini… ada masalah?,”
“Sedang merenung… aku akan kehilangan dan merindukan sahabatku selama sebulan kedepan,”
“Sahabatmu?,”
“Ya… Sivia, isterinya Alvin,”
“Oh, jadi Sivia sahabatmu…? Sejak kapan?,”
“Sejak dia pindah dipinggiran kota dekat tempat panti asuhanku, selanjutnya kami bersahabat, sampai kami dewasa dan kini Sivia telah menikah,”
“Kau tinggal di panti asuhan?,” Tanya Gabriel tertarik.
“Ya… sejak kecil, aku tinggal disana, aku tak tahu dari mana aku berasal, dari dulu aku tidak punya keluarga, ibu kepala panti yang membesarkan dan menyekolahkan ku sampai aku bisa sarjana, setelahnya dia menyuruhku untuk hidup mandiri, keluar dari panti asuhan, dan beginilah aku sekarang,”
“Oh… kau gadis yang kuat yah… aku salut,” Kata Gabriel.
Shilla tersenyum, “Tuhan yang menguatkanku, tanpa campur tangan dan perlindunganNya dalam hidupku, aku tak akan mampu menghadapi kerasnya hidup ini,”
“Aku semakin salut sama kamu,”
“Tapi… terkadang aku juga ingin merasakan punya keluarga… kasih sayang ibu dan ayah yang tidak pernah kurasakan,” Kata Shilla sambil menerawang, “Kau pasti punya keluarga yang lengkap, pasti enak punya keluarga yang lengkap,” Lanjutnya.
“Ya… aku punya ayah dan ibu, mereka sangat menyayangiku, meski waktu untukku tidak terlalu intens belakangan ini karena kesibukanku sebagai dokter… tapi… mereka yang membuatku semangat,”
“Kau beruntung,” Kata Shilla.
“Sangat, tapi kau jauh lebih beruntung,” Kata Gabriel sukses membuat Shilla mengerenyitkan dahinya, “Ya… tidak semua orang kuat sepertimu… itu nilai plus buatmu,”
Shilla menghembuskan nafasnya kentara dan tersenyum, “Semua orang pada dasarnya kuat, tapi mereka saja yang tak pernah tahu bahwa ada usaha dibalik kekuatan,”
“Aku yakin… suatu saat kau pasti akan bertemu dengan keluargamu dan merasakan arti sebuah keluarga dalam hidupmu,” Kata Gabriel.
Shilla terpekik tiba-tiba, menyadari kalau dia harus bergegas pergi ke kantornya, kemarin Alvin menitip pesan setelah Alvin berangkat Shilla harus menyusun jadwal pertemuan sesegera mungkin, “Gab… aku harus pergi, da…,” Kata Shilla. Namun baru saja Shilla melangkah karena terlalu cepat-cepat, Shilla jatuh lututnya berdarah. Gabriel segera mengeluarkan sapu tangannya dan membersihkan luka Shilla.
“Makanya, jangan terburu-buru… hati-hati,”
***
Shilla tiba dikantornya, hari ini mungkin akan menjadi hari yang paling menyibukan dalam hidupnya. Pasalnya, atasannya Alvin sedang berbulan madu jadi, Shilla sebagai sekertaris Alvin harus menghandle sementara waktu pekerjaan Alvin. Segera setelah mengatur mejanya yang agak sedikit berantakan, Shilla segera melihat agenda pertemuan dengan klien hari ini.
09.30 pertemuan dengan Mario Derise Wijanarya (Perjanjian Kerjasama) tempat: café IF’CRise meja nomor 24.
Shilla segera melihat arlojinya. Jarum jam sudah menunjukan pukul 07.55. Dia segera bergerak menyiapkan berkas-berkas yang akan dibawa untuk menemui klien hari ini. Segera setelah semuanya siap, Shilla mengayunkan langkahnya keluar dari gedung kantornya itu. Menyuruh sang security memanggilkan taksi, setelah itu masuk kedalam taksi menuju sebuah café tempat pertemuan mereka. Shilla harus berangkat sesegera mungkin agar tidak terjebak macetnya Jakarta.
Shilla melayangkan pandangannya mencari-cari meja nomor 24, ternyata itu adalah meja terakhir di café itu terletak secara khusus dibalik sebuah kaca pojok café tersebut. Diatas sana sudah ada tulisan reserved. Shilla segera mendekati pelayan café.
“Permisi… mbak saya Shilla dari Eka Negara Group… janjian dengan pak Mario Derise Wijanarya pagi ini,” Kata Shilla.
“Oh ya… mari saya antar bu ke mejanya,” Kata pelayan café itu sambil membawa Shilla ke meja nomor 24.
Shilla segera duduk, lalu melihat arlojinya yang sudah menunjukan pukul 09.25. Tak lama menunggu, seseorang menghampiri Shilla segera duduk dihadapannya.
“Ternyata kamu yah Mario Derise Wijanarya,” Kata Shilla melihat lelaki yang duduk dihadapannya.
“Tidak sopan, dasar! Ingat aku ini klien,” Katanya.
“Oke…oke… selamat pagi pak Rio… senang bertemu denganmu,” Kata Shilla.
“Ya… begitu lebih baik, kita mulai saja tak usah basa-basi, mana berkasnya?,” Kata Rio.
Shilla segera menyerahkan beberapa berkas yang telah dia sediakan tadi. Rio segera membaca dan mengamati berkas-berkas yang dibawa Shilla. Sesekali terjadi percakapan-percakapan singkat antara mereka. Satu jam bercerita tentang pekerjaan ditemani hot cappuccino dan breadtalk, Rio dan Shilla akhirnya menuntaskan pembicaraan mereka setelah menemui kata ‘sepakat’. Kini mereka bersantai dengan makanan yang dihidangkan.
“Ini café punyamu kan?,” Tanya Shilla.
“Ya… sampingan,”
Shilla mengangguk-angguk.
“Kenapa buka café? Bukan usaha yang lain mungkin yang berhubungan dengan perusahaanmu,”
“Ini awalnya usaha berdua aku dengan Ify… ini perencanaan matang sebelum kita menikah… tapi yah sudahlah, tidak jodoh… kayaknya bakal aku sendiri yang mengelolahnya… hupfh,”
Shilla manggut-manggut, “Menurutmu jodoh ditangan siapa?,” Tanya Shilla.
“Ya pasti ditangan Tuhanlah,” Kata Rio.
Shilla menggeleng, “Kalau menurutku, jodoh ditangan kita sendiri, tapi seizin Tuhan, kita tidak mungkin kan tanpa usaha menemukan jodoh kita? Itu tandanya kita berperan juga dalam menentukan jodoh kita,”
***
Seorang lelaki berpakaian serba putih meletakan stetoskopnya secara sembarangan diatas mejanya. Wajahnya nampak kelelahan setelah menangani bedah pasiennya sejak tadi malam dan baru selesai beberapa menit yang lalu artinya dia tidak tidur. Matanya tidak memancar seperti biasa. Dia segera menghempaskan pandangannya ke sekeliling ruangannya. Tirai jendelanya terbuka, matahari sedang tidak menyengat seperti biasanya, karena sepertinya diluar mendung. Namun, pancaran matanya kembali saat melihat seorang gadis yang baru saja berjalan melewati jendelanya, seseorang yang dikenalinya. Dia segera berdiri dari kursinya dan keluar mengikuti gadis itu. Gadis itu menuju kantin rumah sakit dan duduk disalah satu bangku. Lelaki itu segera menghampirinya dan duduk dihadapan gadis itu. Awalnya, gadis itu kaget, namun akhirnya tersenyum menyambutnya…
“Hei Gabriel… eh ini rumah sakit, dokter Gabriel,” Kata gadis itu.
“Hahaha… gak apa-apa Shill… panggil aku Gabriel aja biarpun ini dirumah sakit, sendirian?,”
“Iya nih… karena hari ini hari minggu, jadi aku diminta Cakka buat nemenin Oik dirumah sakit, tapi tadi aku belum sarapan, jadi aku singgah dulu disini,”
Gabriel melambaikan tangan pada penjaga kantin, dan diapun mendatangi Gabriel dan Shilla.
“Mau makan apa Shill?,” Tanya Gabriel.
“Aku kangen Sivia… jadi nasi kuning aja…,” Kata Shilla.
“Nasi kuning dua yah sama chocolate milk…,” Kata Gabriel sambil memalingkan pandangannya kearah Shilla, “Kamu mau juga Shill?,” Lanjutnya bertanya.
“Aku air putih saja,” Kata Shilla.
Penjaga kantin itupun pergi. Gabriel dan Shilla bercakap-cakap sambil menunggu pesanan mereka.
“Aduh… Starlight makin lucu deh Gab… aku ingin punya anak seperti Starlight,” Kata Shilla.
“Makanya cepat-cepat nikah,”
“Wah… pacar saja belum punya, lagian aku mau fokus sama pekerjaan dulu,”
“Jangan terlalu jadi workaholic nanti jadi perawan tua, cepat susul Sivia,” Kata Gabriel sambil mengerling.
“Pasti… tapi entah kapan waktu yang disediakan Tuhan untukku, aku hanya menunggu, Tuhan pasti merencanakan yang indah pada waktunya,”
***
Rio segera memacu mobilnya dijalanan ibukota. Hari ini, dia mengajak Shilla untuk bertemu kembali di café miliknya. Sebuah rencana sudah tersusun rapi diotaknya. Semoga berjalan dengan lancar. Tak beberapa lama kemudian, dia tiba di café miliknya itu. Segera memarkir mobilnya diarea yang bertulisan Just for owner’s café. Dengan sigap dia memasuki pintu yang berada didekat mobilnya terparkir. Kini dia sudah berada didalam café miliknya. Cukup banyak tamu. Dia segera melangkah menuju meja favorite nomor 24. Disana sudah duduk seorang gadis dengan red blouse dan skirt. Rio segera duduk dihadapannya.
“Sudah lama menunggu?,” Tanya Rio.
“Ya… lima belas menit,” Katanya.
“Maaf atas keterlambatanku Shilla,”
“Tidak apa-apa, sekarang apa yang ingin kamu bicarakan denganku?,” Tanya Shilla to the point.
Rio menghela nafasnya sebelum meluncurkan kata-katanya, “First, aku tak tahu kenapa kita sering bertemu secara kebetulan, second aku pernah berpikir kamu adalah pembawa sial dalam hidupku, aku putus dengan Ify saat akan interview kamu, mobilku ditabrak sepedamu, aku ditabrak kamu, semuanya, third tapi kamu juga malaikat penyelamatku, kau tahu sebenarnya waktu digedung itu aku benar-benar ingin bunuh diri tapi kau menyadarkanku, sehingga aku bisa sadar kalau itu bukan jalan keluar, fourth ternyata pembicaraan-pembicaraanku denganmu, aku bisa menilai kamu lebih lagi dan kamu orangnya menyenangkan, five orang tuaku mendesakku mengenalkan tunanganku pada mereka, karena waktu itu aku pernah mengatakan aku sudah punya tunangan saat mereka mau menjodohkanku, and you know Ify tunanganku pergi meninggalkanku, sixth karena melihatmu dari first sampe fourth dan aku merasa kau adalah orang yang tepat untuk menggantikan Ify dan untuk seventh mau kah kamu jadi tunanganku?,” Kata Rio, bersamaan dengan Shilla tersedak merasakan sesuatu didalam mulutnya setelah meneguk juice avocado dihadapannya. Dia mengambil sesuatu dimulutnya yang ternyata adalah cincin. Mata Shilla melotot menghadapi kenyataan dihadapannya ini. Seseorang memintanya menjadi tunangannya? Disaat seperti ini?
Rio mengangkat kedua alisnya menunggu jawaban Shilla.
“Yo… tak semudah ini untuk memutuskan menerima seseorang menjadi tunangan,” Kata Shilla.
“Please, aku sedang berusaha untuk menemukan jodohku, seperti katamu, dan aku yakin itu kamu,” Kata Rio.
Shilla nampak berpikir, dia menutup matanya, membayangkan yang terjadi belakangan ini. Tiba-tiba dia teringat dengan percakapannya dengan Gabriel tadi pagi. Mungkinkah ini waktunya Tuhan? Shilla menghela nafasnya panjang, menghembuskannya, membuka matanya kemudian…mengangguk.
Rio mengulurkan telapak tangannya. Shilla mengerenyit.
“Sini, aku pakaikan cincin itu dijarimu,” Kata Rio.
Shilla menyerahkan cincin itu pada Rio. Rio mulai memasangkan dijari Shilla. Sejurus kemudian dia sadar bahwa ini adalah hal konyol yang pernah dilakukannya. Dengan cepat memutuskan seseorang menjadi tunangannya.
***
“Gabriel… kamu kenapa bisa disini?,” Tanya Shilla kaget saat mendapati Gabriel sedang duduk dibawah pohon kelapa disebuah tanah lapang dan masih memakai pakaian dokternya.
“Eh, hai Shilla… aku, hanya ingin menenangkan diri, bersantai sejenak disini, kayaknya disini aman dan tak ada gangguan,” Kata Gabriel.
Shilla segera duduk disamping Gabriel.
“Kau sendiri untuk apa kemari?,” Tanya Gabriel.
“Entahlah… tiba-tiba saja aku kangen tempat ini,” Kata Shilla.
“Tempat ini punya kenangan buatmu?,”
“Ya… panti asuhanku dulu tak jauh dari sini, jadi aku dan anak-anak sering bermain kemari,” Kata Shilla.
“Oh,” Respon Gabriel singkat.
Awan mulai bergerak dari posisinya, menutupi sinar matahari. Sesaat langit kota Jakarta berubah mendung, ditutupi kabut tebal. Gabriel dan Shilla masih duduk dibawah pohon.
“Yah… mendung lagi,” Kata Gabriel.
Shilla tersenyum, “Tak selamanya mendung itu kelabu Gab,” Kata Shilla sambil mengerlingkan matanya. Gabriel berpaling menatap Shilla.
Petir dan angin tiba-tiba menyapa, tapi hujan belum turun. Shilla mulai menyenandungkan sebuah lagu.
Tak selamanya
Mendung itu kelabu
Nyatanya hari ini
Kulihat begitu ceria
Hutan dan rimba
Turut bernyanyi pula
Membuat hari ini berseri
Dunia penuh damai
Bintang berkelip
Dengan jenaka
Seakan tahu
Arti dan rasa
Oh kidung yang indah
Kau luputkan aku
Dari sebuah dosaku
Tak selamanya mendung itu kelabu
Nyatanya hari ini
Kudapat bernyanyi kepadanya
***
“Kamu siap?,” Tanya Rio.
Shilla menghela nafasnya, nervous. “Ya… harus siap,” Kata Shilla.
Rio kemudian membuka pintu rumahnya.
Hari ini Shilla dibawa Rio kerumahnya, kedua orang tua Rio yang super sibuk sengaja menyediakan waktunya untuk bertemu dengan tunangan Rio. Shilla sangat nervous secepat itukah dia harus bertemu dengan orang tua Rio? Setiap langkah jejakan kakinya diatas marmer rumah Rio, membuat jantungnya berdebar tak karuan.
Rio dan Shilla berdiri dihadapan sepasang suami isteri yang duduk disofa bergaya Da Vinci. Shilla tersenyum menyapa mereka dan menyiumi punggung tangan kedua orang tua Rio itu tanda hormat sambil mengenalkan namanya. Setelahnya, Rio dan Shilla duduk dihadapan orang tua Rio. Mereka mulai mengenal satu dengan yang lainnya. Shilla menceritakan tentang backgroundnya yang merasa tidak layak bersanding dengan Rio, seseorang yang notabene adalah keluarga kaya raya. Tapi, orang tua Rio tampak tak mempermasalahkan background Shilla. Bagi mereka, asal anak mereka bahagia mereka akan menyetujuinya.
“Jadi, kau tinggal sendiri dikos-kosan?,”
“Iya tante…,”
“Kalau begitu, kamu pindah kemari saja, tinggal disini, masih banyak kamar kosong kan Rio? Toh nanti juga kamu akan menikah dengan Rio,” Kata ayah Rio.
“Iya Shilla, tante akan sangat senang kalau kamu tinggal disini sampai kalian menikah,”
***
Tap…tap…tap… langkah kaki seorang lelaki bersama sepasang suami isteri terdengar mantap, terkesan tegas dan tergesa-gesa. Mereka menuju sebuah rumah sederhana. Diketuknya pintu rumah tersebut. Tok…tok... tok… Bunyi ketukan rumah…
“Selamat sore… Shilla…, kamu ada di dalam? Ini aku Gabriel, tolong buka pintunya,” Kata lelaki itu.
Tak ada jawaban dari dalam. Sepertinya, hari itu rumah dalam keadaan kosong. Seseorang datang mendekati mereka.
“Mbak Shillanya sudah pindah mas,”
Gabriel mengerenyit, “Pindah?,”
“Iya… kemarin dia pindah,”
“Kemana?,”
“Kalau tidak salah kerumah siapa gitu namanya… hm… yang pengusaha itu loh yang sering muncul di tivi, Ma… Mario Derise Wijaya eh salah Wijanarya… iya,”
“Rumah Rio?,” Tanya Gabriel sambil memandangi sepasang suami isteri disampingnya.
“Ayo kita kesana…,” Kata Pria itu.
Setelah berterima kasih pada orang itu merekapun pergi menuju rumah Rio. Selang beberapa menit kemudian, Gabriel dan sepasang suami isteri itu tiba di rumah Rio. Dia segera mengetuk pintu. Pembantu rumah Rio membukakan pintu, Gabriel langsung saja bertanya tentang keberadaan Shilla. Pembantu Rio segera mengantarkan mereka pada Shilla yang sedang bercakap-cakap dengan orang tua Rio. Sepasang suami isteri itu langsung menghambur memeluk Shilla, yang membuat Shilla kaget.
“Arwana… Ramona…,” Sapa ayah Rio.
“Tante… Om…,” Shilla kaget menyadari bahwa yang memeluknya itu adalah orang tua Alvin dan Cakka.
“Pasti kamu kaget dengan semua ini Shilla, baiklah, aku akan menjelaskan, jadi om Arwana dan tante Ramona pernah kehilangan anaknya sewaktu anaknya masih berumur satu setengah tahun, anaknya yang baru tahu berjalan itu hilang saat mereka berjalan-jalan disalah satu tempat rekreasi, sejak saat itulah mereka kehilangan putri mereka satu-satunya… dan nama anak mereka itu Ashilla Cloudyana Negara, sama dengan namamu, Alvin yang pertama kali melihat berkasmu, merasa mungkin kebetulan saja kalau namamu sama dengan adiknya yang hilang, dia semakin yakin kalau kamu adalah adiknya setelah tante dan om melihatmu di Rumah Sakit, dan mereka memberitahukan pada Cakka agar menghubungiku untuk melakukan tes DNA, tapi sebelumnya mereka tak mau salah mengira dulu,” Jelas Gabriel.
“Tapi… tapi… aku belum melakukan tes DNA,”
Gabriel menggeleng, “Tidak perlu, untung kau jatuh waktu itu jadi aku tidak perlu bersusah payah mengambil sample darahmu, ah satu lagi, selain tes DNA menyatakan kamu positif anaknya tante dan om, kau juga punya kan sapu tangan yang bertuliskan namamu?,”
“Iya… tapi… sapu tangan itu sudah lama tidak ada padaku,”
Gabriel tersenyum, “Dan kata tante dan om, mereka meletakan sapu tangan itu disaku bajumu sebelum kau menghilang,”
Shilla berkaca-kaca, tidak percaya. Akhirnya, dia punya keluarga, kini dia menemukan ayah dan ibunya. Penantiannya sejak dulu. Shilla memeluk erat Arwana dan Ramona dengan perasaan bahagia.
Orang tua Rio juga ikut senang, karena akhirnya Shilla menemukan orang tuanya, yang artinya background keluarga Shilla sudah jelas sekarang. Apalagi, Arwana dan Ramona rekan bisnis mereka. Saat Arwana dan Ramona tahu kalau Shilla bertunangan dengan Rio, mereka langsung menyetujui dan segera membicarakan tentang pernikahan Rio dengan Shilla.
Merasa tugasnya sudah selesai, dan sedikit jengah berlama-lama didalam, Gabrielpun pamit. Shilla yang melihat Gabriel keluar segera mengekor, sebelum Gabriel masuk kedalam mobilnya Shilla mendekat.
“Gabriel…,” Gabriel menengok sambil mengangkat sebelah alisnya, “Terima kasih atas semuanya… terima kasih yah… doamu terkabul aku kini telah menemukan orang tuaku dan itu semua berkatmu…,”
***
Langit nampak begitu kelabu, kalau dua insan duduk dibangku taman rumah. Menatap kelangit yang sedang tidak bersahabat itu sambil membicarakan sesuatu.
“Ini gila…,” Kata Shilla.
“Ya… memang, aku juga tak menyangka secepat ini,” Kata Rio.
“Sebulan lagi kita akan menikah…ckck… aku bahkan belum bertemu Sivia sekembalinya dari berbulan madu,”
“Hufh… kalau saja orang tuamu bukan tante Ramona dan om Arwana pasti tidak akan secepat ini, bagaimanapun orang tua kita sudah saling menyetujui,” Kata Rio.
Shilla membalikan badannya kearah Rio, “Tidak bisakah kita menikah di Indonesia saja?,”
“Kau kan tahu, itu persetujuan kedua orang tua kita kalau kita menikah di Aussie dan itu tentu saja tidak dapat diganggu gugat,” Kata Rio.
Minggu depan, Rio dan Shilla akan berangkat ke Aussie, dan melakukan pernikahan disana. Rio dan Shilla akan berangkat duluan kesana untuk mengadakan survei tempat pernikahan mereka. Bulan depan mereka akan melaksanakan pernikahan mereka disana. Tak pernah mereka sangka.
***
Seorang lelaki dengan pakaian putih bahkan stetoskopnya masih tergantung dilehernya duduk dibawah pohon kelapa sambil menatap sebuah saputangan berwarna pink dan diatasnya terukir sebuah nama Ashilla Cloudyana. Sudah lama dia menyimpan sapu tangan itu. Entah sudah berapa tahun, yang pasti sejak dia masih SMP. Langit mulai berawan, cuaca kembali mendung saat seseorang datang menyapanya…
“Kau disini lagi,” Kata seseorang itu.
Gabriel mengangkat kepalanya melihat orang yang berdiri disampingnya.
“Eh, Shilla,” Kata Gabriel.
“Sering sekali kau kemari,” Kata Shilla sambil duduk disamping Gabriel.
“Sering… tempat ini mempunyai kenangan, kenangan yang indah bersama seseorang, seorang gadis. Disaat aku masih remaja… aku pernah terluka, saat berlari ditanah lapang ini, saat mendekati pohon kelapa ini kakiku yang tanpa alas kaki terkena pecahan beling dan berdarah, seorang gadis tiba-tiba menghampiriku, dia membersihkan lukaku menggunakan sapu tangannya dan bergegas pergi karena takut ibu pantinya mencarinya… sejak saat itu, kami akrab dan selalu bermain ditanah lapang ini… saat aku menyatakan perasaanku… saat itulah aku harus menghadapi kenyataan bahwa harus pindah ke kota lain,”
Tik… air mata Shilla mengalir dipipinya, menyadari seseorang dihadapanya ini adalah…
“Kau… kau… Iyel,” Kata Shilla dan tanpa terasa air matanya jatuh terus menerus menyadari orang dihadapannya ini adalah… Iyel… cintanya sewaktu remaja. Bahkan, dia selalu menunggu kembalinya Iyel kedalam kehidupannya sampai saat ini, dan kini…
Gabriel menarik nafasnya dalam-dalam, “Aku terlambat,” Katanya tersenyum hampa, “Aku terlambat untuk kembali… kau kini telah bersama yang lain, kau tahu perasaanku tak berubah padamu, dari kemarin, hari ini esok dan seterusnya, ya meski aku yakin aku terlambat, tapi kuharap aku masih punya harapan untuk memintamu tetap tinggal disini dan tetap bersamaku,” Kata Gabriel.
Shilla menghapus air matanya dengan kedua telapak tangannya. Dia menutup matanya merasakah kegalauan dihatinya. Kemudian mencoba menjernihkan pikiran-pikirannya. Dia berpikir apa yang harus dilakukannya. Akhirnya dia tersenyum dan berkata…
“Hatiku telah memilih,” Katanya sebelum pergi meninggalkan Gabriel.
***
Daun pohon kelapa itu berayun seolah memanggil, karena tertiup angin. Langit mendung semendung hatinya. Dieratkannya genggaman pada sebuah sapu tangan. Seseorang yang mengajarkan kepadanya bahwa tak selamanya mendung itu kelabu, telah pergi memilih cintanya.
Sesaat setelahnya pesawat melintas beberapa puluh ribu kaki diatas kepalanya. Ya, Shilla dia telah pergi bersama pilihan hatinya.
Gabriel menengadah kelangit sambil mengucapkan sebuah kalimat, “Semoga kau berbahagia, dengan pilihan hatimu,”
Walaupun Shilla tak tetap disini bersamanya, namun hatinya akan selalu tetap disini hanya untuk Shilla selamanya.
Stay here with the cloudy: End.
Epilog
“Yel… kita lomba lari sampe disana yuk,” Kata seorang anak laki-laki yang masih berpakaian SMP menunjuk sebuah pohon kelapa diujung tanah lapang.
“Ayo siapa takut,” Kata seorang anak yang dipanggil Yel.
Merekapun mulai berlari tanpa mengenakan alas kaki.
“Awhh…,” Gabriel terpekik saat menyadari kakinya tertusuk pecahan beling.
Seorang gadis yang melihatnya segera mendekatinya.
“Kau terluka… sini aku obati,” Katanya segera mengeluarkan sapu tangannya. Lalu mengeluarkan kotak P3K dari dalam tasnya.
“Oh ya, aku tidak bisa berlama-lama disini, nanti aku dicari sama ibu panti, da,” Katanya setelah membersihkan luka Gabriel.
“Hei… sapu tanganmu,” Kata Gabriel.
“Untukmu saja, jaga baik-baik yah,” Katanya hendak beranjak pergi.
“Iyel… payah… tidak sampai finish…,” Kata anak lelaki yang mengajak Gabriel tanding lari tadi seiring dengan kepergian gadis itu.
“Ashilla Cloudyana,” Gabriel membaca tulisan diatas sapu tangan yang ada digenggamannya.
***
3 tahun kemudian…
Whitehaven Beach yang terletak di Whitsunday Islands, Aussie nampak lengang, hanya dua orang yang berjalan menyusuri pantai sambil berpegangan tangan. Langit mendung sore menjadi background sambil mentari bergolak ketempat peristirahatannya. Sang pria merangkul sang wanita sambil menatap indahnya sunset.
“Kenapa hari itu kamu tetap tinggal, kenapa tidak pergi saja?,”
“Ngusir nih ceritanya,” Kata sang wanita memanyunkan bibirnya.
“Tidak sayang… Cuma aku tak menyangka saja,”
“Ku rasa kau tahu jawabannya, karena hatiku telah memilih dan hatiku memilihmu,”
Gabriel menarik nafasnya, menggerakan kakinya untuk beranjak dari tempat itu. Segera disimpannya sapu tangan itu kedalam sakunya. Sebelum dia beranjak, dia mendengarkan sebuah suara memanggilnya.
“Gabriel…,”
Gabriel refleks berbalik karena mengenali suara itu. Dikuceknya kedua matanya mungkin saja dia sedang berhalusinasi melihat Shilla dihadapannya. Shilla mendekat kearahnya. Gabriel menyentuhnya. Shilla tersenyum.
“Gabriel… ini nyata bukan halusi nasi,”
“Tapi… bagaimana kau bisa disini? Bukannya kau…,”
Shilla tersenyum lagi, “Sudah kukatakan… hatiku telah memilih,”
“Terima kasih ya Shilla, sebelum aku bertemu denganmu aku adalah orang yang egois, dan maunya menang sendiri, aku orangnya tak pernah tersenyum tapi melihat keceriaanmu aku jadi ingin sepertimu, yang sering menolong orang, aku menjadi dokter karena ingin menolong sesama sepertimu,” Kata Gabriel.
Shilla tersenyum, Gabriel membalikkan tubuh Shilla menghadapnya lalu mendekatkan wajahnya kearah Shilla… semakin dekat… dan semakin dekat…
“Sunshine,” Teriak seorang ibu kepadanya anak perempuannya yang baru berusia 2 tahun tapi sudah pandai berlari. Sivia segera menggendong anaknya kemudian menatap Gabriel dan Shilla dengan perasaan bersalah karena telah mengganggu adegan mereka tadi.
“Aduh, maaf ya Shill, Gab… aku tak bermaksud menganggu,”
Siviapun beranjak lalu menyerahkan Sunshine kedalam pelukan Alvin yang khawatir menunggunya.
Gabriel dan Shilla mendesah kesal. Sivia menganggu saja. Mereka kembali pada posisi mereka masing-masing. Kali ini ditambah Shilla yang mengalungkan tangannya dileher Gabriel. Namun…
“Cakka… Starlight tenggelam…,” Teriak Oik panik melihat anaknya yang berusia 3 tahun timbul tenggelam didalam air.
Kembali lagi Gabriel dan Shilla menjauh dari posisinya tadi. Dan bergegas berlari menuju kearah Oik. Cakka langsung terjun ke pantai dan mengambil Starlight anaknya dan mereka semuapun mengamankan Starlight.
Hari sudah malam, ini bulan madu yang gila. Karena bersama kakak-kakak Shilla yang gila juga mereka minta ikut saat Gabriel dan Shilla hendak berbulan madu dan lebih parahnya membawa anak serta isteri mereka masing-masing. Dengan alasan yang mengada-ngada. Shilla adalah adik perempuan mereka satu-satunya dan takut Shilla hilang lagi, demi menjaga keamanan Shilla mereka ikut. Alibi yang jago.
Gabriel menghela nafasnya, “Aku rasa kakak-kakakmu itu terlalu overprotective sama kamu,” Keluh Gabriel.
“Ya… aku juga rasa begitu, tapi sudahlah itu karena mereka sayang padaku,” Kata Shilla.
Dengan cepat Gabriel membalik tubuh Shilla dan mencoba melakukan adegan yang tertunda tadi… sedikit lagi…
Brukkkk---, Pintu villa terbuka.
Ini sangat awkward sekali. Alvin dan Cakka beserta isteri-isterinya, dibalik pintu tersenyum. Sepertinya mereka tadi mengintip. Semua mereka hanya bisa nyengir sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Kakak-kakakku yang baik dan cantik… sudah ya, giliran kita sekarang, jangan diganggu,” Kata Shilla memohon.
Gabriel mendesah, dan tanpa mempedulikan mereka segera melakukan adegan yang tertunda tadi. Cakka merangkul Oik dan Alvin merangkul Sivia menyaksikan adegan dihadapan mereka itu.
“Aih… jadi ingat kita dulu ya yah…,” Kata Oik sambil melingkarkan tangannya dipinggang Cakka.
“Iya Bun… In a place no one will find,” Kata Cakka, Oik kemudian menyandarkan kepalanya dibahu Cakka.
“Kita dong… under the rain,” Alvin dan Sivia tak mau kalah.
Gabriel dan Shilla yang telah mengakhiri adegannya itu mendekat kearah mereka.
“Kenapa udahan?,” Tanya Cakka menyadari keberadaan Gabriel dan Shilla disamping mereka.
Gabriel dan Shilla geleng-geleng, “Ckckck… mereka ternyata tak sadar yah… anak-anak mereka lagi nangis,” Kata Gabriel.
Sesaat kemudian suara tangisan dua anak kecil menyusup ketelinga mereka masing-masing.
“Starlight,” Pekik Cakka dan Oik bersamaan.
“Sunshine,” Pekik Alvin dan Sivia.
Mereka segera berhambur lari kekamar anak mereka masing-masing.
Gabriel merangkul Shilla sambil menatap kepergian Cakka dan Alvin bersama isteri-isterinya.
“Kalau anak Cakka dan Oik Starlight, anak Alvin dan Sivia Sunshine, nanti anak kita namanya siapa dong?,” Tanya Gabriel.
Gabriel dan Shilla saling pandang-pandangan sepertinya satu pikiran.
“Eclipse,” Kata mereka bersama-sama lalu tertawa lepas.
1 komentar:
KEREN :)
Sequel lagi kak! yang Shilla-Gabriel nya punya anak terus Rio dapet couple :D
Posting Komentar